Analisis pendapatan dan marjin pemasaran padi ramah lingkungan

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARJIN PEMASARAN

PADI RAMAH LINGKUNGAN

(Kasus di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu,

Kabupaten Tasikmalaya)

Oleh:

FARID FITRIADI

A 14102675

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(2)

RINGKASAN

FARID FITRIADI. Analisis Pendapatan dan Marjin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan (Kasus di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya) Dibawah bimbingan RITA NURMALINA

Sistem pertanian yang berkelanjutan menjadi tuntutan globalisasi yang mensyaratkan produk – produk pertanian harus ramah lingkungan dan bebas residu bahan kimia. Gerakan kembali ke alam yang dilandasi kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup, telah menjadi tren masyarakat dunia yang telah dilembagakan secara internasional melalui regulasi atau peraturan perdagangan global yang mensyaratkan bahwa produk pertanian harus mempunyai atribut: aman dikonsumsi, ramah lingkungan, dan mengandung nutrisi tinggi.

Pada tingkat nasional terdapat Standar Nasional Indonesia (SNI), sementara di tingkat internasional terdapat International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) atau lebih dikenal dengan IFOAM Basic Standard (IBS) atau Codex Alimentarius Commission (CAC). Standar ini berisi prinsip – prinsip mendasar pertanian organik dan hal – hal umum yang sebaiknya dilakukan dan dihindari dalam bertani organik. Pemerintah telah menerbitkan SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik yang dapat menjadi acuan bagi para pelaku terkait pengembangan pertanian organik.

Apabila lahan yang digunakan berasal dari lahan bekas budidaya pertanian konvensional (menggunakan pupuk dan pestisida kimia), lebih dahulu perlu dilakukan konversi lahan. Lamanya konversi tergantung dari intensitas pemakaian input kimiawi dan jenis tanaman sebelumnya (sayuran atau padi). Masa konversi dapat diperpanjang atau diperpendek tergantung pada sejarah lahan tersebut. Bila masa konversi telah lewat, lahan tersebut merupakan lahan organik. Bila kurang dari itu, maka lahan tersebut masih merupakan lahan konversi menuju organik.

Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan makanan pokok penduduk Indonesia yang diusahakan oleh petani, tetapi petani sering dirugikan akibat rendahnya harga gabah dan tingginya biaya produksi. Hal tersebut menjadi alasan penelitian ini difokuskan pada tanaman padi, terutama padi ramah lingkungan dengan metode SRI (System of Rice Intensification) yang sekarang dapat menjadi pilihan alternatif bagi petani untuk mengusahakan lahannya.

Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu merupakan daerah pertama di Kabupaten Tasikmalaya yang mendapatkan pelatihan PET dan SRI. Jumlah petani yang mengikuti pelatihan PET dan SRI yang berasal dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 21 orang, tetapi sampai bulan Februari 2005 yang bertahan melaksanakan padi ramah lingkungan metode SRI tinggal tujuh orang petani yang telah mengusahakannya lebih dari dua tahun.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: menganalisis tingkat pendapatan usahatani padi ramah lingkungan dan konvensional, menganalisis saluran dan struktur pasar padi ramah lingkungan, menganalisis marjin pemasaran pada saluran pasar padi ramah lingkungan, dan mengkaji persepsi petani dan karakteristik individu yang berkaitan dengan persepsi terhadap keberadaan padi ramah lingkungan metode SRI.


(3)

Responden usahatai padi ramah lingkungan metode SRI adalah individu sebagai petani yang menanam padi ramah lingkungan dengan menggunakan metode SRI yang diambil secara sensus (complate enumeration) yang berjumlah tujuh orang, sedangkan untuk petani konvensional adalah petani yang belum pernah mengusahakan usahatani padi dengan menggunakan metode SRI yang berjumlah tujuh orang sebagai pembanding dari jumlah petani padi dengan menggunakan metode SRI, yang diambil secara sengaja sesuai dengan petunjuk kelompok tani dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya. Penarikan sampel dalam analisis marjin dilakukan dengan mengikuti alur rantai tataniaga mulai dari tempat produksi (petani padi ramah lingkungan) sampai ke tingkat konsumen akhir. Responden untuk persepsi petani terhadap padi ramah lingkungan metode SRI adalah individu sebagai petani yang sedang atau pernah menanam padi ramah lingkungan metode SRI yang diambil seluruhnya dari jumlah petani yang pernah mengikuti pelatihan program PET dan SRI yang diadakan di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya yang seluruh petaninya berdomisili di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya.

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang usahatani padi ramah lingkungan metode SRI di Desa Sukagalih. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan, analisis R/C ratio, analisis marjin dan analisis chi – square.

Sebagian besar penduduk Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya berpendidikan SD yaitu sebanyak 2.189 orang (87,6%) dari keseluruhan penduduk yang mengenyam pendidikan formal dengan mata pencaharian yang paling utama adalah sebagai petani sebanyak 558 orang (16,5%) dan untuk buruh tani sebanyak 1107 orang (32,8%).

R/C ratio yang diperoleh atas biaya total menunjukkan behwa petani ramah lingkungan memiliki R/C ratio lebih besar dibandingkan dengan petani konvensional, R/C ratio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar 3,39, sedangkan untuk petani penyakap R/C rationya adalah 1,16 dan untuk petani konvensional R/C ratio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar 1,86, sedangkan untuk petani penyakap R/C rationya adalah 1,23. R/C ratio petani pemilik penggarap lebih besar dibandingkan dengan petani penyakap, disebabkan oleh biaya total penggarapan lebih besar karena adanya bagi hasil yang harus dilakukan kepada pemilik lahan.

