140
Gambar 63. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi dari
MSL menuju pasang tertinggi musim timur
Gambar 64. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi pasang
tertinggi musim timur
141
Arus musim barat Januari 2012
Hasil simulasi pola arus saat musim barat disajikan pada Gambar 65 sampai dengan Gambar 68. Saat permukaan air laut mencapai kondisi surut terendah,
dimana pola arus akan cenderung bergerak dari arah selatan dan akan mengalami pembelokan akibat adanya gugusan karang ke arah barat laut dan timur laut.
Kecepatan arus saat surut terendah dapat mencapai 0,995 ms dengan kecepatan arus rata-rata adalah 0,029 ms. Pola arus saat kedudukan muka air berada pada
kondisi surut terendah disajikan pada Gambar 66. Pada saat kedudukan muka air berada pada kondisi Mean Sea Level MSL
menuju surut terendah, pola arus cenderung bergerak dari arah barat menuju ke arah Timur dan Timur Laut dengan kecepatan berkisar antara 0-0,287 ms rata-
rata kecepatan arus 0,036 ms. Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi MSL menuju surut terendah disajikan pada Gambar 65.
Gambar 65. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi dari
MSL menuju surut terendah musim barat
142
Gambar 66. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi surut
terendah musim barat
Gambar 67. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi dari
MSL menuju pasang tertinggi musim barat
143
Gambar 68. Pola arus saat kedudukan muka air pada kondisi pasang tertinggi
musim barat
Saat kondisi permukaan air laut berada pada MSL menuju pasang tertinggi, pola arus cenderung mengitari gugusan terumbu menuju ke arah barat dan barat
daya dengan kecepatan berkisar 0-0,202 ms dengan rata-rata 0,023 ms. Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi MSL menuju pasang tertinggi
disajikan pada Gambar 67 sedangkan pada saat muka air mencapai pasang tertinggi kecepatan arus cenderung melemah dengan kisaran 0-0,191 ms rata-
rata 0,030 ms. Pola arus saat kedudukan muka air berada pada kondisi pasang tertinggi disajikan pada Gambar 68.
6.3.2. Simulasi aliran larva ikan
Hasil simulasi pergerakan larva selama 30 hari simulasi diperoleh untuk kondisi musim barat dan musim timur, yang disajikan pada Gambar 69 dan 72.
Penetapan periode 30 hari tidak mempertimbangkan durasi larva pelagis yang dimiliki oleh spesies ikan terumbu saat selesai peristiwa pemijahan. Atas dasar
tersebut, maka simulasi aliran larva ikan terumbu yang dihasilkan akan lebih diulas untuk mengetahui sebaran larva secara geospasial, yang mengindikasikan
konektivitas potensial antar habitat ikan terumbu ontogeni.
144
Aliran larva pada musim timur Juli 2011
Musim timur pada simulasi model aliran larva berlangsung pada bulan Juli 2012 selama 30 hari. Dari Gambar 69 diketahui bahwa sebaran larva ikan
terumbu dari 17 titik yang ditetapkan sebagai source dapat bermuara di wilayah yang dekat dari stasiun pemijahan SPG, BKAR, UPG, ataupun dapat bermuara
jauh dari stasiun pemijahan BDPG, BPG, UPR.
