Informan Utama Hasil Temuan

89 semua tergantung kita kak, gak akan orang keras kalau kita gak salah dan melawan ibarat lembu kan. Main tangkap memang main tangkap tapi sampai disana diarahkan. Tapi aku ditahan paling lama satu hari satu malam aja habis itu dibebaskan, cuma dikasih pembinaan gak disuruh ngapa–ngapain. “ Pada saat Rizky menungkapkan pengalamannya diatas, kemudian peneliti menanyakan apakah Rizky memakai narkoba atau pernah melakukan tindakan kriminal yang melanggar hukum? Rizky menjawab, “kalau aku narkoba ganja sabu gak pake kak ngelem pun aku engga cuma aku rokok ajalah tapi abang– abangan aku banyak, sering aku ditawari cuma masih gak mau aku kak. Sayang duitnya untuk kaya gitu. Mungkin inilah salah satu faktor aku gak make karena gak ada duit barangnya mahal pula itu. Kalau untuk tindakan kriminal gak pernah juga kak. “ Peneliti menanyakan lagi apakah saat ini Rizky memiliki kartu identitas seperti KTP, Kartu pelajar atau akte kelahiran? Rizky menuturkan, “ kalau akte aku ada kak tapi sama mamakku makanya aku dulu bisa sekolah, tapi kalau KTP sama kartu pelajar gak punya karena aku kan berhenti dari sekolah gitu aja. Semenjak pisah sama orang tua umurku belum 17 tahun jadi belum di urus. Jadi kalau sekarang gak punya apa–apa.” Ketiadaan tanda pengenal atau identitas diri ini yang membuat Rizky sulit merasakan pelayanan gratis seperti puskesmas dan akses untuk melamar pekerjaan. Hal ini ditanyakan kepada Rizky oleh peneliti mengenai apakah Rizky pernah melamar pekerjaan dan bagaimana hasilnya? Rizky menuturkan, “aku gak pernah melamar kerja kak paling dulu sebelum tinggal dijalanan waktu pas masih 90 perjalanan kemedan aku pernahlah jadi–jadi kuli bangunan itupun cuma beberapa hari udah dapat uang untuk ongkos aku pergi pidah lagi.” Rizky tidak pernah merasakan pelayanan publik secara gratis bahkan ia tidak tahu sama sekali apa saja pelayanan itu, misalnya pengobatan di puskemas gratis. Saat peneliti menanyakan disaat Rizky sakit bagaimana cara Rizky mengobatinya? Rizky mengatakan, “ Alhamdulillahnya aku gak pernah sakit kak. Paling adalah satu dua orang kalau sakit yang penting istirahat satu harilah paling gak kerja sama minum obat udah sembuh tapi memang kami jarang sakit kak. Kalau pun parah kali terus dia masih ada keluarganya disini ada identitasnya kami bawa kekeluarganya lah kak. Tapi kalau soal pelayan dari pemerintah aku taunya dari KKSP kalau kami sakit orang itu bisa bawa kami ke puskesmas itulah gunanya KKSP bagi kami kak.” Rizky dan kawan–kawannya merasa tidak ada yang perduli dengan mereka terutama pemerintah. Mereka mendapatkan rasa peduli itu hanya melalui teman–teman sekomuitasnya. Tetapi walaupun begitu Rizky dan kawan–kawan tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk yang berlebihan dari aparat negara dan masyarakat hanya saja berupa perkataann yang kasar dan makian dari masyarakat kerap kali mereka terima. Dan Rizky juga tidak pernah merasakan bantuan dari pemerintah,“ Kalau dapat bantuan dari pemerintah kami gak pernah kak, tapi kalau dari masyarakat yang mempunyai jiwa demarwan pernah kak. Kami dipanggil dibagi–bagiin nasi sama uang.” Ada kalanya Rizky merasa termarginalkan menjadi bagian yang terekslusi dari masyarakat. Hal ini Rizky utarakan saat peneliti menanyakan apakah Rizky merasakan termarginalkan, terasing dan terekslusi dan apa harapannya Rizky untuk pemerintah dan 91 masyarakat. “Terkadang ada kak merasa kami ini berbeda tapi itulah gunanya kawan seperjuangan kami, ada abang–abangan yang bisa dibilang senior lah kak yang mengingatkan kami bahwa kami harus dipandang sebagai manusia. Dengan cara kasih sayang mereka yang mendidik saya dan melindungi saya karena saya pula paling kecil disini. Harapannya yaitu tadi kak anggaplah kami ini manusia. Gini kak ibarat HP, HP itukan ada casingnya kan kak jadi masyarakat itu nilai kami kaya HP kadang casingnya jelek rusak tapi isinya masih bagus, jadi susah kak. Karena orang itu berpikir kami ini benalu beban jangan dibilang kita sampah terkecuali kami main di jalanan ini mencuri membuat onar. Kami turun kejalanan ini menjual