Lembaga – lembaga pemasaran yang terdapat dalam saluran pemasaran yang dihasilkan dari usahatani padi ramah lingkungan metode SRI adalah petani, Pedagan Pengumpul Tingkat Daerh (PPTD), Pedagang Besar Luar Daerah (PBLD), dan Pengecer. Stuktur pasar yang dihadapi oleh lembaga – lembaga yang terkait dalam pemasaran untuk petani adalah monopsoni, PPTD adalah oligopsoni, PBLD adalah oligopsoni, sedangkan untuk pengecer pasar yang dihadapi adalah pasar persaingan.

Terdapat empat saluran pemasaran untuk pemasaran padi ramah lingkungan yang berasal dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu yaitu: 1)Saluran 1 yaitu petani, PPTD dan konsumen dengan marjin sebesar 55,56 persen, 2) Saluran 2 yaitu petani, PPTD, pedagang pengecer dan konsumen, besar marjin pemasaran untuk saluran 2 yang melaui toko adalah sebesar 64,29 persen,


(4)

sedangkan untuk saluran pemasaran yang melalui swalayan adalah 62,96 persen, 3) Saluran 3 yaitu petani, PPTD, PBLD dan konsumen dengan marjin pemasarannya adalah 64,29 persen, dan 4) Saluran 4 yaitu petani, PPTD, PBLD, pengecer dan konsumen, besar marjin pemasaran untuk saluran 4 yang melaui toko adalah sebesar 69,70 persen, sedangkan untuk saluran pemasaran yang melalui swalayan adalah 67,74 persen.

Saluran yang paling efisiensi dari segi efisiensi oprasional maka PPTD yang lebih efisien, dilihat dari keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga – lembaga yang lain dan penggunaan teknologi. Saluran 3 menunjukkan saluran yang efisien dengan pertimbangan bahwa beras yang diperjual belikan relatif lebih banyak disalurkan pada saluran 3 dan mempunyai peluang untuk dikembangkan lebih lanjut dibandingkan dengan saluran lainya.

Persepsi petani mengenai manfaat yang dirasakan setelah adanya metode SRI dalam usahatani padi dibedakan mejadi dua kategori yaitu bermanfaat dan tidak bermanfaat, adapun yang menyatakan bermanfaat sebesar 61,90 persen dan untuk petani yang menyatakan tidak bermanfaat sebesar 38,10 persen. Dengan hasil ÷2-test menunjukan karakteristik umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan lama bertani tidak ada hubungannya dengan manfaat yang dirasakan oleh petani, sedangkan untuk jumlah tanggungan keluarga dan status penguasaan lahan ada hubungannya dengan manfaat yang dirasakannya.

Persepsi petani mengenai keuntungan yang dirasakan setelah melakukan usahatani metode SRI menggunakan dua kategori yaitu menguntungkan setelah melakukan usahatani metode SRI dan tidak menguntungkan, adapun yang menyatakan menguntungkan sebesar 42,86 persen dan yang tidak menguntungkan sebesar 57,14 persen. Dengan hasil ÷2-test menunjukan karakteristik umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan status penguasaan lahan tidak ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakan oleh petani, sedangkan untuk tingkat pendapatan dan lama bertani ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakannya.

Persepsi petani mengenai masalah kemudahan dalam melakukan usahatani padi metode SRI dikelompokkan mejadi dua kategori yaitu mudah dalam melakukan usahatani metode SRI dan tidak mudah dalam melakukan budidaya padi dengan menggunakan metode SRI, adapun yang menyatakan mudah dalam melakuakan usahatani sebesar 33,33 persen dan yang tidak mudah dalam melakukan usahatani metode SRI adalah sebesar 66,67 persen. Dengan hasil ÷2 -test menunjukan karakteristik umur, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga tidak ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakan oleh petani, sedangkan untuk tingkat pendapatan, status penguasaan lahan, dan lama bertani ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakannya.


(5)

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARJIN PEMASARAN

PADI RAMAH LINGKUNGAN

(Kasus di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu,

Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

Oleh

FARID FITRIADI

A14102675

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(6)

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan skripsi yang ditulis oleh: Nama : Farid Fitriadi

NRP : A 14102675

Program Studi : Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Petanian

Judul : Analisis Pendapatan dan Marjin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan (Kasus di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan Sarjana Pertanian

Menyetujui Dosen Pembimbing

Ir. Rita Nurmalina Suryana, MS NIP : 131 685 542

Mengetahui Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP : 130 422 698


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISIS PENDAPATAN DAN MARJIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN’ BENAR – BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Oktober 2005

Farid Fitriadi A 14102675


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Agustus 1981. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan H. Soso Warsono dan Hj. Tuti Hutoah.

Pada tahun 1993 penulis lulus dari SDN Nusawangi I Cisayong Tasikmalaya, lalu melanjutkan ke MTs Muawanah Tasikmalaya yang lulus pada tahun 1996. Setelah lulus dari SMUN 2 Tasikmalaya pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan ke Program Diploma III Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2002.

Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Pertanian dan akhirnya memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada bulan Oktober 2005.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT, Tuhan semesta alam, tiada Tuhan selain Alloh, atas rahmat, karunia, izin dan ridho-Nya, maka penulis dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis Sadar bahwa dalam menyelesaikan pendidikan dibutuhkan bantun dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kesih kepada: 1. Mamah dan bapa atas perhatian yang tulus dan kasih sayang serta dorongan

moral terutama do’a – do’anya dan materil selama ini. Serta A Rijal, A Irwan, Teh Tanti, Teh Nensi, adikku Farida dan Kang Acep, serta keponakanku Akmal, Azhar, Auli dan Azki terima kasih atas semua dukungan yang diberikan selama ini.

2. Ir. Rita Nurmalina Suryana, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan membimbing penulis dengan sabar sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netti Tinaprilla, MS selaku dosen evaluator kolokium dan tim layak uji yang telah meluangkan waktu, memberikan koreksi, masukan, dan saran bagi penulis.

4. Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto M.Ec selaku dosen penguji utama, atas masukan dan sarannya dalam perbaikan skripsi ini.

5. Dra. Yusalina, MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan atas masukan dan sarannya dalam perbaikan skripsi inin.


(10)

6. Dinas Pertanian Tasikmalaya, Kepala Desa Sukagalih dan staf, Ketua KTNA Tasikmalaya dan Staf, dan seluruh petani yang terlibat didalam penulisan ini, terima kasih atas bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skipsi ini. 7. Keluarga besar K.H Mama Chudori yang telah memberikan dukungan, serta

do’anya.

8. Sahabat seperjuangan Sarah, Ayu, Qq, Yayank, Dian, Aep, Hendra, Maul, Doly, Indra, Medy, Ferry, Kosim, Akner, dan teman – teman Ekstensi Angkatan 7, 8, dan 9, terima kasih atas dukungan yang diberikan selama ini. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil tulisan ini jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak kekurangan, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2005


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Peremusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 9

1.4. Kegunaan Penelitian... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Pertanian Berkelanjutan... 10

2.2. Usahatani ... 13

2.2.1. Biaya Usahatani... 14

2.2.2. Penerimaan Usahatani ... 14

2.2.3. Pendapatan Usahatani... 14

2.3. Metode System of Rice Intensification(SRI) ... 15

2.3.1. Varietas dan Benih ... 16

2.3.2. Pengolahan Lahan ... 17

2.3.3. Penanaman ... 18

2.3.4. Perawatan Tanaman... 18

2.3.5. Pemasukan dan Pengeluaran Air... 19

2.3.6. Pemupukan... 20

2.3.7. Pengendalian Hama dan Penyakit ... 21

2.3.8. Panen ... 25

2.3.9. Pasca Panen... 26

2.4. Pemasaran ... 27

2.4.1. Fungsi Pemasaran... 28

2.4.2. Lembaga dan Saluran Pemasaran... 28

2.4.3. Struktur Pasar ... 29

2.4.4. Marjin Pemasaran... 31

2.4.5. Efisiensi Pemasaran... 33

2.5. Persepsi ... 35

2.5.1. Pengertian Persepsi... 35

2.5.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 36

2.5. Penelitian Terdahulu... 39


(12)

IV. METODE PENELITIAN ... 53

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 53

4.3. Metode Penarikan Data ... 53

4.4. Metode Analisis ... 55

4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani ... 55

4.4.2. R/C Ratio (R/C)... 57

4.4.3. Analisis Marjin Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran... 58

4.4.4. Analisis Uji Chi – Square dan Koefisien Kontingensi ... 59

4.5. Devinisi Oprasional... 63

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 69

5.1. Gambaran Daerah Penelitian ... 69

5.1.1. Wilayah dan Topografi ... 69

5.1.2. Keadaan Sosial Ekonomi ... 70

5.1.3. Sarana dan Prasarana ... 72

5.1.4. Kondisi Pertanian Desa Sukagalih ... 73

5.2. Karakteristik Responden... 74

5.2.1. Karakteristik Responden Petani Padi Ramah LingkunganMetode SRI ... 74

5.2.2. Karakteristik Responden Petani Konvensional... 78

5.2.3. Karakteristik Responden Petani Terhadap Persepsi Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI... 80

VI. ANALISIS SISTEM USAHATANI PADI METODE SRI DAN KONVENSIONAL... 82

6.1. Proses Budidaya ... 83

6.1.1. Pengolahan Lahan ... 83

6.1.2. Penyemaian ... 84

6.1.3. Penanaman ... 85

6.1.4. Penyulaman... 86

6.1.5. Penyiangan ... 87

6.1.6. Pemupukan... 87

6.1.7. Pengendalian Hama dan Penyakit ... 88

6.1.8. Panen ... 89

6.2. Penggunaan Sumberdaya... 90

6.2.1. Benih... 90

6.2.2. Mikro Organisme Lokal ... 91

6.2.3. Pupuk ... 92

6.2.4. Pestisida ... 93

6.2.5. Tenaga Kerja ... 94

6.3. Analisis Usahatani... 95

6.3.1. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Ramah LingkunganMetode SRI... 95

6.3.2. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Konvensional ... 99


(13)

