Dampak Pelaksanaaan Desentralisasi Fiskal

40 anggaran sederhana, transparan, informatif, dan 7 pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam aspek penganggaran antara lain dengan kontrol masyarakat. Permasalahan yang penting lainnya adalah masalah kelembagaan, menurut Sumodiningrat 1999 bahwa dalam mengimplementasi undang-undang serta melembagakan partisipasi rakyat hal yang penting untuk mencapainya tergantung pada pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau kelompok sasarannya. Secara bersama-sama harus menentukan fungsi kontrol dan pengawasan dalam pembangunan daerah. Kontrol dan pengawasan kinerja fiskal dan perekonomian daerah sesudah desentralisasi fiskal berada di eksekutif dan legislatif daerah kabupaten kota. Jika kondisi ini diharapkan pemerintah pusat terhadap kemandirian daerah, maka sewajarnya pemerintah daerah harus memiliki kapabilitas dan loyalitas yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat dan memiliki visi meningkatkan social welfare daerah yang salah satunya dengan menetapkan kebijakan anggaran yang berpihak pada masyarakat.

2.2.3. Dampak Pelaksanaaan Desentralisasi Fiskal

Berbagai studi yang membahas tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai dampak dari desentralisasi fiskal. Ada yang mengatakan dampaknya positif terhadap perekonomian daerah, dan ada pula yang menganggap dampaknya negatif. Berikut ini disampaikan beberapa kajian yang menyajikan tentang dampak positif dan dampak negatif dari desentralisasi fiskal. Terdapat beberapa hal positif yang sekiranya dapat dijadikan bahan acuan tentang urgensi pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam pembangunan daerah, yaitu: 1 daerah lebih mampu memacu pembangunan daerahnya sendiri, 2 dapat 41 meningkatkan pertumbuhan antar daerah yang berimbang, 3 pembagian dana yang rasional dan adil kepada daerah penghasil sumber utama penerimaan negara, 4 meningkatkan pemerataan pembangunan, 5 mengurangi kesenjangan sosial antar daerah, 6 memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan, 7 meredakan ketidakpuasan daerah, 8 meningkatkan respek daerah terhadap pusat, sehingga hubungan yang harmonis dan sesuai antara pusat dan daerah, dan antar daerah lebih meningkat, dan 9 memperkuat integrasi nasional Sondakh, 1999. Selanjutnya Ulla 2001 mengatakan ada empat indikator yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu : 1 akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah PDRB riil dimana dengan meningkatnya PDRB riil, maka akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita, 2 terjadi kecenderungan peningkatan investasi baik investasi asing PMA maupun domestik PMDN, 3 ada kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis usaha di daerah, dan 4 ada kecenderungan meningkatnya kreativitas pemerintah daerah dan masyarakatnya. Pelaksanaan desentralisasi fiskal juga mempunyai potensi yang positif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan Mawardi dan Sumarto, 2003. Beberapa faktor yang dapat membuat pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah: 1. Dana Alokasi Umum DAU diberikan kepada daerah dalam bentuk block grant, sehingga pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas tinggi dalam menggunakan dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. 42 2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. 3. Daerah yang kaya SDA memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Roy 1999 dan Rao 2000 menyebutkan bahwa pada pemerintah yang terdesentralisasi akan terjadi efisiensi alokatif dan efisiensi produksi yang terjadi melalui efisiensi pada biaya administrasi dan biaya transaksi, sehingga akan memberikan publik output dan publik servis yang lebih baik dan akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Pemerintah lokal juga akan lebih efisien dalam identifikasi pada kemiskinan sehingga akan lebih tahu faktor penyebab kemiskinan serta bisa memberikan kebijakan yang spesifik sesuai kondisi kehidupan masyarakat miskin sehingga menghasilkan strategi yang lebih efektif. Menyimak berbagai pandangan positif tentang manfaat desentralisasi, dapatlah dikatakan bahwa penjabaran dari pelaksanaan desentralisasi fiskal bisa membuat perekonomian suatu daerah lebih maju, yang diindikasikan dengan naiknya pertumbuhan PDRB, investasi, ekspor, penerimaan daerah, dan pendapatan per kapita. Pada akhirnya, upaya untuk meningkatkan pemerataan pendapatan, dan mengurangi tingkat kemiskinan dalam perekonomian nasional dapat terealisir dengan lebih baik melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal Swasono, 2007; Syahrial, 2005; Arisandi, 2000; Vazques and McNab, 2001; Wasylenko, 1987; Woller and Kerk, 1998. 