Habitat dan Komunitas Ikan Ontogeni

162 163

8. KESIMPULAN UMUM

8.1. Simpulan

Klasifikasi citra Quickbird dapat digunakan untuk menghasilkan peta tematik yang detail dan lebih mendekati karakteristik habitat perairan laut dangkal yang sesungguhnya dengan menghasilkan 13 kelas habitat bentik dan 6 kelas tematik geomorfologi. Teknologi inderaja yang mengintegrasikan sistem optik satelit dan akustik bim tunggal dapat digunakan untuk menghasilkan peta dasar perairan yang berkualitas tinggi, merujuk pada profil melintang, visualisasi 2- dimensi dan 3-dimensi, serta detail bentukan geomorfologi dasar terumbu. Integrasi inderaja optik-akustik yang diperkuat analisis geospasial BTM menghasilkan 13 kelas tematik geomorfologi dimana ada enam bentukan geomorfik yang memengaruhi potensi fungsional suatu wilayah terumbu sebagai habitat pemijahan, yaitu: Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr; Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos; Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd; Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; dan Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret. Keberadaan enam fitur geomorfologi berperan penting dalam menciptakan relung unik bagi ikan terumbu dewasa yang akan atau melangsungkan kegiatan pemijahan. Pemetaan habitat dan komunitas ikan terumbu menggunakan pendekatan hirarki spasial, secara geospasial menunjukkan adanya konektivitas struktural habitat ontogeni di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya, di Kepulauan Seribu. Respon komunitas ikan terhadap fitur spasial habitat bentiknya bervariasi menurut lingkup spasial tertentu dan tidak selalu menunjukkan keterkaitan yang erat. Konektivitas potensial habitat ontogeni ikan terumbu menunjukkan variasi secara geospasial berdasarkan kondisi musim, yang masing-masing dipengaruhi oleh dinamika arus permukaan, pasang surut, dan angin. Dari 17 stasiun pemijahan terumbu yang ditetapkan sebagai source atau titik produksi larva diketahui bahwa tiga stasiun pemijahan tidak memiliki konektivitas potensial habitat ontogeni yaitu 164 SPR, KKEC, dan BPG, baik pada musim barat maupun musim timur, padahal BPG merupakan stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural habitat ontogeni yang tinggi, berdasarkan kedekatannya dengan habitat lamun. Secara geospasial, kawasan perairan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka memiliki konektivitas habitat ontogeni yang persisten sebagaimana ditunjukkan oleh simulasi sebaran larva pada musim barat dan timur. Sebaran larva pada musim timur lebih terbatas dibandingkan pada musim barat. Sejumlah stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural tinggi, belum tentu memiliki konektivitas potensial, sedangkan ada juga stasiun pemijahan yang memiliki konektivitas struktural rendah namun menunjukkan konektivitas potensial yang persisten untuk tiap periode musim.

8.2. Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah: 1. Mengampu pengelompokkan jenjang trofik dan sifat ontogeni yang lebih spesifik dalam analisis konektivitas struktural, sehingga diperoleh keterkaitan ikan-habitat yang lebih erat. 2. Mengintegrasikan set data inderaja akustik dalam menelaah variabel habitat bentik, khususnya untuk stasiun pengamatan yang kedalamannya melebihi kemampuan perekaman data citra satelit secara optic yang menembus perairan laut dangkal. 3. Penggunaan set data akustik multibeamsidescan sonar atau data inderaja lidar yang lebih akurat dalam menyusun dan menganalisis data terrain modeller untuk zonasi dan struktur geomorfologi detil terumbu karang.