Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah

45 tradisional Ismail, 2001. Dengan melihat struktur ekonomi yang ada pada setiap daerah sangat beragam, dimana ada daerah yang mempunyai struktur ekonominya pada sektor industri, dan ada pula yang struktur ekonominya pada sektor primer dan tradisional, maka sangat dimungkinkan pelaksanaan otonomi daerah bisa menimbulkan ketimpangan yang sangat tinggi dalam hal PAD, yang akhirnya menyebabkan pula ketimpangan pembangunan antar daerah.

2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah

Kinerja fiskal daerah dapat diukur dengan tiga konsep yang merupakan kerangka dasar kinerja fiskal daerah yaitu : 1 kebutuhan fiskal, 2 ketersediaan fiskal yang merupakan proksi dari potensi daerah, dan 3 kesenjangan fiskal. Ketiga konsep ini sangat terkait dengan perekonomian daerah dalam hal pembiayaan pembangunan daerah termasuk pengadaan barang-barang publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Simanjuntak, 2001. Kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Secara umum dan mendasar bahwa kebutuhan fiskal sebenarnya adalah total pengeluaran pemerintah daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Secara teori kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh penerimaan daerah namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Bila kebutuhan fiskal meningkat maka akan berdampak meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah harus memenuhi kebutuhan publik untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial rakyatnya. Cara pemikiran keuangan negara ini berbeda dengan keuangan rumah 46 tangga dan perusahaan. Pembangunan fasilitas publik merupakan salah satu indikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fasilitas kesehatan, fasilitas jalan, jembatan serta fasilitas lainnya yang menunjang aktivitas masyarakat dan pengelolaannya oleh pemerintah Stiglitz, 2000; Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989. Dalam menentukan kebutuhan fiskal daerah ada beberapa konsep yang dibuat untuk lebih mengakomodasikan berapa sebenarnya kebutuhan fiskal daerah, apakah seperti yang telah terealisasi atau yang terealisasi sebenarnya belum mengakomodasikan kebutuhan fiskal daerah yang sebenarnya. Beberapa cara yang dilakukan antara lain adalah menetapkan standar pelayananan minimum tertentu. Kebutuhan fiskal daerah tercermin dari total pengeluaran atau belanja daerah tersebut. Sehingga kebutuhan fiskal merupakan total kebutuhan belanja pemerintahan daerah untuk menjalankan seluruh fungsinya dan tugas pemerintahan daerah dengan standar pelayanan minimum tertentu Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001. Kapasitas fiskal atau disebut juga dengan potensi daerah berdasarkan Undang- Undang No 22 tahun 1999, yang disesuaikan untuk formulasi DAU memiliki variabel-variabel yang membentuk potensi daerah tersebut terdiri dari indeks industri, bagi hasil sumber daya BHSDA, pajak penghasilan orang pribadi PPh serta pajak bumi bangunan PBB dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHATB Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan Total Bagi Hasil TBHS yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak BHTX dan Bagi Hasil SDA atau Bagi Hasil Bukan Pajak BHNT. Indeks industri dihitung dengan membandingkan PDRB sektor industri dan jasa daerah tertentu dengan rata-rata PDRB industri dan jasa nasional. Indeks industri merupakan faktor penyesuaian terhadap PAD suatu daerah karena sektor yang termasuk di dalam sektor industri dan jasa adalah sektor yang 47 diperkirakan dapat mempengaruhi besar kecilnya PAD. BHSDA secara langsung menunjukkan berapa besar potensi SDA di suatu daerah. Sedang pajak penghasilan PPh orang pribadi, menunjukkan perbedaan potensi daerah atas dasar potensi SDM- nya. Suatu daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memilki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya potensi penerimaan yang berasal dari pajak penghasilan PPh orang pribadi dan PAD. Formulasi potensi daerah berdasarkan perumusan dalam DAU tahun 2002 adalah : Potensi Daerah = PAD + PBB + BPHTP + BHSDA +PPh, dimana PAD adalah angka estimasi penerimaan PAD yang dihitung dengan mengalikan PAD rata-rata dengan indeks industri daerah tersebut Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2002. Fiskal gap atau kesenjangan fiskal adalah selisih antara ketersedian fiskal daerah dengan kebutuhan fiskal daerah. Dengan kondisi tersebut maka bila suatu daerah memerlukan pembiayaan kebutuhan daerah yang lebih besar tetapi tidak mampu membiayai sendiri dengan kemampuan atau potensi daerah yang ada, maka akan menyebabkan kesenjangan fiskal yang lebih besar. Berdasarkan formulasi DAU, maka daerah yang memiliki kesenjangan fiskal yang semakin besar akan memperoleh bobot yang lebih besar, sehingga akan menerima DAU yang lebih besar. Artinya daerah yang menerima DAU yang lebih besar, menunjukkan daerah tersebut potensi sumber dayanya serta PADnya kecil. Sehingga pemerintah pusat melalui instrumen dana penyeimbang akan memenuhi kekurangan dari potensi daerah untuk pembiayaan pengeluaran daerah, dengan standar kebutuhan mininum daerah dan berdasarkan besarnya dana untuk DAU yang tersedia untuk Provinsi Brodjonegoro, 2001. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa DAU yang diharapkan daerah dapat menutupi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan fiskal daerah, tidak dapat dijadikan satu-satunya upaya menutupi kesenjangan fiskal. Perhitungan formulasi 48 DAU dari pusat, tidak akan mampu menutupi kebutuhan fiskal daerah, sehingga diperkirakan masih ada daerah yang dalam kinerja keuangan daerahnya akan terus mengalami defisit dan pembangunan daerahnya tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana akibat kesenjangan fiskal tersebut Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001. Keadaan tersebut akan menimbulkan manuver-manuver politik termasuk lobi- lobi dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat untuk meningkatkan penerimaan DAU untuk daerahnya. Bila kondisi tersebut terus terjadi maka kemandirian daerah yang merupakan tujuan dari otonomi daerah, akan semakin jauh untuk dicapai. Pembangunan daerah yang hanya mengandalkan standar mininum tentu saja tidak akan memuaskan masyarakat, sehingga akan berdampak terhadap kinerja perekonomian daerah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa bila daerah menginginkan kebutuhan masyarakat tidak standar minimum, tapi lebih besar dari itu maka daerah tidak boleh hanya berharap dari DAU tersebut. Daerah harus meningkatkan upaya fiskalnya dengan meningkatkan potensi daerah, sesuai dengan kemampuan daerahnya atau menggalakan investasi daerah Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001. Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan kinerja keuangan daerah. Bagaimana pemerintah daerah berusaha agar dapat meningkatkan ketersediaan fiskal atau mengintensifikasi dan mengekstensifikasi potensi daerah. Usaha pajak merupakan jumlah pajak yang sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan dibandingkan dengan potensi pajak tax capacity yaitu jumlah pajak seharusnya mampu dikumpulkan dari obyek pajak tax base, yang berupa pendapatan per kapita.Rasio antara usaha pajak dan potensi pajak ini disebut dengan kinerja pajak tax performance Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001. 49 Kinerja keuangan akan berpengaruh pada kinerja perekonomian suatu daerah. Daerah yang pandai dalam mengupayakan fiskalnya sehingga memiliki kinerja keuangan yang baik akan memberikan pengaruh positif pada kinerja perekonomian. Kinerja keuangan yang baik akan berpengaruh dalam alokasi barang publik sehingga pemerintah akan bisa memberikan pelayanan publik yang lebih baik, dan hal ini akan berdampak pada kinerja perekonomian daerah Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001. Anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu. Anggaran pemerintah daerah merupakan : 1 arah kebijakan pemerintah daerah dalam hal-hal penerimaan maupun pengeluaran, 2 pencapaian atau realisasi dari pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang direncanakan di awal periode anggaran, 3 kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan rencana yang sudah ditetapkan di awal, 4 kemampuan pemerintah daerah dalam memilih kebijakan yang sesuai dengan kapasitasnya, dan 5 kemampuan pemerintah daerah untuk menjaga kesinambungan kebijakan anggaran tahun tertentu dengan menimbang pencapaian annggaran di periode sebelumnya Brodjonegoro, 2001; Jhingan, 2000; Departemen Keuangan, 2004. Anggaran pemerintah memiliki beberapa fungsi dasar yang dapat dikelompokkan dalam kebijakan fiskal dan manajemen. Sebagai instrumen kebijakan fiskal pertama, anggaran dapat digunakan untuk mengatur alokasi belanja untuk pengadaan barang-barang dan jasa-jasa publik public goods dan public services. Berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan, pemerintah dapat mengalokasikan nilai belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu. Fungsi fiskal kedua, yaitu anggaran berfungsi distribusi, melalui anggaran pemerintah dapat membuat kebijakan 50 yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi kesenjangan antar wilayah, kelas sosial maupun sektoral.Fungsi fiskal ketiga adalah stabilisasi, yaitu bila terjadi ketidakseimbangan yang ekstrem misalnya harga bahan pokok yang sangat tinggi atau sangat rendah maka pemerintah dapat melakukan intervensi melalui anggaran untuk mengembalikan tingkat harga pada titik yang rasional Departemen Keuangan, 2004; Jhingan, 2000. Anggaran dari sisi manajemen memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu sebagai 1 pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya pada periode yang akan datang, 2 sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan legeslatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi diatas pundak publik, maka anggaran bisa berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat pemerintah, dan 3 anggaran dapat digunakan masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan program-program yang direncanakan Departemen Keuangan, 2004; Jhingan, 2000.

2.3. Kemiskinan