Gambar 69. Simulasi arah pergerakan larva ikan terumbu pada musim timur
145
Gambar 70. Simulasi sebaran larva ikan terumbu pada musim timur, menurut
kondisi pasang tertinggi atas dan surut terendah bawah
Simulasi aliran larva yang digambarkan untuk masing-masing titik source Gambar 69 menunjukkan bahwa 4 empat stasiun pemijahan berperan kurang
potensial sebagai produsen larva ikan terumbu untuk daerah penelitian, yaitu SPR, UPR, KKEC, dan BPG. Simulasi pergerakan larva yang dihasilkan menunjukkan
kondisi yang selaras dengan simulasi model hidrodinamika, yaitu bergerak ke arah timur laut dan barat daya. Diketahui bahwa ada tujuh 7 stasiun pemijahan yang
tidak memiliki konektivitas potensial berdasarkan simulasi pergerakan larva pada musim timur. Dengan demikian, cukup banyak aliran larva yang mengarah ke luar
daerah penelitian dan tidak bermuara di habitat pemeliharaan yang ditetapkan. Sebaran larva ikan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 70, pada musim
timur utamanya terkonsentasi di wilayah tengah domain penelitian. Hal tersebut menunjukkan bahwa rataan terumbu Pulau Panggang, Gosong Pramuka, dan
Pulau Karya berperan strategis sebagai daerah larva ikan terumbu bermuara.
146
Aliran larva pada musim barat Januari 2012
Musim barat pada simulasi model aliran larva berlangsung pada bulan Januari 2012 selama 30 hari. Dari Gambar 71 diketahui bahwa sebaran larva ikan
terumbu dari 17 titik yang ditetapkan sebagai source, utamanya bermuara di perairan Gosong Pramuka dan Pulau Pramuka.
Gambar 71. Simulasi arah pergerakan larva ikan terumbu pada musim barat
147
Gambar 72. Simulasi sebaran larva ikan terumbu pada musim barat, menurut
kondisi pasang tertinggi atas dan surut terendah bawah
Simulasi aliran larva yang digambarkan untuk masing-masing titik source Gambar 71 menunjukkan bahwa 4 empat stasiun pemijahan berperan kurang
potensial sebagai produsen larva ikan terumbu untuk daerah penelitian, yaitu SPR, UPR, KKEC, dan BPG. Hal tersebut ditunjukkan oleh jalur pergerakan larva yang
menuju ke luar daerah penelitian. Sebanyak 13 stasiun pemijahan memiliki konektivitas potensial habitat
ontogeni, karena jalur pergerakan larva selama 30 hari menunjukkan bahwa lintasan akhirnya bermuara di habitat padang lamun rataan terumbu bagian
dalam yang ada di dalam domain penelitian. Simulasi pergerakan dan sebaran larva menunjukkan kondisi yang selaras dengan simulasi model hidrodinamika,
yaitu bergerak ke arah timur dan timur laut. Terkait dengan konektivitas struktural habitat ontogeni yang diulas pada
Bab 4, diketahui bahwa stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural tinggi belum tentu memiliki konektivitas potensial sebagaimana ditunjukkan oleh
BPG yang muara aliran larvanya menuju ke luar daerah penelitian. Selama
148
periode bulan Januari 2012, diketahui bahwa kondisi pasang tertinggi dan surut terendah berlangsung dua kali Gambar 72 yang frekuensinya cukup selaras
dengan fase lunar bulan purnama dan bulan mati. Amplitudo pasang dan surut yang tinggi membantu pergerakan dan sebaran larva di perairan laut, bahkan
kondisi tekanan yang terkait amplitudo tinggi tersebut tak jarang menjadi pemicu berlangsungnya proses pemijahan di ikan terumbu. Faktor tersebut memediasi
perpindahan larva ikan terumbu dari perairan luar terumbu memasuki rataan terumbu yang didalamnya terdapat hamparan padang lamun yang menjadi habitat
pemeliharaan larva hingga tumbuh menjadi ikan juvenil. Dapat terlihat bahwa pada musim barat perairan rataan terumbu di barat dan
utara Pulau Panggang, di barat Pulau Karya, di timur laut Gosong Pramuka, dan di utara Pulau Pramuka berperan sebagai sink larva atau muara akhir pergerakan
larva melintasi habitat ontogeni Gambar 72. Dari hasil simulasi dua musim, diketahui bahwa sebaran larva pada musim timur lebih terbatas dibandingkan
pada musim barat. Hal tersebut dipengaruhi oleh lebih banyaknya stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas potensial rendah terhadap habitat padang
lamun di dalam sistem rataan terumbu. Mayoritas sebaran larva terkonsentrasi di sekitar perairan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka. Wilayah
sink larva terdapat di timur Pulau Karya, serta di timur dan selatan Pulau
Panggang yang mayoritas terdapat habitat padang lamun. 6.4.
