Informan Tambahan Hasil Temuan
108 Proses pendampingan inkusi sosial anak jalanan dan masyarakat sekitar di
rumah belajar ini pastilah mendapatkan kendala-kendala, bukan hanya dalam proses dampingan saja tetapi pasti juga dalam pross pengenalan dan proses
pendekatan dengan anak jalanan, jadi apa saja kendala yang di alami itu? Bang Biar menceritakan, “kendalanya ada, kendala yang di dapat itu ada orang tua
anak jalanan atau anak sekitar tidak mengizinkan, kalau dari orang tua anak jalanan, mereka lebih memilih anak nya bekerja di jalanan karena dapat
menghasilkan duit daripada membuang-buang waktu untuk belajar dan kalau dari orang tua anak sekitar lingkungan paling mereka takut anaknya bergaul
dengan anak jalanan dan lebih tepatnya lagi kedua orang tua dari anak – anak ini takut dimintai bayaran atau takut mereka harus membayar walaupun sudah di
tegaskan rumah belajar ini gratis. Padahal dalam proses sosialiasi respon orang tua anak baik mereka bilang, oh iyalah bang, baguslah bang anak ku bisa ini itu,
tapi kenyataannya tidak smua begitu. Ada orang tua yang bilang, bang anakku kerja setoran nanti lah dulu belajarnya. Kalau kendala di anak nya sendiri lebih
ke anak jalanannya juga, kadang mereka malas untuk belajar mereka lebih memilih untuk mencari duit dengan mengamen.”
Selama semua proses itu berlangsung pertama dalam proses pengenalan sampai akhirnya proses pendampingan. Peneliti bertanya apakah pernah
mendapatkan tindakan buruk negatif atau bahkan kriminal dari anak jalanan, karena awalnya antara pihak KKSP dan anak jalananan merupakan dua orang
asing yang tidak saling mengenal. Misalnya apakah itu mencuri, perbuatan atau perkataan mereka yang kasar dalam proses belajar dengan anak sekitar atau dalam
proses pengenalan abang dimintai duit atau lainnya? Bang Biar menceritakan,
109 “kalau kriminal engga ya, paling saat melakukan diskusi anak-anak itu sering
bilang, bang beli rokoklah, bang beli minumlah, bang belum makan beli nasi kenapa. Itu biasalah ya nanti kalau lagi diskusi orang itu bilang bang gak enak
nih duduk – duduk gak ada gorengan gak minum gitu-gitulah, ya kalau kaya gitu sering. Artinya itu permintaan pertemanan lah ya kaya kita sama kawan gimana
artinya itu bukan menjadi suatu beban Tapi kalau untuk mencuri-curi di rumah belajar Alhamdulillahnya belum pernah kejadian barang hilang.”
Peneliti kemudian bertanya hari apa saja dan jam berapa rumah belajar ini aktif dalam proses belajar dan bagaimana cara belajarnya? Bang biar mejawab,
“Rumah belajar ini buka dari hari senin-sabtu dari jam 10 pagi sampai jam 5 sore. Cara belajarnya itu kita membuat jadwal misalnya hari senin kita belajar
calistung yaitu belajar membaca, menulis dan menghitung terus hari selasa kita belajar latihan musik, hari rabu kita kita pelatihan keterampilan, misalnya
kemaren kami buat kerak lilin, daur ulang bahan bekas, membuat bingkai foto dan lainnya, untuk hari kamis kita belajar bahasa inggris ini orng barat langsung
yang ngajar si Tery terus untuk jumat kita belajar ke agamaan. Dan itu setiap proses belajar ada istirahatnya waktu mereka untuk jajan ada yang bawa bontot
dan setiap proses beajar juga selalu di sertai dengan games-games jadi selama belajar mereka tidak bosan. Dan biasanya sabtu ini hari tambahann itu kegiatan
bebas kita bersama anak-anak misalnya berolah raga bersama kalau anak laki- laki main futsal anak perempuannya kegiatan lain misalnya buat makanan
bersama, tatarias misalnya buat model-model hijab dan lainnya. Disini di rumah belajar terbagi 3 kelas, kelas pertama itu untuk anak yang belum sekolah atau
TK-kelas 1 SD. Khsusus untuk kelas ini kita gak menekan kali materinya, hanya
110 pendidikan pendidikan dasar, misalnya menghitung, belajar nulis angka dan
huruf, terus lebih sering bernyanyi, menggambar, nonton film anak yang ada pendidikan ilmunya, belajar doa-doa seperti doa makan, tidur dan lainnya.
