108
Stasiun pengamatan pemijahan FSPG Gambar 44B berada di zona pemanfaatan APL Panggang. Di dasar terumbu pada kedalaman ±30 meter telah
ditenggelamkan sejumlah modul terumbu buatan berbentuk kubus Sunuddin et al. 2009. Saat pengamatan pemijahan, dijumpai ada 5 spesies ikan terumbu dari 3
famili Caesionidae, Haemulidae, Serranidae dengan tanda pemijahan berupa perubahan warna jantan dan gravid betina.
Pulau Pramuka dan Karang Pengantin
Terdapat dua stasiun pengamatan pemijahan di Pulau Pramuka UPR dan SPR dan empat stasiun pengamatan juvenil lamun lihat Bab 3. Pada sub-bab ini
penampang melintang batimetri ditunjukkan untuk dua stasiun pemijahan dan satu stasiun pembesaran LPR1 yang terletak di barat laut Pulau Pramuka. Satu
transek melintang batimetri lainnya menunjukkan adanya pematang terumbu ridge reef yang disebut sebagai Karang Pengantin KPEN oleh penduduk
setempat, terletak di antara Pulau Pramuka dan Pulau Panggang Gambar 45D.
Gambar 45. Profil melintang batimetri di beting terumbu Pulau Pramuka: A.
Utara Pulau Pramuka UPR; B. Stasiun lamun di Timur Laut Pulau Pramuka LPR1; C. Selatan Pulau Pramuka SPR, dan; D.
Karang Pengantin KPEN.
109
Kecuali transek yang mengarah ke KPEN, maka beting terumbu di Pulau Pramuka tergolong broad slope yang cukup landai dengan elevasi 15-55°. Tanda
pemijahan yang dijumpai di UPR dan SPR adalah perubahan morfologi pada ikan dewasa jantan dan betina, serta tingkah laku agresif pada ikan jantan. Taksa ikan
terumbu yang menunjukkan tanda pemijahan adalah Caesionidae UPR, SPR, Lutjanidae dan Scaridae UPR, serta Serranidae SPR Gambar 45. Sebagai
bentukan geomorfologi yang ditengarai terkait erat dengan potensi habitat pemijahan ikan terumbu Heyman et al. 2008, maka shelf edge dapat dijumpai di
hampir seluruh transek UPR, LPR1, dan KPEN kecuali di SPR.
5.3.3. Model geospasial habitat pemijahan ikan terumbu
Terumbu karang menyajikan kompleksitas geomorfologi yang menyulitkan analisis kuantitatif spasial maupun penguraian tipe kondisi habitat yang mungkin
ada dan bersifat spesifik bagi suatu biota ataupun proses ekologi tertentu, seperti pemijahan ikan. Untuk mengatasi hal tersebut, Wright et al. 2005
mengembangkan teknik analisis geospasial yang disebut sebagai Benthic Terrain Modeler BTM yang terlingkup dalam perangkat ArcGIS versi 8.x dan 9.x.
Tahapan pemrosesan data dan produk integral BTM yang dihasilkan penelitian ini disajikan secara sistematis pada Gambar 32. Dari petainformasi
batimetri yang sudah dihasilkan, analisis geospasial selanjutnya diteruskan untuk melihat fitur kelerengan slopes dan rugositas rugosity. Bentukan geomorfologi
yang ditunjukkan oleh peta batimetri dikalkulasi pada lingkup spasial kecil untuk mendapatkan fitur fine BPI dan selanjutnya menguraikan struktur geomorfologi
habitat pemijahan dan dasar terumbu secara rinci, sedangkan broad BPI digunakan untuk menggambarkan zona geomorfologi daerah penelitian.
Batimetri merupakan informasi geospasial awal yang diperlukan dalam membangun BTM. Peta batimetri hasil integrasi data akustik dan citra Quickbird
diubahsuai format data rasternya menjadi ESRI grid format untuk mempersingkat waktu pemrosesan data dan penyusunan informasi geospasial. Data batimetri
dapat langsung diproses lebih lanjut menjadi dua produk geospasial baru, yaitu rugositas dan slope kemiringan, sedangkan benthic terrain maps yang
110
merupakan produk paripurna dari BTM memerlukan sejumlah tahapan proses yang diawali dengan pengukuran Indeks Posisi Batimetri BPI.