VII. ANALISIS PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN... 105

7.1. Saluran dan Lembaga Pemasaran... 105

7.2. Analisis Fungsi – Fungsi Pemasaran... 109

7.2.1. Fungsi Pertukaran... 110

7.2.2. Fungsi Fisik... 111

7.2.3. Fungsi Fasilitas... 114

7.3. Struktur Pasar... 117

7.3.1. Petani ... 117

7.3.2. Pedagang Pengumpul Tingkat Daerag (PPTD) ... 117

7.3.3. Pedagang Besar Luar Daerah (PBLD) ... 118

7.3.4. Pengecer... 118

7.4. Analisis Marjin... 119

7.4.1. Biaya, Keuntungan, dan Marjin Pemasaran... 120

7.4.2. Efisiensi Saluran Pemasaran ... 130

VIII. PERSEPSI PETANI DESA SUKAGALIH TERHADAP USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI. 132 8.1. Persepsi Petani Mengenai Manfaat ... 132

8.2. Persepsi Petani Mengenai Keuntungan ... 139

8.3. Persepsi Petani Mengenai Kemudahan ... 144

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ... 151

9.1. Kesimpulan ... 151

9.2. Saran ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 156


(14)

DAFTAR TABEL

Teks

No Halaman

1. Besarnya Pasar Pangan Organik di Asia Pasifik ... 4 2. Luas Areal Pola Tanaman Sistem Intensifikasi Padi Ramah

Lingkungan melalui Program Pengenalan Ekologi Tanah (PET) dan System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten

Tasikmalaya sampai dengan Mei 2004 ... 7 3. Jumlah Responden dan Kegunaan dalam Penelitian... 54 4. Luas Wilayah Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten

Tasikmalaya Menurut Penggunaannya Tahun 2004 ... 70 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sukagalih Kecamatan

Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2004 ... 71 6. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sukagalih Kecamatan

Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2004 ... 72 7. Sarana Umum di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2004 ... 73 8. Penggolongan Petani Responden Padi Ramah Lingkungan

Berdasarkan Usia ... 75 9. Penggolongan Petani Responden Padi Ranah Lingkungan

Metode SRI Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 75 10. Jumlah Petani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Menurut

Status Kepemilikan Lahan... 76 11. Penggolongan Responden Petani Ramah Lingkungan Metode SRI Berdasarkan Luas Lahan Garapan ... 77 12. Penggolongan Responden Petani Padi Ramah Lingkungan Metode

SRI Berdasarkan Status Usahanya... 78 13. Karaktristik Responden Petani Padi Konvensional ... 79 14. Karakteristik Petani Terhadap Persepsi Usahatani Padi dengan Menggunakan Metode SRI... 80 15. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Ramah Lingkungan

Metede SRI antara Petani Pemilik dan Petani Penggarap


(15)

16. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Konvensional antara Petani Pemilik dan Petani Penyakap dalam 1 Ha per Musim Tanam

Tahun 2005 ... 101 17. Tabel Ringkasan Hasil Usahatani Padi Ramah Lingkungan

Metode SRI dengan Padi Konvensional... 103 18. Fungsi – Fungsi Pemasaran yang Dilaksanakan oleh Lembaga–

Lembaga Pemasaran Beras Ramah Lingkungan dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya ... 110 19. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Pemasaran

pada Saluran I ... 121 20. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Pemasaran

pada Saluran 2 (Toko) ... 123 21. Rincian Harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Pemasaran

pada Saluran 2 (Swalayan) ... 124 22. Rincian harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjim Pemasaran

pada Saluran 3... 126 23. Rincian harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Pemasaran

pada saluran 4 (Toko)... 128 24. Rincian harga Jual, Biaya, Keuntungan dan Marjin Pemasaran

pada Saluran 4 (Swalayan) ... 129 25. Nilai Persentase Total Marjin dan Farmer Share... 131 26. Karakteristik Responden dan Persepsi Mengenai Apakah Ada

Manfaatyang Dirasakan Setelah Adanya Usahatani Padi Metode

SRI ... 133 27. Opini Responden Mengengai Keberlanjutan Pelatihan Terhadap

Usahatani Padi Metode SRI... 138 28. Karakteristik Responden dan Persepsi Mengenai Keuntungan yang

Dirasakan Setelah Adanya Usahatani Padi Metode SRI... 139 29. Opini Responden Mengengai Biaya yang Dirasakan Terhadap

Usahatani Padi Metode SRI... 143 30. Karakteristik Responden dan Persepsi Mengenai Kemudahan

yang Dirasakan setelah adanya Usahatani Padi Metode SRI ... 145 31. Opini Responden Mengengai Pemahaman dan Pelaksanaan yang


(16)

DAFTAR GAMBAR

Teks

No Halaman

1. Kerva Permintaan dan Turunan ... 32

2. Kerangka Pemikiran... 52

3. Foto Persemaian Metode SRI ... 84

4. Penanaman Padi dengan Menggunakan Metode SRI ... 85

5. Penanaman Padi dengan Metode Konvensional... 86

6. Cara Pemberian Pupuk dan Pengendalian Hama dan Penyakit... 89

7. Bahan – Bahan Pupuk Organik Padat ... 93

8. Pola Pemasaran Padi Ramah Lingkungan dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya ... 108

9. Pola Pemasaran Beras melalui Pengecer... 109

10. Saluran Pemasaran IPadi Ramah Lingkungan dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya ... 120

11. Saluran Pemasaran 2 Padi Ramah Lingkungan dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya ... 120

12. Saluran Pemasaran 3 Padi Ramah Lingkungan dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya ... 123

13. Saluran Pemasaran 4 Padi Ramah Lingkungan dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya ... 125


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Peta Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya... 158 2. Peta Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya. 159 3. Karakteristik Responden yang Mengusahakan Padi Ramah

Lingkungan dengan Metode SRI ... 160 4. Karakteristik Responden yang Mengusahakan Padi Konvensional... 160 5. Karakteristik Responden terhadap Persepsi Usahatani Padi Ramah

Lingkungan Metode SRI ... 161 6. Perbedaan Budidaya Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dengan

Konvensional ... 162 7. Mikro Organisme Lokal (MOL) yang Digunakan Oleh Petani... 164 8. Penerimaan Petani Ramah Lingkungan Metode SRI... 166 9. Komponen Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usahatani Padi

Ramah Lingkungan Metode SRI ... 167 10. Penggunaan Bahan – Bahan Pupuk ... 168 11. Jumlah Benih dalam Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode

SRI... 169 12. Jumlah Benih dalam Usahatani Padi Konvensional ... 169 13. Jumlah Pupuk Kimia yang Digunakan dalam Usahatani Padi

Konvensional ... 170 14. Jumlah Tenaga Kerja Petani Pemilik dan Penyakap Padi

Konvensional ... 171 15. Jenis Umur dan Persepsi Responden Mengenai Manfaat ... 172 16. Jenis Tingkat Pendidikan dan Persepsi Responden Mengenai

Manfaat... 173 17. Jenis Tingkat Pendapatan dan Persepsi Responden Mengenai

Manfaat... 174 18. Jenis Tanggungan Keluarga dan Persepsi Responden Mengenai


(18)

19. Jenis Status Penguasaan Lahan dan Persepsi Responden Mengenai

Manfaat... 176 20. Jenis Lama Bertani dan Persepsi Responden Mengenai Manfaat ... 177 21. Jenis Umur dan Persepsi Responden Mengenai Keuntungan ... 178 22. Jenis Tingkat Pendidikan dan Persepsi Responden Mengenai

Keuntungan... 179 23. Jenis Tingkat Pendapatan dan Persepsi Responden Mengenai

Keuntungan... 180 24. Jenis Tanggungan Keluarga dan Persepsi Responden Mengenai

Keuntungan... 181 25. Jenis Status Penguasaan Lahan dan Persepsi Responden Mengenai

Keuntungan... 182 26. Jenis Lama Bertani dan Persepsi Responden Mengenai

Keuntungan... 183 27. Jenis Umur dan Persepsi Responden Mengenai Kemudahan... 184 28. Jenis Tingkat Pendidikan dan Persepsi Responden Mengenai

Kemudahan... 185 29. Jenis Tingkat Pendapatan dan Persepsi Responden Mengenai

Kemudahan ... 186 30. Jenis Tanggungan Keluarga dan Persepsi Responden Mengenai

Kemudahan... 187 31. Jenis Status Penguasaan Lahan dan Persepsi Responden Mengenai

Kemudahan... 188 32. Jenis Lama Bertani dan Persepsi Responden Mengenai

Kemudahan... 189 33. Kuisioner Analisis Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode

SRI ... 190 34. Kuisioner Analisis Usahatani Padi Konvensional ... 195 35. Kuisioner Marjin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan ... 200 36. Kuisioner Persepsi Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem pertanian yang berkelanjutan menjadi tuntutan globalisasi yang mensyaratkan produk – produk pertanian harus ramah lingkungan dan bebas residu bahan kimia. Pada hakekatnya sistem pertanian yang bekelanjutan adalah back to nature yaitu sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah – kaidah alamiah. Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani secara luas, melalui peningkatan produksi pertanian, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (Salikin, 2003).

Gerakan kembali ke alam yang dilandasi kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup telah menjadi tren masyarakat dunia yang telah dilembagakan secara internasional, melalui regulasi atau peraturan perdagangan global yang mensyaratkan bahwa produk pertanian harus mempunyai atribut: aman dikonsumsi, ramah lingkungan, dan mengandung nutrisi tinggi. Hal itulah yang menjadi pendorong utama berkembangnya pertanian organik.

Pertanian organik di Indonesia menemukan momentumnya pada waktu krisis ekonomi tahun 1997, saat itu harga sarana produksi pertanian anorganik seperti pupuk dan obat – obatan sangat tinggi sehingga keuntungan petani yang


(20)

sedikit semakin menurun. Sebagian petani mulai beralih pada pertanian organik dengan memanfaatkan bahan – bahan di sekitarnya. Departemen Pertanian pun telah menjalankan program Go Organic 2010 yang menargetkan Indonesia menjadi salah satu produsen pangan organik terbesar dunia (Andoko, 2002).

Tren keamanan pangan (food safety) menjadi isu sensitif dalam industri pangan, karena adanya berbagai kasus keracunan pangan yang terjadi, baik yang berasal dari kontaminasi bahan kimia maupun mikrobiologi, seperti muntah – muntah, diare, keracunan, dan sebagainya. Faktor kesehatan menjadi salah satu alasan mengapa konsumen mengkonsumsi pangan organik. Keamanan pangan dan bahan pangan yang segar serta alami menjadi tuntutan konsumen saat ini. Perbaikan mutu kehidupan dan gaya hidup sehat, telah mendorong masyarakat di berbagai negara untuk melaksanakan gerakan gaya hidup sehat dengan tema “Kembali ke Alam (Back to Nature)”. Gerakan ini didasari bahwa apa yang berasal dari alam adalah baik dan berguna, dan segalanya yang baik di alam itu selalu dalam keadaan keseimbangan. Pangan organik telah menjadi pilihan utama untuk memenuhi gaya hidup sehat (Surono, 2004).

