Tentara bahkan Politikus dan lain sebagainya bahkan hampir semua pusat pasar ke 4 Kabupaten Kotamadya se-kepulauan Nias, saat ini mayoritas dikuasainya
oleh penduduk yang beragama Islam. Demikian juga lokasi wisata pantai diberbagai penjuru kepulauan Nias saat ini hampir semuanya dikuasai oleh
penduduk yang beragama Islam. Adapun perkembangan Islam di wilayah Maenamölö dikategorikan
mengalami kemajuan dibandingkan dengan agama Budha dan Hindu.
2.4. Sistem Pemerintahan Maenamölö
2.4.1. Masa Pra Penjajahan
Sistem pemerintahan di Maenamölö pada masa pra penjajahan adalah disebut Banua. Istilah ‘Banua’ mempunyai pengertian langit, kerajaan, kampung
atau desa, badan pemerintahan. Setiap Banua dihuni oleh bagian-bagian dari beberapa marga yang terdiri dari sejumlah kekerabatan, antara lain Ngambatö
suami, istri dan anak, Faiwasa keluarga keturunan dari kakek yang sama, Sisambua banua
penghuni yang hidup se-kampung. Menurut Sorayana Zebua, 2006:1, mendefinisikan Banua merupakan
suatu kumpulan warga dalam suatu kesatuan hukum, baik menyangkut pemerintah, adat istiadat maupun kepercayaan yang dipimpin oleh Si’ulu yang
dibantu oleh para Si’ila dalam menangani tugas-tugas kemasyarakatan.
27
27
Sorayana Zebua, 2006, Sistem dan Peranan Banua Öri Dalam Kehidupan Bermasyarakat Dahulu dan Kini
, Gunungsitoli: Bahan Seminar Studi Kelembagaan Adat dan Budaya Nias, hlm.1
Universitas Sumatera Utara
Secara hirarkis bahwa stratifikasi sosial yang berlaku pada kehidupan masyarakat Maenamölö, sebagai berikut:
1.
Si’ulu Si’ulu
adalah golongan masyarakat yang berkuasa mutlak untuk memerintah seluruh warga di kampung secara turun-temurun dimana pengukuhan,
keabsahannya hanya dapat dilaksanakan melalui upacara Owasa. Keberadaan Si’ulu adalah sebagai representasi Inada Samihara Luo,
penggagas dan yang mendirikan kampung, sebagai teladan yang baik bagi seluruh warga di kampung, setiap perselisihan yang terjadi di masyarakat
harus mampu menetralisasikannya, tidak bertindak otokrasi dalam kepemimpinannya, segala kebijakan harus dilakukan secara musyawarah
mufakat. Namun pada sisi lain, keberadaan Si’ulu sebagai wakil dewa sebagai penguasa di kampung justru banyak menimbulkan malapetaka,
kesengsaraan bagi warga. Ironisnya, ‘Hönö li, rohu-rohu nia, khö ndra Si’ulu
’ artinya, ribuan kata tetapi keputusan Si’ulu yang akan terjadi. Untuk mencapai segala rencananya, Si’ulu tidak segan-segan menindas bahkan
menjadikan warga sebagai tumbal tanpa mempertimbangkan keadilan. Tak jarang warganya dijadikan sebagai tumbal hanya karena tidak mampu
memenuhi keinginan para Si’ulu. Hal ini terungkap dari berbagai sumber tulisan yang diterjemahkan oleh Johannes M. Hämmerle, 2013:4,31,34,
bahwa pulau Sömambawa adalah satu dari ketiga pelabuhan tertua di kepulauan Nias sebagai tempat perdagangan manusia menjadi budak,
pandelingen di Padang dan diberbagai penjuru lainnya. Dari hasil penjualan
Universitas Sumatera Utara
para budak itulah para Si’ulu menikmati kekayaan, berupa; emas, kuningan, besi, pakaian, gong, piring dan sebagainya mereka mampu mendirikan
rumah adat yang besar, pesta Owasa dan mendirikan batu-batu megalit. Namun pada kesempatan lain, rombongan orang Melayu dan Aceh menculik
para perempuan dan anak-anak Nias untuk diperdagangkan ke seberang.
28
Si’ulu terbagi 2, yakni
a. Si’ulu Sima’awali
Menurut Waspada Wau, 2012, bahwa ada 11 tingkatan untuk layak disebut sebagai Si’ulu Sima’awali, sebagai berikut:
Laböoda
, artinya pesta kelahiran anak laki-laki genap umur 8 hari.