opini kami sendiri, kami menghasikan uang dari keringat kami sendiri kami tidak selalu mengangkat tangan kak.” Nama : Bayu Davino Simanjuntak Usia : 15 tahun Alamat : Tinggal dijalanan beberapa simpang di kota Medan Simpanng Juanda dan Simpang Pantura Suku : Batak Toba Asal : Aekanopan Pendidikan : SMK Tamat Pekerjaan : Anak Jalanan Pengangguran Agama : Islam Setelah selesai mewawancari Rizky peneliti beralih ke informan lainnya. Kali ini informan yang ini di wawancarai Bayu namanya. Saat itu Bayu yang baru selesai mengamen langsung peneliti hampiri meminta izin apakah Bayu mau untuk diwawancarai seputar kehidupannya di jalanan. Dan Bayu bersedia 92 kamipun langsung memulai pembicaraannya. Mula–mula peneliti menanyakan pertanyaan hal yang sama kepada Bayu tentang alsaan atau faktor Bayu bisa turun ke jalanan. Bayu menuturkan “Gak ada kak faktor awalnya pengen bebas aja karena keluarga jugalah kak. Aku orang aekanopan kak Cuma keluarga udah lama pindah ke Medan itulah orang tua sibuk kerja, jadi aku pengen bebas. Aku disini sama adek sama ibu ngontrak di Mandala tapi bapak kerja diluar kota.” Bayu yang aslinya orang aekanopan sudah lama pindah ke Medan bersama keluarganya disaat peneliti menanyakan pendidikan terakhir Bayu terakhir tinggal di aekanopan saat mengenyam dibangku Sekolah Dasar tetapi saat SMP Bayu sudah bersekolah di Medan dan pendidikan terakhirnya adalah SMK. Tetapi Bayu tidak berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan. “aku sekolah udah tamat kak, SMK. Aku gak pengen kuliah tapi pengen les private, les musik.” Peneliti kemudian menanyakan pertanyaan berikutnya mengenai apakah waktu Bayu lebih sering di jalanan atau sering pulang kerumah dan apa saja kegiatan Bayu di jalanan. Bayu menuturkan, “Lebih enak disinilah kak dijalanan sama kawan–kawan. Memang aku udah setiap hari di sini sebelum kedua orang tua aku yang jemput langsung aku gak mau pulang. Kegiatan aku ngamen– ngamen aja yang lain gak ada.” Penghasilan yang didapatkan dari hasil mengamen cukup lumayan, kali ini penghasilan Bayu lebih besar dibandingkan Rizky. Penghasilan yang pernah Bayu dapatkan dalam sehari pernah mecapai 500 ribu. Dan itu pun Bayu hanya mengamen dari jam 5 sore sampai jam 10 malam. “aku jarang kak ngamen di jalanan aku lebih suka ngamen di cafe–cafe lebih banyak dia. Mulai dari jam 5 sore sampai jam 10 malam lah. Nanti rame–rame 93 sama orang ini kawan–kawanku. Kadang pernah penghasilan yang aku dapat terbanyak selama ngamen sampe 500 ribu tapi itukan kami bagi rata sama kawanku karena kalau kami ngamen di cafe ber group dia 2–3 orang tapi kalau sendiri biasa standart cepek, dua ratus gitu–gitulah kak.” Bayu yang kerap kali mendapatkan perlakukan buruk dari masyarakat ketika sedang mengamen, hal itu baginya sudah seperti makanan sehari–hari yang sudah ia maklumi. Salah satu perlakukannya seperti dihina, diludahi, diusir dan lainnya. Ketika peneliti menanyakan bagaimana respon keluarga tentang dirinya yang sudah menjadi anak jalanan Bayu pun menuturkan, “orang tua udah tau kak aku tinggal dijalanan. Cuma orang itu gak mau datang jemput aku. Nanti orang lain disuruhnya tengokkan aku dibujuk–bujuk aku suruh pulang aku mana mau. Aku mau orang itu dua–dua yang datang samaku ngajak aku pulang. Sebelum orang itu ngajak aku pulang gak mau aku pulang. Cuma cemana bapak aku kerja di luar kota kapan dia pulang pun aku gak tau. Orang itu lebih milih pekerjaannya” Bayu yang sebelum turun ke jalanan dia pernah beberapa kali tinggal mencoba melamar pekerjaan dibeberapa tempat. Salah satunya jadi sales, buruh kasar atau kuli. Hal dikarenakan pendidikan terakhirnya adalah SMK sampai tamat. Tetapi karena kejenuhan dan kebosannya dalam dunia pekerjaan seperti itu ditambah lagi dengan suasana keluarga yang kurang harmonis akhirnya Bayu memutuskan keluar dari rumah dan hidup bebas di jalanan. Bayu mengatakan,”kalau kerja udah capeklah kak semua pernah ku kerjakan, pernah kerja dipengeboran Pertamina yang di Binjai terus di perternakan Pekan Baru. Tapi aku bukan kerja di kantornya tpi di lapangan jadi kuli angkut. Akhirnya 94 memutuskan