Kemudian untuk kelas kedua itu di khsususkan untuk anak kelas 2-4 SD dan untuk kelas yang ke tiga itu untuk anak dari kelas 5 SD-SMP.”
Rumah belajar adalah suatu wadah berkumpulnya antara anak jalanan dan anak masyarakat sekitar lingkungan dimana di dalam rumah belajar itu di lakukan
kegiatan berasma proses belajar bersama bertujuan atau berharap terjalinnya proses inklusi sosial, yaitu proses pembauran dan proses penyatuan. Peleburan
yang terjadi antara anak jalanan dan anak masyarakat sekitar. Lalu peneliti bertanya kepada Bang Biar adakah Upaya lain dalam proses inklusi sosial anak
jalanan ini agar anak jalanan diterima di masyarakat? Bang biar menjelaskan, “kalau upaya carannya ya banyak, Cuma memang dalam proses inklusi sosial ini
rumah belajarlah wadah yang tepat untuk bertemunya atau berkumpulnya anak jalanan. Apalagi didalam rumah belajar semua sudah difasilitas. Dari segi
sosialisainya saja kitakan sudah meminta izin ke pada orang tua anak masyarakat untuk bergabung belajar bersama dengan anak jalanan, dari respon atau izin
mereka memperbolehkan saja itu sudah menjadi sebuah bentuk penerimaan walaupun kenyataannya tidak seperti itu. dan upaya lain dalam proses
pembauran ini kami dari pihak KKSP sebulan skali minimal sering melakukan pelatihan inklusi soaial dan forum peduli sosial kami mengundang orang tua
masyarakat sekitar, dinas kesehatan, dinas sosial, kepala lingkungan, lurah dan lainnya terus untuk di rumah belajar ini kita melakukan kegiatan bersama
antara anak rumah jalanan dan anak masyarakat sekitar selain belajar bersama,
111 salah satu kegiatan lainnya adalah kegiatan 17 Agustus, buka puasa bersama
dan terakhir kali ini ada namanya pentas seni inklusi sosial yang kita melibatan semua anak kita adakan lomba puisi, membuat mading tentang anak, lomba
nyanyi dan lainnya.” Setelah Bang Biar menceritakan tentang rumah belajar dalam proses
inklusi sosial dimana bertujuan untuk pembauran dan penyatuan antara anak jalanan dan anak sekitar leingkungan rumah belajar. Kemudian peneliti bertanya
pendapat Bang Biar tentang anak jalanan itu seperti apa dari sisi abang yang udah mengenal dekat tentang karakteristik anak jalanan dan bagaimana pendapat abang
tentang stigma masyarakat mengenai anak jalanan kalau anak jalanan itu adalah sampah masyarakat? Bang Biar menuturkan, “kalau menurut aku ya anak jalanan
itu, sama dengan anak yang lainnya ya mungkin yang membedakan anak jalanan ini dengan anak yang lainnya yaitu tempat, dimana anak jalanan itu
menghabiskan waktunya melakukan kegiatan dan aktivitasnya di jalanan. Kalau dari segi hak semua anak itu sama bedanya itu tempat, dari hak mereka bermain
saja kita lihat anak jalanan juga ada hak bermainnya tapi yaitu tempatnya di jalanan di simpang. Dan anak jalanan bukan hanya pengamen, tapi banyak yang
bisa mereka lakukan di jalanan misalnya berjualan permen, lap kaca mobil, minta – minta dan sebagainya. Kalau di bilang anak jalanan sebagai sampah
masyarakat sebenarnya itu terlalu menyakitkan. Karena gak semua kok anak jalanan mau hidupnya seperti itu. karena ada faktor – faktor penyebabnya lah
maka mereka bisa turun ke jalanan.” Sampai pada pertanyaan terakhir, peneliti menanyakan bagaimana
penanganan yang seharusnya dilakukan untuk anak jalanan ini? Bang biar
112 menjawab, “Nah penanganan inilah yang susah dan gak ada habisnya. Kalau
usaha pasti sudah banyak apalagi yang KKSP lakukan. Semua memang kembali lagi ke pemerintah. Kita lihat lagi apa faktor anak menjadi anak jalanan, faktor
terbesarnya dalah kemiskinan kan? Gara-gara kemiskinan anak gak bisa sekolah, gara-gara kemiskinan anak gak punya akte kelahiran karena gak punya biaya
untuk mengurusnya. Gara-gara kemiskinan orang tua berpisah anak terlantar. Jadi bagaimana bisa terlesesaikan kalau pemerintahnya saja belum sanggup
menangani faktor penyebabnya. Jadi kamilah dari KKSP yang merupakan bagian dari masyarakat yang peduli mencoba membantu untuk menangani anak jalanan
ini. Dan dari proses belajar di rumah belajar ini kan anak jalanan banyak sedikitnya mendapatkan ilmu, yang bisa mereka pakai sebagai modal hidup
mereka kedepannya contohnya dalam berbahasa inggris, pelatihan musik, belajar membaca, menulis dan menghitung.”
ANALISIS DATA
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan informan tambahan yang pertama yaitu Bang Biar selaku koordinator lapangan, bahwa
proses inklusi sosial yang dilakukan dirumah belajar KKSP sudah berjalan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari mulai proses mensosialisasikan rumah belajar
dengan anak jalanan dan anak masyarakat sekitar rsponnya cukup banyak anak yang tertarik ingin belajar rumah belajar KKSP Medan. Kemudian Bang Biar
selkau koordinator lapangan juga langsung mendatangi rumah – rumah warga sekitar meminta izin kepada orang tua anak agar anaknya mendapatkan
pendidikan informal secara gratis di rumah belajar KKSP. Walaupun pada
113 kenyataannya ada beberapa orang tua yang cemas anaknya bergaul dengan anak
jalanan. Tetapi walaupun begitu tidak menghalangi semangat belajar anak – anak. Dan bukan hanya itu saja. Didalam rumah belajar antara anak jalanan dan anak
masyarakat sekitar saling menjalin komunikasi, melakukan kegiatan bersama. sehingga proses pembauran, penyatuan dan penerimaan itu terjadi dan itulah yang
disebut proses inklusi sosial. Pihak rumah belajar KKSP sering melakukan kegiatan bersama yang
melibatkan orang tua anak yaitu salah satunya mengundang orang tua anak untuk menghadiri pelatihan inklusi sosial, forum peduli anak jalanan dan lainnya. Para
orang tua senang karena ada tempat pendidikan yang bagus untuk anak-anak di daerah rumah mereka yang secara gratis.
1. Nama
: Bapak Asbin Siregar 2.
Usia : 47 Tahun
3. Alamat
: Kelurahan Sei Mati 4.
Suku : Mandailing
5. Asal
: Medan 6.
Pendidikan : S1
7. Pekerjaan
: Lurah Sei Mati 8.
Agama : Islam
Pertama sekali peneliti datang ke kantor Lurah Sei Mati untuk meminta data tentang kondisi demografis dan Geografis kelurahan Sei Mati. Saat itu
peneliti bertemu dengan Sekertaris Lurah, pertama kali datang peneliti ditanya ada keperluan apa. Kemudian peneliti memperkenalkan diri dan apa maksud dan
tujuan datang kesini. Setelah berkenalan dan memberitahu tujuannya lalu peneliti
114 di suruh untuk menunggu beberapa menit. Lalu peneliti di persilahkan masuk ke
ruangan. Sampai pada akhirnya peneliti bertemu langsung dengan Lurah Sei Mati yaitu Bapak Asbin Siregar. Karena sudah mengetahui apa maksud kedatangan
peneliti dan membaca surat penelitian yang peneliti punya Bapak Asbin langsung mempersilahkan peneliti untuk bertanya.