Lakhai
, artinya pesta sunat yang pesta syukurannya ditanggung paman yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu.
Mambu Ana’a Siduavfulu
, artinya pesta emas batangan farada 24 karat seperti kalung Kalabubu untuk laki-laki seberat 20
Batu setara 200 gram.
Mambu Ana’a Silimavfulu , artinya pesta emas batangan
farada 24 karat seperti anting-anting telinga Fondruru sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho, konde perempuan dan aya
gaule sebagai kalung perempuan sebart 50 batu setara 500 gram.
Mambu Ana’a Si’otu
, artinya pesta emas batangan farada 24 karat seperti; Fondruru anting-anting telinga sebelah kanan
28
Johannes M. Hämmerle, 2013, Pasukan Belanda di Kampung Para Penjagal, Gunungsitoli, hlm.31
Universitas Sumatera Utara
bagi laki-laki, Taraho konde perempuan, Aya Gaule kalung perempuan, Rai mahkota, Sukhu sisir seberat kumulatif 100
batu setara 1000 gram.
Mambu Ana’a Sizuanacu , artinya pesta emas batangan farada
24 karat seperti anting-anting telinga Fondruru sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho konde perempuan dan aya gaule sebagai
kalung perempuan, mahkota Rai, sisir sukhu, gelang emas tölajaga hanya sebelah kanan bagi laki-laki kedua lengan bagi
perempuan seberat kumulatif 200 batu setara 2000 gram.
Mambu Oroba Ana’a , artinya pesta emas batangan farada 24
karat seberat sesuai dengan kebutuhan.
Faulu, artinya pesta emas batangan farada 24 karat seperti
anting-anting telinga Fondruru sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho
konde perempuan dan aya gaule sebagai kalung perempuan, mahkota Rai, sisir sukhu, gelang emas
tölajaga hanya sebelah kanan bagi laki-laki kedua lengan bagi perempuan seberat kumulatif 200 batu setara 2000 gram.
Motomo
, artinya, pesta pendirian rumah.
Simboto , artinya pesta skala besar dengan mengundang desa
atau raja sahabat.
Universitas Sumatera Utara
Mambu Oroba Ana’a
, artinya pesta pamer baju laki-laki berlapis emas 24 karat seberat kebutuhan.
29
b. Si’ulu Sito’ölö
. Si’ulu Sito’ölö
adalah kaum keluarga dari Si’ulu Sima’awali yang berkuasa sebagai wakil Si’ulu Sima’awali bilamana berhalangan.
2.
Ere Jajang A. Sonjaya ama Robi Hia mengatakan bahwa Ere berperan sebagai
perantara dalam memanjatkan doa dan menyampaikan permohonan kepada roh leluhur. Saat melakukan komunikasi dengan leluhur, biasanya akan
diberikan sesaji sirih, pinang, biji-bijian, hasil ladang dan kepingan emas.
30
29
Waspada Wau, 26 Desember 2012, Fanaruyama, Bawömataluo: Makalah Seminar International Potensi, Pemuda, Prospek dan Tantangan Masa Depan
Ere adalah para ahli yang biasanya selalu ada dalam tatanan kehidupan
setiap kampung. Ketika sebuah kampung dibangun, maka bangsawan akan memastikan terlebih dahulu apakah para Ere dengan berbagai keahlian
masing-masing tersedia di desa terbut. Seringkali bila belum tersedia, Maka Ere
dari desa lain akan diundang untuk menetap di desanya. Bilamana seorang Ere berkunjung ke suatu kampung maka hal ini menjadi
kebanggaan bagi warga yang dikunjungi dan akan menyambutnya dengan pesta besar-besaran. Setibanya di pintu gerbang kampung, ia disambut
dengan berbagai atraksi dan tari-tarian tradisional yang diiringi pemukulan gong, gendang hingga sampai ke halaman depan rumah Si’ulu kemudian
mempersilahkannya duduk di tempat yang telah disediakan. Ketika
30
Jajang A. Sonjaya ama Robi Hia, Melacak Batu Menguak Mitos, Yokyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 75-76
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan permohonan kepada dewa, Ere memulainya dengan cara memukul-mukul Fondrahi tambur sembari melantunkan Hoho syair-syair
kuno untuk mengundang dewa. Setelah dipastikan bahwa dewa yang dipanggil itu telah datang selanjutnya mempersembahkan sesajen berupa
sirih dan makanan lainnya seperti babi, ayam atau telur agar segala yang dimohonkan dapat dikabulkan. Namun penyembahan emas, barang berharga
lainnya atas pemberian warga adalah menjadi bagian Ere sepenuhnya. Keberadaan Ere di tengah-tengah masyarakat adalah satu sisi adalah sebagai
representasi Inada Silewe Nazaria. Penobatan seorang Ere harus didasarkan pada seleksi yang ketat dengan menjalani beberapa pengujian yang dapat
dibuktikan oleh banyak orang. mengatakan bahwa tempo dulu, sebelum didirikan suatu kampung yang baru terlebih dahulu Si’ulu harus memastikan
apakah Ere telah tersedia atau belum, bila tidak ada maka Ere dari kampung lain akan diundang untuk bergabung menjadi warga kampung tersebut.
