Catatan pengamatan pemijahan ikan terumbu 2010-2012

43 Pulau Karya TKAR dan BKAR Di perairan Pulau Karya, sebanyak dua stasiun terumbu diamati tanda pemijahannya dan dinilai kondisi bentik penyusun substrat terumbu, yaitu BKAR Barat Pulau Karya dan TKAR Timur Pulau Karya. Tidak banyak keragaan ikan terumbu yang menunjukkan tanda pemijahan di kedua stasiun tersebut. Komunitas bentik terumbu di BKAR tergolong sangat buruk dan didominasi oleh pecahan karang, sedangkan di TKAR penutupan karang hidup termasuk kategori sedang dan tercatat lebih banyak taksa ikan terumbu yang memiliki tanda pemijahan 6 spesies.

3.4. Padang Lamun sebagai Habitat Pemeliharaan Juvenil Ikan

Padang lamun Gambar 7 adalah tumbuhan vaskular dan berbunga sejati yang khusus hidup terendam di daerah pasang surut berair asin dan kerap dijumpai terbentang luas di perairan laut dangkal membentuk hamparan yang berdensitas rendah hingga tinggi, baik dari spesies tunggal monospesifik maupun campuran Hemminga and Duarte 2006. Fungsi ekologis yang disediakan padang lamun utamanya terkait dengan perannya sebagai produsen primer yang menyediakan karbohidrat dan oksigen di perairan laut, selain sebagai perantara fungsional dan penyangga antara terumbu karang, mangrove dan pantai, serta sebagai habitat pemeliharaan yang penting bagi sejumlah spesies komersial ikan, udang maupun habitat mencari makan bagi spesies laut yang terancam punah seperti duyung dan penyu. Gambar 7. Morfologi lamun dan hamparan lamun di perairan Kepulauan Seribu 44 Padang lamun yang dijumpai di daerah penelitian Kepulauan Seribu ada 8 dari 10 spesies padang lamun yang diperoleh kajian cepat Yayasan TERANGI pada tahun 2010 Setyawan et al. 2011. Kedelapan spesies tersebut adalah Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule univervis, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Masyarakat Kepulauan Seribu umum menyebut padang lamun sebagai samo’-samo’. Pengamatan juvenil ikan dilakukan di 14 stasiun penelitian yang terletak di rataan terumbu atau di padang lamun, yang unit pengamatannya berdasarkan stasiun groundtruth penelitian ini. Penilaian in situ kondisi komunitas padang lamun dilakukan berdasarkan metode Seagrass Watch MacKenzie et al. 2003 dan diketahui bahwa kisaran padang lamun berada pada kisaran penutupan rendah, sedang dan tinggi padat, terutama di Pulau Panggang dan Pramuka. Tabel 6. Komposisi penutupan jenis lamun Keterangan: Cr= Cymodocea rotundata; Cs= Cymodocea serrulata; Ea= Enhalus acoroides; Hu= Halodule uninervis; Ho= Halophila ovalis; Hm= Halophila minor; Si= Syringodium isoetifolium; Th= Thalassia hemprichii; 1= kelas habitat lamun penutupan rendah PLPKLAPRLA –kategori habitat di Bab 4; 2= kelas habitat lamun penutupan sedang 30-60; 3= kelas habitat lamun penutupan tinggi 60\ 45

