Dinamika arus permukaan Hasil

147 Gambar 72. Simulasi sebaran larva ikan terumbu pada musim barat, menurut kondisi pasang tertinggi atas dan surut terendah bawah Simulasi aliran larva yang digambarkan untuk masing-masing titik source Gambar 71 menunjukkan bahwa 4 empat stasiun pemijahan berperan kurang potensial sebagai produsen larva ikan terumbu untuk daerah penelitian, yaitu SPR, UPR, KKEC, dan BPG. Hal tersebut ditunjukkan oleh jalur pergerakan larva yang menuju ke luar daerah penelitian. Sebanyak 13 stasiun pemijahan memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni, karena jalur pergerakan larva selama 30 hari menunjukkan bahwa lintasan akhirnya bermuara di habitat padang lamun rataan terumbu bagian dalam yang ada di dalam domain penelitian. Simulasi pergerakan dan sebaran larva menunjukkan kondisi yang selaras dengan simulasi model hidrodinamika, yaitu bergerak ke arah timur dan timur laut. Terkait dengan konektivitas struktural habitat ontogeni yang diulas pada Bab 4, diketahui bahwa stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural tinggi belum tentu memiliki konektivitas potensial sebagaimana ditunjukkan oleh BPG yang muara aliran larvanya menuju ke luar daerah penelitian. Selama 148 periode bulan Januari 2012, diketahui bahwa kondisi pasang tertinggi dan surut terendah berlangsung dua kali Gambar 72 yang frekuensinya cukup selaras dengan fase lunar bulan purnama dan bulan mati. Amplitudo pasang dan surut yang tinggi membantu pergerakan dan sebaran larva di perairan laut, bahkan kondisi tekanan yang terkait amplitudo tinggi tersebut tak jarang menjadi pemicu berlangsungnya proses pemijahan di ikan terumbu. Faktor tersebut memediasi perpindahan larva ikan terumbu dari perairan luar terumbu memasuki rataan terumbu yang didalamnya terdapat hamparan padang lamun yang menjadi habitat pemeliharaan larva hingga tumbuh menjadi ikan juvenil. Dapat terlihat bahwa pada musim barat perairan rataan terumbu di barat dan utara Pulau Panggang, di barat Pulau Karya, di timur laut Gosong Pramuka, dan di utara Pulau Pramuka berperan sebagai sink larva atau muara akhir pergerakan larva melintasi habitat ontogeni Gambar 72. Dari hasil simulasi dua musim, diketahui bahwa sebaran larva pada musim timur lebih terbatas dibandingkan pada musim barat. Hal tersebut dipengaruhi oleh lebih banyaknya stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas potensial rendah terhadap habitat padang lamun di dalam sistem rataan terumbu. Mayoritas sebaran larva terkonsentrasi di sekitar perairan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka. Wilayah sink larva terdapat di timur Pulau Karya, serta di timur dan selatan Pulau Panggang yang mayoritas terdapat habitat padang lamun. 6.4. Pembahasan Konektivitas potensial habitat ontogeni ikan terumbu menunjukkan variasi secara geospasial berdasarkan kondisi musim, yang masing-masing dipengaruhi oleh dinamika arus permukaan, pasang surut, dan angin. Dari 17 stasiun pemijahan terumbu yang ditetapkan sebagai source atau titik produksi larva diketahui bahwa tiga stasiun pemijahan tidak memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni yaitu SPR, KKEC, dan BPG, baik pada musim barat maupun musim timur. Padahal BPG merupakan stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural habitat ontogeni yang tinggi, berdasarkan kedekatannya dengan habitat padang lamun pada lingkup spasial 50, 100, dan 250 meter. 