berhenti berat kali kerjanya capek, gajinya gak sebessar hasil keringat awak.” Pada saat ditanyakan soal identitas diri seperti KTP atau kartu pelajar Bayu mengtakan tidak punya dikarenakan saat dia memutuskan untuk pergi dari rumah dia tidak membawa apapun. Sehingga peneliti menanyakan apakah kamu pernah merasakan bantuan dari pemerintah atau pelayanan publik? bagaimana ketika Bayu sedang sakit? Apakah pernah dibawa ke puskesmas gratis? Bayu menambahkan, “Alhamdulillah nya aku belum pernah sakit parah kak. Sakit pun aku jarang. Kalau untuk bantuan gak pernah juga. Aku tau sih kak kalau kami yang dampingan KKSP sakit bisa dibawa ke puskesmas gratis tapi harus ada identitas sedangkan aku gak punya. Tapi bisa di bantu sama orang KKSP juga katanya.” Kembali lagi mengenai kehidupan Bayu di jalanan, Bayu mengatakan aku jarang kena razia kak kaerana aku gak terlalu liar dan bandal aku ke jalanan paling Cuma ngamen. Aku pun narkoba enggak. Ngelem-ngelem juga enggak. terus kalau malam kan ngamen ngamen di kafe-kafe jarang ada razia. Karena aku dijalan cuma mau bebas aja cari duit nikmati hidup ngumpul-ngumpul sama kawan. Tapi kalau untuk narkoba aku gak mau karena ada keluarga aku jugakan disini aku masih jaga itu.” Peneliti kemudian menanyakan apakah Bayu merasa berbeda dan termarginalkan dengan anak lainnya? Bayu mengatakan, “gak sih kak biasa aja cuma paling kasih sayang lah yang gak kurasakan.” Setelah memaparkan semua cerita pengalaman hidup Bayu di jalanan peneliti menyakan apa harapan Bayu kepada masyarakat dan pemerintah? Bayu 95 menuturkan,”harapannya kami mendapat perhatianlah dari pemerintah kasih kami bantuan–bantuan sama untuk masyarakat jangan kucilkan kami jadi pandang kami negatif jangan takut sama kami, kami hanya cari makan untuk bertahan hidup aja. Toh kami tidak mengganggu mereka kami hanya mengamen untuk dapat duit.” Nama : Pide Manto Duru Usia : 17 tahun Alamat : Jalan. Sari Teratai A Dusun 6 Marendal 1 Suku : Nias Asal : Sipautar Pendidikan : 5 SD Putus Sekolah Pekerjaan : Pengamen Agama : Kristen Pide adalah nama pangilannya. Pada saat mewawancarai Pide, peneliti bertemu dengannya di Yayasan KKSP Medan yang saat itu peneliti sedang mewawancari Pak Syamsul selaku manager operasional yayasan KKSP Medan. Saat mewawancarai Pak Syamsul peneliti bertanya, “Pak siapa anak laki-laki itu?” saat itu Pide yang duduk di halaman bekalang yayasan sambil sedang meminum obat. Lalu Pak Syamsul menjawab, “ dia Pide anak dampingan KKSP yang tinggal disini, dia lagi sakit.” dan peneliti meminta izin untuk mewawancarinya. Pak Syamsul memberikan izin dan dia memperkenalkan peneliti dengan Pije. Pak Syamsul menjelaskan apa tujuan peneliti datang kesini. Dan Pide dengan senang hati bersedia untuk di wawancari. Karena dari belakang Pide sudah melihat dan mendengar wawancara peneliti dengan Pak 96 Syamsul.kemudia Pak Syamsul mempersilahkan kami untuk melakukan wawancara dengan meningglkan peneliti dan Pide agar Pide sebagai informan bebas dan terbuka dalam menceritakan kisah hidupnya. Wawancara pun dimulai, ketika peneliti menanyakan apa faktor penyebab Pide menjadi anak jalanan dan apakah Pide masih mempunyai keluarga, Pide mengatakan alasannya adalah keluarga. Dulu bapak dan ibu Pide adalah pedagang penjual bumbu masakan didapur. Pide adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dari dagangan itu keluarga Pide cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka walaupun pas-pasan. Tapi pada akhirnya ibu dan bapak Pide berpisah. Kemudian bapak Pide menikah untuk kedua kalinya namun pada akhirnya juga bercerai. Dan sampailah kepernikahan ketiga ini. Di tambah lagi adik Pide yang paling kecil hilang. Pide menjelaskan, “Pertama turun di jalan di tingal orang tua pas umur 7 tahun bapak mamak ku cere jadi kami di buangnya di jalanan terlantar. Aku hidup dijalanan udah dari tahun 2004. Jadi aku dijalanan sama adek aku dua orang yang nomor dua sama nomor tiga, adekku cewek yang paling kecil yang nomor ampat hilang tahun 2014 umur 11 tahun. Hilangnya di bawa kawan anak pengemis juga jadi di bawa lari main – main ntah kemana