12
2.1.1. Inderaja terumbu karang
Kegiatan pemetaan terumbu karang dan padang lamun telah giat dilakukan sejak peluncuran satelit Landsat MSS Multispectral Scanner tahun 1975.
Diawali oleh Lyzenga pada tahun 1981 yang memetakan material penutupan dasar perairan North Cat Cay, Bahama, menggunakan citra Landsat MSS dipadu dengan
pengamatan in situ foto bawah air menemukan bahwa pantulan dasar dapat dibagi ke dalam empat kelas, yaitu: batas area bervegetasi, lapisan Thalassia,
pasir karbonat berwarna putih, dan lapisan tidak bervegetasi yang keras Sagawa et al. 2007.
Prinsip kerja pendeteksian obyek terumbu karang menggunakan inderaja satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reflektansi langsung yang unik dari tiap
obyek di dasar perairan yang direkam oleh sensor satelit. Mount 2006 menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang
dapat direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak 400-650 nm. Setelah mencapai dasar perairan, kedua
sinar ini akan dihamburkan kembali ke atmosfer dan dipindai oleh sensor satelit. Setakat ini, satelit Quickbird menyediakan platform yang terbaik dengan resolusi
spasial mencapai 2,4 meter dan kemampuan deteksi paling unggul dibandingkan inderaja satelit lainnya Andrefouet and Wantiez 2010.
Nilai spektral dari masing-masing tipe substrat atau habitat perairan laut dangkal dapat dihasilkan dengan menghilangkan pengaruh atmosfer absorpsi dan
penghamburan dan kolom air refleksi, refraksi, absorpsi dan penghamburan. Perbedaan pola spektral substrat dasar kemudian menjadi kunci identifikasi
substrat dasar. Namun kemampuan membedakan substrat dasar akan turun seiring dengan pertambahan kedalaman perairan. Kajian komparasi sensor satelit dalam
memetakan perairan dangkal, khususnya habitat terumbu karang dan sekitarnya, telah dilakukan oleh Mumby et al. 1997 dan Capolsini et al. 2003 dan
diketahui bahwa data CASI dan Quickbird termasuk beberapa platform inderaja yang unggul untuk pemetaan habitat terumbu karang.
13
2.1.2. Inderaja padang lamun
Selain terumbu karang, padang lamun harus dipertimbangkan sebagai salah satu ekosistem perairan laut dangkal yang paling penting bagi manusia, karena
berperan penting dalam perikanan, khususnya sebagai daerah pemeliharaan larva dan pembesaran larvajuvenil ikan. Perkiraan global bentang padang lamun saat
ini adalah 177.000 km
2
, namun masih terdapat senjang informasi yang lebar untuk pemetaan padang lamun di Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang diduga
memiliki lamun seluas 30.000 km
2
Ooi et al. 2011; Green and Short 2003. Teknologi inderaja, seperti foto udara, citra satelit multispektral, dan citra satelit
resolusi tinggi dapat mengurangi kesenjangan pengetahuan besar informasi mengenai pemetaan padang lamun di kawasan nusantara.
Hubungan antara lamun dan karakteristik spektral adalah penting untuk interpretasi citra penginderaan jauh. Sebagai salah satu tanaman penting
membentuk-habitat di perairan pasang surut, lamun merupakan salah satu aspek yang paling penting dari produktivitas biologi kelautan, sumber utama makanan
bagi ikan, invertebrata, penyu laut dan dugong, serta banyak habitat pembibitan komersial penting spesies. Meskipun sifat sinoptik data penginderaan jauh dalam
pemetaan padang lamun, hubungan kuantitatif antara spesies lamun dan mencakup terhadap reflektansi spektral mereka masih harus sepenuhnya
dieksplorasi. Penggunaan citra multispektral atau hiperspektral untuk studi ekosistem
pesisir terus berkembang. Sebuah asumsi dasar penginderaan jauh tergantung pada fitur yang menarik unik refleksi atau memancarkan energi cahaya, pada
gilirannya, memungkinkan penggambaran dan pemetaan berbagai fitur Dekker et al. 2005; Fyfe 2003. Dengan bandwidth yang sempit, variasi dalam penyerapan
spektra elektromagnetik akan terdeteksi lebih detail menggunakan citra satelit hiperspektral. Dikombinasikan dengan data hasil pengukuran spektral in situ,
maka interpretasi citra satelit dapat digunakan untuk menetapkan kelas habitat lamun yang lebih rinci, bahkan sampai pada tingkat spesies lamun dominan atau
komposisi jenis lamun yang ada Dekker et al. 2005.
