seakan – akan tidak merasa terganggu lagi karena stimulus ini telah masuk ke dalam batas persepsi optimal dan terjadi peningkatan ambang toleransi.
2.6. Penelitian Terdahulu.
Penelitian Rohmani 2000 yang berjudul “Analisis Sistem Usahatani Padi Organik” kasus di Desa Segarang, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten,
Propinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa langkah – langkah usahatani padi secara organik yang dilaksanakan oleh para petani organik secara umum sama
dengan budidaya anorganik. Perbedaan terletak pada penggunaan pupuk atau pestisida, dimana pada usahatani padi organik para petani tidak menggunakan
masukan dari luar yang bersifat kimia, berbeda dengan petani anorganik. Pada budidaya organik kebutuhan akan pupuk maupun pestisida sepenuhnya digantikan
dengan peran pupuk dan pestisida non kimia, pupuk yang digunakan masih mengandalkan pada pupuk kandang, pestisida botani untuk menggantikan peran
pestisida kimia dimana pestisida yang umum digunakan oleh petani organik dibuat dari bahan utama yaitu daun tembakau yang digunakan untuk
mengendalikan berbagai hama dan penyakit. Varietas padi yang digunakan pada umumnya varietas tahan wereng IR–
64 dan Membramo karena pertimbangan berumur pendek dibandingkan dengan varitas lokal, seperti Rojolele dan Cendani yang berumur panen 4 – 5 bulan.
Produktivitas usahatani padi yang dilakukan oleh petani organik lebih rendah daripada produktivitas usahatani padi anorganik. Produktivitas petani organik
sebesar 4,79 ton per ha, sedangkan produktivitas petani anorganik lebih besar yaitu 5,74 ton per ha. Pendapatan kotor maupun pendapatan bersih petani padi
organik lebih besar dibandingkan petani anorganik, karena harga jual beras organik lebih tinggi.
Hasil penelitian Rachmawati 2003 yang berjudul “Analisis Usahatani Pemasaran Beras Pandan Wangi di Kabupaten Cianjur” menyatakan bahwa jenis
kualitas beras yang dipasarkan berupa Kepala, Super dan Jitay. Pendapatan yang dihasilkan oleh pemilik jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan penggarap,
hal ini dapat dilihat dari besarnya RC dari responden petani pemilik penggarap. Berdasarkan analisis pendapatan dan analisis RC ratio, usahatani yang dilakukan
oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik penggarap dan penyakap masih menguntungkan.
Pandan Wangi yang beredar di pasaran sebagian besar berupa campuran. Dari segi pemasaran beras Pandan Wangi terutama kualitas Kepala dan Super
yang ada di Kabupaten Cianjur memiliki banyak alternatif saluran pemasaran, diantaranya terdapat 12 saluran pemasaran.
Lembaga – lembaga yang terlibat dalam penyaluran beras dari tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar
daerah atau luar daerah, dan pedagang pengecer daerah atau luar Cianjur. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tersebut berupa fungsi
pertukaran pembelian dan penjualan, fungsi fisik penyimpanan, pengolahan, pengangkutan serta fungsi fasilitas sortasi dan grading. Lembaga yang
melakukan fungsi pengolahan cenderung memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga pemasaran lainnya.
Dalam setiap lembaga yang terlibat dalam proses penyaluran beras, dilakukan fungsi – fungsi pemasaran yang dapat menambah nilai ekonomi dan
nilai jualnya. Semakin banyak lembaga yang terlibat, semakin banyak peran yang dilakukan oleh setiap lembaga untuk melakukan fungsi pemasaran, sehingga
semakin besar pula biaya yang dikeluarkan. Penelitian Nainggolan 2001 yang berjudul “Analisis Usahatani Padi
Organik dan anorganik di Kecamatan Tempuran Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat” menyatakan bahwa untuk petani yang berusahatani padi secara
organik baik pemilik maupun penggarap, pendapatan kotor dan pendapatan bersihnya lebih besar bila dibandingkan dengan petani anorganik.
Ditinjau dari pendapatan bersih usahatani, maka pendapatan bersih petani pemilik baik petani organik maupun anorganik legih besar dibandingkan dengan
petani penggarap. Hal ini disebabkan oleh biaya tunai usahatani yang dikeluarkan petani penggarap lebih besar karena petani penggarap harus membayar bagi hasil
yaitu sebesar 50 persen dari total produksi padi setelah dikurangi biaya pupuk, dan pajak lahan.