43 Berbagai kalangan banyak juga yang meragukan tentang keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal di dalam pembangunan ekonomi daerah. Pada awal diberlakukan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 memang telah banyak pengamat ekonomi yang merasa khawatir dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Apabila daerah diberi keleluasaan berkreasi untuk memperbesar PAD, maka kemungkinan terjadi ekonomi biaya tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sisi produksi, melalui naiknya biaya produksi sehingga harapan menjadikan produk lokal sebagai primadona akan semakin kecil. Akibat struktur biaya yang tinggi dengan sendirinya harga komoditas akan mengikuti, dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal akan mengubah struktur harga komoditas yang akhirnya adalah rendahnya daya saing produk lokal di pasaran Wardhono, 2001. Adanya target untuk meningkatkan PAD mengakibatkan terjadinya berbagai pungutan yang secara langsung maupun tidak langsung memberatkan pihak pengusaha maupun masyarakat umum. Walaupun dalam UU No.25 Tahun 1999 telah diatur ada 4 empat sumber penerimaan daerah yaitu : 1 PAD, 2 Dana Perimbangan, 3 Pinjaman Daerah, dan 4 Penerimaan sah lainnya, namun dalam kenyataannya banyak daerah yang sangat menggantungkan penerimaannya dari DAU semata. Daerah yang tidak memiliki SDA dan tidak kreatif dalam menggali penerimaan selain dana perimbangan akan mengalami kesulitan dalam menyelenggarakan otonomi karena kekurangan sumber pembiayaan. Implementasi UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah telah mendorong daerah miskin SDA untuk mengejar penerimaan melalui pajak dan retribusi daerah. Dari sekian banyak pajak dan retribusi daerah tersebut beberapa diantaranya dikenakan terhadap komoditi hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil perikanan, hasil kehutanan, hasil pertambangan, industri dan sebagainya. 44 Dilihat dari aspek pemerataan, ternyata ada juga yang berpendapat bahwa desentralisasi fiskal tidak akan menciptakan pemerataan pembangunan, bahkan sebaliknya bisa menaikkan ketimpangan antar daerah. Hal ini disebabkan karena distribusi kekayaan SDA yang meliputi perikanan, kehutanan, minyak bumi, dan gas alam, menyebar tidak merata di Indonesia, padahal pembagiannya yang diatur pada Dana Perimbangan didasarkan atas lokasi SDA tersebut, sebagaimana tersaji pada Tabel 1. Oleh karena itu mudah diperkirakan bahwa bagi hasil SDA cenderung menimbulkan dan memperbesar ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia Simanjutak, 2001. Tabel 1. Dana Perimbangan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun1999 Jenis Penerimaan Pemerintah Pusat Provinsi Kab Kota Penerimaan dari PBB 10 90 - Penerimaan dari Provisi SDH 20 16 64 Peneriman dari luran Tetap 20 16 64 Penerimaan dari Royalty 20 16 64 Penerimaan dari Sektor Perikanan 20 - 80 Penerimaan bersih dari : Minyak bumi 85 3 12 Gas alam 70 6 24 Dana Alokasi Umum - 10 90 Dana Alokasi Khusus : Dana Reboisasi 60 40 Sumber : UU Nomor 251999 Simanjutak, 2001 Dana alokasi umum untuk daerah otonom maksimal 25 Penerimaan Dalam Negeri APBN 40 tersebut dibagikan kepada daerah penghasil hutan sebagai Dana Alokasi Khusus Bila diamati secara cermat, daerah-daerah yang memiliki peranan PAD tinggi umumnya adalah daerah-daerah yang memiliki sektor sekunder industri manufaktur dan sektor tersier jasa-jasa yang kuat. Sedangkan daerah yang peranan PAD-nya kecil merupakan daerah yang tumpuan ekonominya berbasis pada sektor primer dan 45 tradisional Ismail, 2001. Dengan melihat struktur ekonomi yang ada pada setiap daerah sangat beragam, dimana ada daerah yang mempunyai struktur ekonominya pada sektor industri, dan ada pula yang struktur ekonominya pada sektor primer dan tradisional, maka sangat dimungkinkan pelaksanaan otonomi daerah bisa menimbulkan ketimpangan yang sangat tinggi dalam hal PAD, yang akhirnya menyebabkan pula ketimpangan pembangunan antar daerah.

2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah