Akurasi peta tematik Hasil dan Pembahasan

76 serta buffer dari plot stasiun sejauh 50 m, 100 m, dan 250 m, akan menunjukkan bagaimana struktur habitat pemijahan dan habitat pembesaran ikan terumbu terkoneksi satu sama lain Gambar 26. Gambar 26. Konektivitas struktural habitat ontogeni. Berdasarkan hirarki lingkup spasial yang ditetapkan, maka stasiun penelitian yang berpotensi memiliki konektivitas struktural tinggi secara geospasial adalah KPEM, FSPG, TLPG, TPG dan LGSP, yang terletak di timur Pulau Panggang serta berbatasan dengan Gosong Pramuka Gambar 5, karena lingkup spasial antara habitat pemijahan dan pembesaran saling terkait satu sama lain. Wilayah lain yang juga menunjukkan potensi konektivitas struktural tinggi BLPG, BPG, BDPG, dan LPG1 – di barat Pulau Panggang; LPG7, TGPG, KPEN, dan LPR4 – antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka; serta seluruh stasiun penelitian yang terletak di Pulau Karya. Konektivitas struktural antar habitat ontogeni yang rendah terdapat pada stasiun-stasiun pengamatan yang berada di Pulau Pramuka, Karang Keling Cetek KKEC, dan Karang Sempit KSEM. Di KKEC dan KSEM hanya dijumpai empat taksa ikan terumbu yang menunjukkan tanda pemijahan di masing-masing stasiun pengamatan Gambar 26, yaitu Serranidae, Lethrinidae, Siganidae, dan 77 Scaridae, dan pada lingkup spasial yang ditetapkan minim luas dan jumlah tapak habitat lamun sebagai area pemeliharaan juvenil tergolong minim. Di Pulau Pramuka, tidak satupun stasiun pemijahan ikan UPR dan SPR yang bersinggungan dengan tapak habitat lamun yang memiliki juvenil ikan terumbu di dalamnya. Kemampuan ruaya ikan terumbu melintasi bentang alam sangat difasilitasi oleh adanya konektivitas antar tapak habitat yang mampu menyokong kebutuhan hidup ikan tersebut. Dengan demikian, wilayah yang memiliki beragam jalur konektivitas antar tapak habitat akan memiliki kekayaan jenis dan biomassa ikan terumbu yang tinggi pula Ogden and Gladfelter 1983.

4.3.7. Pengaruh geometrik spasial habitat ontogeni terhadap

keragaan komunitas ikan terumbu Habitat ontogeni, dalam hal ini adalah terumbu karang dan lamun, memiliki informasi yang bersifat geospasial karena kemampuan biota karang dan lamun dalam membangun habitat yang penting bagi keberlangsungan hidup ikan terumbu. Sejumlah variabel geometrik spasial ditetapkan sebagai variabel bebas yang nilainya diperoleh dari perangkat ArcGIS untuk melihat wujud masing- masing tipe dan tapak habitat secara nyata di alam. Ada tiga variabel geometrik yang diteliti dalam kaitannya dengan kekayaan taksa ikan terumbu sebagai variabel terpengaruh, yaitu jarak terdekat khusus untuk habitat pemijahan di terumbu karang, luas tapak habitat dan rasio antara beting tapak dengan luas habitat tersebut perimeter:area –P:A. Dua teknik analisis digunakan untuk menakar konektivitas struktural yang dihasilkan set data inderaja. Pertama adalah Analisis Komponen Utama AKU untuk mengetahui fitur geometrik yang paling dapat menjelaskan variasi keragaan ikan terumbu di habitat pemijahan dan di habitat pemeliharaan Gambar 27-28 dan Lampiran 60-61. Kedua adalah analisis antar variabel geospasial dan variabel kekayaan taksa ikan melalui Analisis Regresi Linier ARL pada tingkat kepercayaan 95 Tabel 9-10. 78 Keterangan: PAT250, PAT100, PAT50= perimeter:area habitat terumbu pada lingkup spasial 250, 100, dan 50 meter; AT250, AT100, AT50= luas habitat terumbu; JO250, JO100, JO50= jarak antar habitat ontogeni terdekat; SID= jumlah spesies ikan dewasa dengan tanda pemijahan; TPG, TGPG, SPG, BDPG, BPG, BLPG, UPG, TLPG= stasiun pemijahan ikan di Pulau Panggang, FSPG= Gosong Pramuka, TKAR, BKAR= stasiun pemijahan ikan di Pulau Karya; UPR, SPR= stasiun pemijahan ikan di Pulau Pramuka; KSEM= Karang Sempit; KKEC= Karang Keling Cetek; KPEM= Karang Pemanggang; KPEN= Karang Pengantin. Gambar 27. Grafik Analisis Komponen Utama pengaruh geometrik habitat terumbu karang terhadap keragaan taksa ikan dewasa Berdasarkan hasil AKU Gambar 27, Lampiran 60, dapat diketahui bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antara variabel geometrik terhadap konektivitas struktural habitat ontogeni dalam konteks ini adalah habitat pemijahan dan kekayaan taksa ikan terumbu dewasa dengan tanda pemijahan bersifat terpusat pada dua sumbu utama F1 dan F2. Secara parsial, korelasi pada sumbu F1 dapat menerangkan keragaman data hingga 64.44, sedangkan pada sumbu F2 hanya 19.71. Bila dikombinasikan, korelasi antar variabel pada dua sumbu utama mampu menguraikan keragaman data hingga 84.14. 79 Pada sumbu F1, terlihat adanya konektivitas struktural yang erat antara BKAR, TKAR, SPG, BPG, BLPG, KSEM, KKEC dan SPR yang dipengaruhi oleh variabel luas habitat terumbu karang pada tiap lingkup spasial 50, 100, dan 250 m. Selain dipengaruhi oleh variabel AT, kelompok habitat pemijahan di kuadran ini juga dipengaruhi oleh variabel jarak terdekat terhadap habitat lamun JO, juga untuk tiap lingkup spasial yang ditetapkan. Pada kuadran I ditunjukkan bahwa konektivitas struktural habitat ontogeni di UPG, TLPG, TPG, TGPG, BDPG, FSPG, KPEM, KPEN, dan UPR lebih utama dipengaruhi oleh variabel P:A proporsi antara keliling dengan luas tapak habitat terumbu atau P:A. Keutamaan tersebut ada pada PAT250 P:A pada lingkup spasial 250 m berdasarkan sumbu F1 serta dipengaruhi oleh PAT100 dan PAT50 pada sumbu F2. Pengaruh variabel geometrik terhadap kekayaan taksa ikan terumbu dewasa yang menunjukkan tanda pemijahan SID lebih utama dipengaruhi oleh variabel luas terumbu karang AT, selain juga oleh PAT250. Kontribusi masing-masing sumbu utama beserta kualitasnya ditunjukkan oleh akar ciri, yang disajikan berikut matriks korelasi antar variabel pada Lampiran 60. Hasil AKU untuk variabel geometrik habitat pemeliharaan di padang lamun ditunjukkan pada Gambar 28. Hampir sama dengan kondisi yang ada di habitat pemijahan, dari Gambar 28 dan Lampiran 61 juga diketahui bahwa korelasi antar variabel utama terpusat pada dua sumbu utama F1 dan F2, yang masing-masing menjelaskan keragaman data hingga 69.73 dan 12.32. Secara ringkas, diketahui bahwa konektivitas struktural yang ada pada habitat pemeliharaan lamun lebih menunjukkan korelasi yang positif pada sumbu F1 dan secara utama dipengaruhi oleh variabel PAL250. Pengelompokkan habitat lamun di daerah penelitian kurang terlihat jelas karena sebaran stasiunnya yang mengelompok rapat. Pada sumbu F2, konektivitas struktural antar habitat lamun dipengaruhi oleh variabel luas lamun pada tiap lingkup spasial AL, juga oleh variabel P:A pada lingkup spasial 50 dan 100 m. Keragaan taksa ikan juvenil di lamun lebih utama dipengaruhi oleh variabel luas lamun AL, khususnya pada lingkup spasial 250 m. 80 Keterangan: PAL250, PAL100, PAL50= perimeter:area habitat lamun pada lingkup spasial 250, 100, dan 50 meter; AL250, AL100, AL50= luas habitat lamun; SIJ= jumlah spesies ikan juvenil; LPG1-LPG6= stasiun pemeliharaan juvenil ikan di Pulau Panggang, LGSP= Gosong Pramuka, LKR1, LKR2= stasiun pemeliharaan juvenil ikan di Pulau Karya; LPR1-LPR4= stasiun pemeliharaan juvenil0020ikan di Pulau Pramuka. Gambar 28. Grafik Analisis Komponen Utama pengaruh geometrik habitat lamun terhadap keragaan ikan juvenil Selain Analisis Komponen Utama, dilakukan pula Analisis Regresi Linier yang diupayakan untuk melihat keterkaitan antara variabel geospasial dari masing-masing habitat pemijahan dan pemeliharaan ikan terumbu terhadap keragaan taksa ikan terumbu baik dewasa maupun juvenil. Hasil analisis tersebut disajikan dalam bentuk tabel, yaitu Tabel 9 yang menggali keterkaitan antara komunitas ikan dengan habitat terumbu karang serta Tabel 10 yang menunjukkan keterkaitan ikan juvenil terhadap habitat lamun.