Kondisi Demografis Kelurahan Sei Mati

75 mendapatkan pendidikan ketrampilan seperti pertanian, perbengkelan, kerajinan dan lainnya. Program lainnya adalah Program Community Education Anti Perdagangan Anak yang dimulai sejak tahun 2004 dan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak, perempuan dan masyarakat umum tentang perdagangan manusia, bahaya dan upaya pencegahannya. Program pendidikan ini dilakukan secara berkesinambungan dan bersinergi dengan program pemerintah. Implementasi program fasilitator pendidikan pencegahan perdagangan anak dan perempuan ini bekerjasama dengan institusi sekolah, dinas pendidikan, dinas sosial dan bagian pemberdayaan perempuan pada tingkat pemerintah propinsi dan kabupaten kota. Program tersebut telah berjalan di delapan kabupaten kota yang ada di Sumatera Utara, yaitu Langkat, Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Batu Bara, Asahan dan Tanjung Balai. Sasaran utamanya adalah anak- anak marjinal, anak sekolah dan perkumpulan perempuan di daerah-daerah yang diidentifikasi sebagai daerah pengirim dan penerima perdagangan manusia. Untuk keperluan kampanye yang lebih luas mengenai isu anti perdagangan anak, KKSP bergabung di dalam Indonesia Act, Indonesia Anti Child Trafficking dan Asia Act serta Asia Anti Child Trafficking. Program Pelatihan Fasilitator Anak, melibatkan pelajar Sekolah Menengah Umum SMU di Sumatera Utara dan anak jalanan di Medan untuk dididik menjadi seorang fasilitator pelatihan Konvensi Hak Anak bagi teman-teman seumurnya. Program ini telah berjalan sejak tahun 2003 dengan menghasilkan 25 fasilitator anak usia SMU dan 4 fasilitator anak jalanan. Materi pelatihan yang 76 diberikan adalah konvensi hak anak, perkembangan persoalan anak di Indonesia dan Sumatera, pengertian dasar fasilitator, prinsip-prinisp dan metode memfasilitasi, tehnik presentasi, game sebagai metode memfasilitasi, dan bagaimana memulai pelatihan. Fasilitator anakremaja ini kemudian mengembangkan program pendidikan sebaya di antara sesama anakremaja, baik menyangkut isu hak-hak anak, kesehatan reproduksi, bahaya HIV-AIDS, perdagangan anak, perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual. Program Pendidikan dan Pendampingan Anak Jalanan yang dimulai tahun 1991 didasarkan pada fenomena anak-anak di kota Medan yang banyak turun ke jalan bukan saja karena persoalan ekonomi namun juga persoalan sosial seperti sempitnya lingkungan bermain. Program berarah pada perlindungan anak jalanan dari kekerasan dan bagaimana anak-anak terus mendapatkan pendidikan walau mereka berada di jalan. Fokus utama pendekatan pendidikan dan pendampingan anak jalanan dilakukan melalui media seni-budaya lewat Kelompok Musik Alternatif ”The Bamboes” yang mengkreasi musiknya sendiri untuk ditampilkan sebagai media kampanye sosial. Selain itu, KKSP juga menjalankan Program Eliminasi Buruh Anak Jermal yang merupakan tanggapan terhadap situasi perbudakan anak yang dieksploitasi sebagai pekerja pembuat ikan teri dan ikan asin di perairan pantai timur, Selat Malaka. Aktivitas program ini meliputi investigasi, research assesment, kampanye lokal, nasional dan international, advokasi legal dan sosial, penarikan anak dari jermal, hingga penguatan dan pemberdayaan bekas buruh anak jermal dan keluarganya. Salah satu keberhasilan program ini adalah diratifikasinya Konvensi ILO 182 ke dalam undang-undang No. 1 tahun 2000 tentang pekerjaan terburuk 77 untuk anak yang diikuti dengan Peraturan Daerah Sumatera Utara tentang pelarangan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. KKSP juga membuat modul pelatihan bagi anak dan remaja untuk mengkomunikasikan dan mengadvokasikan hak perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi, melakukan penelitian, analisis, publikasi dan distribusi informasi tentang Konvensi Hak Anak KHA dan kebijakan yang mengikutinya, implementasi KHA di Indonesia, situasi anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus dan juga model-model pendidikan dan perlindungan pada anak-anak yang telah dan sedang dilakukan oleh Yayasan KKSP. Pak syamsul juga menambahkan, “Dalam program inklusi sosial KKSP, masalah anak jalanan terdapat beberapa aspek. Aspek yang pertama adalah masalah penerimaan sosial. Permasalahan ini menyangkut kecendrungan – kecendrungan mendapat stigma dari masyarakat seperti sikap dan juga pandangan negatif kepada anak jalanan, dilabel suka mencuri, narkoba, kemudian tidak punya aturan, dan kehidupan bebas. Jadi dengan situasi seperti itu anak jalanan kecendrungan selalu di marginalkan, di pinggirkan, di singkirkan dan di jauhkan dari masyarakat. Padahal anak jalanan merupakan bagian dari masyrakat. Aspek yang kedua itu adalah pelayanan publik, kalau aspek pelayanan publik itu anak jalanan kesulitan untuk mendapatkan pelayanan warga negara yang dari pemerintah. Misalnya untuk akses pendidikan, kesehatan termaksud juga untuk identitas hukum. Contoh kasusnya hampir semua anak jalanan tidak memiliki identitas diri. Hal ini mungkin didasari beberapa faktor seperti ketidak mampuan orang tua mengurus akte kelahiran atau bahkan dari sebagian anak