ya gak nampaklah.” Pide yang sudah tidak bersekolah lagi sejak kelas 5 SD sudah putus sekolah karena ditinggal oleh orang tuanya, Pide menceritakan kepada peneliti saat peneliti menanyakan apakah Pide masih sekolah? Pije menjawab, “aku udah gak sekolah lagi putus sekolah kelas 5 SD bapak mamak cere hancurlah keluarga kami pun di biarkan di lantarkan ke jalanan. Kalau niat untuk sekolah lagi 97 kemaren udah ikut program KKSP yang ngejar paket Cuma gurunya gak enak masa gurunya yang nanya mau belajar apa sama mau di kasih tugas apa” Setelah itu Peneliti bertanya apakah Pide sering pulang kerumah? Pide menjawab, “aku gak pernah lagi pulang kerumah. Udah lama aku gak pernah pijak rumah itu. Karena cemana lah bapak aku udah sama istri nya yang sekarang. Dia tiga kali nikah, sama mamak ku cere, mamakku orang mandailing boru nasution trus nikah lagi sama istri yang kedua, istri yang kedua ini baik orangnya masih mau peduli sama kami Nias Cuma itulah korupsi dia, korupsi uang belanja semua uang buku sama uang sekolah. Rupanya selama ini uangnya di simpannya sama tetangga ketauanlah di cerekan. Kawin lagi lagi bapak ku adalah cewek di ambilnya tamatan SMA lah gitu macem setan mukanya ini juga orang Nias. Pernah awak datang kerumah gak pernah dibukain pintu gak dikasih makan terpaksa awak turun ke jalanan.” Pide sering bertemu dengan ayahnya di jalanan tetapi mereka seperti tidak saling mengenal, Pide menuturkan ketika peneliti bertanya bagaimana respon orang tua mengetahui kamu jadi anak jalanan?, “Dia tau aku di jalanan sering kok kami jumpa di Simpang Pos, bapak narik becak. Cuma ya itu kalau jumpa siapa dia siapa awak. Ya sangat sakitlah awak gak di anggapnya anak. Kadang gak di lihatnya awak udah berubah, terakhir kembali lagi kejalan yang sesat.” Pide menceritakan kegitannya di jalanan hanyalah mengamen saja. Pide memulai mengamen biasanya mulai dari jam 7 malam. Dia jarang mengamen di siang hari. Karena dia pernah mendapatkan pengalaman pada waktu mengamen di siang hari, dia di tangkap oleh satpol PP. “kegiatan aku mengamenlah. Aku ngamen main malam kalau ngamen siang wajib tangkap satpol PP Pamong Praja 98 dari situ aku gak mau lagi. Aku ngamen di simpang Pemda simpah Pos. Kalau malam ngamen dari jam 7 malam sampai jam 3 pagi, main di kape – kape mie aceh. Penghasilanku 15-30 ribu perhari. Aku kalau pagi ya tidurlah di emperan.” Ketika Peneliti menanyakan kepda Pije pernah atau tidak mendapatkan perlakukan buruk dari masyarakat atau pemerintah, Pije mejelaskan. “ Pernah aku ngamen di tangkap satpol PP pamong praja di pukuli aku. Awalnya aku ngamen dilampu merah simpang ringroad pasar 5. Jadi di tangkap sama satpol PP. Di tangkap di bawa ke kantor baru dipukuli jam jam 12 malam sama proposnya. Dipukuli balok, disetrum. Bukan karena melawan, gak peduli mau anak – anak segini – gini umur 12 tahun di cekek mau mamak – mamak, , bapak – bapak sama nenek – nenek aja di tampari, uang kami di ambili. Mereka tidak peduli manusia atau apa dijadika kaya binatanglah main hakim sendiri. Ini kantor satpol PP daerah kampung keleng. Beda – beda juga satpol Ppnya kadang ada yang baik kadang ada yang engga. Kalau yang baik di tanggap di kasih pengarahan kalau ada orang tua nya di pulangkan sama orang tuanya. Aku udah capek kali lah kena setrom itu. Taulah setrom tekap itu kaya manakan, disetrom bediri bendera biar pingsan di suruh berdiri lagi setrom lagi. Di setrom dia macem listrik gitu alatnya petak ada petiknya gitu macem lampu. Ditempel lah di badan kita. Itu kalau di razia sekitar 3-7 orang. Kalau sama masyarakat paling lagi ngamen di usir di ludahi kadang kalau ada preman mabok nanti di pukuli.” Peneliti kemudian menanyakan apakah Pide pernah melakukan tindakan kriminalitas, Pide mengatakan tidak pernah tapi Pide menggunakan narkoba. Pide mengatakan membeli narkoba uang dari hasil ngamen. Pije menceritkan bagaimana dia bisa sampai memakai narkoba, membelinya dimana dan bagaimana 99 berhentinya “kalau kriminalitas aku gak pernah tapi narkoba, obat – obatan, ngelem iya. Kalau obat – obatan beli di apotik, kalau lem kambing di panglong kalau