Pembahasan
Konektivitas potensial habitat ontogeni ikan terumbu menunjukkan variasi secara geospasial berdasarkan kondisi musim, yang masing-masing dipengaruhi
oleh dinamika arus permukaan, pasang surut, dan angin. Dari 17 stasiun pemijahan terumbu yang ditetapkan sebagai source atau titik
produksi larva diketahui bahwa tiga stasiun pemijahan tidak memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni yaitu SPR, KKEC, dan BPG, baik pada musim barat
maupun musim timur. Padahal BPG merupakan stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural habitat ontogeni yang tinggi, berdasarkan kedekatannya
dengan habitat padang lamun pada lingkup spasial 50, 100, dan 250 meter.
149
Fitur yang menarik ditunjukkan oleh stasiun pemijahan KSEM, yang menunjukkan konetivitas struktural rendah terhadap habitat pemeliharaan utama
di bagian tengah daerah penelitian dan dalam lingkup spasial 100-250 meter terhadap perairan Karang Lebar atau beting terumbu Pulau Semak Daun. Stasiun
pemijahan KSEM menunjukkan konektivitas potensial yang tinggi pada kedua musim, sebagaimana ditunjukkan oleh aliran larva pada Gambar 75 dan 76.
Ketika musim barat berlangsung, KSEM terkoneksi dengan habitat padang lamun di Gosong Pramuka LGSP, sedangkan ketika musim timur aliran telurlarva dari
KSEM langsung diteruskan ke dalam sistem rataan terumbu Karang Lebar. Leis 1991 menyatakan bahwa sebaran larva atau juvenil ikan terumbu di
perairan pelagis dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu 1 fitur dan tingkah laku pemijahan ikan dewasa; 2 fitur oseanografi pada berbagai lingkup
spasialtemporal dan interaksinya dengan topografi dasar perairan; 3 durasi periode planktonik; 4 tingkah laku larva, dan; 5 mortalitas dan laju
pertumbuhan larva. Pada penelitian ini informasi sebaran larva untuk musim barat dan musim timur dikembangkan dari aspek pertama dan kedua, yaitu
mempertimbangkan posisi ke-17 stasiun pemijahan serta mengutamakan fitur oseanografi berupa pasang surut, angin, dan topografi dasar yang diperoleh dari
peta batimetri resample BTM Gambar 46. Bervariasinya taksa ikan terumbu yang teramati di habitat pemijahan dan
habitat pemeliharaan, menjadikan penelitian ini lebih mengedepankan aspek geospasial dibandingkan akurasi konektivitas potensial suatu taksa ikan terumbu
yang bersifat ontogeni. Akurasi konektivitas potensial antar habitat ontogeni dipengaruhi oleh durasi larva pelagis, yang berbeda-beda untuk tiap spesies.
Begitupun karakteristik habitat pemijahan yang dapat ditetapkan sebagai source larva, yang kemudian mengaitkan habitat pemijahan di terumbu karang dengan
habitat pemeliharaan di lamun.
150
Gambar 73. Simulasi sebaran larva ikan pada akhir periode simulasi musim
timur atas dan musim barat bawah.
151
Kembali pada aspek geospasial habitat ontogeni, simulasi aliran larva yang ditunjukkan pada Gambar 73 mendapati bahwa konektivitas ontogeni memang
mewujud di daerah penelitian, karena lintasan aliran larva melewati beberapa tipe habitat yang berbeda bahkan sejumlah stasiun pemijahan memiliki lintasan yang
bermuara di habitat padang lamun. Stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni secara permanen untuk tiap musim adalah KPEN,
KPEM, TPG, TLPG, UPG, SPG, TGPG, BKAR, dan KSEM. Bila pemijahan berlangsung di lokasi tersebut, maka besar kemungkinan larva yang terbentuk
berhasil terekrut ke habitat pemeliharaan yang ada di daerah penelitian.