Berdasarkan hasil yang diperoleh Gambar 46, diketahui bahwa julat kedalaman di daerah penelitian adalah 0-77 meter yang ditunjukkan oleh
pewarnaan gradasi biru. Selanjutnya, komputasi data raster untuk nilai batimetri raster dikembangkan menjadi dua produk peta lain yang disebut sebagai broad
BPI pada lingkup spasial 100250 meter dan fine BPI pada 3050 meter.
Gambar 46. Profil batimetri resample hasil integrasi data akustik-Quickbird,
dengan ukuran grid 1 m x 1 m
Fitur batimetri yang ditampilkan pada Gambar 46 diperoleh menggunakan interpolasi IDW Inverse Distance Weighted, yang merupakan salah satu analisis
geostatistik dalam menetapkan autokorelasi secara spasial. Selain IDW, teknik interpolasi lain yang umum digunakan dalam analisis spasial batimetri adalah
kriging, minimum curvature, dan TIN Triangulated Irregular Network. Siregar dan Selamat 2009 menakar keunggulan teknik interpolasi kriging,
IDPIDW, dan minimum curvature dalam pemetaan batimetri perairan terumbu di Karang Lebar, Kepulauan Seribu, dan mendapati bahwa teknik yang terakhir
menunjukkan keunggulan dibandingkan dua teknik lain.
111
Fortin and Dale 2005 menyatakan bahwa tidak ada satu teknik interpolasi yang paling unggul dapat diterapkan untuk tiap situasi maupun lokasi. Lebih
diutamakan bagi peneliti untuk memilih teknik interpolator yang mampu memproduksi galat seminimal mungkin, yang juga dipengaruhi kuantitas sampel.
Sejumlah grid BPI telah dibangun dan digunakan untuk mengevaluasi karakteristik dasar periran terumbu Kepulauan Seribu. Untuk daerah penelitian,
BPI pada Gambar 47 dan 48 dianalisis pada grid sel berukuran 1 meter, menggunakan faktor skala 30 radius terdalam dan 100 radius terluar.
Gambar 47. Profil Indeks Posisi Batimetri kasar broad BPI menggunakan grid
1 m x 1 m pada lingkup terstandard 100 m.
Indeks Posisi Batimetri selanjutnya disebut BPI merupakan merupakan informasi yang diturunkan dari set data batimetri, yang pengukurannya mengacu
pada prinsip ekologi lanskap dan merupakan modifikasi metode yang diterapkan pada setting topografi pegunungan. BPI mengukur elevasi dari titik referensi
relative terhadap bentang terumbu di sekitarnya menurut faktor skala radius yang telah ditetapkan sebelumnya.
112
Gambar 48. Profil Indeks Posisi Batimetri rinci fine BPI menggunakan grid 1
m x 1 m pada lingkup terstandard 30 m
Selain BPI, pengolahan data batimetri selanjutnya menghasilkan profil rugositas dasar perairan Gambar 49 dan profil lereng terumbu atau slope
Gambar 50. Rugositas merupakan parameter yang secara tidak langsung menakar kompleksitas dasar terumbu, berdasarkan rasio metrik planar terhadap
metrik kontur. Rugositas bentik terumbu di daerah penelitian berkisar antara 1 rendah hingga 8.97 tinggi. Dari Gambar 50 terlihat bahwa secara umum profil
lereng di daerah penelitian memiliki kisaran tinggi-rendah 83.48-0. Peta lereng bentik benthic terrain maps yang merupakan visualisasi
pemrosesan BTM disajikan dalam dua format, yaitu peta zona geomorfologi terumbu Gambar 51 dan peta struktur geomorfologi terumbu Gambar 52.
Zona geomorfologi terumbu dibentuk berdasarkan integrasi data batimetri, rugosity, slope, dan broad BPI. Struktur geomorfologi terumbu dibangun
berdasarkan integrasi set data yang sama dengan zona geomorfologi, namun mempertegas faktor skala yang diterapkan dalam klasifikasi geomorfologi, yaitu
penetapan radius terdekat dan radius terjauh, serta nilai elevasi yang diberlakukan untuk masing-masing kelas.
113
Gambar 49. Profil rugositas dasar perairan menggunakan grid 1 m x 1 m
Gambar 50. Profil lereng dasar perairan menggunakan grid 1 m x 1 m
114
Gambar 51. Profil zonasi geomorfologi terumbu
Dari Gambar 51 terlihat bahwa secara umum terdapat empat kelas geomorfologi secara zonasi. Pembentukan kelas zona geomorfologi didasari oleh
bentuk dasar geomorfik terumbu yaitu rataan flat, lubuk depression, punggung crest, dan lereng slope. Zona geomorfologi terumbu dibentuk melalui coarse
BPI, selain integrasi parameter rugosity and slope. dan menggambarkan karakteristik permukaan dari dasar perairan secara sederhana.
Klasifikasi detail dari masing-masing kelas zona geomorfologi terumbu disajikan berikut:
1 Crest; merupakan titik yang nilai kedudukannya tinggi di sepanjang lereng
terumbu dengan nilai BPI positif. 2
Depression; memiliki nilai kedudukan rendah di lereng, sehigga nilai BPI lebih umum negatif.
3 Flat; menguraikan titik-titik intai yang memiliki nilai BPI mendekati 0
4 Slopes, menguraikan bahwa nilai BPI di sepanjang lereng mendekati 0.
Namun demikian, lereng dengan elevasi 5° akan ditetapkan sebagai slope.
115
Gambar 52. Struktur geomorfologi terumbu dan model geospasial habitat
pemijahan terumbu yang ditetapkan pada skala 1 m x 1 m
Gambar 52 menunjukkan model struktur geomorfologi terumbu di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya dibentuk pada sistem grid 1x1 m
2
, untuk menguraikan secara detail kondisi habitat pemijahan yang ada. Terdapat 13 kelas
struktur geomorfologi yang diturunkan dari 4 kelas zona yang diulas sebelumnya. Ketigabelas kelas geomorfologi tersebut diuraikan berikut ini:
1 Broad slope Bros; merupakan lereng terumbu yang landai dan terbentuk
jika sudut elevasi lereng ke permukaan dari dasar berkisar antara 5-45°. 2
Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret; merupakan celah atau liang sempit yang berada di antara lereng yang terangkat. Lereng tersebut
bisa terbangun oleh substrat batu rocks, karang kompak coral massive, atau tipe lifeform terumbu lain yang memungkinkan.
116
Gambar 53. Visualisasi struktur geomorfologi A: Broad slope Bros dan B:
Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret.
3 Current scoured depression Cusd; merupakan lubuk yang lebar hanya
terdeteksi melalui fitur broad BPI dan dapat dijumpai di daerah lereng yang elevasinya konstan atau di daerah yang datar.
4 Depression Deps; menunjukkan bentik terumbu yang jauh lebih rendah
dibandingkan sekitarnya.
Gambar 54. Visualisasi struktur geomorfologi A: Current scoured depression
Cusd, B: Depression Deps, C: Flat plains Flaps, dan D: Flat ridges tops, upper slopes Flus.
117
5 Flat plains Flap; merupakan bentuk permukaan dasar yang datar dengan
elevasi maksimum 5°, umumnya memiliki substrat pasir atau pecahan karang. Kedalaman bentik terumbu di lokasi tersebut mencapai 30 meter,
bahkan 77 meter. 6
Flat ridges tops, upper slopes Flus; membatasi area yang fitur broad BPI lebih tinggi dibanding sekelilingnya, namun pada fine BPI hanya
menunjukkan lereng yang landai atau rata.
Gambar 55. Visualisasi struktur geomorfologi A: Local depression, current
scours on flat Losf, B: Local ridges, boulders, pinnacles in slopes Lops, C: Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd,
dan D: Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopf.
7 Local depression, current scours on flat Losf; merujuk pada keberadaan
lubuk atau parit yang sempit terlokalisir dan menjadi tergerus akibat lintasan arus, mewujud di antara deretan koloni karang atau bentukan
terumbu yang lebih tinggi.
118
8 Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; merujuk pada bentukan
pematang koloni karangterumbu, bongkahan batu karang, atau koloni karang masif yang terlokalisir dan ada di lereng terumbu.
9 Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd; merupakan
punggungan terumbu berskala kecil dan fitur terangkat lain yang hanya bisa diketahui menggunakan fine BPI. Secara fisik, merujuk pada bentukan
pematang koloni karangterumbu, bongkahan batu karang, atau koloni karang masif yang ada di lubuk atau parit terumbu.
10 Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; merupakan bentukan pematang terumbukoloni karang, bongkahan batu karang, atau
koloni karang masif yang ada di rataan.
Gambar 56. Visualisasi struktur geomorfologi A: Rock outcrop highs, narrow
ridges Ronr, B: Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos, dan C: Steep slopes Stop.