Setiap tahun, kira – kira 67.000 manusia terkena racun pestisida dan hampir 10.000 kasus penyakit kanker dikaitkan dengan penggunaan 18 macam


(21)

pestisida, yang paling banyak dijumpai pada petani. Misalnya dari jenis pestisida Dibromokloropropan (DBCP) menyebabkan tidak berfungsinya testis dan kemandulan para pekerja. Masalah gangguan kesehatan yang kronis seperti meningkatnya pensterilan pada manusia dan hewan terutama yang jantan dan terganggu sistem syaraf, merupakan isu serius akibat keracunan pestisida dan bahan kimia yang akut. Bahkan World Human Organization (WHO) tahun 1999, melaporkan bahwa lebih dari tiga milyar manusia keracunan pestisida parah di dunia setiap tahunnya, dan diperkirakan 220 ribu mengalami kematian. Masalah kesehatan yang kronis tersebut merupakan isu kesehatan masyarakat, karena setiap orang dimana saja dihadapkan pada masalah residu pestisida, misalnya pada makanan, minuman, dan udara yang dihirup. Disemua negara pemakai pestisida, tingkat tertinggi yang terkena dampak buruk pestisida terjadi pada pekerja pestisida, petani, dan mereka yang hidup tergantung pada lahan pertanian, bahkan anak – anak dapat terkontaminasi oleh pestisida setiap harinya melalui makanan yang dikonsumsi, baik di rumah maupun di masyarakat dimana dia hidup (Pangaribuan, 2004).

Permintaan masyarakat dunia akan produk pertanian organik atau pangan yang berbahan baku hasil pertanian organik menunjukkan peningkatan yang pesat terlihat dari peningkatan jumlah konsumen organik dunia yang mencapai 20 persen per tahun (Syariefa, 2004). Pasar pangan organik di negara – negara Eropa, Oseania, Amerika Serikat, dan Kanada diperkirakan akan tumbuh rata – rata sekitar 12,5 persen per tahun sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 2003 mencapai $ 23 – $ 25 milyar dan menjadi $ 29 – $ 31 milyar pada tahun 2005 (Goenadi dan Isroi, 2003). Pasar produk pangan organik di Asia Pasifik adalah


(22)

Jepang, Australia, dan Selandia Baru, seperti terlihat pada Tabel 1. Peluang pasar yang sangat besar ini membuka peluang bagi negara – negara berkembang yang mempunyai potensi alam pertanian seperti Indonesia untuk memproduksi pangan organik.

Tabel 1. Besarnya Pasar Pangan Organik di Asia Pasifik Tahun 2003 No Negara Nilai (US $) Persentasi (%)

1 Jepang 250 juta 53,20

2 Australia 165 juta 35,10

3 Selandia Baru 36 juta 7,70

4 Lainnya (Asia) 19 juta 4,00

Jumlah 470 juta 100,00

Sumber: Organic Monitor (2002) dalam Simbolon, 2003

Dalam pengembangan pertanian organik diperlukan adanya standar yang menjadi acuan dalam pencapaian kualitas yang diharapkan oleh produsen dan konsumen. Standar tersebut berisi hal – hal umum mengenai proses produksi dan pengolahan yang diperkenankan dan yang tidak diperkenankan dalam budidaya pertanian organik dan hal – hal yang terkait dengan prinsip dan nilai – nilai dari pertanian organik itu sendiri. Pada tingkat nasional terdapat Standar Nasional Indonesia (SNI), sementara di tingkat internasional terdapat International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) atau lebih dikenal dengan IFOAM Basic Standard (IBS) atau Codex Alimentarius Commission (CAC). Standar lokal dan nasional sebaiknya harmonis dengan standar internasional. Petani pertanian organik sebaiknya menganut standardisasi dalam usahataninya. Standar ini berisi prinsip – prinsip mendasar pertanian organik dan hal – hal umum yang sebaiknya dilakukan dan dihindari dalam bertani organik.


(23)

Pemerintah telah menerbitkan SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik yang dapat menjadi acuan bagi para pelaku terkait pengembangan pertanian organik (Surono, 2004).

Apabila lahan yang digunakan berasal dari lahan bekas budidaya pertanian anorganik (menggunakan pupuk dan pestisida kimia), lebih dahulu perlu dilakukan konversi lahan. Konversi lahan adalah upaya yang bertujuan untuk meminimalkan kandungan sisa – sisa bahan kimia yang terdapat dalam tanah dan memulihkan unsur fauna dan mikroorganisme tanah. Lamanya konversi tergantung dari intensitas pemakaian input kimiawi dan jenis tanaman sebelumnya (sayuran atau padi). Dengan demikian, konversi dapat diperpanjang atau diperpendek tergantung pada sejarah lahan tersebut. Apabila masa konversi telah lewat, lahan tersebut merupakan lahan organik. Apabila kurang dari itu, maka lahan tersebut masih merupakan lahan konversi menuju organik (Surono, 2004).

Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan makanan pokok penduduk Indonesia yang diusahakan oleh petani, tetapi petani sering dirugikan akibat rendahnya harga gabah dan tingginya biaya produksi. Hal tersebut menjadi alasan penelitian ini difokuskan pada tanaman padi, terutama padi ramah lingkungan dengan metode SRI (System of Rice Intensification) yang sekarang dapat menjadi pilihan alternatif bagi petani untuk mengusahakan lahannya. Beberapa daerah di Indonesia khususnya Pulau Jawa telah menerapkan metode SRI (System of Rice Intensification) untuk usahatani padi ramah lingkungan.

System of Rice Intensification (SRI) atau Sistem Rancang Intensif adalah suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. Metode tersebut memberikan


(24)

kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman, dan memelihara mikroba tanah yang beraneka ragam melalui masukan bahan organik, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia serta dapat menghemat penggunaan air hingga 50 persen (Saina, 2004).

Padi organik yang berkembang saat ini merupakan alternatif bagi petani dalam mengusahakan lahannya, namun dalam masa konversi petani tidak dapat menggunakan istilah padi organik terhadap hasil budidayanya karena terdapat standar (SNI 01–6729–2002) yang menjadi acuan bagi petani dan konsumen. Padi yang dihasilkan petani hanya dapat dikatakan dengan istilah padi ramah lingkungan.

1.2. Perumusan Masalah

Pada Pekan Nasional XI Kontak Tani Nelayan Andalan (PENAS XI KTNA) 2004 di Mindanau Sulawesi Selatan, bupati Tasikmalaya mendapat penghargaan Satya Lencana dari Presiden RI di bidang pertanian, karena telah mengembangkan padi yang ramah lingkungan secara terpadu melalui program pelatihan Pengenalan Ekologi Tanah (PET) dan System of Rice Intensification (SRI) dengan pendekatan partisipatif kepada petaninya sejak awal tahun 2003. Secara teknis kegiatan ini dilaksanakan oleh Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Tasikmalaya dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tasikmalaya. Luas areal padi ramah lingkungan metode SRI sampai dengan Mei 2004 telah mencapai 46,24 Ha yang tersebar di 22 kecamatan seperti terlihat pada Tabel 2.

Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaratu merupakan daerah pertama di Kabupaten Tasikmalaya yang mendapatkan pelatihan PET dan SRI yaitu pada


(25)

awal tahun 2003, tetapi ada petani yang secara tradisional telah mengusahakan padinya secara ramah lingkungan sejak lama. Desa tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah penghasil padi ramah lingkungan karena tersedia sarana pengairan yang baik dari tiga sungai, sarana transportasi yang memadai, serta terdapat peternakan kambing, kerbau, dan domba untuk bahan pupuk kandang. Produktivitasnya pun paling tinggi dibanding daerah lain yang bisa mencapai 14 ton per ha seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Areal Pola Tanaman Sistem Intensifikasi Padi Ramah Lingkungan melalui Program Pengenalan Ekologi Tanah (PET) dan System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya sampai dengan Mei 2004

No Kecamatan Luas Areal Tanam (Ha)

Produktivitas (Ton/Ha)

Varietas Musim ke

1. Cisayong 5,00 9,08 Sintanur

2. Sukaratu 5,00 14,10 Sintanur, Widas, Pandanwangi

2 – 8 3. Padakembang 1,50 7,15 IR-64

4. Leuwisari 1,40 7,10 Sintanur

5. Sariwangi 0,60 7,56 IR-64

6. Salawu 5,50 9,10 Ciherang, Sintanur 4 7. Singaparna 3,60 7,80 Ciherang

8. Puspahiang 3,20 8,75 Ciherang

9. Sukarame 2,35 8,95 Ciherang, Sintanur 3 10. Cibalong 4,00 7,56 Ciherang, Sintanur 11. Parungponteng 3,50 11,50 Cisadane, Ciherang 5 12. Cipatujah 2,00 7,80 Cisadane

13. Pancatengah 0,50 6,95 Ciherang

14. Salopa 2,00 9,85 Ciherang

15. Cikatomas 0,20 7,05 IR-64 16. Jatiwaras 2,45 7,58 Ciherang 17. Karangjaya 0,20 9,75 Ciherang

18. Cineam 0,60 8,60 Ciherang

19. Jamanis 0,50 11,90 Widas

20. Kadipaten 0,50 8,65 Ciherang 21. Sukaresik 1,00 11,00 Ciherang

22. Mangunreja 0,64 Belum panen Sintanur 1

T O T A L 46,24 8 – 9

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tasikmalaya, 2004.


(26)

Sebagian besar peserta pelatihan PET dan SRI di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya yang terdiri dari tiga kelompok tani pada awalnya mengikuti usahatani padi ramah lingkungan metode SRI, ketiga kelompok tani ini berasal dari desa Sukagalih dan dari desa sekitarnya. Jumlah petani yang mengikuti pelatihan PET dan SRI yang berasal dari Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 21 orang, tetapi sampai bulan Februari 2005 yang bertahan melaksanakan padi ramah lingkungan metode SRI tinggal tujuh orang petani yang telah mengusahakannya lebih dari dua tahun. Berdasarkan survei awal diduga bertahannya ke tujuh orang petani tersebut disebabkan oleh produksi yang diperoleh cukup tinggi, dan selama ini pemasaran padi ramah lingkungan yang ada melalui KTNA yang dirasakan oleh petani tidak terlalu menguntungkan, disebabkan petani tidak mengetahui informasi pasar yang harus dituju. Keberadaan KTNA dirasakan oleh petani dapat mengurangi pendapatan, karena dalam saluran tataniaga KTNA memotong jalur antara petani dengan pengecer atau petani dengan konsumen akhir.