Jumlah produksi padi yang dihasilkan petani organik lebih besar daripada petani anorganik. Rata – rata produksi padi yang dihasilkan petani orgaik pemilik
sebesar 4.851,59 kg per ha, petani organik penggarap 5.034,09 kg per ha. Sedang produksi padi yang dihasilkan petani anorganik pemilik 4.440,99 kg per ha dan
petani anorganik penggarap sebesar 4.752,58 kg per ha. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pestisida tidak begitu mempengaruhi produksi padi, bahkan
produksi padi dengan pestisida botanis lebih tinggi daripada yang menggunakan pestisida kimia.
Nilai RC ratio usahatani organik lebih tinggi daripada nilai RC ratio usahatani padi anorganik, maka penerimaan yang diperoleh petani organik untuk
setiap satu rupiah yang dikeluarkan lebih besar dari pada petani anorgaik. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani orgaik lebih menguntungkan daripada usahatani
anorganik. Rendahnya minat petani untuk menggunakan pestisida botanis juga
disebabkan oleh besarnya tenaga kerja yang diperlukan sedangkan ketersediaan tenaga kerja yang bersedia bekerja di sawah semakin berkurang.
Harga padi yang menggunakan pestisida botanis kadang lebih rendah dan biasanya tengkulak lebih memilih padi yang menggunakan pestisida kimia karena
padi yang menggunakan pestisida kimia secara fisik lebih bagus. Hal ini mengakibatkan para petani tidak mau mengambil resiko gagal panen jika tidak
menggunakan pestisida kimia dan karena sudah yakin hasil panen padi akan bagus dengan menggunakan pestisida kimia, maka ada ataupun tidak ada serangga hama
pada lahan sawah yang ditanamnya para petani tetap menggunakan pestisida kimia.
Hasil penelitian Surya 2002 yang berjudul “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Mengadopsi Usahatani Padi Metode Pengendalian
Hama Terpadu PHT” Studi kasus di Kecamatan Tempurun Kabupaten Karawang menyatakan sistem usahatani padi dengan metode PHT secara empiris
berbeda dibandingkan dengan usahatani padi konvensioal dalam hal teknik pengendalian organisme pengganggu tanaman OPT serta aplikasi pestisida
kimia. Usahatani padi metode PHT lebih menitik beratkan kepada pengamatan terhadap serangan hama atau penyakit hingga batas ambang ekonomi. Aplikasi
pestisida kimia hanya dilakukan apabila benar – benar diperlukan dengan batas toleransi maksimal tiga kali penyemprotan selama satu musim tanam.
Pendapatan bersih yang dihasilkan oleh usahatani padi metode PHT lebih rendah dibandingkan usahatani padi konvensioal, namun usahatani padi metode
PHT mengeluarkan rata – rata biaya tunai yang lebih rendah khususnya untuk biaya pupuk, pestisida, dan tenaga kerja luar keluarga.
Usahatani padi metode PHT memiliki tingkat efisiensi penggunaan biaya lebih tinggi debanding usahatani padi konvensioal, hal ini ditunjukkan dengan
nilai RC ratio metode PHT yang lebih tinggi dibandingkan metode konvensioal. Variabel dummy kursus Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu SLPHT
berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam mengadopsi metode PHT. Dengan mengikuti kursus SLPHT petani memiliki pemahaman yang lebih tentang
metode PHT dibandingkan petani yang tidak mengikuti kursus SLPHT, sehingga petani yang telah mengikuti kursus SLPHT memiliki kecenderungan yang lebih
tinggi untuk mengadopsi metode PHT. Variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam mengadopsi metode PHT. Petani yang memiliki
luas lahan lebih cenderung untuk mengadopsi metode PHT karena dapat mengurangi pengeluaran tunai petani untuk biaya pupuk dan pestisida. Variabel
biaya tenaga kerja berpengaruh nyata negatif terhadap keputusan petani dalam mengadopsi metode PHT. Petani cenderung menerapkan usahatani padi
konvensioal karena lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan menerapkan metode PHT.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri 2002 yang berjudul “Analisis Ekonomi Pola Konsumsi Beras Organik Konsumen Rumah Tangga” Studi kasus
di Wilayah Kota Jakarta Selatan menyimpulkan secara umum konsumen beras organik memiliki profil dan karakteristik yang serupa, sebagian besar konsumen
bekerja sebagai karyawan swasta dengan pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi pangan per bulan Rp 2.100.000,00 sampai Rp 2.500.000,00 semua
konsumen telah menyelesaikan pendidikan sampai dengan tingkat SMU. Konsumen rata – rata memiliki ukuran keluarga yang besar, karena selain
keluarga inti, terdapat juga pembantu dan supir. Konsumen rata – rata belum terlalu lama mengkonsumsi beras organik kurang dari satu tahun.
