Keragaan komunitas juvenil ikan di habitat lamun

82 menunjukkan signifikansi pada lingkup spasial 100 m R 2 = 0,544; p= 0,0007 dan 250 m R 2 = 0,471; p= 0,0023. Wiens 1989 menuliskan bahwa pola keterkaitan fauna-habitat di alam terkait erat dengan skala, yang dalam lingkup penelitian ini ditetapkan secara spasial. Dalam Analisis Regresi ini, variabel luas habitat Area dinyatakan dalam meter dan ditransformasi menggunakan Log 10 x+1 untuk menjaga normalitas sebaran data. Tabel 10. Analisis Regresi Linier sederhana pada taraf nyata α= 0.05 yang mengkaji keterkaitan komunitas ikan juvenil dengan habitat lamun. Variabel bebas geometri habitat Lingkup spasial taksa – juwana di lamun R 2 P korelasi Luas habitat lamun m 2 Transformasi Logx+1 50 m 0,009 0,2996 + 0,298 100 m 0,001 0,6959 - 0,115 250 m 0,0002 0,8866 + 0,042 P:A tapak habitat lamun 50 m 0,002 0,6356 - 0,139 100 m 0,002 0,6146 - 0,148 250 m 0,273 0,0551 - 0,523 Keterangan: +-= mengindikasikan korelasi positif atau negatif antar variabel; = lingkup spasial yang menunjukkan keterkaitan erat antara variabel habitat dan ikan. Keterkaitan antara kekayaan taksa juvenil ikan dengan luas area lamun sebagai habitat pemeliharaan pada lingkup spasial 50 meter dan 250 meter menunjukkan korelasi yang positif, berbeda dengan pada lingkup 100 meter. Yang mengindikasikan bahwa semakin luas padang lamun maka kekayaan jenis juvenil ikan yang dapat hidup di habitat pemeliharaan lamun akan semakin tinggi. Tidak dijumpai keterkaitan yang siginifikan antara variabel juvenil-luaslamun, pada tiap lingkup spasial. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh tidak diterapkannya pengelompokkan komunitas juvenil berdasarkan jenjang trofiknya dalam analisis ini. Keterkaitan yang signifikan antara luas dengan taksa juvenil diperoleh Grober-Dunsmore 2005, khususnya untuk komunitas juvenil yang bersifat mobile piscivora, predator, dan herbivora tertentu di Pulau St. John, Kepulauan Virgin AS. 83 Kondisi yang kontras dijumpai pada analisis keterkaitan antara kekayaan taksa ikan terumbu dewasa terhadap luas area terumbu karang, yang pada tiap lingkup spasial menunjukkan korelasi negatif. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin rendah luas terumbu karang maka kekayaan taksa ikan terumbu dewasa di habitat pemijahan akan semakin tinggi. Merujuk pada nilai koefisien determinasi R 2 , diketahui bahwa keterkaitan yang erat ditunjukkan antara area terumbu dengan taksa ikan dewasa yang menunjukkan tandaaktivitas pemijahan, dan keterkaitan tersebut berlangsung pada tiap lingkup spasial yaitu 50, 100, dan 250 m Tabel 9. Terumbu karang berperan sebagai habitat pemijahan bagi ikan, udang, maupun kepiting Nemeth 2009. Kajian mengenai pemijahan ikan terumbu umumnya difokuskan pada mendokumentasikan lokasi dan periode pemijahan, selain mencatat spesies ikan terumbu yang terlibat dalam proses tersebut Colin 2006, mengkaji tingkah laku dan parameterproses lingkungan yang mengakomodasi proses pemijahan Leis 1991, Heyman et al. 2005, serta untuk menduga stok dalam upaya perencanaan kawasan perlindungan dan konservasi sumberdaya perikanan Sadovy and Domeier 2005. Menggunakan data geospasial, penelitian ini mencoba menguraikan variabel geometrik yang mungkin dapat memengaruhi keterkaitan ikan-habitat pemijahan. Variabel geometrik lain yang diulas dalam penelitian ini adalah rasio antara beting tapak habitat dengan luas habitat tersebut P:A –perimeter:area. Keterkaitan antara variabel P:A dengan keragaan taksa ikan terumbu ditinjau pada lingkup spasial 50, 100, dan 250 m. P:A merupakan variabel geometrik yang secara tidak langsung mengindikasikan konektivitas struktural antar habitat di suatu wilayah. Keterkaitan antara komunitas juvenil dengan P:A lamun menunjukkan korelasi yang bersifat negatif untuk tiap lingkup spasial Tabel 10. Dari ketiga model regresi, keterkaitan yang signifikan antara kekayaan taksa juvenil terhadap P:A lamun ada pada lingkup spasial 250 meter R 2 = 0,002; p= 0,097. P:A merupakan visualisasi kompleksitas struktural karena tidak hanya mengampu aspek luas habitat, namun juga beting tapak habitat, sehingga nilai P:A yang tinggi mengindikasikan konektivitas struktural yang erat. Hemminga and 84 Duarte 2000 menegaskan bahwa kompleksitas struktur tegakan menyediakan perlindungan bagi juvenil terhadap predasi, sehingga daya survivalnya lebih tinggi bila berada di habitat lamun. Grober-Dunsmore et al. 2007 juga menekankan aspek konfigurasi bentang alam pesisir, selain leaf area index dan kanopi tegakan lamun, yang memengaruhi preferensi juvenil ikan memilih habitat lamun. Tapak habitat lamun yang terserak dan terselingi hamparan pasir, pecahan karang, dan tipe substrat dasar lain, memungkinkan juvenil untuk beruaya antar satu tapak habitat ke tapak lainnya, hingga akhirnya mencapai terumbu karang saat dewasa. Tidak diperoleh keterkaitan yang signifikan antara P:A terumbu karang dengan kekayaan taksa ikan dewasa yang menunjukkan tanda pemijahan. Bila di lamun variabel P:A bersifat akomodatif bagi komunitas ikan terumbu, maka di terumbu karang nilai P:A yang tinggi mengindikasikan kerusakan habitat terumbu karang ataupun fragmentasi habitat terumbu akibat tekanan lingkungan maupun manusia. Pada lingkup spasial 50 meter, variabel P:A terumbu menunjukkan korelasi negatif, sedangkan pada lingkup 100 dan 250 meter, korelasi P:A terumbu-ikan dewasa memiliki korelasi positif. Hal yang cukup selaras telah ditunjukkan oleh hasil AKU Gambar 28, yang menunjukkan pengaruh utama dan korelasi yang positif dari variabel P:A terumbu pada lingkup 250 meter notasi PAT2 terhadap tingginya kekayaan taksa ikan terumbu dewasa notasi SID yang menunjukkan tanda pemijahan.

4.4. Simpulan

Data inderaja satelit dapat digunakan untuk memetakan habitat perairan dangkal yang kompleks sehingga dapat diperoleh 12 kelas tematik yang sebaran dan geometrik spasialnya dapat digunakan untuk menakar konektivitas struktural habitat ontogeni ikan terumbu. Pendekatan hirarki dalam kajian geospasial menyarikan informasi mengenai peta geomorfologi terumbu yang bila dikombinasikan dengan hasil klasifikasi tematik habitat dapat menginformasikan kondisi bentang alam perairan Kepulauan Seribu. Dari 17 stasiun terumbu yang diteliti, tercatat sejumlah tanda dan aktivitas pemijahan dari 22 famili ikan, namun dua 2 stasiun diabaikan datanya karena keterbatasan inderaja satelit dalam