Keragaan komunitas ikan terumbu dengan tanda pemijahan

80 Keterangan: PAL250, PAL100, PAL50= perimeter:area habitat lamun pada lingkup spasial 250, 100, dan 50 meter; AL250, AL100, AL50= luas habitat lamun; SIJ= jumlah spesies ikan juvenil; LPG1-LPG6= stasiun pemeliharaan juvenil ikan di Pulau Panggang, LGSP= Gosong Pramuka, LKR1, LKR2= stasiun pemeliharaan juvenil ikan di Pulau Karya; LPR1-LPR4= stasiun pemeliharaan juvenil0020ikan di Pulau Pramuka. Gambar 28. Grafik Analisis Komponen Utama pengaruh geometrik habitat lamun terhadap keragaan ikan juvenil Selain Analisis Komponen Utama, dilakukan pula Analisis Regresi Linier yang diupayakan untuk melihat keterkaitan antara variabel geospasial dari masing-masing habitat pemijahan dan pemeliharaan ikan terumbu terhadap keragaan taksa ikan terumbu baik dewasa maupun juvenil. Hasil analisis tersebut disajikan dalam bentuk tabel, yaitu Tabel 9 yang menggali keterkaitan antara komunitas ikan dengan habitat terumbu karang serta Tabel 10 yang menunjukkan keterkaitan ikan juvenil terhadap habitat lamun. 81 Tabel 9. Analisis Regresi Linier sederhana pada taraf nyata α= 0.05 yang mengkaji keterkaitan komunitas ikan dewasa yang menunjukkan tanda pemijahan dengan habitat terumbu karang. Variabel bebasgeometri habitat Lingkup spasial SID – ikan dewasa dengan tanda pemijahan di terumbu karang R 2 p korelasi AT- Luas habitat terumbu karang m 2 Transformasi Logx+1 50 m 0,561 † 0,0005 † - 0,749 † 100 m 0,581 † 0,0004 † - 0,762 † 250 m 0,557 † 0,0006 † - 0,746 † PA – Proporsi tapak habitat terumbu karang 50 m 0,034 0,4791 - 0,184 100 m 0,002 0,8696 + 0,001 250 m 0,007 0,7551 + 0,081 JO- Jarak terdekat ke habitat lamun m 50 m 0,047 0,4052 - 0,162 100 m 0,544 † 0,0007 † - 0,216 † 250 m 0,471 † 0.0023 † - 0,646 † Keterangan: R 2 = koefisien determinasi; p= galat; +-= mengindikasikan korelasi positif atau negatif antar variabel; † = lingkup spasial yang menunjukkan keterkaitan erat antara variabel habitat dan ikan Pemilihan variabel jarak terdekat ditetapkan berdasarkan adanya proses perpindahan dan ruaya setelah pemijahan berlangsung, selain aspek konektivitas antar habitat yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, Tabel 9 menunjukkan keterkaitan antara variabel jarak terdekat habitat ontogeni terhadap kekayaan taksa ikan dewasa yang menunjukkan tanda pemijahan. Pada seluruh lingkup spasial 50, 100, dan 250 m variabel jarak terdekat memiliki korelasi negatif yang berarti bahwa semakin sedikit spesies ikan terumbu dewasa yang ditemukan di suatu habitat pemijahan maka faktor jarak antar habitat ontogeni semakin jauh. Dengan kata lain, habitat pemijahan yang konektivitas strukturalnya rendah akan memiliki lebih sedikit spesies ikan yang menunjukkan tandaaktivitas pemijahan. Dari tiga lingkup spasial yang dianalisis keterkaitan geometriknya dengan komunitas ikan terumbu, maka model regresi terbaik yang dipilih ditinjau berdasarkan koefisien determinasi R 2 dan galat bakunya p. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diketahui bahwa keterkaitan antara jarak terdekat habitat ontogeni dengan kekayaan taksa ikan dewasa dengan tanda pemijahan 82 menunjukkan signifikansi pada lingkup spasial 100 m R 2 = 0,544; p= 0,0007 dan 250 m R 2 = 0,471; p= 0,0023. Wiens 1989 menuliskan bahwa pola keterkaitan fauna-habitat di alam terkait erat dengan skala, yang dalam lingkup penelitian ini ditetapkan secara spasial. Dalam Analisis Regresi ini, variabel luas habitat Area dinyatakan dalam meter dan ditransformasi menggunakan Log 10 x+1 untuk menjaga normalitas sebaran data. Tabel 10. Analisis Regresi Linier sederhana pada taraf nyata α= 0.05 yang mengkaji keterkaitan komunitas ikan juvenil dengan habitat lamun. Variabel bebas geometri habitat Lingkup spasial taksa – juwana di lamun R 2 P korelasi Luas habitat lamun m 2 Transformasi Logx+1 50 m 0,009 0,2996 + 0,298 100 m 0,001 0,6959 - 0,115 250 m 0,0002 0,8866 + 0,042 P:A tapak habitat lamun 50 m 0,002 0,6356 - 0,139 100 m 0,002 0,6146 - 0,148 250 m 0,273 0,0551 - 0,523 Keterangan: +-= mengindikasikan korelasi positif atau negatif antar variabel; = lingkup spasial yang menunjukkan keterkaitan erat antara variabel habitat dan ikan. Keterkaitan antara kekayaan taksa juvenil ikan dengan luas area lamun sebagai habitat pemeliharaan pada lingkup spasial 50 meter dan 250 meter menunjukkan korelasi yang positif, berbeda dengan pada lingkup 100 meter. Yang mengindikasikan bahwa semakin luas padang lamun maka kekayaan jenis juvenil ikan yang dapat hidup di habitat pemeliharaan lamun akan semakin tinggi. Tidak dijumpai keterkaitan yang siginifikan antara variabel juvenil-luaslamun, pada tiap lingkup spasial. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh tidak diterapkannya pengelompokkan komunitas juvenil berdasarkan jenjang trofiknya dalam analisis ini. Keterkaitan yang signifikan antara luas dengan taksa juvenil diperoleh Grober-Dunsmore 2005, khususnya untuk komunitas juvenil yang bersifat mobile piscivora, predator, dan herbivora tertentu di Pulau St. John, Kepulauan Virgin AS.