Sesuai dengan sumber tulisan yang dikutip oleh Ichwan Azhari dan Erond L. Damanik, 2010, menjelaskan bahwa ada beberapa jenis Ere masyarakat
suku Nias pada masa lalu, antara lain: a.
Ere Börönadu imam ritual, berperan sebagai mediator untuk
menyekutukan antara manusia dengan para dewa, mengantar persembahan, meramal, memberkati, mengutuk.
b. Ere hoho
imam pujangga, orator, berperan sebagai pemimpin upacara adat, seperti kematian, pernikahan di keluarga bangsawan.
Universitas Sumatera Utara
c. Ere vanöfa
imam, tukang besi, berperan untuk menempah segala jenis peralatan perang, seperti; tombak, pedang dan sejenisnya yang
telah dimanterakan dengan kekuatan yang ajaib. d.
Ere döröu dukun penyakit, berperan untuk mengobati orang yang
sedang dihinggapi sakit-penyakit seperti; ibu yang akan melahirkan, santet, masuk angin dan sebagainya.
e. Ere Mialu
pawang berburu, berperan untuk meminta restu dewa untuk mengijinkan warga berburu hewan liar di hutan, ikan di laut.
31
3.
Ono Mbanua Ono Mbanua
adalah penduduk yang sederhana dan tergolong merdeka. Menurut kepercayaan kuno masyarakat Nias, Ono Mbanua merupakan
representasi Lature Danö.
32
Ono mbanua terdiri dari
Tuntutan moral bagi kaum Ono Mbanua adalah harus tunduk kepada para penetua adat dan berperan aktif untuk menjaga
benteng pertahanan dan keamanan kampung dalam menghadapi agresi musuh dari luar serta memelihara hubungan yang harmonis terhadap
lingkungan dimanapun ia berada.
a. Si’ila
konsensus kompromi pada masyarakat Si’ila
merupakan lapisan masyarakat terkemuka diantara status Ono Mbanua
yang memegang peranan aktif dalam pelaksanaan musyawarah terkait kemaslahatan dalam program kelangsungan
komunitas suatu kampung. Waspada Wau, 26 Desember 2012,
31
Ichwan Azhari dan Erond L. Damanik, 2010, Manuskrip Sejarah dan Budaya Nias Selatan, Medan: Universitas Negeri Medan
32
Lature Danö merupakan dewa penguasa di bumi dunia bawah.
Universitas Sumatera Utara
berpendapat bahwa paling tidak ada beberapa sebagai persyaratan minimal sebelum diangkat menjadi Si’ila, antara lain:
Simöi-möi
, artinya selalu hadir dalam setiap kegiatan, pelayatan, mendukung pekerjaan gotong-royong.
Sanua-nua
, artinya banyak memberikan berbagai sumbangan pemikiran atas dasar objektifitas jauh dari subjektifitas dalam
setiap musyawarah desa.
Sameme , artinya selalu memberi andil materil Botolö atas
nama diri sendiri atau keluarganya setiap ada kegiatan di kampung. Jikalau telah memenuhi persyaratan tersebut di atas
maka Si’ulu dapat memberikan persetujuan kepada seseorang untuk memberitahukan dirinya di kampung melalui upacara
Owasa .
33
Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus mampu mengadakan Owasa
pesta besar selama berhari-hari dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan ekor babi. Biasanya orang-orang yang
melakukan ini adalah mereka yang memiliki harta dan emas. b.
Sato masyarakat kebanyakan.
