5.2. Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Barat
Desentralisasi fiskal membawa perubahan pada struktur penerimaan pemerintah daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun transfer dana dari
pemerintah pusat, pengelolaan sumber-sumber penerimaan dan pengeluaraan pemerintah daerah, dan juga terhadap hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Penerimaan
dan pengeluaran daerah kabupaten kota di Jawa Barat selama implementasi desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Tabel 6 ditunjukkan
keragaan rata-rata per tahun penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah kabupaten kota seluruh Jawa Barat kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
Penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup signifikan, jika sebelum desentralisasi penerimaan daerah secara riil di Jawa Barat rata-
rata per tahun sebesar 575.10 milyar rupiah maka setelah desentralisasi fiskal meningkat menjadi 3 544.54 milyar rupiah. Peningkatan penerimaan pemerintah daerah ini
disebabkan peningkatan semua komponen penerimaan daerah baik dari PAD, bagi hasil maupun dana transfer dari pusat.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan daerah untuk menggali potensi pajak dengan mengeluarkan perda terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi
daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah
dari pos pajak daerah dan retribusi daerah meningkat. Namun kenaikan tersebut apabila dilihat secara proporsional dengan seluruh kenaikan penerimaan daerah, proporsi dari
penerimaan pajak dan retribusi daerah justru semakin menurun hal ini karena adanya peningkatan penerimaan dari pos DAU yang relatif besar proporsinya. Sehingga PAD
walaupun secara absolut meningkat tetapi proporsinya juga menurun yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal kontribusinya sebesar 18.78 persen terhadap penerimaan
daerah menurun menjadi 10.11 persen pada masa desentralisasi fiskal, pajak dan retribusi daerah turun dari 6.96 persen dan 9.76 persen menjadi 4.15 persen dan 4.17
persen. Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Kota
Rata-rata Per Tahun di Jawa Barat Tahun 1995 - 2005 Tahun Dasar 1993 Milyar rupiah
Uraian Sebelum Desentralisasi
Fiskal 1995 – 2000 Sesudah Desentralisasi
Fiskal 2001 -2005
Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah
Retribusi Daerah Laba BUMD
PAD Lainnya Dana Perimbangan
Bagi Hasil Bagi Hasil Pajak
Bagi Hasil SDA DAU DAK
Pinjaman Daerah Sisa Anggaran
Pendapatan Lain Total Pendapatan Daerah
Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan
Sektor Pertanian Irigasi Sektor Pertanian
Sektor Irigasi Sektor Industri
Sektor Infrastruktur Sektor Pelayanan Umum
Sektor Lainnya Total Pengeluaran Daerah
108.03 18.78 40.05 6.96
56.11 9.76 2.21 0.38
17.98 3.13 426.41 74.15
91.89 15.98 39.40 13.81
12.49 2.17 334.52 58.17
3.32 0.58 21.57 03.75
7.48 01.30 575.10 100
416.74 64.37 230.67 35.62
11.56 1.74 7.37 1.14
4.19 0.65 1.11 0.17
121.98 16.84 56.84 8.78
39.18 6.05 647.46 100
358.26 10.11 146.96 4.15
147.85 4.17 6.22 0. 20
55.99 1.58 2 859.45 80. 67
462.83 13.06 388.86 10.97
73.98 2.09 2 396.62 67.61
15.61 0.44 154.94 4.37
156.30 4.41 3 544.54 100
2 671.15 76.87 803.67 23.13
57.54 1.66 25.25 0.73
32.29 0.93 3.74 0.11
315.97 9.08 278.60 8.02
147.82 4.25 3 474.82 100
Sumber : Statistik Keuangan Daerah Kabupaten Kota, berbagai tahun terbitan. Angka di dalam merupakan persentase.
Komponen bagi hasil pajak dan sumber daya alam juga meningkat secara signifikan yang disebabkan oleh peningkatan porsi bagi hasil pajak dan sumberdaya yang diberikan
kepada daerah seperti pajak bumi bangunan, pengelolaan sumberdaya hutan, tambang dan perikanan sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun
2004, namun secara relatif sharenya terhadap penerimaan daerah menurun dari 15.98 persen sebelum desentralisasi fiskal menjadi 13.06 persen setelah desentralisasi fiskal.