Peneliti kemudian bertanya apakah Bapak tahu tentang keberadaan anak jalanan di daerah Bapak dan bagaimana responnya? Pak Asbin menjawab, “Tau,
ya responnya mau cemana lagikan, yang jelas anak jalanan yang di simpang Juanda itu bukan hanya berasal dari daerah saya, mereka kan datang ntah dari
mana mana” Pertanyaan kedua yang di ajukan peneliti adalah apakah bapak tahu jumlah
anak jalanan di daerah Bapak? Apakah bapak pernah mendatanya? Pak Asbin menjawab, “kalau untuk jumlah saya tidak tahu, kalau untuk yang di Simpang
Juanda itu bukan daerah saya lagi itu sudah daerah Sukaraja. Saya tidak pernah itu mendata anak jalanan apalagi yang di simpang Juanda. Kalau keluarahan
yang di data paling jumlah penduduk, jumlah kelahiran kematian ya gitu- gitulah.”
Pertanyan ketiga yang di ajukan peneliti kepada Bapak Asbin adalah Apakah bapak pernah melakukan kegiatan bersama dengan anak jalanan atau
berkomunikasi langsung dengan orang tua mereka? Bapak Asbin menjawab, “Pernah ya Cuma sekedar gitu ajalah, kalau kegiatan kemaren itu di Rumah
Belajar KKSP itu, nah letak rumah belajar KKSP itukan di gang perwira kelurahan sei mati itu baru wilayah saya. Kemaren lah ada kegiatan di buat
115 orang itu sama anak jalanan, karena saya lagi sakit seklu saya yang
mewakilkan.” Bagaimana respon Bapak mengenai di dirikannya rumah belajar untuk
anak jalanan dan anak masyarakat sekitar wilayah bapak dalam proses inklusi sosial? Pak Asbin menjawab, “Ya bagus, baguslah dek, segala sesuatu yang
positif kita dukung. Makanya kita izinkan mendirikan rumah belajar disitu, namanya juga udah rumah belajar pasti bagus.”
Ketika peneliti menanyakan apakah dari keluarahan Sei Mati pernah memberikan bantuan atau melakukan upaya dalam penanganan anak jalanan,
kemudia Bapak Asbin menceritakan, “ ya kalau untuk itu kita gak ada anggaran dek, satu rupiah pun gak ada. Lurah itu gak ada SKPD Surat Kerja Perangkat
Daerah yang punya itu camat. Kalau dana dari saya pribadi gak mungkin cukup minta partisipasi dari warga payah disni partisipasinya sangat rendah, saya dulu
dua menjabat sebagai lurah di dua daerah yang satu Tomang Elok satu lagi Kampung Lalang gak serendah di Sei Mati ini. Karena saya bilang Sei mati ini
masih tertinggal padahal terletak di kota” Tibalah kepertanyaan terakhir dan peneliti menanyakan bagaimana
pendapat Bapak tentang dan anak jalanan dan setuju atau tidak Bapak dengan stigma masyarakat kalau anak jalanan itu adalah sampah masyarakat? Pak Asbin
menjawab, “Kalau itu tidak setuju saya, kalau di bilang anak jalanan adalah sampah masyarakat itu terlalu kejam. Orang dia manusia kok mana ada manusia
mau di bilang sampah masyarakat. Mereka itu kan seperti itu karena faktor kemiskinan, mana ada orang mau hidup miskin.”
116
ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan informan tambahan yang kedua dengan Bapak Asbin Siregar bahwa kurang nya perhatian
tentang anak jalanan dari pemerintah. Seperti yang di katakan Bapak Asbin Siregar bahwa tidak ada anggaran untuk anak jalanan di Kelurahan Sei mati.
Bahkan Bapak Asbin sendiri selaku lurah Sei Mati tidak pernah membuat dan melakukan kegiatan bersama.
