kemiskinan adalah jumlah penduduk atau proporsi penduduk yang pengeluaran atau pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan.
3.1.7. Indikator Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan dalam penelitian ini direfleksikan pada kondisi tercapainya ketahanan pangan sampai tingkat individu yang tercermin dari status gizi masyarakat
yang diukur dengan prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Untuk tercapainya ketahanan pangan pada tingkat mikro individu tersebut
yang merupakan syarat kecukupan dari indikator ketahanan pangan maka perlu diketahui syarat keharusan dari kondisi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan
secara agregat daerah yang diukur dengan produksi gabah dan beras daerah, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, protein daerah, juga perlu diketahui faktor daya beli
yang dilihat dari pendapatan per kapita daerah, dan pendapatan sektor pertanian yang merupakan daya beli dari kelompok penduduk dengan jumlah penduduk miskin besar
yang juga bertindak sebagai kelompok penduduk produsen bahan pangan.
3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
Desentralisasi fiskal memberi implikasi pada pemerintah daerah berupa keleluasaan untuk mengatur penerimaan dan pengeluarannya sesuai dengan prioritas
pembangunan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini pemerintah daerah diasumsikan lebih tahu dalam menggali potensi-potensi daerah untuk meningkatkan
penerimaannya. Selain itu pemerintah daerah juga diasumsikan lebih bisa secara efisien dan efektif dalam membiayai pengeluarannya sesuai dengan prioritas
pembangunan daerah yang telah ditetapkan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakatnya karena pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyat.
Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan terjadi melalui perubahan penerimaan daerah dan perubahan alokasi anggaran yang
berpengaruh pada kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah yang arahnya dipengaruhi oleh prioritas pembangunan daerah melalui alokasi dana pembangunan
daerah. Dana alokasi umum yang bersifat block grant akan memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluaran pembangunan pada
sektor- sektor yang menjadi prioritas pembangunan daerah. Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai kebebasan
berinovasi dan berkreasi dari pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengoptimalkan perannya pada lingkup payung UU
No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 serta UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 serta UU No 7 Tahun 1976 dalam mengelola anggaran belanja daerah untuk meningkatkan
ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya. Ketahanan pangan yang merupakan suatu sistem dari beberapa subsistem, maka optimalisasi peran pemerintah
sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam implementasi desentralisasi fiskal dilakukan pada semua subsistem dari sistem ketahanan pangan.
Sehingga indikator ketahanan pangan pada penelitian ini diukur dari semua subsistem dari ketahanan pangan, yaitu mulai dari peningkatan produksi gabah dan beras yang
memproksi ketersediaan pangan, pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per kapita yang memproksi daya beli, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, dan protein
yang memproksi tingkat akses pada pangan secara agregat sampai pada indikator akses pangan secara individu dengan melihat status gizi masyarakat yang diukur
dengan prevalensi gizi kurang dan buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Kerangka pemikiran konseptual penelitian secara rinci tersaji pada Gambar 6.
Fiskal Daerah : -Penerimaan :
- PAD - DAU
- Lainnya
Pengeluaran Daerah: -Rutin
-Pembangunan -.Pertanian
- Infrastruktur - Pendidikan
- Kesehatan - Lainnya
Produksi Pangan
Harga Pangan
Konsumsi Pangan
Ketahanan Pangan Kemiskinan
UU No.22Thn 1999 UU No.25Thn 1999
dan UU No 32Th 2004
UU No 33 Th 2004
PDRB : -Pertanian
-NonPertanian
T ENAGA KERJA
-Pertanian -NonPertanian
PDRBKAPIT A
PENDAPATAN PERTANIAN
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
3.3. Hipotesis