Pembahasan INTEGRASI INDERAJA SATELIT DAN AKUSTIK

128 ikan terumbu, yaitu pemijahan. Kegiatan pemijahan merupakan proses utama yang mendukung keberlanjutan populasi ikan terumbu, sekaligus proses ekologis penting yang perlu ditindaklanjuti identifikasi wilayahnya dalam upaya konservasi terumbu karang melalui penetapan no take zone Daerah Perlindungan Laut. Fitur geomorfologi yang diduga menjadi kunci pembeda habitat pemijahan ikan terumbu dengan habitat lain di terumbu karang adalah: a Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr; b Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos; c Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; d Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd; e Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; dan f Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret. Keberadaan enam fitur geomorfologi di atas berperan penting dalam menciptakan relung unik bagi ikan terumbu dewasa yang akan atau melangsungkan kegiatan pemijahan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dari hasil yang diperoleh penelitian ini adalah, bagaimana keragaan fitur geomorfologi di habitat pemijahan lain yang ada di perairan nusantara. Dari 6 lokasi yang dipantau secara intensif, The Nature Conservancy Indonesian Program telah menetapkan 3 lokasi sebagai no take zone di perairan Wakatobi karena secara fungsional wilayah tersebut masih berperan sebagai habitat pemijahan ikan target bernilai ekonomis penting, terutama kerapu Purwanto et al. 2010.

5.5. Simpulan

Teknologi inderaja yang mengintegrasikan sistem optik satelit dan akustik bim tunggal dapat digunakan untuk menghasilkan peta dasar perairan yang berkualitas tinggi, merujuk pada profil melintang, visualisasi 2-dimensi dan 3- dimensi, serta detail bentukan geomorfologi dasar terumbu. Menggunakan inderaja optik satelit Quickbird ini memperoleh 6 kelas tematik geomorfologi, sedangkan integrasi inderaja optik-akustik yang diperkuat analisis geospasial BTM menghasilkan 13 kelas tematik geomorfologi. 129 Peta struktur dan zona geomorfologi dasar terumbu telah dihasilkan menggunakan analisis BTM, yang memiliki tingkat kedetailan tinggi grid spasial 1 m x 1 m. Karakterisasi geomorfologi secara struktural yang dikaitkan dengan pengamatan in situ tanda pemijahan ikan terumbu menyarikan informasi kunci berupa bentukan geomorfologi yang utama memengaruhi fungsionalitas habitat pemijahan. Ada lima stasiun pengamatan yang memiliki keragaan tanda pemijahan dan taksa ikan terumbu yang tinggi 2 tanda pemijahan dan 7 famili ikan, yaitu SPG, TGPG, BLPG, KPEM dan KPEN. Kesulitan menilai kondisi substrat dasar terumbu karang yang berperan sebagai habitat pemijahan dengan yang tidak, dapat diatasi dengan mengikutsertakan pemetaan geomorfologi secara struktural yang dihasilkan dari analisis geospasial BTM. Berdasarkan benthic terrain map yang secara detail menggambarkan struktur geomorfologi dasar perairan di daerah penelitian, diketahui bahwa ada enam bentukan geomorfik yang memengaruhi potensi fungsional suatu wilayah terumbu sebagai habitat pemijahan, yaitu: Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr; Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos; Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd; Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; dan Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret. Keberadaan enam fitur geomorfologi di atas berperan penting dalam menciptakan relung unik bagi ikan terumbu dewasa yang akan atau melangsungkan kegiatan pemijahan. 130 131

6. KONEKTIVITAS POTENSIAL HABITAT ONTOGENI

BERDASARKAN MODEL ALIRAN LARVA IKAN TERUMBU

6.1. Pendahuluan

Secara garis besar ikan terumbu memiliki dua fase hidup, namun terdapat beberapa tipe habitat yang dilalui masing-masing fase tersebut Nagelkerken 2009. Fase pertama adalah larva planktonik yang terbentuk di perairan terumbu karang dan terkadang terbawa ke wilayah pelagis akibat pergerakan arus, namun respon ekologi larva dan faktor hidrodinamika masih memungkinkannya untuk memasuki habitat pemeliharaan di padang lamun danatau mangrove. Fase kedua adalah sebagai nekton demersal, yang pada saat ikan melakoni fase juvenil terkait erat dengan habitat pemeliharaan di lamun, baru kemudian pindah ke habitat terumbu karang sebagai ikan dewasa. Sifat berpindah tempat, berganti tipe makanan, dan adaptasi terkait selama proses tumbuh kembang ikan terumbu dari larva hingga dewasa disebut sebagai ontogeni. Dalam penyusunan disertasi ini, dua topik utama telah diulas pada Bab 4 dan 5 mengenai konektivitas geospasial habitat ontogeni secara struktural, yang produk utamanya berupa peta habitat dan peta geomorfologi dasar perairan terumbu. Aspek konektivitas ontogeni fungsional mempertimbangkan wujud nyata hubungan antar habitat, baik secara potensial maupun secara aktual Grober- Dunsmore et al. 2009. Pada Bab ini, konektivitas geospasial habitat ontogeni ditinjau secara fungsional berdasarkan potensinya, yaitu berdasarkan simulasi aliran larva dari habitat pemijahan menuju ke padang lamun yang berperan sebagai habitat pemeliharaan ikan. Konektivitas aktual antar habitat ontogeni memerlukan teknologi yang lebih rumit. Diperlukan pencecar jejak berupa penanda akustik acoustic tag, yang ditempelkan pada tubuh ikan selama beberapa periode atau berupa radioisotop yang disuntikkan ke tubuh induktelurlarva ikan, untuk mengetahui secara pasti melalui lintasan mana suatu biota berpindah tempat dari satu habitat ke habitat lain Nagelkerken 2009. 132 Didasari fakta bahwa habitat pemijahan di terumbu karang memiliki potensi untuk terkoneksi dengan habitat pemeliharaan di padang lamun, khususnya saat ikan terumbu berada pada fase larva, maka perlu ditelusuri bagaimana konektivitas antar habitat ontogeni mewujud di perairan Kepulauan Seribu. Arus merupakan faktor oseanografi fisik yang berperan dalam penyebaran parameter- parameter fisik-kimia, seperti suhu, salinitas, dan nitrat, serta menentukan sebaran organisme planktonik di laut. Dengan demikian, aspek konektivitas potensial antar habitat ontogeni ikan terumbu akan dikaji menggunakan pemodelan hidrodinamika aliran larva dan arus permukaan menggunakan perangkat lunak MIKE-21MIKE-3. Pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan menampakkan kendala dan upaya yang besar, sehingga penggunaan simulasi komputer dengan input data batimetri resample hasil BTM lihat Gambar 46 dan sejumlah set data prediksi pasang surut dan angin digunakan untuk menentukan kecepatan dan arah arus, serta sebaran larva di daerah penelitian. Untuk menyederhanakan kompleksitas ekologi dan sistem terumbu yang rumit, sejumlah asumsi diterapkan dalam menyederhanakan model yang dibangun. Tujuan spesifik bagian disertasi ini adalah membangun model aliran larva di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya, sehingga dapat ditentukan konektivitas geospasial habitat ontogeni ikan terumbu di daerah model.

6.2. Metodologi

6.2.1. Waktu dan Tempat

Simulasi model aliran larva ikan terumbu ditetapkan untuk domain spasial di sekitar Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang dibatasi oleh koordinat 5°43 ’44.485”- 5°45’17.084” LS dan 106°4’48.297” - 106°37 ’19.743” BT. Kondisi simulasi yang digunakan adalah simulasi pola arus permukaan dengan memperhitungkan faktor batimetri grid, pengaruh angin musim dan dinamika pasang surut. musim timur Juli 2011 dan musim barat Januari 2012. Untuk penetapan titik sumber awal pergerakan larva dan pengukuran batimetri daerah penelitian, sedangkan Maret-Juli 2012 untuk pengolahan data batimetri dan pembangunan model aliran larva. 133

6.2.2. Data dan Perangkat Lunak

Sejumlah data masukan diperlukan sebagai bahan utama pembangunan model hidrodinamika dan aliran larva, sedangkan sejumlah perangkat lunak komputer diperlukan sebagai media kompilasi data, pengolahan, perancangan, pembangunan dan simulasi model tersebut. Secara ringkas, bahan dan perangkat lunak yang digunakan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Piranti keras dan lunak yang digunakan untuk model larva No Data dan perangkat lunak SpesifikasiKegunaan 1 Data batimetri Batimetri resample hasil BTM lihat Bab 5, hasil pengukuran in situ inderaja akustik bim tunggal dikombinasikan dengan profil batimetri analisis data inderaja Quickbird dengan algoritma Lyzenga 2 Data angin Prediksi ECMWF, resolusi 3 jam1.5° 3 Data pasang surut Prediksi DHI, resolusi 15 menit0.25° 4 ArcGIS ® versi 9.3 Extension: Spatial Analyst, BTM. Untuk membangun modeldata batimetri, memadukan model geospasial habitat dengan aliran larva 5 MIKE-21 Untuk membangun model hidrodinamika 6 MIKE-3 Untuk membangun model aliran larva 7 MS Excel Untuk tabulasi set data Kecuali set data batimetri, data masukan yang digunakan dalam membangun model adalah data prediksi yang diperoleh dari European Centre for Medium- Range Weather Forecasts ECMWF; http:www.ecmwf.int . Elevasi muka laut berdasarkan dinamika pasang surut diperoleh dari prediksi DHI yang tersedia dalam toolbox MIKE-21. Set data prediksi angin dan pasut disajikan pada Lampiran 71 dan 72.

6.2.3. Pembangunan model dan persamaan yang digunakan

Dalam penyusunan model aliran larva, pertama kali diperlukan model hidrodinamika yang dibangun menggunakan perangkat MIKE-21. Model yang dihasilkan disimulasikan berdasarkan dua kondisi musim, yaitu musim barat saat 134 bertiupnya angin muson barat daya dan musim timur yang menununjukkan periode angin muson tenggara berhembus. Pemodelan kondisi hidrodinamika dan aliransebaran larva ikan di daerah penelitian dilakukan dengan menyederhanakan sejumlah persamaan matematis menurut asumsi-asumsi berikut: a Densitas air laut di tiap lapisan kedalaman bersifat homogen; b Gaya yang memengaruhi pergerakan fluida massa air laut hanyalah gaya gesek terhadap angin dan dasar perairan serta gradien tekanan akibat perbedaan elevasi yang dibangkitkan oleh pasut; c Mengingat lokasi penelitian tergolong sekala kecil, maka sumber momentum lain yang mungkin berlangsung di daerah penelitian diabaikan seperti gaya Coriolis dan gaya gravitasi telurlarva ikan; d Persamaan kontinuitas diberlakukan pada sumbu-x dan sumbu-y yang dibatasi secara tertutup pada lingkup geografis daerah penelitian. e Konektivitas potensial habitat ontogeni tidak ditetapkan untuk satu taksa ikan terumbu, melainkan mengutamakan aspek distribusinya secara geospasial yang ditetapkan untuk dua periode musim yang berbeda. f Nilai kepadatan telurlarva di titik sumber adalah 72.000 kgm 3 , yang dalam perhitungannya tidak mempertimbangkan faktor mortalitas akibat predasi maupun kematian alami sepanjang periode larva pelagis berlangsung. Nilai tersebut diperoleh dari modifikasi fekunditas ikan kerapu Epinephelus itajara Sadovy and Eklund 1999 terhadap bobot basah gonadtelur, jumlah individu ikan yang bisa terlibat dalam satu episode pemijahan, dibagi volume massa air laut yang diperoleh dari luas area pemijahan pada level kedalaman kegiatan pemijahan berlangsung Nemeth 2009. Model hidrodinamika Model hidrodinamika dibangun berdasarkan persamaan kontinuitas dan persamaan momentum dengan pendekatan perata-rataan terhadap kedalaman. Model ini menggunakan pendekatan beda hingga finite difference untuk menyelesaikan persamaan yang digunakan. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: 135 Persamaan kontinuitas Persamaan 10: …………..…………………………….… Persamaan 10 Persamaan momentum: …………………………....………. Persamaan 11 pada sumbu x Persamaan 11a pada sumbu y Persamaan 11b: Dimana: Variabel tegangan permukaan terhadap dasar perairan bed shear stress untuk arah x dan y dapat dihitung dengan Persamaan 12 berikut: …………………Persamaan 12 Dimana: C f adalah koefisien gesekan yang dapat dihitung dengan formula pada berikut: ……………………………………………….Persamaan 13 Dimana: C= Koefisien Chezy; n= Koefisien Manning; λ= 1,0 136 Kedalaman rata-rata gesekan turbulen dapat dihitung menggunakan konsep viskositas Eddy dari Boussinesq. Persamaan hitungnya ditunjukkan untuk masing-masing arah, sebagaimana ditunjukkan Persamaan 14 berikut: ……………………………………….Persamaan 14 Dimana: V= 0,3±0,6 UH; V= Kecepatan arus pada arah y; U= Kecepatan arus pada x Data yang digunakan sebagai masukan model input data adalah sebagai berikut: Data Pasang Surut Data pasang surut pasut yang digunakan sebagai batas terluar model open boundary condition menggunakan data peramalan yang diperoleh dari High Resolution Global Tidal Prediction dengan Resolusi 15 menit. Data pasang surut yang diperoleh selanjutnya diinterpolasi menjadi tiap 10 detik sesuai dengan langkah waktutime step simulasi dengan menggunakan cubic spline untuk mendapatkan stabilitas pada model. Data Angin Data angin yang digunakan dengan menggunakan data prediksi ECMWF dengan resolusi spasial 1.5° dan interval data setiap 3 jam. Data angin yang digunakan sebagai masukan pada model adalah data bulan Januari musim Barat dan data bulan Juli musim Timur. 137 Model aliran larva Ikan terumbu ontogeni memiliki fase larva planktonik yang memiliki sifat hanyut terbawa dinamika gerak perairan, sehingga model Lagrangian tepat untuk diaplikasikan dalam karena kemampuannya memperhitungankan perpindahan partikel sebagai satu unit pengamatan tunggalmedium Persamaan 15a. Secara matematis, mekanisme pergerakan larva ikan ditelusuri menggunakan persamaan adveksi-difusi sebagai lanjutan dari persamaan kontinuitas Persamaan 10. Modul adveksi-difusi Persamaan 15b, khususnya paket analisis partikel PA-particle analysis, yang ada dalam perangkat MIKE-3 telah menerapkan persamaan Lagrangian. Terkait sifat konektivitas potensial yang akan dibahas secara geospasial, maka pada penelitian ini, larva ikan terumbu tidak dispesifikkan menurut satu taksa ikan terumbu tertentu yang periode larva pelagisnya berbeda satu sama lain. Secara ringkas, persamaan Lagrangian dan modul adveksidifusi larva yang digunakan berlaku pada dua dimensi x dan y, yang dituliskan sebagai berikut: …………………………….………Persamaan 15a ………………………………………………………………..…Persamaan 15b Dimana: Pada penelitian ini, periode simulasi aliran pergerakan dan sebaran larva ikan terumbu ditetapkan berlangsung selama 30 hari. Hal tersebut mengacu pada kondisi durasi pelagis larva ikan terumbu yang berkisar antara seminggu hingga tiga bulan Leis 1991. Selama simulasi dijalankan, berlaku asumsi bahwa tidak ada proses predasi, kematian larva, dan faktor lain yang memengaruhi durabilitas larva.