Dalam Fondrakö masyarakat suku Nias, telah ditetapkan bahwa tidak dibenarkan terjadi pernikahan antara anak dari keluarga bangsawan
dengan anak yang berasal dari keluarga Ono Mbanua. Bilamana kedua saling jatuh cinta maka lebih baik keduanya mengurungkannya saja di
33
Waspada Wau, 26 Desember 2012, Fanaruyama, op.cit.,
Universitas Sumatera Utara
dalam hati sebab bilamana suatu ketika mereka diketahui telah menjalin hubungan asmara, satu sisi tercorenglah dan menjadi hina
keluarga Si’ulu di seluruh negeri itu, sisi lain, sang anak yang berasal dari keluarga Ono Mbanua pasti akan dihukum pancung ataupun
diikat batu kilangan pada leher kedua anak tersebut lalu membawanya ke sungai, laut dan menenggelamkannya hingga mati tetapi dan juga
keluarganya akan menerima hukum adat dengan seberat-beratnya. Pada sudut lain menjadi ancaman bagi lingkungan keluarga Sato
tersebut. Konsekuensinya adalah kedua orang ini pelaku harus dibunuh mati dengan cara yang mengerikan yakni dipacung atau
diikat batu pada leher kedua pelaku lalu ditenggelamkan mereka di sungai atau di laut hingga mati. Namun pada masa kini, peristiwa
tersebut sudah tidak diberlaku lagi karena segala norma telah didominasi oleh hukum Pemerintah Negara Republik Indonesia.
4.
Sawuyu Kata ‘Sawuyu’ berarti anak kecil, hamba. Kaum ini adalah orang-orang yang
menduduki lapisan paling bawah. Munculnya golongan budak di Maenamölö
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah melanggar hukum adat, kalah dalam perang, korban penculikan. Dalam penelitian
Desertasi, Jerome Allen Feldman, 1997:34-35, menjelaskan bahwa perbudakan adalah sesuatu yang dibenarkan dalam Fondrakö lembaga adat
masyarakat Nias, para budak itu dipaksa untuk bekerja tanpa mengenal lelah. Budak ini berasal dari orang-orang yang telah melanggar hukum adat,
Universitas Sumatera Utara
tidak mampu membayar hutang-piutang, karena kalah dan menjadi tawanan perang serta hasil tangkapan melalui penggerebekan, penyayauan. Para
Si’ulu sebagai penguasa menjadikan mereka sebagai budak, sebagian dijual
di sekeliling Indonesia. Mereka dikumpulkan ke Aceh kemudian diangkut dengan kapal Cina ke Padang, selanjutnya di kirim ke atas Batavia.
Demikian pula terjadi di Aceh, sebanyak 1822 para budak dari Nias pernah diekspor ke luar negeri terutama dari Telukdalam, Selatan Nias. Rata-rata
ada sekitar 1500 orang setiap tahun dari tempat ini dijual. Perdagangan ini mengakibatkan para Si’ulu bangsawan sebagai penguasa di Nias Selatan
menikmati kekayaan yang luar biasa dari hasil penjualan para budak-budak itu. Hal ini tercermin dari seni dan arsitektur rumah para Si’ulu bangsawan
di Nias Selatan yang memakan biaya yang re latif mahal.
34
a. Sondrara hare
, artinya orang-orang yang telah melanggar hukum adat dan tidak mampu membayar denda.
Menurut Pieter Lase, 1997:20, kaum budak, terdiri dari:
b. Hölitö
, artinya orang-orang yang telah dijatuhi hukuman mati karena melanggar hukum adat dan tidak mampu membayar denda lalu
ditebus oleh bangsawan. c.
Binu , artinya orang-orang yang telah kalah dan menjadi tawanan
perang. Kaum ini biasanya diperlukan, dipersiapkan untuk persembahan pada setiap upacara adat; keluarga bangsawan, untuk
pendirian bangunan rumah adat, menjadi teman di dalam kubur jika
34
Feldman Allen Jerome, 1977, The Arcitekture of Nias Indonesia With Special Reference To Bawömataluo Vilage,
Faculty of Philosophy Columbia University: Desertasi, hlm.34-35
Universitas Sumatera Utara
ada seorang bangsawan meninggal dunia atau pada penyambutan pengantin putri bangsawan.
35
2.4.2. Masa Penjajahan 2.4.2.1. Pemerintahan Kolonial Belanda