149 Fitur yang menarik ditunjukkan oleh stasiun pemijahan KSEM, yang menunjukkan konetivitas struktural rendah terhadap habitat pemeliharaan utama di bagian tengah daerah penelitian dan dalam lingkup spasial 100-250 meter terhadap perairan Karang Lebar atau beting terumbu Pulau Semak Daun. Stasiun pemijahan KSEM menunjukkan konektivitas potensial yang tinggi pada kedua musim, sebagaimana ditunjukkan oleh aliran larva pada Gambar 75 dan 76. Ketika musim barat berlangsung, KSEM terkoneksi dengan habitat padang lamun di Gosong Pramuka LGSP, sedangkan ketika musim timur aliran telurlarva dari KSEM langsung diteruskan ke dalam sistem rataan terumbu Karang Lebar. Leis 1991 menyatakan bahwa sebaran larva atau juvenil ikan terumbu di perairan pelagis dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu 1 fitur dan tingkah laku pemijahan ikan dewasa; 2 fitur oseanografi pada berbagai lingkup spasialtemporal dan interaksinya dengan topografi dasar perairan; 3 durasi periode planktonik; 4 tingkah laku larva, dan; 5 mortalitas dan laju pertumbuhan larva. Pada penelitian ini informasi sebaran larva untuk musim barat dan musim timur dikembangkan dari aspek pertama dan kedua, yaitu mempertimbangkan posisi ke-17 stasiun pemijahan serta mengutamakan fitur oseanografi berupa pasang surut, angin, dan topografi dasar yang diperoleh dari peta batimetri resample BTM Gambar 46. Bervariasinya taksa ikan terumbu yang teramati di habitat pemijahan dan habitat pemeliharaan, menjadikan penelitian ini lebih mengedepankan aspek geospasial dibandingkan akurasi konektivitas potensial suatu taksa ikan terumbu yang bersifat ontogeni. Akurasi konektivitas potensial antar habitat ontogeni dipengaruhi oleh durasi larva pelagis, yang berbeda-beda untuk tiap spesies. Begitupun karakteristik habitat pemijahan yang dapat ditetapkan sebagai source larva, yang kemudian mengaitkan habitat pemijahan di terumbu karang dengan habitat pemeliharaan di lamun. 150 Gambar 73. Simulasi sebaran larva ikan pada akhir periode simulasi musim timur atas dan musim barat bawah. 151 Kembali pada aspek geospasial habitat ontogeni, simulasi aliran larva yang ditunjukkan pada Gambar 73 mendapati bahwa konektivitas ontogeni memang mewujud di daerah penelitian, karena lintasan aliran larva melewati beberapa tipe habitat yang berbeda bahkan sejumlah stasiun pemijahan memiliki lintasan yang bermuara di habitat padang lamun. Stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni secara permanen untuk tiap musim adalah KPEN, KPEM, TPG, TLPG, UPG, SPG, TGPG, BKAR, dan KSEM. Bila pemijahan berlangsung di lokasi tersebut, maka besar kemungkinan larva yang terbentuk berhasil terekrut ke habitat pemeliharaan yang ada di daerah penelitian.

6.5. Simpulan

Aspek geospasial dapat digunakan dalam menjelaskan konektivitas habitat ontogeni secara fungsional, sebagaimana ditunjukkan oleh konektivitas potensial antara habitat pemijahan di terumbu karang dengan habitat pemeliharaan di padang lamun. Model geospasial habitat ontogeni berhasil diperoleh menggunakan model aliran larva ikan terumbu, sehingga fitur konektivitas potensial yang berlangsung di daerah penelitian dapat ditelaah berdasarkan periode musim tertentu. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa tidak semua stasiun pemijahan memiliki konektivitas habitat ontogeni dan terdapat variasi konektivitas berdasarkan periode musim yang berbeda. Secara geospasial, kawasan perairan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka memiliki konektivitas habitat ontogeni yang persisten sebagaimana ditunjukkan oleh simulasi sebaran larva pada musim barat dan timur. Sebaran larva pada musim timur lebih terbatas dibandingkan pada musim barat. Sejumlah stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural tinggi, belum tentu memiliki konektivitas potensial, sedangkan ada juga stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural rendah namun menunjukkan konektivitas potensial yang persisten untuk tiap periode musim. 152