4.2.1. Catatan pengamatan juvenil ikan terumbu di Kepulauan

Seribu 2011-2012 Ada dua 2 periode pengamatan juvenil ikan, yaitu Juni 2011 dan Pebruari 2012, secara umum dua periode tersebut bukan ditujukan sebagai ulangan pengamatan juvenil di masing-masing stasiun. Elaborasi pengamatan juvenil ikan disarikan menurut referensi letak stasiun penelitian terhadap pulau terdekat. Kikuchi 1966 in Hemminga and Duarte 2000 menetapkan empat 4 kategori ikan terumbu yang ditemukan di habitat padang lamun berdasarkan sifat bermukimnya, yaitu: 1 ikan yang menetap di habitat padang lamun secara permanen sepanjang masa hidupnya, 2 ikan yang menetap sementara secara musiman atau selama satu fase kehidupannya saja, 3 ikan yang berkunjung secara berkala ke habitat padang lamun, misalnya ikan yang beruaya dari perairan terumbu karang saat kondisi pasang naik, dan 4 pendatang periode ruayanya tak dapat diprediksi menurut kondisi tertentu. Gambar 8. Keragaan komunitas juvenil ikan terumbu di stasiun pemeliharaan padang lamun Selama penelitian ini berlangsung, dijumpai 21 famili ikan terumbu di stasiun padang lamun daerah penelitian. Merujuk pada kategori Hemminga and Duarte 2000, berdasarkan taksa dan ukuran tubuh ikan, maka komunitas ikan 46 yang tersampel terbagi ke dalam 3 kelompok yaitu Kelompok 1 yang menetap permanen, Kelompok 2 yang menetap sementara di padang lamun, khususnya hanya pada fase juvenil saja, dan Kelompok 3 yang ruayanya tidak dapat diprediksi. Ikan yang termasuk Kelompok 1 adalah Blenniidae, Monacanthidae, Glaucosomidae, Gobiidae, dan Syngnathidae. Selain Scorpaenidae yang termasuk Kelompok 3, maka 15 famili lain yang dijumpai tergolong pada Kelompok 2 yang merupakan ikan terumbu yang bersifat ontogeni. Sebagian dari 15 famili tersebut merupakan ikan target, yang diketahui melakukan proses pemijahan secara massal di wilayah terumbu karang. Ikan terumbu ontogeni yang menjadi target tangkapan nelayan dan melakukan pemijahan massal di terumbu karang adalah Carangidae ikan kuwe, Haemulidae sweetlips, Leiognathidae, Lethrinidae ikan lencam, Lutjanidae ikan kakap, Nemipteridae ikan kurisi, Scaridae ikan kakatua, Serranidae ikan kerapu, Siganidae ikan baronang, dan Sphyraenidae barakuda. 47

4. KONEKTIVITAS STRUKTURAL HABITAT ONTOGENI

BERDASARKAN ANALISIS GEOSPASIAL DATA INDERAJA SATELIT QUICKBIRD

4.1. Pendahuluan

Gugusan pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan tipologi khas ekosistem pulau karang coral cays, yang memiliki beragam habitat yang saling terkoneksi satu sama lain, yaitu adanya terumbu karang, padang lamun, goba, pantai pasir, dan mangrove. Struktur geomorfologi pulau dan bentang terumbu di Kepulauan Seribu erat dipengaruhi oleh akresi terumbu karang yang secara bertahap menuju permukaan laut dan membentuk gosong terumbu, sedangkan angin musiman dan hidrodinamika secara umum mempengaruhi morfologi gosong terumbu dan pulau yang umumnya memiliki elevasi tidak lebih dari 10 meter di atas permukaan laut Tomascik et al. 1997. Dalam kajian ekologi spasial, konektivitas merupakan aspek kajian yang rumit karena tiap makhluk hidup memiliki lingkup ruang yang berbeda satu sama lain, untuk berinteraksi ataupun memenuhi kebutuhan hidup. Konektivitas diartikan oleh Crooks and Sanjayan 2006 dalam Nagelkerken 2009 sebagai pintasan yang secara interaktif menghubungkan biota dan proses ekologis terkait di dalam elemen bentang alam tertentu. Grober-Dunsmore et al. 2009 membagi konteks konektivitas ekologi di perairan laut dangkal menjadi tiga, yaitu 1 konektivitas struktural, 2 konektivitas potensial, dan 3 konektivitas fungsional. Konsep konektivitas struktural umumnya merujuk pada bentang alam, sebaran tapak habitat, dan struktur fisik lingkungan Gambar 9, sehingga secara teknis informasi peta sebaran habitat yang diperoleh dari analisis data inderaja satelit dapat mengindikasikan tingkat konektivitas di wilayah tersebut. Proksimitas antar tapak habitat yang berbeda dan pola pemintakatan akan memengaruhi tingkat konektivitas yang mendukung keberhasilan proses ontogeni spesies ikan terumbu. Gambar 9a menunjukkan wilayah yang memiliki konektvitas struktural yang optimal karena letak tapak habitat lamun sebagai 48 habitat pemeliharaan juvenil berdekatan dengan tapak habitat terumbu, sehingga mendukung keselamatan biota ketika beruaya untuk mencari makan atau mencari perlindungan. Gambar 9b dan 9c menunjukkan bahwa tapak habitat semakin terpisah jauh satu sama lain dan umumnya hanya biota dewasa yang mampu beruaya melintasi bentang habitat tersebut, sedangkan kemungkinan predasi atau kematian bagi larvajuvenil ketika melintas akan semakin tinggi. Gambar 9. Konektivitas struktural antar habitat ontogeni,yang bersifat optimal a dan kurang optimal b dan c; dipengaruhi oleh jarak antar tapak habitat yang mengakomodasi ruaya biota baik dewasa maupun juvenil modifikasi Grober-Dunsmore et al. 2009 Green et al. 2000 menguraikan pemanfaatan data inderaja satelit dalam memetakan dan membedakan beting tapak habitat pesisir satu dengan lainnya, yang seiring perkembangannya diupayakan agar hasil analisis inderaja satelit semakin akurat berikut informasi petanya selaras dengan hasil pengukuran in situ. Aplikasi teknologi inderaja satelit dalam kajian di perairan terumbu karang utamanya mengarah pada pemetaan habitat dasar, selain berupaya mengetahui nilai penutupan karang yang menjadi penyusun utama habitat dasar Isoun et al. 2003; Mumby et al. 1998, zonasi dan lingkungan pesisir terkait Mumby et al., 2004, hingga bentang pesisir dan geomorfologi Phinn et al., 2012. Upaya mengkaji komunitas ikan terumbu menggunakan data inderaja diawali pada awal tahun 2000an, ketika Kendall di tahun 2003 mencoba menganalisis bentang pesisir yang dijelajahi ikan Haemulon flavolineatum Famili 49 Haemulidae di perairan terumbu karang Atlantik diacu dalam Mellin et al. 2009. Setelah itu semakin marak penelitian yang menerapkan data inderaja dalam kajian ekologi ikan terumbu, mulai dari aspek biodiversitas Mellin et al. 2009; Grober-Dunsmore et al. 2008, struktur komunitas Knudby et al., 2011, pendugaan stok Siregar et al. 2009, 2008, hingga aspek pengelolaan perikanan dan pengaturan wilayah perlindungan Hamel and Andrefouet 2010; Wedding et al. 2011. Aspek mendasar melandasi aplikasi inderaja dalam kajian ekologi ikan terumbu adalah kemampuan pendeteksian kondisi habitat, dan tidak langsung dikaitkan terhadap komunitas ikan tersebut. Dalam lingkup penelitian disertasi yang berjudul “Kajian Konektivitas Habitat Ontogeni menggunakan Pemodelan Geospasial di Perairan Kepulauan Seribu”, bab ini akan menguraikan aplikasi inderaja optik dari satelit beresolusi spasial tinggi Quickbird dalam menakar konektivitas struktural habitat ontogeni ikan terumbu. Tujuan spesifik salah satu bagian dari disertasi ini adalah: 1 memetakan secara tematik kondisi habitat dan geomorfologi perairan dangkal di kawasan Pulau Panggang dan sekitarnya, serta 2 menguraikan geometrik spasial dalam mengukur dan mengkaji konektivitas struktural habitat ontogeni ikan terumbu.

4.2. Metodologi

4.2.1. Waktu dan tempat

Penelitian ini dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pengamatan habitat terumbu karang pada September 2010 hingga April 2012 untuk mengetahui tandakegiatan pemijahan ikan terumbu dan mengambil contoh ikan juvenil di padang lamun. Lokasi penelitian bertempat di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya, Kepulauan Seribu. Gambar 10 menunjukkan lingkup ruang lokasi penelitian yang dibatasi oleh koordinat 5°43 ’44.485” - 5°45’17.084” LS dan 106°34 ’48.297” - 106°37’19.743” BT. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Bagian Inderaja dan SIG Kelautan, FPIK-IPB serta Laboratory for Remote Sensing and Ecology, SEAMEO-Biotrop. 50 73. Gambar 10. Lokasi penelitian: perairan laut dangkal di sekitar Pulau Panggang, Pulau Pramuka dan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. Terdapat 31 stasiun penelitian ontogeni, yang terbagi atas 17 stasiun pengamatan pemijahan ikan di terumbu karang dan 14 stasiun pengamatan juvenil ikan terumbu di lamun Gambar 10. Berdasarkan referensinya terhadap daratan, maka terdapat 15 stasiun penelitian di Pulau Panggang, 4 stasiun di Pulau Karya, 2 stasiun di Gosong Pramuka, dan 6 stasiun di Pulau Pramuka. Empat stasiun penelitian lain terdapat di luar sistem daratan pulau, yaitu Karang Sempit KSEM, Karang Keling Cetek KKEC, Karang Pengantin KPEN, dan Karang Pemanggang KPEM. Dua di antaranya, yaitu Karang Pengantin KPEN dan Karang Pemanggang KPEM, tergolong sebagai submergedreefs atau ridge reefs karena tidak terlihat jika hanya mengandalkan data inderaja satelit. Secara geomorfologi kedua stasiun penelitian tersebut membentuk punggungan bukit di dasar laut yang memanjang ±300 meter pada kedalaman 15-35 meter.

4.2.2. Bahan, alat, dan alur penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data inderaja satelit WorldView-2 dan Quickbird, dengan tanggal akuisisi 30 Maret 2011 dan 28 September 2008, serta data referensi geografis saat groundtruthing 51 menggunakan GPS Global Positioning System maupun differential GPS. Set data kondisi habitat dan komunitas ikan yang diperoleh saat groundtruthing digunakan sebagai data atribut dalam perangkat analisis SIG. Tabel 7. Jenis dan sumber data yang digunakan No Jenis data Sifat data Sumber Satuan variabel P S 1 Data Quickbird √ DigitalGlobe Inc. - 2 Data referensi geografis √ Lapangan a° a ’ a” 3 Penutupan dan kategori lamun √ Lapangan i dan L i 4 Penutupan dan kategori bentik terumbu √ Lapangan i dan L i 5 Jumlah dan jenis ikan terumbu secara umum √ Lapangan i dan n i , N 6 Jumlah dan jenis juvenil ikan √ Lapangan i dan n i , N 7 Jumlah jenis ikan dengan tanda pemijahan √ Lapangan S Keterangan: P=Primer; S= Sekunder Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS Garmin 76CSX, dGPS Trimble, kapal, serta perangkat keras dan lunak komputer untuk pengolahananalisis data. Peralatan groundtruthing lain yang digunakan adalah perangkat selam dasar dan SCUBA Self-Contained Underwater Breathing Apparatus; instrumen pengukur pasut;transek kuadrat 0,5 m x 0,5 m, transek rantai, dan rol meter; alat tulis bawah air, kamera dan video digital beserta underwater housing. Perangkat lunak yang digunakan untuk pemrosesan dan analisis data spasial adalah OZ explorer, ENVI, Garmin Map Source, ERDAS, ArcGIS; sedangkan untuk komunitas bentik dan ikan terumbu adalah MS-Excel, XL-STAT dan STATISTICA.

4.2.3. Pengolahan dan analisis data inderaja satelit

Secara ringkas, alur pengolahan dan analisis data inderaja disarikan pada Gambar 11. 52 Gambar 11. Alur pengolahan dan analisis data inderaja satelit Pengolahan data mendasar Tahapan pengolahan data inderaja satelit dijelaskan sebagai berikut: a. Koreksi Radiometrik , Koreksi Radiometrik yang dilakukan pada tahap ini adalah koreksi terhadap kesalahan eksternal atau yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Pra-pengolahan data berupa restorasi citra, yaitu mengoreksi kesalahan sistematik yang disebabkan oleh distorsi radiometrik pada saat perekaman data, sehingga memperbaiki posisi dan piksel pada citra. Citra Satelit QuickBird 2008 Worldview 2011 Penyimpanan Data Koreksi Radiometrik Geometrik GPS Garmin 76CXS Trimble GeoXH Penajaman Citra RGB Histogram Enhc Klasifikasi Alg Lyzenga Supervised dan Unsupervised Maximum Likelihood Raster to Vektor Filtering : Smoothing Majority GCP Lokasi Koreksi Pasut Ground Truth Kelas Habitat Terumbu Karang Lamun Pasir Rubble Karang Mati Kelas Geomorfologi Reef Slope Reef Crest Lagoon Deep Water Land Re-klasifikasi Kelas Geomorfologi Kelas Bentik Habitat Uji Akurasi Matriks Kesalahan