6.5. Simpulan
Aspek geospasial dapat digunakan dalam menjelaskan konektivitas habitat ontogeni secara fungsional, sebagaimana ditunjukkan oleh konektivitas potensial
antara habitat pemijahan di terumbu karang dengan habitat pemeliharaan di padang lamun. Model geospasial habitat ontogeni berhasil diperoleh
menggunakan model aliran larva ikan terumbu, sehingga fitur konektivitas potensial yang berlangsung di daerah penelitian dapat ditelaah berdasarkan
periode musim tertentu. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa tidak semua stasiun pemijahan memiliki konektivitas habitat ontogeni dan terdapat
variasi konektivitas berdasarkan periode musim yang berbeda. Secara geospasial, kawasan perairan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan
Gosong Pramuka memiliki konektivitas habitat ontogeni yang persisten sebagaimana ditunjukkan oleh simulasi sebaran larva pada musim barat dan timur.
Sebaran larva pada musim timur lebih terbatas dibandingkan pada musim barat. Sejumlah stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural tinggi, belum
tentu memiliki konektivitas potensial, sedangkan ada juga stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural rendah namun menunjukkan konektivitas
potensial yang persisten untuk tiap periode musim.
152
153
7. PEMBAHASAN UMUM
Pemodelan informasi geospasial Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu obyek, sistem, atau konsep yang Informasi
geospasial dalam bentuk peta berperan pivotal dalam perumusan mekanisme pengelolaan sumberdaya dan lingkungan maupun pemantapan rencana
pengembangan jejaring kawasan perlindungan laut. Secara umum terdapat dua 2 kategori peta yang keduanya d dalam penelitian ini, yaitu peta tematik yang telah
diuraikan pada Bab 3 dan peta referensi pada Bab 4. Dalam kaitannya dengan kajian konektivitas habitat ontogeni ikan terumbu, maka informasi geospasial
digunakan sebagai tilik sidik dalam menjawab sejumlah pertanyaan berikut: a Bagaimanakah model geospasial dari profil geomorfologi dan habitat
ikan ontogeni yang dihasilkan teknologi inderaja dalam bentuk peta? b Seperti apa konektivitas geospasial habitat ontogeni secara struktural?
c Seperti apa konektivitas geospasial habitat ontogeni secara potensial? d Bagaimana implikasi hasil penelitian ini terhadap upaya konservasi
terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu?
7.1. Habitat dan Komunitas Ikan Ontogeni
Terumbu karang berperan sebagai habitat pemijahan bagi ikan, udang, maupun kepiting, sedangkan lamun dan kawasan perairan dangkal di rataan
terumbu lebih dominan berperan sebagai habitat pemeliharaan Nagelkerken 2009. Bila dalam proses ontogeni pemijahan ditetapkan sebagai awal proses,
maka sebanyak 19 stasiun terumbu telah diamati selama hampir dua tahun untuk mencatat tanda pemijahan berikut komunitas ikan dewasa yang menunjukkan
tandaaktivitas pemijahan tersebut. Daerah penelitian dibatasi oleh koordinat 5°43
’44.485” - 5°45’17.084’ LS dan 106° 4’ 48.297” - 106° 37’ 19.743” BT, yang terdiri atas 4 pulau datar Pulau Panggang, Pulau Karya, Gosong Pramuka,
dan Pulau Pramuka, beberapa bentukan gosong terumbu ca. Karang Keling Cetek dan sebagian sistem terumbu Karang Lebar, sehingga stasiun pemijahan
terumbu yang diteliti hanya 17 stasiun.
154
Secara ringkas informasi mengenai catatan pemijahan ikan terumbu disajikan pada Bab 3, khususnya pada Tabel 4 halaman 34-39. Tanda pemijahan
yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah 1 Betina gravid dan berlindung; 2 Courtship behavior; 3 Jantan terluka dan agresif; 4 Corakpewarnaan khusus;
5 Melindungi atau menetaskan telur; 6 Agregasi, dan; 7 Pemijahan. Secara
total, tercatat 66 spesies ikan terumbu dari 22 famili yang menunjukkan tanda pemijahan, dengan tanda betina gravid sebagai yang paling umum teramati. Jenis
ikan dengan frekuensi perjumpaan tertinggi saat menunjukkan tanda pemijahan adalah Serranidae ikan kerapu.
Ontogeni pada ikan terumbu melibatkan aspek tingkah laku, pergantian sumber makanan, dan tipe habitat tertentu selama transisinya ketika mulai
menetap pada akhir fase larva hinga tumbuh menjadi ikan juvenil dan dewasa Adams dan Eberson 2009. Dengan demikian, fase larva ikan ontogeni cenderung
berlangsung di tipe habitat yang jauh berbeda dibandingkan pada fase dewasa, seperti yang dialami ikan kerapu Serranidae, ikan baronang Siganidae dan lele
laut Plotosidae. Sebanyak 14 stasiun pemeliharaan di sekitar habitat lamun di zona rataan
terumbu telah diamati untuk mengeksplorasi keragaan komunitas ikan juvenil Gambar 8. Diperoleh 22 famili ikan terumbu yang sebagian besar masuk
kategori juvenil, dan diketahui sebagian daripadanya memiliki fase dewasa yang melakukan pemijahan massal di terumbu karang seperti yang disarikan oleh
Nemeth 2009 yaitu Carangidae ikan kuwe, Haemulidae sweetlips, Lethrinidae ikan lencam, Lutjanidae ikan kakap, Nemipteridae ikan kurisi,
Scaridae ikan kakatua, Serranidae ikan kerapu, Siganidae ikan baronang, dan Sphyraenidae barakuda.
Keselarasan perjumpaan taksa antara ikan terumbu dewasa bertanda pemijahan dengan ikan juvenil, menghasilkan sedikitnya 9 famili ikan yang
dijumpai di dua habitat berbeda pada dua fase hidup yang berbeda pula. Kesembilan famili tersebut adalah Apogonidae, Haemulidae, Lethrinidae,
155
Lutjanidae, Nemipteridae, Plotosidae, Scaridae, Serranidae, dan Siganidae. Sebagian besar padang lamun di daerah penelitian tergolong komunitas campuran.
Dalam mengkaji konektivitas ontogeni, penelitian ini tidak memfokuskan pada salah satu taksa ikan terumbu tertentu, melainkan mengedepankan aspek
geospasial dalam menjelaskan kondisi habitat dan dinamika konektivitas yang ada Pengamatan ikan dan substrat bentik secara in situ hanya ditujukan sebagai penciri
dalam menetapkan habitat yang menjadi bagian dalam proses ontogeni ikan terumbu.
7.2. Konektivitas Struktural Habitat Ontogeni Ikan Terumbu
Sifat ontogeni ikan terumbu membutuhkan sedikitnya dua tipe habitat yang berbeda untuk metamorphosis biota dari larva hingga dewasa, yaitu terumbu
karang dan lamun. Peta habitat yang diperoleh dari pemrosesan data inderaja optik Quickbird menunjukkan 13 kelas tematik habitat Gambar 19, yang terdiri atas
daratan pulau land, karang Rubble atau karang hidup bercampur pecahan karang KRB, Lamun Tutupan Sedang LTS, Lamun Tutupan Tinggi LTT, Perairan
Dalam AD, Pasir P, Pasir KarangLamunAlga PKLA, Pasir Lamun PL, Pasir Rubble PR, Pasir RubbleLamunAlga PRLA, Rubble R, Rubble Alga
RA, dan Terumbu Karang TK. Keunggulan sinoptik yang dimiliki teknologi inderaja juga mampu mendelineasi fitur habitat satu dengan habitat lainnya, selain
mengukur luas habitat secara rinci. Konektivitas struktural secara sederhana ditunjukkan dari bentang habitat
yang terkoneksi ataupun terpisah satu sama lain, dan peta mampu menginformasikan konektivitas struktural. Untuk menakar konektivitas struktural,
kekayaan taksa ikan terumbu dewasa yang menunjukkan tanda pemijahan di habitat terumbu karang, beserta ikan juvenil yang dijumpai di habitat
pemeliharaan lamun dikaitkan dengan beberapa variabel geospasial, yaitu luas habitat, rasio antara beting dan luas tapak habitat P:A, serta jarak terdekat antar
habitat ontogeni. Seluruh variabel ditilik secara hirarki spasial berdasarkan lingkup 50, 100, dan 250 meter.
156
Visualisasi konektivitas struktural habitat ontogeni Gambar 26 menunjukkan bahwa KPEM, FSPG, TLPG, TPG dan LGSP di antara Pulau
Panggang dan Gosong Pramuka; BLPG, BPG, BDPG, dan LPG1 di barat Pulau Panggang; LPG7, TGPG, KPEN, dan LPR4 antara Pulau Panggang dan Pulau
Pramuka; serta BKAR dan TKAR Pulau Karya sebagai wilayah yang memiliki konektivitas struktural ontogeni yang tinggi. Sisanya, yaitu stasiun-stasiun
pengamatan yang berada di Pulau Pramuka UPR, SPR, LPR3, LPR1, dan LPR2, KKEC, dan Karang Sempit KSEM sebagai wilayah yang memiliki konektivitas
struktural rendah. Struktur hirarki juga ditetapkan dalam proses klasifikasi permukaan bumi,
sehingga ke-13 kelas habitat tereduksi menjadi 8 kelas geomorfologi Gambar 20. Kelas geomorfologi berdasarkan pengolahan data inderaja Quickbird hanya
mampu membedakan fitur dasar perairan yang berada di kedalaman dangkal. Oleh karenanya, integrasi data inderaja optik dan akustik bim tunggal digunakan untuk
mengevaluasi klasifikasi geomorfologi menggunakan teknik analisis Benthic Terrain Modeler atau BTM lihat Bab 5 yang ada pada perangkat ArcGIS
®
. Menggunakan analisis geospasial BTM Gambar 32, sejumlah set data geospasial
dikalkulasi ulang sehingga menghasilkan peta batimetri, peta rugositas, peta indeks posisi batimetri kasar dan rinci, serta peta zona dan struktur geomorfologi
Gambar 46-52, yang seluruhnya di-resample pada grid 1 m x 1 m. Geomorfologi merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan dalam
memprediksi lokasi potensial habitat pemijahan ikan terumbu. Heyman et al. 2008 mendapati bahwa lokasi pemijahan massal ikan terumbu di Belize
umumnya ada di shelf edgeshelf break atau di celah perairan antar pulauterumbu yang menyempit. Kombinasi klasifikasi geomorfologi terumbu dengan BTM dan
pengamatan in situ di 17 stasiun pemijahan mendapati bahwa fitur geomorfik berikut dapat dijadikan penciri wilayah terumbu yang berperan ekologis sebagai
habitat pemijahan ikan terumbu. Sejumlah fitur geomorfik penciri habitat pemijahan adalah:
a Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr; b Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos;
157
c Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; d Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd;
e Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; dan f Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret.
Peta fitur geomorfik penciri habitat pemijahan di lokasi terumbu karang di perairan Pulau Panggang tersebar di sekitar pulau utama yaitu di Pulau Pramuka,
Pangggang, Karya dan di Gosong Pramuka. Fitur Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr mengelilingi beting terumbu warna kuning seperti pada
geomorfologi terumbu karang.
Gambar 74. Peta struktur geomorfik penciri habitat pemijahan ikan terumbu di
perairan Pulau Panggang dan sekitarnya, Kepulauan Seribu
Aspek konektivitas struktural habitat ontogeni yang ditunjukkan dalam bentuk peta, memerlukan uji lanjutan untuk memastikan akurasi klasifikasi yang
dihasilkan maupun keutamaan fitur lain yang menggambarkan konektivitas tersebut. Teknologi inderaja yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan
keunggulan dalam memetakan secara sinoptik, mendelineasi batas antar habitat dan antar struktur geomorfologi yang berbeda, serta membedakan substrat abiotik
dengan komponen bentik hidup yang penting dalam proses ontogeni ikan terumbu. Integrasi inderaja optik dan akustik menghasilkan peta habitat dan peta
158
struktur geomorfologi yang dapat digunakan untuk menjabarkan fitur habitat pemeliharaan dan habitat pemijahan, serta komunitas ikan terumbu yang
terlingkup di dalamnya. Mumby et al. 1999 menekankan keutamaan data inderaja yang memiliki akurasi tinggi dalam menakar sumberdaya pesisir dan
bahan pertimbangan saat merumuskan mekanisme pengelolaannya. Oleh karena itu, pengolahan data inderaja satelit Quickbird dilakukan sedemikian rupa
sehingga menghasilkan klasifikasi habitat yang mendekati kondisi alam sebenarnya. Terkait itu, analisis akurasi peta tematik dilakukan menggunakan
penghitungan matriks kesalahan Congalton and Green 2009 dan koefisien τ Ma and Redmond 1995. Hasil penilaian akurasi mendapati bahwa hasil klasifikasi
peta tematik habitat memiliki kualitas yang cukup baik akurasi keseluruhan 68,98, dan τ 0,6882. Bahkan hasil klasifikasi tematik secara geomorfologi
menghasilkan peta yang memiliki kualitas sangat baik akurasi keseluruhan 96.25 dan τ 0,9621.
7.3. Konektivitas Potensial Habitat Ontogeni Ikan Terumbu
Konektivitas habitat ontogeni secara potensial ditinjau menggunakan model aliran larva yang disimulasikan untuk dua periode musim yang berbeda, yaitu
musim barat Januari 2012 dan musim timur Juli 2011. Diawali dengan penyusunan model hidrodinamika, selanjutnya model aliran larva diperoleh
dengan menggunakan data masukan berupa batimetri resample BTM Gambar 46, data prediksi pasang surut dari DHI Lampiran 69 dan 70, dan data prediksi
angin dari ECMWF Lampiran 71 dan 72. Simulasi aliran larva untuk musim timur dan musim barat ditunjukkan pada Gambar 69 dan 71, sedangkan simulasi
sebaran larva yang dipengaruhi oleh arus, pasang surut dan angin ditunjukkan pada Gambar 70 dan 72 untuk musim timur dan musim barat.
159
Gambar 75. Visualisasi aliran larva ikan pada musim timur melintasi bentang
habitat perairan laut dangkal
Gambar 76.
Gambar 77. Visualisasi aliran larva ikan pada musim barat melintasi bentang
habitat perairan laut dangkal
160
Konektivitas potensial habitat ontogeni ikan terumbu menunjukkan variasi secara geospasial. Dari 17 stasiun pemijahan terumbu, diketahui bahwa beberapa
stasiun pemijahan tidak memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni yaitu SPR, KKEC, dan BPG, baik pada musim barat maupun musim timur. Padahal
BPG merupakan stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural habitat ontogeni yang tinggi, berdasarkan proksimitasnya dengan habitat lamun pada
lingkup spasial 50, 100, dan 250 meter Gambar 26; Lampiran 42. Di sisi lain, KSEM menunjukkan konektivitas potensial yang tinggi untuk
kedua musim, sedangkan konektivitas strukturalnya tergolong rendah terhadap habitat pemeliharaan utama. Stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas
potensial habitat ontogeni secara permanen untuk tiap musim adalah KPEN, KPEM, TPG, TLPG, UPG, SPG, TGPG, BKAR, dan KSEM. Bila pemijahan
berlangsung di lokasi tersebut, maka besar kemungkinan larva yang terbentuk berhasil terekrut ke habitat pemeliharaan yang ada di daerah penelitian.
7.4. Implikasi Hasil Penelitian terhadap Konservasi Terumbu Karang
Gugusan pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan tipologi khas ekosistem pulau dataran cays, yang memiliki beragam habitat yang saling terkoneksi satu
sama lain dan tersusun atas mosaik substrat dan kategori bentik yang beragam, sehingga membentuk sistem yang umum dikenal sebagai terumbu karang, padang
lamun, laguna, pantai berpasir, dan tegakan mangrove. Kompleksitas spasial lingkungan laut memerlukan upaya khusus untuk mengkaji proses ekologi yang
berlangsung di dalamnya, khususnya pada lingkup bentang alam landscape ecology. Wedding et al. 2011 menyatakan urgensi pengukuran struktur bentang
alam laut seascape dalam perumusan pengelolaan sumberdaya perikanan dan terumbu karang, khususnya dalam aspek 1 penetapan batas dinamik antara
sistem darat, perairan dangkal, dan perairan laut dalam; 2 pengukuran pola dan struktur spasial secara 3-dimensi, serta; 3 menilai dan memantau perubahan
bentang alam laut.
161
Konektivitas habitat ontogeni yang ditinjau secara struktural dan fungsional berdasarkan konektivitas potensial menunjukkan lingkup geospasial yang
berperan kritis dalam upaya konservasi terumbu karang dan pemulihan sumberdaya perikanan terumbu. Secara geospasial, diketahui bahwa KPEN,
KPEM, TLPG, UPG, KSEM, SPG, TGPG, TPG, dan BKAR merupakan stasiun yang memiliki konektivitas potensial tinggi berdasarkan konsistensi aliran larva
yang menuju habitat pemeliharaan pada musim berbeda sekalipun. Pada musim timur, perairan lamun dan rataan terumbu di Pulau Panggang dan Pulau Karya
berperan dominan sebagai habitat pemeliharaan, sedangkan pada musim barat habitat pemeliharaan larva terlihat lebih luas melingkupi daerah penelitian. Fakta
tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penetapan moratorium daerah perlindungan laut ataupun pemberlakukan zona lindung tambahan.
Sebagian wilayah perairan terumbu di Gosong Pramuka telah ditetapkan sebagai Area Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat untuk Kelurahan Pulau
Panggang. Sebagaimana kawasan konservasi yang telah ditetapkan di kawasan nusantara, umumnya hanya menekankan aspek bentik terumbu berdasarkan
persentase penutupan
karang hidup.
Hasil penelitian
ini mencoba
mengarusutamakan aspek geospasial yang menghubungkan beberapa tipe habitat pesisir yang berbeda, namun integral dalam memastikan keberlanjutan stok dan
populasi ikan terumbu yang bernilai ekonomis penting bagi masyarakat dan bernilai ekologis bagi kesehatan ekosistem terumbu karang.
Pada akhirnya,
model geospasial
yang dihasilkan,
baik yang
menggambarkan konektivitas struktural maupun konektivitas potensial habitat ontogeni dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memperbarui
lingkup spasial kawasan perlindungan, baik di kawasan Taman Nasional maupun di Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, sehingga dapat meningkatkan
efektivitas konservasi terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu.
162