narkoba sama bandar sabu aku yang datangin daerah mana – mana pun ada, tapi dia mau jual sama orang yang udah kenal aja. Aku kalau pake narkoba diem – diem lah cari tempat aman kalau lem kambeng di lampu merah didepan umum aja depan masyarakat rasanya kita berilusi fly aja tenang pikiran. Kenal kaya gitu karena stress lihat hidup aku orang tua gak peduli. Aku sadar waktu sakit gak ada yang nolongin dari situ gak mau lagi aku nyabu, tapi ngelem masih tapi udah jarang 4 hari ini gak ngelem aku karena tinggal di KKSP inikan.” Peneliti kemudian menanyakan apakah Pide pernah bekerja atau melamar pekerjaan? Pide mengatakan tidak pernah karena tidak memiliki identitas diri atau pun ijazah, “Aku kerja pernah angkat – angkat barang di gudang bantu – bantu juga di pajak, Cuma cemanalah bosnya orang karo suka- suka dia aja menggaji awak kadang udah ngasih nya lama sedikit pulakan, akhirnya melarikan diri besok besok gak kerja lagi gak datang ku tinggalkan ajalah. Tapi kalau untuk melamar pekerjaan gimana kita ijazah gak ada sekolah Cuma tamatan SD siapa yang mau menerimakan? Orang aku keluar gitu aja dari sekolah.” Setelah menceritakan Pide tidak pernah melamar pekerjaan karena tidak pernah melamar pekerjaan karena tidak mempunya ijazah kemudian peneliti menanyakan apakah Pide memiliki identitas diri? Dan apakah Pide pernah mendapatkan atau merasakan pelayan publik yang di berikan pemerintah secara gratis? Misalnya dalam bidang kesehatan. Dan bagaimanakah nasib Pide ketika dia sedang sakit? Pide menuturkan, “Identitas diri aku gak punya kaya KTP kan? Gak ada aku orang dari kecil udah dibuang kami terlantarlah sampai sekarang. 100 Kalau aku sakit ya tanggung sendiri lah paling beli obat di apotik inikan aku lagi sakit batuk pilek tadi beli obat di warung. Kalau untuk sakit keras paling karena obat – obatan, kebanyakan ngelem sama nyabu itu sakitnya demam tinggi karena pernah ngalami itulah baru sadar akukan, terus pun duit kadang ada kadang engga jadi udah lama gak pake. Kalau sakit dibawa kerumah sakit gitu aku belum pernah.” Mengetahui tentang kehidupan Pide yang sangat berat ketika Pide mengungkapkannya dengan penuh rasa sedih kepeneliti, kemudia peneliti bertanya apakah Pide merasa berbeda dengan anak yang lainnya sebaya Pide? Dan bagaimana perasaannya? Pide pun menceritakan nya sambil menangis, “berbeda, jelas berbedalah. Bisa dilihatkan aku masih kecil udah di lantarkan sama adek – adek aku. Keluarga hancur. Orang tua gak peduli bahkan gak menganggap kami anak. Dari kecil aja gak ada ku daptkan kasih sayang. Jangan kan memikirkan masa depan besok aja aku gak tau nasib ku cemana. Cuma aku di bantulah sama KKSP yang peduli sama aku sama anak – anak jalanan lainnya. Awal jumpa kami di kumpulkan di kasih pengarahan di beritahu mereka ada program tentang anak jalanan. Karena sereing dibantu kami pun percaya ada rasa aman dulukan KKSP punya rumah singgah kami tinggallah disitu Cuma sekarang udah gak ada lagi adanya rumah belajar. Orang –orang KKSP pun baik pelan – pelan lah aku berpikir mau berubah sampai lah skerang orang ini juga percaya samaku, aku di kasih tinggal di kantor sini. Akupun kadang sadar diri bantu – bantu nyuci piring kalau gak ada orang jaga kantor.” Peneliti bertanya kepada Pide selain bantuan dari KKSP apakah Pide pernah mendapatkan bantuan lainnya dari pemerintah atau masyarakat? Pide 101 menambahkan, “ kalau dari pemerintah aku gak pernah kalau dari masyarakat paling dari anak – anak kuliahan kami di kumpul di tanya – tanyain keapa bisa jadi anak jalanan nanti di kasih nasi bungkus, pas ngasih nasi nya kami di poto yauda gitu – gitu aja. Kalau dari pemerintah sama sekali enggak.” Sampai akhirnya sampai kepertanyaan terakhir peneliti bertanya bagaimana harapan Pide kepada masyarakat atau pemerintah tentang keberadaan anak jalanan? Pije mengungkapkan, “ harapannya agar pemerintah lebih peduli dengan kami memberikan bantuan – bantuan sama juga kaya masyarakat, terus untuk pemerintah kalau di razia kami kena tangkap jangan di pukuli jangan main hakim sendiri kasih kami pengarahan atau kegiatan untuk kami itu aja.” ANALISIS