Pada umumnya pola konsumsi konsumen baras organik tidak mengalami perubahan antara saat konsumen belum mengkonsumsi beras organik dengan saat
setelah konsumsinya. Pola konsumsi dapat di lihat dari jumlah konsumsi nasi, frekuensi mengkonsumsi nasi dalam sehari, dan cara pembelian beras yang tidak
mengalami perubahan tingkat konsumsi beras organik dapat dijelaskan oleh faktor harga baras organik, harga beras lain, tingkat pendidikan, besarnya pendapatan,
keluarga serta ukuran keluarga. Harga beras organik memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan beras organik, hal ini berarti bahwa semakin
meningkat harga beras organik, permintaan akan beras organik akan semakin menurun. Sedangkan harga beras lain, tingkat pendidikan, keluarga, dan ukuran
keluarga memiliki hubungan yang positif terhadap permintaan beras organik. Hal ini berarti semakin meningkat harga beras lain, tingkat pendidikan keluarga,
tingkat pendidikan, dan ukuran keluarga. Maka permintaan beras organik akan ikut meningkat.
Elastisitas harga rataan beras organik adalah sebesar 1,02. Relatif tingginya elastisitas harga tersebut mengidentifikasi bahwa beras organik
berprospek cerah untuk dikembangkan di pasar domestik, karena jika harga beras organik turun sebesar satu persen maka tingkat konsumsinya akan meningkat
lebih besar lagi sebesar 1,02 persen. Menurut penilaian konsumen secara keseluruhan beras organik ternyata
lebih baik daripada beras lain. Keunggulan beras organik jika dibandingkan dengan beras lain terdapat pada atribut, kualitas, rasa, kemasan, kehigienisan,
pencemaran, dan prestise. Kelemahan beras organik jika dibandingkan dengan beras lain terdapat pada atribut harga, kemudahan, dan kontinuitas.
Konsumen sangat mementingkan atribut kualitas, rasa, kehigienisan, harga, kontinuitas, dan kemudahan diperoleh dalam konsumsi beras secara umum.
Sedangkan atribut pencemaran, kemasan, dan prestise tidak menjadi perhatian konsumen.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rohmani 2000, Rachmawati 2003, Nainggolan 2001, Surya 2002, dan Putri 2002 belum
ada yang melakukan penelitian analisis pendapatan, marjin pemasaran, dan persepsi petani terhadap padi ramah lingkungan metode SRI di daerah Desa
Sukagalih, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya. Alat analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan, analisis RC ratio,
analisis marjin, efisiensi saluran pemasaran, analisis uji Chi – Square dan koefisien kontingensi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
terdapat pada proses budidaya dengan menggunakan metode SRI.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Pertanian yang berkelanjutan menjadi tuntutan globalisasi yang mensyaratkan produk – produk pertanian harus ramah lingkungan dan bebas
residu bahan kimia, yaitu dengan sistem back to nature yang sistem pertaniannya tidak merusak, tidak mengubah, serasi selaras, dan seimbang dengan
lingkungannya. Sejalan dengan itu, Departemen Pertanian pun telah menjalankan program Go Organic 2010 yang menargetkan Indonesia menjadi salah satu
produsen pangan organik. Makin banyaknya bahaya yang ditimbulkan oleh pertanian konvensional
akibat penggunaan pupuk kimia, pestisida dan zat – zat kimia lainnya dalam jumlah yang berlebihan, maka dampak negatifnya menjadi perhatian semua
kalangan. Seperti residu pupuk terutama nitrogen mulai diketahui mencemari air tanah sebagai sumber air minum, sehingga akan membahayakan kesehatan
manusia. Pertanian anorganik bertumpu pada pasokan eksternal berupa bahan – bahan kimia buatan pupuk dan pestisida menimbulkan kehawatiran berupa
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Padi organik yang berkembang saat ini menjadi alternatif dalam
pengusahaan lahan bagi petani, dalam budidaya organik akan meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya non
organik. Pupuk organik merupakan keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara yang dapat dikatakan cuma – cuma dari alam.
Pupuk organik bekerja menyuburkan tanah, menyehatkan ekosistem tanah dan