14
2.1.3. Benthic Terrain Modeller BTM
Lingkungan laut dan biota yang hidup di dalamnya sangat ditentukan oleh kondisi oseanografi dan geografi pada berbagai skala ruang dan waktu, termasuk
juga komunitas ikan terumbu di perairan laut dangkal. Saat ini ada eskalasi kajian klasifikasi geofisik yang digunakan untuk mengidentifikasi habitat biologis,
terutama yang memperbaiki teknik dan aplikasinya dalam bidang perencanaan tata ruang laut dan pesisir, konservasi dan desain jejaring daerah perlindungan
Wedding et al. 2008; Erdey-Heydorn 2008; Hogrefe et al. 2008. Pendekatan klasifikasi geofisik tersebut dinamakan Benthic Terrain Modeller BTM yang
dikembangkan oleh Wright et al. 2005 dengan memadukan deteksi tekstural dan analisis geometrik secara spasial dalam mengklasifikasi bentukan dasar laut, yang
kemudian diampu sebagai toolbox tambahan pada perangkat lunak ArcGIS
®
. Perangkat lunak ArcGIS, khususnya mulai versi 8.0 hingga terkini,
memiliki kelebihan dengan sejumlah tool geospasial yang memungkinkan penggunaan simultan set data berbeda dalam pembangunan geodatabase kelautan
untuk kebutuhan eksplorasi dan pemetaan. Metadata yang dapat jadi masukan dan diolah ArcGIS adalah data inderaja satelit, data foto udara, data akustik multibim,
data akustik sonar, sampai data observasi menggunakan kendaraan jelajah bawah laut. Integrasi BTM dalam pengolahan dan analisis metadata yang ada akan
memadukan sejumlah fungsi matematis, yaitu 1 penghitungan Indeks Posisi Batimetri Bathymetric Position IndexBPI, 2 kemajemukan profil dasar
rugosity, dan 3 aplikasi algoritma dalam mengklasifikasi tekstur bawah laut Wright et al. 2005. Salah satu aplikasi BTM dalam pemetaan secara rinci
kompleksitas dasar laut disajikan oleh Erdey-Heydorn 2008 untuk perairan Semenanjung Point Reyes, di California. Klasifikasi habitat dan fitur
geomorfologi Erdey-Heydorn diperoleh dari integrasi data IKONOS dengan data akustik GeoSwath 50kHz. Lebih lanjut lagi, Wedding et al. 2008
mengaplikasikan salah satu fungsi matematis BTM, yaitu penghitungan rugosity, dalam menganalisis keterkaitan komunitas ikan terumbu terhadap kondisi habitat
hasil klasifikasi data LiDAR di perairan Hawaii.
15
2.2. Komunitas Ikan dan Konektivitas Habitat Ontogeni
2.2.1. Komunitas ikan dan migrasi ontogeni
Di ekosistem perairan laut dangkal, ikan terumbu merupakan biota yang paling nyata terlihat dan paling bernilai ekonomis bagi masyarakat pesisir dan
pulau kecil di Kepulauan Seribu. Terdiri atas 174 spesies dari 26 famili pada tahun 2007, maka biodiversitas ikan terumbu di Kepulauan Seribu tergolong
rendah dan menunjukkan penurunan dibandingkan hasil pemantauan dua atau empat tahun sebelumnya Terangi 2007, bahkan lebih menyusut di pengamatan
tahun berikutnya menjadi hanya 168 spesies Setyawan et al. 2011. Namun demikian, tekanan terhadap sumberdaya perikanan di Kepulauan Seribu tetap
tinggi akibat pertambahan penduduk pulau, rusaknya habitat terumbu karang akibat badai, tekanan masa lampau melalui pengeboman dan penggunaan racun
dalam menangkap ikan, serta pengayaan nutrien akibat perluasan dan intensifikasi budidaya keramba jaring apung atau limbah domestik.
Gambar 2. Hubungan antar habitat ikan yang memiliki sifat ontogeni Adams
et al. 2006 diacu dalam Nagelkerken, 2009
16
Sebagian besar ikan terumbu yang bernilai ekonomis penting di Kepulauan Seribu menunjukkan sifat ontogeni, yaitu memiliki fase hidup spesifik yang
dilangsungkan di tipe habitat yang berbeda satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah ikan salome Cheilinus undulatus, ikan baronang Siganidae, ikan kerapu
Serranidae, dan ikan kakap Lutjanidae. Kerumitan strategi hidup ikan-ikan tersebut juga ditunjukkan dengan kebutuhan suatu habitat spesifik untuk memijah
secara massal, yang umumnya bersifat transient rentan karena perubahan kondisi lingkungan dapat menjadikan area terumbu yang sebelumnya berfungsi
sebagai habitat pemijahan massal menjadi tidak fungsional lagi. Hal tersebut membahayakan keberlanjutan stok spesies ikan karena fungsi reproduksi yang
tidak terpenuhi dan diperlukan migrasi yang lebih jauh lagi untuk mendapatkan habitat yang ideal untuk memijah.
Pengamatan pendahuluan untuk identifikasi lokasi potensial pemijahan ikan telah dilakukan sejak tahun September 2010 dan mendapati salah satu wilayah
terumbu di Pulau Payung Kecil sebagai daerah pemijahan ikan ekor bulan atau Thalassoma lunare Sunuddin, unpublished data. Upaya pendeteksian lokasi
pemijahan di kawasan Pulau Panggang-Pramuka dan kawasan terumbu karang di sekitarnya, baik yang alami maupun yang buatan, menjadi landasan dilakukannya
penelitian ini karena ditemukannya keunikan aspek genetika pada stok ikan salome yang populasinya kembali pulih di Kepulauan Seribu. Keunikan aspek
genetika tersebut hanya tercatat untuk wilayah Pulau Panggang-Pramuka, yang menguatkan dugaan bahwa masih ada perairan terumbu karang yang dijadikan
habitat pemijahan ikan di wilayah tersebut. Russell 2001 mengompilasi sedikitnya 133 spesies ikan terumbu yang
diketahui melakukan pemijahan agregasi di perairan terumbu karang. Sebagian besar spesies ikan yang berpijah secara agregasi menunjukkan perilaku ontogeni
di dalam daur hidupnya. Tabel 1 berikut menyajikan hanya 15 spesies yang diketahui informasi terperinci terkait pemijahan tersebut.
Tabel 1. Jenis ikan terumbu yang melakukan pemijahan agregasi di perairan terumbu karang disarikan oleh Nemeth 2009
Taksa ikan Lokasi
Titik pemijahan Bulan
Fase lunar Kondisi pasut
Referensi CAESIONIDAE
Casio teres Pulau Marshall
Terumbu yang berhadapan dengan kanal berarus kuat
dan dalam Mar-Agu
Purnama Pasang tinggi
menuju surut. Bell Colin
1986 Pterocaesio
diagramma GBR Great
Barrier Reef Sisi terumbu yang
menghadap angin 18 m Awal mu-
sim panas Sebelum surut
pasang maksimum
Thresher 1984
LABRIDAE
Cheilinus undulatus GBR
Tebing luar dari ujung terumbu 2-40 m
Okt-Jan Johannes
Squire 1988 Thalassoma
amblycephalum T. lutescens
T. quinquevitattum Pulau Marshall
Perairan jernih di pintasan terumbu-goba yang berarus
kuat Mar-Mei;
JulSep Okt, Nov
Purnama Pasang tinggi
menuju surut. Colin and Bell
1991
LETHRINIDAE
Lethrinus harak Palau
Perairan luar goba, dekat terumbu
Hampir tiap bulan
Bulan mati 5 hari
Johannes 1981 L. lentjan
Palau Bulan mati-
purnama Johannes 1981
LUTJANIDAE
Lutjanus argentimaculatus
Palau Perairan goba yang dalam
atau sepanjang lereng terumbu luar
Okt-Des Purnama
Johannes 1981 L. vitta
NW Shelf, Australia
Sep-Apr Purnama
Pasang turun Pasang naik
Davis West 1993
17