DATA Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan informan utama yaitu Rizky, Bayu dan Pije, telah di ketahui bahwa mereka kurang diterima di masyarakat. Mereka merasa keberadaan mereka memang tidak diharapkan, bahkan seperti yang di katakan Rizky mereka hanya seperti menjadi benalu yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Mereka di pandang sebelah mata selalu di pandang negatif, buruk, kotor, bebas, jahat, mengerihkan. Hal ini membuktikan bahwa anak jalanan selalu mendapatkan stigma buruk. Bahkan Bayu mengatakan kalau kami sebagai anak jalanan hanya ingin mencari uang untuk makan kami tidak melakukan tindakan kriminalitas. Mulai dari hubungan antara anak jalanan dengan masyarakat maupun pemerintah keberadaan mereka memang sudah di tolak atau tidak di inginkan, sedikit sekali sebagian dari mereka mau menerima anak jalanan. Ini dilihat dari 102 rasa peduli masyarakat dan pemerintah dalam memberikan bantuan dan sikap penolakan masyarakat terhadapat anak jalanan. Contohnya ketika anak jalanan mengamen di angkutan umum saat sedang lampu merah masyarakat langsung menunjukan rasa takut, rasa curiga, rasa tidak aman dan lainnya. Hal ini juga dapat dilihat dari proses pembaruan atau penyatuan di dalam rumah belajar KKSP dimana antara anak jalanan dan anak masyarakat sekitar lingkungan di kumpulkan bersama untuk melakukan suatu kegiatan belajar in formal, seperti kegiatan membaca, menghitung, menulis, latihan musik, keterampilan dan lainnya. Sikap ini di tunjukan dari orang tua anak yang tidak sedikit melarang untuk anaknya bergabung dalam proses kegiatan itu. kemungkinan orang tua anak takut, anak mereka menjadi rusak dalam pergaulan ketika harus belajar bersama atau melakukan kegiatan bersama. Orang tua dari anak tidak mau anak-anak mereka akhirnya terpengaruh hal buruk atau salah pergaulan. Padahal dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan anak jalanan tidak semua anak jalanan itu selalu buruk. Bahkan ketika peneliti bertanya kepada anak jalananmereka tidak menginginkan kehidupan seperti ini salah satunya anak jalanan yang menjadi informan utama yaitu Rizky dan Pije. Dan mereka juga mengatakan bahwa mereka sangat kurang kasih sayang dari orang tua mereka. Kehidupan yang Rizky, Bayu dan Pije alami sangat keras, sangat berat mereka lalui sampai pada akhirnya Pije salah jalan, tidak ada yang memperdulikannya sampai pada akhirnya dia memakai narkoba. Seharusnya yang pada seusia mereka menjadi seorang anak mendapatkan hak – hak mereka, hak identitas, hak tumbuh berkembang, hak kasih sayang, hak hidup, hak bermain, hak bersekolah dan 103 lainnya sulit sekali mereka dapatkan. Mulai dari kasih identitas, tidak sedikit dari mereka yang tidak memiliki akte kelahiran dikarenakan kurangnya pengetahuan dan biaya orang tua mereka untuk mengurus akter tersebut, di tambah lagi anak jalanan tidak mengetahui siapa kedua orang tua kandung mereka. Hak kasih sayang, tumbuh berkembang, hak bermaim itu juga sulit anak jalanan rasakan dikarenakan sejak dari kecil mereka sudah hidup dijalanan, tempat bermin mereka adalah jalanan yang penuh dengan bahaya, ancaman kekerasan, pelecehan seksual, pergaulan bebas dan lainnya sangat rentan mereka dapatkan dan terakhir hak sekolah, sebagian dari anak jalanan tidak bisa meneruskan pendidikan mereka sampai tamat salah satu nya Rizky dan Pije. Faktor-faktor ini yang membuat mereka turun ke jalanan, kehidupan yang sangat berat dihadapi oleh anak-anak. Itu salah faktor anak turun ke jalanan dan juga salah bentuk penolakan dari masyrakat. Belum lagi kita melihat penolakan dari pemerintah contoh kasus nyata nya adalah anak jalanan di perlakukan tidak manusia oleh satpol PP ketika tejaring razia, seperti yang di alami oleh Pije. disini jelas tidak ada nya perhatian dari pemerintah. Pemerintah taunya hanya saja merazia menangkap di bawa kekantor. Kalau ada satpol PP yang baik mereka diberikan pengarahan ditahan kalau ada yang punya orang tua di kembalikan ke orang tunya kalau tidak ada dilepaskan yang pada akhirnya ujung – ujung nya anak jalanan turun ke jalanan juga hal ini yang di alami oleh Rizky. Tetapi ketika anak jalana itu mendapatkan satpol PP yang kejam mereka disetrum, dipukuli pakai balok, disetrap didepan tiang bendera, dicekik, ditampari, diambil uang mereka tidak ada rasa kemanusian seperti yang di alami oleh Pije. 104 Dalam hal pelayanan publik yang di berikan pemerintah untuk masyarakat termarginalkan tidak semua masyarakat menengah kebawah dapat merasakan pelayanan tersebut, salah satunya anak jalanan. Pelayanan pemerinth ini basisnya selalu menggunakan identitas seperti kartu keluarga, akte kelahiran, KTP dan lainnya. Sedangkan hal itu jarsng sekali hal semua ini menyunjukaan bahwa keberadaan anak jalanan masih belum diterima di tengah-tengah masyarakat. Padahal anak jalanan juga merupakan bagian dari masyarakat. Yang memiliki hak yang sama terutama pada negara. Karena sesuai Pasal 34 Ayat 1 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara” tetapi kenyataannya tidak begitu.

5.2.3 Informan Tambahan

Nama : Armasnyah Usia : 35 Tahun Alamat : Jalan. Senam No 6 Kelurahan Pasar merah barat Suku : Melayu Asal : Medan Pendidikan : S. sos Pekerjaan : Staff KKSP sebagai koordinator lapangan Agama : Islam Bang Biar itulah nama panggilaan atau sapaan Bang Armasyarh. Bang biar ini adalah staff KKSP menjabat sebagai Koordinator lapangan di Rumah Belajar KKSP Medan yang terletak di Jalan Bridgen Katamso Gg. Perwira No. 89 Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun. 105 Pada saat peneliti ingin melakukan wawancara dengan Bang Biar, kala itu Bang Biar yang lagi sibuk memberikan pelatihan kepada anak-anak jalanan. Sambil menunggu Bang Biar memberikan pelatihan, peneliti pun ikut mendampingi anak-anak tersebut. Peneliti sudah tidak canggung dengan anak- anak di rumah belajar ini, karena peneliti melakukan kegiatan PKL dirumah belajar ini. Setelah peneliti dan Bang biar selesai memberikan pelatihan, bimbingan dan pengrahan kepada anak jalanan dan anak masyarakat sekitar. Tibalah waktunya peneliti mewawancarai Bang Biar. Peneliti dan Bang biar pun duduk berbincang di tengah-tengah ramainya anak-anak bermain di sela-sela istirahat. Kemudian peneliti menayakan pertanyaaan pertama yaitu berapa jumlah anak yang bergabung di rumah belajar KKSP Medan ini? Bang Biar menjawab, “Jumlah anak yang bergabung disini sesuai data itu sekitar ada 50-an anak. Umurnya relatif yang jelas dia atas 7 tahun dan di bawah 18 tahun tapi ada beberapa juga umur 5 tahun. Di rumah belajar ini terdiri dari 3 daerah anak jalanan yaitu Simpang Pos, Simpang Juanda dan Ssimpang Tritura.” Peneliti kemudian menanyakan bagaimana awalnya mensosialisasikan rumah belajar ini kepada anak jalanan dan membuat anak jalanan mau bergabung dalam rumah belajar ini? Bang Biar menjelaskan, “Awal pengenalannya kita mendatangi orang itu ke jalanan. Berbincang-bincang di simpang-simpang lampu merah atau pun warung-warung kopi disitulah kami saling sharing mendengarkan keluhan mereka sampai pada akhirnya kami mengatakan bahwa kami dari KKSP mempunyai rumah belajar di Jalan Brigjen Katamso Gg. Perwira No. 89 paling ujung untuk adik-adik sekalian agar mau belajar bersama, 106 bermain bersama, melakukan hal hal baik dan positif bersama, mendapatkan pendidikan dan pelatihan dan itu secara gratis tanpa harus membayar. Awalnya ada beberapa dari anak jalanan yang langsung tertarik dan mereka langsung mau datang kerumah belajar dan ada juga beberapa dari mereka yang tidak perduli bahkan mereka ingin langsung mengamen bekerja kembali untuk mendapatkan duit. Karena dari beberapa kali pengenalan saya dan teman – teman melakukan pendekatan sering bertatap muka dan bediskusi dengan anak jalanan akhirnya kami menjadi akrab timbulah rasa percaya mereka. Dan akhirnya mereka mau datang kerumah belajar ini. Kadang dari anak – anak jalanan itu juga datang setiap harinya membawa teman-temannya yang lain. Makanya selalu rame rumah belajar ini. Dan juga kami mensosialisakan rumah belajar ini bukan hanya kepada anak-anaknya saja tetapi kepada orang tua anak di sekitar rumah belajar agar mau untuk anaknya belajar bersama di rumah belajar ini” Setelah mengetahui