Kegiatan yang dilalakukan bersama anak jalanan ketika KKSP membuat kegiatan di rumah belajar saja. Selebihnya tidak ada perhatian khusus. Bahkan
saat ditanyakan tentang upaya penanganan Bapak Asbin seperti melempakan tanggung jawab kepada lurah lain. Karena Bapak Asbin merasa simpang Juanda
bukan hanya wilayah dia saja. Bahkan Bapak Asbin selaku lurah Sei Mati tidak mengetahui jumlah anak
jalanan di daerahnya. Tetapi walaupun begitu Bapak Asbin mendukung dan memberikan izin pihak KKSP untuk mendirikan rumah belajar untuk anak
jalanan. 1.
Nama : Ibu Tety Agustina Hasibuan
2. Usia
: 37 Tahun 3.
Alamat : Jalan Marindal
4. Suku
: Mandailing 5.
Asal : Medan
6. Pendidikan
: S1 7.
Pekerjaan : Tata Usaha di Puskesmas Kampung Baru
8. Agama
: Islam
117 Awalnya peneliti ingin melakukan wawancara disini cukup sulit di
karenakan sibuknya staff pukesmas melayani masyarakat yang ingin berobat. Sampai akhirnya peneliti di suruh menunggu sampai jam 12 siang pada waktu
istirahat. Setelah memasuki jam 12 siang peneliti bertemu dengan bu Tety di ruangannya. Kemudian peneliti masuk kedalam ruangannya dan memperkanlkan
diri serta menjelaskan kedatangan ke sini untuk apa. Bu Tety meminta surat penelitian dan kartu Tanda Mahasiswa peneliti. Setelah memberikan semuanya Bu
Tety meminta daftar pertanyaan yang akan di ajukan kepadanya. Bu Tety ingin membaca terlebih dahulu setelah itu barulah kami memulai proses wawancara.
Pertanyaan pertama yang di ajukan oleh peneliti kepada Bu Tetty adalah Bagaimana awalnya puskesmas Kampung Baru ini bisa bergabung dengan KKSP
untuk bekerja sama dalam program inklusi sosial? Bu Tety menjawab, “bergabungnya itu pertama kali di bikin pelatihan di kantor dinas sosial. Jadi
kami di undang untuk datang itulah perkenalan pertamanya. Mulanya mengenalkan nya dulukan ke pemko. Karenakan untuk rumah belajar KKSP anak
jalanan ini bukan hanya di Gang perwira aja satu lagi yang di jalanan pimpinan daerh pancing aksara sana. Jadi itulah di undang semua kami di kasih tau
prosedur dan cara kerjanya, nah kalau untuk daerah sei mati puskesmasnya yang di kampung baru ini.”
Setelah mengetahui awal bergabungnya puskesmas kampung baru dengan KKSP medan untuk bekerja sama dalam inklusi sosial anak jalanan kemudian
peneliti bertanya pelayanan apa saja yang diberikan puskesmas kepada anak jalanan? Bu Tety menjelaskan, “pokoknya kalau dia mau berobat kita layani,
yang jelas hanya penyakit-penyakit kecil atau ringan saja bisa di bilang yang
118 hanya rawat jalan aja hanya penyakit umum, kalau untuk rawat inap pertama ini
bukan puskesmas rawat inap dan yang kedua tidak bisa memang kami mengeluarkan rujukan gitu.”
Peneliti kemudian menanyakan bagaimana cara anak jalanan dapat berobat gratis atau mendapat pelayanan kesehatan gratis apa persyaratnya? Bu Tety
menjelaskan kembali, “jadi kemaren itu ada anak jalanan datang untuk berobat ada yang didamping ada yang datang sendiri, syaratnya Cuma membawa surat
dari pimpinan KKSP cukup itu saja sudah cukup gak papa walaupun mereka tidak mempunyai identitas misalnya kaya KTP atau kartu keluarga karena dengan
surat itu sudah membuktikan ada persetujuan dari KKSP dan itu sudah menjadi tanggung jawab KKSP karena anak itu adalah anak dampingan mereka. Cuma
kan untuk mendapatkan tanda tangan pimpinan susah jadi saya bilang fotocopy surat nya itu yang udah ada tanda tangannya tapi untuk tanggalnya di kosongkan
jadi tanggalnya harus sesuai kapan dia berobat itu. Kalau udah perlu kali tinggal isi tanggalnya tapi harus ada stempel basah. Jadi pun kalau anak itu datang gak
ada pendamping pun bisa asal bawa surat itu tadikan. Yang penting kami kerja sama dengan KKSP anak itu membawa surat dari KKSP ya sudah kami layani.”
