Ringkasan Hasil EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN

7.5. Ringkasan Hasil

Dari hasil penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan, maka didapat ringkasan hasil penelitian sebagai berikut : Desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat secara absolut berpengaruh pada peningkatan penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah, namun penerimaan terbesar terjadi pada dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah DAU dan DAK yang proporsinya mencapai 68 persen sedang penerimaan dari pos Pendapatan Asli Daerah PAD masih kecil sehingga menimbulkan ketergantungan fiskal yang semakin besar terhadap pemerintah pusat. Sedang struktur pengeluaran daerah didominasi oleh pengeluaran rutin yang komponennya mencapai 77 persen, sehingga porsi dana untuk pembangunan menjadi kecil dan terbatas. Pada masa desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2005 perekonomian Jawa Barat mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mulai berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri mempunyai kontribusi terbesar dalam perekonomian Jawa Barat 43.17 persen dengan laju yang relatif tinggi 6.74 persen, namun pertumbuhan sektor industri kurang mempunyai kaitan yang kuat dengan pertumbuhan sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2.36 persen dengan kontribusi sebesar 14 persen dengan komponen terbesar pada sub sektor tanaman pangan yang mencapai 70 persen dari perolehan sektor pertanian. Dari sisi penyerapan tenaga kerja sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19.68 persen sementara sektor pertanian berkontribusi sebesar 33.72 persen. Pada masa desentralisasi fiskal terjadi perlambatan pada laju penurunan jumlah penduduk miskin dan terjadi peningkatan jumlah penduduk sangat rawan pangan. Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra produksi beras mempunyai tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi dengan laju penurunan jumlah penduduk miskin yang relatif lebih lambat. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat selalu lebih rendah dari tingkat kemiskinan nasional. Pada masa desentralisasi fiskal terjadi penurunan ketahanan pangan dari sisi konsumsi yaitu terjadinya penurunan rata-rata konsumsi beras, konsumsi energi dan konsumsi protein, namun dari sisi produksi dan ketersediaan pangan di Jawa Barat selalu terjadi surplus ketersediaan dan peningkatan produksi beras. Surplus ketersediaan beras terjadi pada semua kabupaten di Jawa Barat kecuali Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor, sedang untuk daerah kota semua mengalami defisit ketersediaan beras. Walaupun terjadi banyak kendala seperti bencana alam, iklim dan alih fungsi lahan sawah yang signifikan namun produksi padi sawah di Jawa Barat pada tahun 2001 – 2006 terus mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan peningkatan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar l.78 persen. Dari sisi pemanfaatan pangan terjadi peningkatan terhadap kinerja ketahanan pangan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Model ekonometrika tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan yang dibangun secara umum telah berhasil dirumuskan dan diestimasi dengan baik, karena dari semua persamaan struktural yang ada nilai koefisien determinasinya diatas 50 persen, nilai statistik F pada umumnya cukup tinggi yaitu berkisar antara 12.25 sampai 14705.74. Berdasarkan uji statistik t menunjukkan sebagian besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh nyata pada taraf kepercayan hingga 80 persen terhadap peubah endogennya dan dengan tanda parameter yang sesuai dengan fenomena atau teori ekonomi. Kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran pada sektor pertanian berpengaruh signifikan pada peningkatan kinerja perekonomian daerah khususnya berupa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, PDRB sektor Pertanian, produksi gabah, pendapatan petani dan pendapatan per kapita. Kinerja perekonomian daerah selanjutnya secara signifikan mempengaruhi pengurangan jumlah penduduk miskin daerah dan kinerja ketahanan pangan daerah berupa peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein per kapita serta outcome katahanan pangan daerah berupa prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Jumlah penduduk miskin secara signifikan mampengaruhi kinerja fiskal daerah berupa penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, dimana penerimaan pajak daerah secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin, PDRB dan jumlah penduduk tidak miskin.Jumlah penduduk miskin berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Kinerja perekonomian daerah pada sektor pertanian juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa harga input, harga output serta upah pada sektor pertanian. Berdasarkan hasil simulasi historis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan pajak dan retribusi daerah berpengaruh terhadap penerimaan daerah dan selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran rutin dan pembangunan, meningkatkan kinerja perekonomian dan menurunkan kemiskinan. Kebijakan relokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan berpengaruh pada kinerja perekonomian, kinerja ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian berdampak pada peningkatan PDRB sektor pertanian, produksi gabah, pendapatan sektor pertanian, dan pendapatan per kapita. Selanjutnya meningkatkan konsumsi beras, energi dan protein, kemudian menurunkan jumlah penduduk miskin, angka gizi buruk dan angka kematian bayi serta meningkatkan umur harapan hidup. Selanjutnya meningkatkan kinerja fiskal daerah melalui penurunan kesenjangan fiskal, karena penurunan jumlah penduduk miskin berarti mengurangi beban subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin dan meningkatkan pendapatan dari sektor pajak. Kebijakan peningkatan harga pupuk berdampak pada penurunan penggunaan pupuk, penurunan produksi gabah dan penurunan PDRB sektor pertanian. Sehingga menurunkan pendapatan pada sektor pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras, energi dan protein. Meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang besar pada penurunan produksi gabah dan penurunan pendapatan pertanian. Kebijakan peningkatan harga gabah berdampak pada peningkatan produksi gabah, penggunaan pupuk, pendapatan sektor pertanian, PDRB Pertanian, pendapatan per kapita, konsumsi beras, energi dan protein, serta menurunkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak paling besar dari peningkatan harga gabah adalah peningkatan produksi gabah yang didahului oleh peningkatan penggunaan pupuk. Kebijakan kombinasi peningkatan harga gabah dan harga pupuk dengan proporsi yang sama memberi dampak pada penurunan penggunaan pupuk sehingga menurunkan produksi gabah dan PDRB Pertanian. Hal ini berdampak pada penurunan pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per kapita, menurunkan konsumsi beras, energi dan protein serta meningkatkan angka gizi buruk, angka kematian bayi dan menurunkan umur harapan hidup. Dampak negatif dari peningkatan harga pupuk lebih dominan dibanding dampak positif dari peningkatan harga gabah. Kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan peningkatan harga gabah memberi respon yang lebih besar dibanding apabila kebijakan dilakukan secara tunggal. Karena dampak peningkatan produksi gabah dari peningkatan pengeluaran sektor pertanian berpengaruh pada penurunan harga, apabila dibarengi oleh kebijakan peningkatan harga gabah akan menghilangkan trade off negatif tersebut. Dengan mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan kondisi kinerja ketahanan pangan maka akan berpengaruh pada kinerja fiskal yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja perekonomian selanjutnya berpengaruh pada kinerja ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan. Dampak simulasi mempunyai pengaruh yang lebih besar pada saat kebijakan dilakukan pada periode desentralisasi fiskal dibanding simulasi dilakukan pada periode sebelum desentralisasi fiskal.

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN