Simulasi aliran larva ikan

152 153

7. PEMBAHASAN UMUM

Pemodelan informasi geospasial Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu obyek, sistem, atau konsep yang Informasi geospasial dalam bentuk peta berperan pivotal dalam perumusan mekanisme pengelolaan sumberdaya dan lingkungan maupun pemantapan rencana pengembangan jejaring kawasan perlindungan laut. Secara umum terdapat dua 2 kategori peta yang keduanya d dalam penelitian ini, yaitu peta tematik yang telah diuraikan pada Bab 3 dan peta referensi pada Bab 4. Dalam kaitannya dengan kajian konektivitas habitat ontogeni ikan terumbu, maka informasi geospasial digunakan sebagai tilik sidik dalam menjawab sejumlah pertanyaan berikut: a Bagaimanakah model geospasial dari profil geomorfologi dan habitat ikan ontogeni yang dihasilkan teknologi inderaja dalam bentuk peta? b Seperti apa konektivitas geospasial habitat ontogeni secara struktural? c Seperti apa konektivitas geospasial habitat ontogeni secara potensial? d Bagaimana implikasi hasil penelitian ini terhadap upaya konservasi terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu?

7.1. Habitat dan Komunitas Ikan Ontogeni

Terumbu karang berperan sebagai habitat pemijahan bagi ikan, udang, maupun kepiting, sedangkan lamun dan kawasan perairan dangkal di rataan terumbu lebih dominan berperan sebagai habitat pemeliharaan Nagelkerken 2009. Bila dalam proses ontogeni pemijahan ditetapkan sebagai awal proses, maka sebanyak 19 stasiun terumbu telah diamati selama hampir dua tahun untuk mencatat tanda pemijahan berikut komunitas ikan dewasa yang menunjukkan tandaaktivitas pemijahan tersebut. Daerah penelitian dibatasi oleh koordinat 5°43 ’44.485” - 5°45’17.084’ LS dan 106° 4’ 48.297” - 106° 37’ 19.743” BT, yang terdiri atas 4 pulau datar Pulau Panggang, Pulau Karya, Gosong Pramuka, dan Pulau Pramuka, beberapa bentukan gosong terumbu ca. Karang Keling Cetek dan sebagian sistem terumbu Karang Lebar, sehingga stasiun pemijahan terumbu yang diteliti hanya 17 stasiun. 154 Secara ringkas informasi mengenai catatan pemijahan ikan terumbu disajikan pada Bab 3, khususnya pada Tabel 4 halaman 34-39. Tanda pemijahan yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah 1 Betina gravid dan berlindung; 2 Courtship behavior; 3 Jantan terluka dan agresif; 4 Corakpewarnaan khusus; 5 Melindungi atau menetaskan telur; 6 Agregasi, dan; 7 Pemijahan. Secara total, tercatat 66 spesies ikan terumbu dari 22 famili yang menunjukkan tanda pemijahan, dengan tanda betina gravid sebagai yang paling umum teramati. Jenis ikan dengan frekuensi perjumpaan tertinggi saat menunjukkan tanda pemijahan adalah Serranidae ikan kerapu. Ontogeni pada ikan terumbu melibatkan aspek tingkah laku, pergantian sumber makanan, dan tipe habitat tertentu selama transisinya ketika mulai menetap pada akhir fase larva hinga tumbuh menjadi ikan juvenil dan dewasa Adams dan Eberson 2009. Dengan demikian, fase larva ikan ontogeni cenderung berlangsung di tipe habitat yang jauh berbeda dibandingkan pada fase dewasa, seperti yang dialami ikan kerapu Serranidae, ikan baronang Siganidae dan lele laut Plotosidae. Sebanyak 14 stasiun pemeliharaan di sekitar habitat lamun di zona rataan terumbu telah diamati untuk mengeksplorasi keragaan komunitas ikan juvenil Gambar 8. Diperoleh 22 famili ikan terumbu yang sebagian besar masuk kategori juvenil, dan diketahui sebagian daripadanya memiliki fase dewasa yang melakukan pemijahan massal di terumbu karang seperti yang disarikan oleh Nemeth 2009 yaitu Carangidae ikan kuwe, Haemulidae sweetlips, Lethrinidae ikan lencam, Lutjanidae ikan kakap, Nemipteridae ikan kurisi, Scaridae ikan kakatua, Serranidae ikan kerapu, Siganidae ikan baronang, dan Sphyraenidae barakuda. Keselarasan perjumpaan taksa antara ikan terumbu dewasa bertanda pemijahan dengan ikan juvenil, menghasilkan sedikitnya 9 famili ikan yang dijumpai di dua habitat berbeda pada dua fase hidup yang berbeda pula. Kesembilan famili tersebut adalah Apogonidae, Haemulidae, Lethrinidae, 155 Lutjanidae, Nemipteridae, Plotosidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Sebagian besar padang lamun di daerah penelitian tergolong komunitas campuran. Dalam mengkaji konektivitas ontogeni, penelitian ini tidak memfokuskan pada salah satu taksa ikan terumbu tertentu, melainkan mengedepankan aspek geospasial dalam menjelaskan kondisi habitat dan dinamika konektivitas yang ada Pengamatan ikan dan substrat bentik secara in situ hanya ditujukan sebagai penciri dalam menetapkan habitat yang menjadi bagian dalam proses ontogeni ikan terumbu.

7.2. Konektivitas Struktural Habitat Ontogeni Ikan Terumbu

Sifat ontogeni ikan terumbu membutuhkan sedikitnya dua tipe habitat yang berbeda untuk metamorphosis biota dari larva hingga dewasa, yaitu terumbu karang dan lamun. Peta habitat yang diperoleh dari pemrosesan data inderaja optik Quickbird menunjukkan 13 kelas tematik habitat Gambar 19, yang terdiri atas daratan pulau land, karang Rubble atau karang hidup bercampur pecahan karang KRB, Lamun Tutupan Sedang LTS, Lamun Tutupan Tinggi LTT, Perairan Dalam AD, Pasir P, Pasir KarangLamunAlga PKLA, Pasir Lamun PL, Pasir Rubble PR, Pasir RubbleLamunAlga PRLA, Rubble R, Rubble Alga RA, dan Terumbu Karang TK. Keunggulan sinoptik yang dimiliki teknologi inderaja juga mampu mendelineasi fitur habitat satu dengan habitat lainnya, selain mengukur luas habitat secara rinci. Konektivitas struktural secara sederhana ditunjukkan dari bentang habitat yang terkoneksi ataupun terpisah satu sama lain, dan peta mampu menginformasikan konektivitas struktural. Untuk menakar konektivitas struktural, kekayaan taksa ikan terumbu dewasa yang menunjukkan tanda pemijahan di habitat terumbu karang, beserta ikan juvenil yang dijumpai di habitat pemeliharaan lamun dikaitkan dengan beberapa variabel geospasial, yaitu luas habitat, rasio antara beting dan luas tapak habitat P:A, serta jarak terdekat antar habitat ontogeni. Seluruh variabel ditilik secara hirarki spasial berdasarkan lingkup 50, 100, dan 250 meter. 156 Visualisasi konektivitas struktural habitat ontogeni Gambar 26 menunjukkan bahwa KPEM, FSPG, TLPG, TPG dan LGSP di antara Pulau Panggang dan Gosong Pramuka; BLPG, BPG, BDPG, dan LPG1 di barat Pulau Panggang; LPG7, TGPG, KPEN, dan LPR4 antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka; serta BKAR dan TKAR Pulau Karya sebagai wilayah yang memiliki konektivitas struktural ontogeni yang tinggi. Sisanya, yaitu stasiun-stasiun pengamatan yang berada di Pulau Pramuka UPR, SPR, LPR3, LPR1, dan LPR2, KKEC, dan Karang Sempit KSEM sebagai wilayah yang memiliki konektivitas struktural rendah. Struktur hirarki juga ditetapkan dalam proses klasifikasi permukaan bumi, sehingga ke-13 kelas habitat tereduksi menjadi 8 kelas geomorfologi Gambar 20. Kelas geomorfologi berdasarkan pengolahan data inderaja Quickbird hanya mampu membedakan fitur dasar perairan yang berada di kedalaman dangkal. Oleh karenanya, integrasi data inderaja optik dan akustik bim tunggal digunakan untuk mengevaluasi klasifikasi geomorfologi menggunakan teknik analisis Benthic Terrain Modeler atau BTM lihat Bab 5 yang ada pada perangkat ArcGIS ® . Menggunakan analisis geospasial BTM Gambar 32, sejumlah set data geospasial dikalkulasi ulang sehingga menghasilkan peta batimetri, peta rugositas, peta indeks posisi batimetri kasar dan rinci, serta peta zona dan struktur geomorfologi Gambar 46-52, yang seluruhnya di-resample pada grid 1 m x 1 m. Geomorfologi merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan dalam memprediksi lokasi potensial habitat pemijahan ikan terumbu. Heyman et al. 2008 mendapati bahwa lokasi pemijahan massal ikan terumbu di Belize umumnya ada di shelf edgeshelf break atau di celah perairan antar pulauterumbu yang menyempit. Kombinasi klasifikasi geomorfologi terumbu dengan BTM dan pengamatan in situ di 17 stasiun pemijahan mendapati bahwa fitur geomorfik berikut dapat dijadikan penciri wilayah terumbu yang berperan ekologis sebagai habitat pemijahan ikan terumbu. Sejumlah fitur geomorfik penciri habitat pemijahan adalah: a Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr; b Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos; 157 c Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; d Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd; e Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; dan f Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret. Peta fitur geomorfik penciri habitat pemijahan di lokasi terumbu karang di perairan Pulau Panggang tersebar di sekitar pulau utama yaitu di Pulau Pramuka, Pangggang, Karya dan di Gosong Pramuka. Fitur Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr mengelilingi beting terumbu warna kuning seperti pada geomorfologi terumbu karang. Gambar 74. Peta struktur geomorfik penciri habitat pemijahan ikan terumbu di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya, Kepulauan Seribu Aspek konektivitas struktural habitat ontogeni yang ditunjukkan dalam bentuk peta, memerlukan uji lanjutan untuk memastikan akurasi klasifikasi yang dihasilkan maupun keutamaan fitur lain yang menggambarkan konektivitas tersebut. Teknologi inderaja yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan keunggulan dalam memetakan secara sinoptik, mendelineasi batas antar habitat dan antar struktur geomorfologi yang berbeda, serta membedakan substrat abiotik dengan komponen bentik hidup yang penting dalam proses ontogeni ikan terumbu. Integrasi inderaja optik dan akustik menghasilkan peta habitat dan peta 158 struktur geomorfologi yang dapat digunakan untuk menjabarkan fitur habitat pemeliharaan dan habitat pemijahan, serta komunitas ikan terumbu yang terlingkup di dalamnya. Mumby et al. 1999 menekankan keutamaan data inderaja yang memiliki akurasi tinggi dalam menakar sumberdaya pesisir dan bahan pertimbangan saat merumuskan mekanisme pengelolaannya. Oleh karena itu, pengolahan data inderaja satelit Quickbird dilakukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan klasifikasi habitat yang mendekati kondisi alam sebenarnya. Terkait itu, analisis akurasi peta tematik dilakukan menggunakan penghitungan matriks kesalahan Congalton and Green 2009 dan koefisien τ Ma and Redmond 1995. Hasil penilaian akurasi mendapati bahwa hasil klasifikasi peta tematik habitat memiliki kualitas yang cukup baik akurasi keseluruhan 68,98, dan τ 0,6882. Bahkan hasil klasifikasi tematik secara geomorfologi menghasilkan peta yang memiliki kualitas sangat baik akurasi keseluruhan 96.25 dan τ 0,9621.

7.3. Konektivitas Potensial Habitat Ontogeni Ikan Terumbu

Konektivitas habitat ontogeni secara potensial ditinjau menggunakan model aliran larva yang disimulasikan untuk dua periode musim yang berbeda, yaitu musim barat Januari 2012 dan musim timur Juli 2011. Diawali dengan penyusunan model hidrodinamika, selanjutnya model aliran larva diperoleh dengan menggunakan data masukan berupa batimetri resample BTM Gambar 46, data prediksi pasang surut dari DHI Lampiran 69 dan 70, dan data prediksi angin dari ECMWF Lampiran 71 dan 72. Simulasi aliran larva untuk musim timur dan musim barat ditunjukkan pada Gambar 69 dan 71, sedangkan simulasi sebaran larva yang dipengaruhi oleh arus, pasang surut dan angin ditunjukkan pada Gambar 70 dan 72 untuk musim timur dan musim barat. 159 Gambar 75. Visualisasi aliran larva ikan pada musim timur melintasi bentang habitat perairan laut dangkal Gambar 76. Gambar 77. Visualisasi aliran larva ikan pada musim barat melintasi bentang habitat perairan laut dangkal 160 Konektivitas potensial habitat ontogeni ikan terumbu menunjukkan variasi secara geospasial. Dari 17 stasiun pemijahan terumbu, diketahui bahwa beberapa stasiun pemijahan tidak memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni yaitu SPR, KKEC, dan BPG, baik pada musim barat maupun musim timur. Padahal BPG merupakan stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural habitat ontogeni yang tinggi, berdasarkan proksimitasnya dengan habitat lamun pada lingkup spasial 50, 100, dan 250 meter Gambar 26; Lampiran 42. Di sisi lain, KSEM menunjukkan konektivitas potensial yang tinggi untuk kedua musim, sedangkan konektivitas strukturalnya tergolong rendah terhadap habitat pemeliharaan utama. Stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni secara permanen untuk tiap musim adalah KPEN, KPEM, TPG, TLPG, UPG, SPG, TGPG, BKAR, dan KSEM. Bila pemijahan berlangsung di lokasi tersebut, maka besar kemungkinan larva yang terbentuk berhasil terekrut ke habitat pemeliharaan yang ada di daerah penelitian.

7.4. Implikasi Hasil Penelitian terhadap Konservasi Terumbu Karang

Gugusan pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan tipologi khas ekosistem pulau dataran cays, yang memiliki beragam habitat yang saling terkoneksi satu sama lain dan tersusun atas mosaik substrat dan kategori bentik yang beragam, sehingga membentuk sistem yang umum dikenal sebagai terumbu karang, padang lamun, laguna, pantai berpasir, dan tegakan mangrove. Kompleksitas spasial lingkungan laut memerlukan upaya khusus untuk mengkaji proses ekologi yang berlangsung di dalamnya, khususnya pada lingkup bentang alam landscape ecology. Wedding et al. 2011 menyatakan urgensi pengukuran struktur bentang alam laut seascape dalam perumusan pengelolaan sumberdaya perikanan dan terumbu karang, khususnya dalam aspek 1 penetapan batas dinamik antara sistem darat, perairan dangkal, dan perairan laut dalam; 2 pengukuran pola dan struktur spasial secara 3-dimensi, serta; 3 menilai dan memantau perubahan bentang alam laut.