Melanjutkan pertanyaan berikutnya peneliti bertanya biasanya penyait apa saja yang di derita oleh anak jalanan yang berobat kesini, Bu Tety menambahkan,
“Kemaren ada beberapa anak jalanan datang untuk berobat gigi, demam batuk pilek, penyakit kulit sama terakhir itu luka infeksi itu aja sih”. Peneliti
menambahkan pertanyaan sudah berapa banyak anak jalanan yang berobat disini sudah sering kah? Dalam sebulan ada berapa anak jalanan yang berobat? Bu Tety
menjawab, “Yang jelas jaraknya itu sangat jauh, kadang sebulan itu belum tentu
119 ada yang berobat, nanti bulan ini ada bulan depan gak ada terus dalam dua
bulan sekali pun kadang belum tentu ada. Tidak bisa dipastikan” Peneliti menanyakan apakah dalam proses pelayanan ada perbedaan antara
anak jalanan dengan masyarakat lain? Bu Tety menuturkan, “Tidak ada perbedaannya kurang lebih seperti yang saya katakan tadi ini puskesmas beda
dengan rumah sakit yang ada kelas pelayanannya. Disini semua ya sama rata mau dia bayar, mau dia pake kartu jamkesmas, pake kartu askes, pake kartu
KKSP semua pelayanannya sama.”
ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Informan tambahan ketiga yaitu Ibu Tety Agustina Hasibuan selaku Kepala Tata Usaha
Puskesmas Kampung Baru bahwa pelayanan Publik yang di berikan oleh pihak puskesmas sangat baik, hal itu bisa kita lihat dari penuturan Bu Tety. Dari cara
pelayanan juga pihak puskesmas tidak ada membeda-bedakan. Di tambah lagi proses mendapatkan pelayananya cukup mudah hanya dengan cara membawa
surat pemberitahuan dari KKSP Medan anak jalanan sudah dengan mudah mendapatkan pengobatan gratis.
Walaupun puskesmas hanya melayani danmembantu dalam penanganan untuk mengobati penyakit-penyakit umum dan ringan tetapi hal ini sudah sangat
membantu anak jalanan. Setidaknya ada wadah mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Sehingga bisa menolong anak jalanan yang
sedang dalam kesakitan. Ada pihak yang mau peduli dengan kesehatan anak jalanan yang rentan sekali dengan berbagai penyakit.
120 1.
Nama : Rosdiana
2. Usia
: 49 Tahun 3.
Alamat : Jalan Bridgen Katamso
4. Suku
: Minang 5.
Asal : Medan
6. Pendidikan
: SMA 7.
Pekerjaan : Pengusaha Rumah Makan
8. Agama
: Islam
Ibu Ros ini adalah salah satu pemilik kedai rumah makan yang tidak jauh dari Gang rumah Belajar KKSP dirikan. Saat itu peneliti sedang makan di rumah
makan milik ibu Ros ini, kemudian karena di lihat dari cara pelayanannya Ibu ini ramah akhirnya peneliti memutuskan untuk menjadikan Ibu Ros ini sebagai
informan tambahan. Setelah seslesai makan peneliti meminta bill kepada Bu Ros sambil menunggu bil yang akan di hitung oleh pekerjanya. Peneliti berbincang
sedikit untuk meminta izin kalau mau tidak ibu Ros peneliti wawancarai seputar anak jalanan?
Awalnya Bu Ros malu-malu karena dia takut tidak bisa menjawab dan sebelumnya dia belum pernah di wawancarai seperti ini. Tetapi karena peneliti
memberikan daftar pertanyaan yang akan di jawab maka akhirnya Bu Ros bersedia, peneliti langsung bertanya mengenai tahu tidak Ibu tentang keberadaan
anak jalanan disekitar sini? Bu Ros menjawab, “Tau, itu yang paling banyak di simpang Juanda, sama ini masuk kedalam gang perwira kan ada rumah untuk
anak-anak jalanan rumahnya paling ujung. Biasa anak-anak jalanan banyak kesitu.”