Komponen dana transfer dari pemerintah pusat yang berupa dana Subsidi Daerah Otonom SDO pada masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum
DAU dan Dana Alokasi Khusus DAK setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan sangat besar, bahkan merupakan komponen yang peningkatannya paling
besar. Apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 334.52 milyar rupiah dengan share terhadap penerimaan sebesar 58.17 persen maka meningkat menjadi 2 396.62 milyar
rupiah dengan share sebesar 67.61 persen. Tingginya dana tranfer dari pemerintah pusat ini karena besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan
pemerintah daerah dan kondisi ini menunjukkan tingkat ketergantungan keuangan pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan terhadap pemerintah pusat. Desentralisasi
fiskal yang diharapkan menumbuhkan kemandirian daerah dalam menggali dan mengelola keuangannya tetapi justru menimbulkan ketergantungan terhadap pusat.
Sebagai masa transisi mungkin masih bisa dibenarkan, namun dengan berjalannya waktu diharapkan pemerintah daerah akan semakin pandai dalam menggali potensi penerimaan
daerah dengan melibatkan masyarakat dan pihak swasta sehingga akan semakin mandiri dan ketergantungan dengan pemerintah pusat bisa semakin dikurangi.
Desentralisasi fiskal membawa perubahan yang besar terhadap pengeluaran daerah, yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal pengeluaran sebesar 647.46 milyar rupiah
maka meningkat manjadi 3 474.82 milyar rupiah. Komponen pengeluaran mengalami peningkatan pada semua sektor, namun yang paling besar terjadi pada komponen
pengeluaran rutin yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 416.79 milyar rupiah dengan share sebesar 64.37 persen maka meningkat menjadi 2 671.15 milyar rupiah
dengan nilai share sebesar 76.87 persen. Tingginya pengeluaran rutin setelah desentralisasi fiskal karena terjadinya peningkatan yang cukup signifikan terhadap
jumlah pegawai pusat yang didaerahkan pada masa awal desentralisasi juga adanya peningkatan terhadap pengeluaran sehubungan penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan di daerah. Pengeluaran pembangunan secara absolut mengalami peningkatan yaitu dari
230.67 milyar rupiah sebelum desentralisasi menjadi 803.67 milyar rupiah setelah desentralisasi, namun sharenya mengalami penurunan dari 35.62 persen menjadi 23.13
persen. Turunnya proporsi dana pembangunan dalam pengeluaran daerah membawa konsekuensi pada penurunan proporsi pengeluaran sektoral. Pengeluaran pembangunan
sektor pertanian pada masa sebelum desentralisasi sebesar 1.14 persen terhadap total pengeluaran. Pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran pembangunan sektor pertanian
sebesar 0.73 persen dari total pengeluaran walaupun secara absolut meningkat dari 7.37 milyar menjadi 25.25 milyar rupiah.
Kapasitas fiskal adalah kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya dengan sumber pembiayaan yang diperoleh dari pendapatan daerah tanpa bantuan dari
pemerintah pusat. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil
dari sumber daya alam dan pajak, dan idealnya semua pengeluaran daerah mampu dibiayai oleh kapasitas fiskal daerah. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal kapasitas
fiskal di Jawa Barat sebesar 0.35 artinya kemampuan keuangan daerah dari PAD dan Bagi Hasil besarnya hanya sebesar 35 persen untuk dapat membiayai pengeluaran yang
dibutuhkan daerah. Sedang pada masa desentralisasi fiskal kapasitas fiskal malah menurun menjadi 0.23. Kondisi ini mencerminkan terjadinya penurunan kemandirian
keuangan daerah yang semakin besar pada pelaksanaan desentralisasi fiskal. DAU keberadaannya diperlukan sebagai penyeimbang bagi daerah yang kaya dengan daerah
yang miskin.
5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat