Model geospasial habitat pemijahan ikan terumbu

118 8 Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; merujuk pada bentukan pematang koloni karangterumbu, bongkahan batu karang, atau koloni karang masif yang terlokalisir dan ada di lereng terumbu. 9 Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd; merupakan punggungan terumbu berskala kecil dan fitur terangkat lain yang hanya bisa diketahui menggunakan fine BPI. Secara fisik, merujuk pada bentukan pematang koloni karangterumbu, bongkahan batu karang, atau koloni karang masif yang ada di lubuk atau parit terumbu. 10 Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; merupakan bentukan pematang terumbukoloni karang, bongkahan batu karang, atau koloni karang masif yang ada di rataan. Gambar 56. Visualisasi struktur geomorfologi A: Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr, B: Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos, dan C: Steep slopes Stop. 119 11 Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr; merupakan bongkahan karang yang membentuk kanal sempit, dan menggunakan grid coarse maupun fine BPI tetap sebagai lereng yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya. 12 Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos; merupakan bentukan lereng berskala kecil, bongkahan karang kompak yang terpisah, atau bisa juga berupa lubukcerukan di lereng terumbu. 13 Steep slopes Stop; merupakan lereng terumbu yang terjal dan biasanya memiliki elevasi 50°

5.4. Pembahasan

Klasifikasi bentik terumbu karang tergolong sulit untuk dilakukan secara konseptual karena rumitnya kondisi dasar yang terdiri atas beragam tipe substrat, walaupun informasi dasar perairan mulai mengemuka sebagai aspek penelitian yang dibutuhkan dalam perencanaan kawasan konservasi laut Heyman et al. 2011. Bila dibandingkan, pemetaan struktur dasar perairan yang memiliki tingkat ketelitian serupa atau mendekati sistem terestrial baru mencakup sekitar 5-10 dari total luas wilayah laut di dunia Wright and Heyman 2008. Aplikasi inderaja optik dalam memetakan dasar perairan terumbu telah banyak dilakukan ca. Phinn et al. 2012, Siregar et al. 2010, Capolsini et al. 2003, namun kemampuan pemindaian inderaja optik terkendala saat memetakan zona luar terumbu outerfore reef yang terdiri atas mosaik bentuk pertumbuhan karang batu, karang lunak, spons, biota bentik penyusun substrat dasar lain, serta abiotik batu karangrock, pecahan karang, dan lain-lain. Kajian umumnya memerlukan perspektif geomorfologi bila teknologi inderaja diadopsi dalam pengembangan informasi geospasial dasar perairan, maka integrasi data satelit dan akustik akan mampu memberikan hasil yang lebih mendekati kondisi nyata di alam untuk lingkup area yang lebih luas dan dalam jangka waktu yang lebih singkat bila hanya mengandalkan survei in situ. Pada penelitian ini data raster dapat menghasilkan informasi geospasial yang rinci mengenai geomorfologi habitat pemijahan ikan terumbu. Algoritma 120 unik yang ditetapkan dalam menyusun struktur geomorfologi dasar perairan menghasilkan 13 kelas tematik, lebih banyak dibandingkan 8 kelas geomorfologi yang dihasilkan dari analisis data Quickbird saja. Hasil tersebut menunjukkan bahwa integrasi inderaja satelit dan akustik dapat digunakan untuk menghasilkan analisis zona dan struktur geomorfologi dasar perairan terumbu karang yang lebih baik. Parameter rugositas yang diukur pada penelitian ini tidak hanya memfokuskan pada rasio planarkontur dalam unit ukuran panjang. Aspek luas dan pertimbangan kontur dasar terumbu di sejumlah grid yang berdekatan meningkatkan kompleksitas pengolahan data. Di sisi lain, aspek rugositas ditengarai merupakan salah satu parameter yang memengaruhi wilayah terumbu karang dapat berperan sebagai habitat pemijahan dan sebagai salah satu aspek dalam konservasi terumbu karang Wedding et al. 2008. Dari Gambar 49 dapat diketahui bahwa mayoritas stasiun habitat pemijahan memiliki nilai rugositas yang tinggi, mengindikasikan kerumitan struktur komponen bentik yang ada. Kualitas ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu cukup memprihatinkan jika ditinjau dari kondisi penutupan karang kerasnya yang dipengaruhi berbagai aktivitas manusia Setyawan et al. 2011, namun demikian sebagian wilayah yang telah rusak kondisinya masih dapat berperan sebagai habitat pemijahan karena memiliki profil rugositas yang mendukung terbentuknya celah perlindungan untuk ikan betina gravid serta bagi keberhasilan proses pemijahan. Terlepas dari keutamaan monitoring in situ, ada aspek lain yang memengaruhi “dipilihnya” wilayah tertentu di terumbu karang sebagai habitat pemijahan dan informasinya sampai saat ini masih terbilang minim dan sangat perlu dikembangkan, yaitu geomorfologi. Benthic terrain map peta lereng bentik yang dihasilkan dari analisis geospasial BTM digunakan untuk menguraikan detail struktur geomorfologi dasar perairan terumbu karang yang menjadi habitat pemijahan ikan. Hanya ternampak 2 famili ikan terumbu yang menunjukkan 3 tanda pemijahan di BPG Scorpaenidae, Siganidae dan BDPG Scorpaenidae dan Syngnathidae, yaitu courtship behavior, adanya corakwarna khusus pada tubuh ikan, dan upaya penetasan telur. 121 Gambar 57. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan barat Pulau Panggang A: BPG dan BDPG, B: SPG. Secara umum, geomorfologi terumbu di BPG dan BDPG dikategorikan sebagai fore reef. Hasil BTM yang ditunjukkan Gambar 57 menunjukkan struktur yang lebih rumit dengan adanya sejumlah gundukan karang kompak maupun substrat batu karang yang terserak di lereng yang landai maupun terjal termasuk kelas Lopb dan Lops. Tingginya penutupan karang lunak 4.54 dan pecahan 122 karang yang ditutupi alga 10.88 mengindikasikan tekanan tinggi di masa lampau akibat kegiatan penangkapan yang merusak. Gambar 58. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan utara Pulau Panggang dan Gosong Pramuka A: BLPG dan UPG, B: TLPG, KPEM, dan FSPG. 123 Secara geomorfologi kondisi habitat pemijahan di UPG dan BLPG serupa, yaitu berupa pematang yang sempit Ronr sehingga terlihat bagai lereng yang terjal Gambar 58A. Mekanisme reproduksi ikan lepu ayam Scorpaenidae adalah courtshippair spawning atau small group spawning, yang umumnya dilakukan di celah terlindung seperti di bawah karang kompak atau karang meja yang lebar. Ikan tangkur zebra Syngnathidae juga melakukan pair spawning namun ikan betina hanya memindahkan sel telurnya ke dalam kantung pembuahan ikan jantan. Setelah ikan jantan membuahi sel telur tersebut dan dipelihara beberapa waktu, ia akan mencari lokasi yang cocok untuk menetaskan telurnya, yang pada penelitian ini teramati berada di antara celah sempit di bawah naungan batu karang dan tertutupi serakan pecahan karang. Berdasarkan keragaan taksa ikannya, maka tipe pemijahan di BPG dan BDPG tergolong resident spawning, yang secara berkala digunakan oleh beberapa spesies ikan untuk melangsungkan aktivitas reproduksi. Dari Gambar 57 dapati dilihat bahwa antara beting terumbu Pulau Panggang dengan tiga stasiun pemijahan BPG, BDPG, dan SPG terdapat untaian patch reefs ditandai dengan arsiran dan delineasi warna biru yang membentuk kanal sempit dan memodulasi gerak arusgelombang di kawasan tersebut. Di SPG dijumpai 5 famili ikan terumbu yang menunjukkan 5 tanda pemijahan, yaitu Caesionidae, Lutjanidae, Serranidae, Pomacanthidae, dan Pomacentridae. Tanda pemijahan yang tercatat adalah ikan betina gravid dan berlindung, courtship behavior, ikan jantan terluka dan agresif, corakpewarnaan khusus pada ikan jantan,dan agregasi sebelum pemijahan berlangsung. Bentukan geomorfologi dasar terumbu di SPG secara umum adalah broad slope Bros dan flat plains Flap, namun di antaranya terdapat kelas Lopb, Lops, Scos, dan Ronr yang secara lokal dapat meningkatkan rugositas dasar perairan dan menciptakan celah untuk berlindung atau cerukan yang mendukung proses pemijahan ikan terumbu. SPG sendiri terletak di mulut kanal sempit, yang yang terbentuk antara beting terumbu Pulau Panggang dan patch reef Gosong Belakang. Secara hidrodinamika, perairan tersebut potensial untuk mengalami pusaran eddies yang memodulasi proses pembuahan terbuka saat pemijahan berlangsung. 124 Fitur yang sedikit berbeda diperoleh untuk BLPG dan UPG Gambar 58A, khususnya pada bentukan lereng yang lebih terjal steep floor. Di BLPG marak dijumpai tanda pemijahan dan famili ikan terumbu yang menunjukkan bahwa BLPG merupakan salah satu habitat kunci pemijahan, dengan dijumpainya 14 taksa ikan dewasa dengan 6 tanda pemijahan. Berbeda dengan di UPG yang hanya ditemui dua taksa ikan terumbu dengan tanda pemijahan Caesionidae, Serranidae. Selain geomorfologi, faktor lain yang membedakan keragaan tanda pemijahan yang dijumpai adalah perbedaan waktu pengamatan antara UPG dan BLPG, yaitu Oktober 2011 dan Pebruari 2012, walaupun sama-sama dilakukan pada periode bulan purnama. Gambar 58B merupakan lokasi stasiun pemijahan KPEM, FSPG dan TLPG. Ketiga stasiun pemijahan tersebut berada di daerah pertemuan arus dan diapit tiga sistem terumbu, yaitu Pulau Karya, Pulau Panggang, dan Gosong Pramuka. KPEM merupakan stasiun dengan keragaan taksa ikan terumbu yang tinggi dengan dijumpainya 14 spesies ikan dewasa dengan tanda pemijahan, sedangkan di TLPG dan FSPG dijumpai 6 spesies. Kedalaman dasar perairan di KPEM mencapai 27 meter, namun di antara hamparan pasir yang rata flat plains terdapat bongkahan terumbu atau klaster-koloni karang kompak pinnacle sehingga dapat dikategorikan sebagai kelas Lopb. Seluruh taksa ikan terumbu yang menunjukkan tanda pemijahan di KPEM tergolong sebagai ikan target yang memiliki karakteristik habitat pemijahan transien Domeier and Colin 1997, yaitu ikan ekor kuning Caesionidae, ikan kerapu Serranidae, dan ikan baronang Siganidae. Dalam penelitian ini, lokasi yang telah diverifikasi sebagai habitat pemijahan ikan terumbu adalah KPEN Karang Pengantin dan TPG Timur Pulau Panggang, yang ditunjukkan pada Gambar 59. KPEN merupakan bentukan geomorfologi yang unik karena dapat membagi aliran massa airnya di antara Pulau Pramuka dan Panggang Gambar 59. Heyman et al. 2005 menuliskan bahwa habitat pemijahan ikan terumbu umumnya berlangsung di daerah terumbu 125 karang yang merupakan shelf break atau di kanal sempit antar pulau atau antar sistem terumbu. Gambar 59. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan tenggara Pulau Panggang A: TPG, B: TGPG dan KPEN. Stasiun pengamatan BKAR dan TKAR yang berada di utara Pulau Karya, beserta KSEM dan KKEC yang ada di batas barat daerah penelitian memiliki 4-6 taksa ikan terumbu yang menunjukkan tanda pemijahan Gambar 60. Dari hasil wawancara terhadap nelayan Pulau Panggang, KSEM diketahui merupakan lokasi pemijahan ikan kerapulencam di masa lampau sehingga sempat menjadi fishing 126 ground utama nelayan. Saat ini kondisi substrat di KSEM didominasi oleh pasir dan pecahan karang yang membentuk lereng landai broad slopes, jejak kerusakan parah akibat aktivitas pengeboman. Kondisi yang serupa dijumpai juga di KKEC dan BKAR. Menilik kondisi substrat, pengelasan geomorfologi dan keragaan taksa ikan, diduga keempat lokasi tersebut kurang berpotensi sebagai habitat pemijahan, kecuali untuk spesies territorial seperti Apogonidae dan Ephippidae. Gambar 60. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan Pulau Karya dan batas barat domain penelitian A: BKAR dan TKAR, B: KSEM, C: KKEC. Habitat pemijahan ikan terumbu diklasifikasikan oleh Domeier and Colin 1997 menjadi dua tipe, yaitu residen and transien. Habitat pemijahan residen 127 menunjukkan bahwa habitat terumbu karang tersebut secara permanen digunakan oleh ikan-ikan terumbu untuk memijah berdasarkan periode tertentu, dan umumnya dimiliki oleh ikan terumbu omnivora dan herbivora. Habitat pemijahan ikan terumbu yang bersifat transien menunjukkan bahwa dalam kurun waktu non- periodik dan sulit diprediksi suatu wilayah terumbu karang berperan sebagai habitat pemijahan yang umumnya dilakukan oleh ikan predator yang memiliki kemampuan migrasi tinggi, seperti ikan kerapu Serranidae, ikan kakap Lutjanidae, dan lain-lain. Penetapan habitat pemijahan memerlukan monitoring in situ secara periodik dalam jangka waktu lama 2-5 tahun yang metodenya masih terus dikembangkan, baik oleh The Nature Conservancy maupun Society for the Conservation of Reef Fish Aggregations. Melalui penelitian ini, upaya monitoring yang melelahkan dan sulit dilakukan secara periodik dan konsisten dalam penentuan habitat pemijahan ikan terumbu akan diupayakan melalui pendekatan geospasial keruangan, yaitu berdasarkan fitur geomorfologi. Penilaian habitat dasar terumbu karang umumnya dilakukan berdasarkan pencacahan lifeform atau takson karang, non-karang dan abiotik mengacu pada berbagai metode yang direferensikan English et al. 1997. Upaya menilai kondisi habitat pemijahan ikan terumbu berdasarkan komposisi penutupan substrat atau biota bentik telah dilakukan dan mendapati kondisi yang tidak berbeda signifikan antara wilayah terumbu karang yang menjadi habitat pemijahan dengan yang tidak. Perbedaan minor dihasilkan saat mengampu aspek rugositas yang diukur secara lokal menggunakan transek rantai, sehingga diketahui bahwa kombinasi lifeform bentik terumbu yang mampu membangun struktur liang atau celah perlindungan merupakan kunci pembeda habitat pemijahan ikan terumbu dengan habitat lain yang ada di terumbu karang. Dari 17 stasiun pengamatan pemijahan yang ada, maka 5 stasiun merupakan lokasi yang menunjukkan keragaan tanda pemijahan dan taksa ikan terumbu yang memiliki tandamelakukan kegiatan pemijahan yaitu SPG, TGPG, BLPG, KPEM dan KPEN. Penilaian kondisi substrat dasar secara visual, dikombinasikan dengan fitur geomorfologi, dan keragaan taksa ikan berikut tanda pemijahan, maka secara kualitatif disarikan faktor geomorfologi yang menyokong proses awal ontogeni 128 ikan terumbu, yaitu pemijahan. Kegiatan pemijahan merupakan proses utama yang mendukung keberlanjutan populasi ikan terumbu, sekaligus proses ekologis penting yang perlu ditindaklanjuti identifikasi wilayahnya dalam upaya konservasi terumbu karang melalui penetapan no take zone Daerah Perlindungan Laut. Fitur geomorfologi yang diduga menjadi kunci pembeda habitat pemijahan ikan terumbu dengan habitat lain di terumbu karang adalah: a Rock outcrop highs, narrow ridges Ronr; b Scarp, cliff; or small local depression on slope Scos; c Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats Lopb; d Local ridges, boulders, pinnacles in depression Lopd; e Local ridges, boulders, pinnacles on slopes Lops; dan f Crevices, narrow gullies over elevated terrain Cret. Keberadaan enam fitur geomorfologi di atas berperan penting dalam menciptakan relung unik bagi ikan terumbu dewasa yang akan atau melangsungkan kegiatan pemijahan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dari hasil yang diperoleh penelitian ini adalah, bagaimana keragaan fitur geomorfologi di habitat pemijahan lain yang ada di perairan nusantara. Dari 6 lokasi yang dipantau secara intensif, The Nature Conservancy Indonesian Program telah menetapkan 3 lokasi sebagai no take zone di perairan Wakatobi karena secara fungsional wilayah tersebut masih berperan sebagai habitat pemijahan ikan target bernilai ekonomis penting, terutama kerapu Purwanto et al. 2010.

5.5. Simpulan

Teknologi inderaja yang mengintegrasikan sistem optik satelit dan akustik bim tunggal dapat digunakan untuk menghasilkan peta dasar perairan yang berkualitas tinggi, merujuk pada profil melintang, visualisasi 2-dimensi dan 3- dimensi, serta detail bentukan geomorfologi dasar terumbu. Menggunakan inderaja optik satelit Quickbird ini memperoleh 6 kelas tematik geomorfologi, sedangkan integrasi inderaja optik-akustik yang diperkuat analisis geospasial BTM menghasilkan 13 kelas tematik geomorfologi.