proses pengenalan yang dilakukan pihak KKSP yang diwakilkan oleh Bang Biar selaku koordinator lapangan rumah Belajar di Jalan Bridjen Katamso, Peneliti menanyakan kembali bagaimana cara pendampingan anak-anak jalanan dan anak masyarakat sekitar dalam rumah belajar ini dan siapa saja atau adakah pihak yang membantu dalam proses pendampingan ini? Bang Biar menambahkan, “pendampingannya itu kita membuat kegiatan – kegiatan atau memberikan pendidikan informal dan kemampuan keterampilan. Dalam proses pendampingan nya dilakukan oleh saya langsung dan di bantu oleh teman-teman lainnya dari mahasiswa, volunteer, komunitas atau siapapun 107 yang mau bergabung dengan suka rela memberikan pelatihan kepada anak – anak ini.” Peneliti kemudian bertanya Dalam bagaimana menumbuhkan rasa percaya dan rasa nyaman dari anak jalnan pada pihak KKSP Medan dalam proses pengenalan dan pendekatan sampai akhirnya mereka percaya dan mau menjadi anakd dampingan KKSP Medan? Karena mohon maaf di Kota Medan ini tidak sedikit lembaga, yayasan atau LSM lainnya hanya memanfaatkan anak jalanan saja sehingga anak jalanan merasa diri mereka di peralat, apalagi rasa percaya anak jalanan ini dengan masyarakat juga sedikit. Bang Biar menjelaskan, “Cara nya ya kita memperkenalkan diri dulu dengan mereka kita ini siapa dari mana apa tujuannya dengan mereka, terus seling melakukan pendektan membuat kita akrab dengan mereka, jangan hanya sekali dua kali saja bertemu habis itu gak jumpa-jumpa lagi. Kita berteman dengan mereka. Membawa diri kita bergabung juga ke dunia mereka sehingga mereka merasa percaya dan nyaman. Setelah itu terjadi kita memberikan pancingan dengan rumah belajar ini, kita undang mereka kita ajak mereka ke dalam rumah belajar ini. Kita jelaskan kegiatannya yang intinya semua yang kita buat untuk kebaikan mereka, niat kita membantu mereka. Kita katakan bahwa dirumah belajar ini kalian bisa belajar gratis, mendapatkan pelatihan musik kita katakan alat musik dan gurunya sudah ada, ada perpistakannya jadi mereka hanya tinggal datang dapat menikmati fasilitas di rumah belajar ini dengan gratis. Sehingga mereka tertarik, mau dan percaya dengan kita. Di tambah lagi kita dapat mendengarkan keluh kesah mereka, oermasalahan – permasalahan yang di hadapi mereka jadi mereka juga nyaman. Ya dari situlah awalnya” 108 Proses pendampingan inkusi sosial anak jalanan dan masyarakat sekitar di rumah belajar ini pastilah mendapatkan kendala-kendala, bukan hanya dalam proses dampingan saja tetapi pasti juga dalam pross pengenalan dan proses pendekatan dengan anak jalanan, jadi apa saja kendala yang di alami itu? Bang Biar menceritakan, “kendalanya ada, kendala yang di dapat itu ada orang tua anak jalanan atau anak sekitar tidak mengizinkan, kalau dari orang tua anak jalanan, mereka lebih memilih anak nya bekerja di jalanan karena dapat menghasilkan duit daripada membuang-buang waktu untuk belajar dan kalau dari orang tua anak sekitar lingkungan paling mereka takut anaknya bergaul dengan anak jalanan dan lebih tepatnya lagi kedua orang tua dari anak – anak ini takut dimintai bayaran atau takut mereka harus membayar walaupun sudah di tegaskan rumah belajar ini gratis. Padahal dalam proses sosialiasi respon orang tua anak baik mereka bilang, oh iyalah bang, baguslah bang anak ku bisa ini itu, tapi kenyataannya tidak smua begitu. Ada orang tua yang bilang, bang anakku kerja setoran nanti lah dulu belajarnya. Kalau kendala di anak nya sendiri lebih ke anak jalanannya juga, kadang mereka malas untuk belajar mereka lebih memilih untuk mencari duit dengan mengamen.” Selama semua proses itu berlangsung pertama dalam proses pengenalan sampai akhirnya proses pendampingan. Peneliti bertanya apakah pernah mendapatkan tindakan buruk negatif atau bahkan kriminal dari anak jalanan, karena awalnya antara pihak KKSP dan anak jalananan merupakan dua orang asing yang tidak saling mengenal. Misalnya apakah itu mencuri, perbuatan atau perkataan mereka yang kasar dalam proses belajar dengan anak sekitar atau dalam proses pengenalan abang dimintai duit atau lainnya? Bang Biar menceritakan,