24
25
3. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN DAN
KERAGAAN KOMUNITAS IKAN TERUMBU
3.1. Kawasan Kepulauan Seribu
Terletak di barat daya perairan Laut Jawa, Kepulauan Seribu merupakan untaian gugus pulau kecil yang melintang vertikal dengan jarak pulau terjauh
adalah ±150 km dari Teluk Jakarta Pulau Sebira. Secara geologi, terbentuknya pulau-pulau datar dengan elevasi kurang dari 10 meter di Kepulauan Seribu lebih
utama dibangun oleh akresi komunitas bentik karang yang membentuk gosong terumbu patch reef atau pulau datar cays, sehingga usia batuan inti yang
terkandung di dalamnya berusia relatif muda ±12.000 tahun, selain dipengaruhi oleh proses endogenik dan eksogenik terhadap lempeng benua yang memisahkan
Pulau Lancang dengan daratan Jawa Tomascik et al. 1997. Pengaruh angin muson yang kuat berganti secara musiman, memengaruhi geomorfologi pulau dan
gosong terumbu yang umumnya membujur dari barat ke timur. Beting rim pulau-pulau di Kepulauan Seribu umumnya dibatasi oleh
struktur biogenis yang terbentuk oleh karang terumbu dan merupakan komponen utama yang menyangga kestabilan pulau tersebut Hopley 2011. Terumbu karang
di Kepulauan Seribu pertama kali dikaji secara ilmiah oleh Umbgrove pada tahun 1920-an Tuti 2006, dan biota karang masih bisa dijumpai hingga di perairan
pantai Teluk Jakarta. Setelah itu, pengamatan komunitas bentik, ikan, dan biota asosiasi di terumbu karang Kepulauan Seribu baru mulai dikaji kembali sejak
tahun 1985. Pusat Penelitian Oseanografi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia P2O-LIPI dan Yayasan Terumbu Karang Indonesia merupakan dua
instansi di antara banyak kalangan peneliti dan instansi penelitipendidikan yang melakukan penilaian kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu. Diketahui
bahwa rerata penutupan karang keras yang hidup di Kepulauan Seribu termasuk dalam kriteria sedang 34,27 dari 35 stasiun penelitian yang diamati Yayasan
Terangi pada tahun Setyawan et al. 2011. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh P2O-LIPI yaitu 32,37 dari 25 stasiun penelitian Giyanto et al. 2006.
Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan kondisi dibandingkan hasil kajian
26
pada tahun 1985 dan 1995 yang bernilai 23 dan 17 DeVantier et al. 1998, yang mengindikasikan kondisi terumbu karang buruk.
Gambar 3. Sebaran pulau-pulau di Kepulauan Seribu, berikut mintakat pesisir
yang mengelilingi pulau-pulau tersebut Agus et al. 2012, in press
27
Sebagian besar kajian terumbu karang yang dilakukan di Kepulauan Seribu menginformasikan besaran nilai penutupan karang hidup dan mengindikasikan
kondisi ekosistem terumbu karang, namun tidak ada informasi yang menyatakan nilai luasan terumbu karang di Kepulauan Seribu. Teknologi inderaja satelit
memungkinkan diketahuinya luas terumbu karang di seluruh perairan Kepulauan Seribu. Berdasarkan analisis penutupan lahan perairan laut dangkal menggunakan
data inderaja ALOS 2007 dan 2008, diketahui bahwa luas terumbu karang Kepulauan Seribu mencapai 1.873,4 ha Gambar 3. Nilai piksel yang terdapat
dalam data inderaja satelit ALOS mampu membedakan komponen karang hidup dengan komponen bentik lain yang terdapat di dasar perairan terumbu, khususnya
membedakan karang hidup dengan karang mati, pasir dan padang lamun. Tingginya tekanan lingkungan dan pelbagai kegiatan ekstraktif yang
merusak habitat dasar mengakibatkan terumbu karang di Kepulauan Seribu terkenal berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Hal tersebut juga dapat
diketahui dari analisis data ALOS, yang menyarikan bahwa komposisi luas habitat yang diisi oleh karang hidup di Kepulauan Seribu mencapai 1.283,9 ha atau
sebesar 68,53 dari total luas terumbu karang Agus et al. 2012, in press. Komposisi penutupan karang mati di Kepulauan Seribu mencapai 31.47
Gambar 3 atau meliputi luas 589,5 ha. Hasil yang berbeda diperoleh Setyawan et al. 2011 yang menuliskan bahwa penutupan karang mati hanya sekitar
16.06, namun di antara komponen bentik terumbu lain, tipe abiotik khususnya pecahan karang mendominasi hingga 36.19.
Tekanan lingkungan dan antropogenis yang berdampak destruktif terhadap terumbu karang Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi limpasan dari daratan Jawa,
khususnya berupa sedimen, limbah organik, dan polusi logam berat Rees et al. 1999, selain itu secara lokal tekanan lain dipengaruhi oleh aktivitas penangkapan
ikan yang menggunakan alat tangkap tertentu seperti muroami, bahan peledak, dan racun Suharsono 1998. Adanya sejumlah kejadian badai tropis yang
melanda kawasan Kepulauan Seribu dalam kurun waktu 5 tahun terakhir juga berdampak terhadap kerusakan terumbu karang. Bahkan, kerusakan habitat di
28
Kepulauan Seribu tidak hanya terjadi terhadap karang melainkan juga terhadap komunitas padang lamun yang tergolong kurang mendapat perhatian.
Gambar 4. Perubahan luas tutupan padang lamun di daerah penelitian,
Kepulauan Seribu Agus et al. 2012, in press