121 Peneliti kemudian melanjutkan pertanyaannya pernah atau tidak anak
jalanan datang ke rumah makan ibu ntah itu untuk mengamen, meminta sedekah, membeli nasi, atau lainnya. Ibu Ros menjawab, “Pernah, paling kalau jam jam
makan siang mereka ngamen tapi jarang gak begitu sering, mungkin karena mereka lebih sering ngamen disimpang. Kalau minta – minta engga. Kalau beli
nasi ya mungkin pernah tapi juga jarang biasa mereka beli nasi bungkus nanti saya kasih lebih juga karena biasanya mereka beli rame – rame nanti makannya
kongsi-kongsi.” Pertanyaan ketiga yang peneliti ajukan kepada Ibu Ros, Bagaimana
pendapat ibu tentang anak jalanan? Ibu Ros menjawab, “ya kadang kasian ya dek, nama nya anak – anak umur segitu di jalanan panas-panasan ngamen kemanalah
itu orang tuanya. Tapi kalau yang udah besar-besar itu yang kaya anak punk saya takut ngerih gak berani. Apalagi yang telinganya bolong di tindik pakai anting-
anting banyak-banyak bertato seram saya lihatnya.” Memang stigma masyarakat bahwa anak jalanan itu semua manusia yang
hidupnya dijalanan padahal menurut defenisi anak jalanan adalah anak-anak yang di bawah 18 tahun, dan menghabiskan aktivitas di jalanan. Masyarakat tidak tahu
bahwa yang sudah dewasa itu bukan lah lagi dikatakan anak jalanan apalagi yang bergaya pun karena itu sudah berbeda anak punk itu sudah beda lagi
komunitasnya. Walauapun memiliki kemiripan mereka mencari makan dijalanan. Dan biasanya anak jalanan dan anak punk saling mengenal satu sama lain
dikarenakan habitat mereka sama yaitu di jalanan. Melanjutkan pertanyaan yang terakhir kepada Ibu Ros, apakah ibu
bersedia menerima anak jalanan bila ingin bekerja di rumah makan milik ibu ini?
122 Bu Ros pun menjawab, “ kalau untuk itu saya belum beranilah dek, apalagi
inikan rumah makan semua harus dijaga dari mulai cara pelayannnya, kebersihan makannya, kalau untuk bagian cuci piring pun saya takut mereka gak
telaten kalau dibagian kasir juga gak mungkin. Apalagi yang kerja disini semua family. Tapi yakin Ibu orang itu pun gak mau kerja kaya gini paling gajinya
berapa lah dek, orang inikan lebih milih ngamen bisa dapat duitnya langsung tanpa harus capek kerja.”
ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan informan tambahan yang keempat ya itu Ibu Rosdiana sebagai pemilik rumah makan, bahwa anak jalanan
masih belum dapat diterima. Hal ini dapat dilihat dari penuturan Bu Rosdiana bahwa Bu Rosdiana belum berani untuk mempekerjakan anak jalanan di usaha rumah makannya.
Ini terbukti belum adanya rasa percaya antara masyarakat dengan anak jalanan. Rasa peduli yang diberikan oleh masyarakat hanya rasa iba dan kasihan saja.
Tetapi masyarakat tidak ada yang mau atau berani berbuat secara langsung dan nyata untuk membantu kehidupan anak jalanan. Sebenarnya memberikan sumbangan atau
uang kepada anak jalanan saat mereka mengamen, mengemis dan lainnya bukan lah solusi yang baik dikarenakan itu hanya membuat anak – anak jalanan ketergantungan.
Hal itu membuat mereka sangat mudah untuk mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras. Sehingga mereka berpikir hanya dengan melakukan hal mudah tetapi dapat
menghasilkan uang dengan mudah pula. Dan ini membuat anak jalanan menjadi malas. Jadi ini salah satu faktor membuat mereka juga tidak mau meninggalkan jalanan sebagai
sumber mata uang mereka.
123
BAB VI PENUTUP