Masuknya suatu inovasi terhadap cara budidaya padi tentu akan menghasilkan persepsi bagi petani, begitu juga dengan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI, dimana dalam hal pembentukan persepsi bisa saja setiap petani memiliki persepsi yang berbeda – beda terhadap objek yang sama.

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah:

1. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani padi ramah lingkungan dan konvensional?


(27)

3. Bagaimana distribusi marjin pemasaran dan efisiensi pemasaran pada saluran pemasaran padi ramah lingkungan?

4. Bagaimana persepsi petani terhadap padi ramah lingkungan dan apakah karakteristik personal mempengaruhi persepsi petani terhadap padi ramah lingkungan metode SRI?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani padi ramah lingkungan dan konvensional.

2. Menganalisis saluran dan struktur pasar padi ramah lingkungan.

3. Menganalisis marjin pemasaran dan efisiensi pemasaran pada saluran pasar padi ramah lingkungan.

4. Mengkaji persepsi petani dan karakteristik individu yang berkaitan dengan persepsi terhadap keberadaan padi ramah lingkungan metode SRI.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna bagi:

1. Petani, sebagai tambahan informasi dalam mengembangkan usahataninya. 2. Pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan

pengembangan pertanian


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Berkelanjutan

Dikalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi (Salikin, 2003), istilah sistem pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture) yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian.

Menurut Food Agriculture Organization (FAO) dalam Surya (2002) pertanian berkelanjutan merupakan suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia, bersama dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan, dan mengkonservasi sumberdaya alam. Secara lebih luas pertanian berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya pertanian (lahan, air, udara, dan genetik), melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa sehingga menjamin tercapainya kebutuhan yang diperlukan secara berkesinambungan baik dari waktu ke waktu maupun antar generasi. Sedangkan Reintjes, C. et al, (1999) dalam Salikin (2003) pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.

Nasution dalam Salikin (2003) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumberdaya biologis dengan syarat memelihara produktivitas


(29)

dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara kualitas lingkungan hidup, dan produktivitas sumberdaya sepanjang masa.

Nasution dalam Salikin (2003) memberikan azas – azas yang harus diperhatikan dalam pertanian berkelanjutan, antara lain:

1. Sumber daya biologis harus dimanfaatkan atau dikelola sesuai dengan kemampuan dan kodrat alamiahnya. Jika suatu sumber daya biologis terpaksa dimanfaatkan melalui batas kemampuan alamiahnya, dapat dilakukan introduksi teknologi untuk mengoperasikan kekurangan tersebut, asalkan tidak menimbulkan masalah – masalah baru yang lebih serius.

2. Kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya alam yang diwariskan oleh suatu generasi kepada generasi selanjutnya sekurang – kurangnya harus sama dengan kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumber daya alam dari generasi sebelumnya.

3. Penggunaan sumberdaya biologis yang dapat diperbaharui lebih diprioritaskan. Tingkat penggunaan sumber daya biologi yang dapat diperbaharui tersebut harus sama dengan tingkat pembentukan alamiahnya. 4. Teknologi dan manajemen pertanian yang ditetapkan tidak mengurangi

keragaman alamiah yang ada.

5. Pemanfaatan material harus dalam rantai alamiah sepanjang mungkin. Dengan perkataan lain, pengelolaan usahatani harus berupaya memperpanjang siklus ekologis.


(30)

7. Usahatani tidak menimbulkan limbah, ataupun jika menimbulkan limbah, limbah tersebut masih dalam batas kemampuan atau daya asimilatif lingkungan dan dapat dikendalikan.

8. Kuantitas dan kualitas produksi pertanian harus melampaui kuantitas dan kualitas produk – produk buatan.

9. Kuantitas dan kualitas komoditas pertanian yang dihasilkan harus dapat memenuhi kebutuhan minimal manusia yang jumlah dan permintaannya neningkat.

Secara umum pertanian berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan (quality of life). Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan paling tidak tujuh macam kegiatan (Manguiat dalam Salikin, 2003), yaitu: meningkatkan pembangunan ekonomi, memprioritaskan kecukupan pangan, meningkatkan pengembangan sumberdaya manusia, meningkatkan harga diri, memberdayakan dan memerdekakan petani, menjaga stabilitas lingkungan (aman, bersih, seimbang, diperbaharui), dan memfokuskan tujuan produktivitas untuk jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu pendekatan pertanian berkelanjutan yang bersifat produktif, berdasarkan pengalaman, dan partisipatif.

Pertanian Berkelanjutan yang mengandung makna bahwa pertanian perlu memperhatikan aspek – aspek lingkungan seperti memperhatikan unsur air, tanah, udara, tanaman yang diupayakan, manusia yang mengupayakan serta unsur – unsur lain yang terdapat didalam lahan petanian. Sehingga dalam pertanian bekelanjutan perlu mengutamakan kepentingan aliran energi dan siklus nutrisi


(31)

yang telah diatur secara alami dan selalu mengedepankan keuntungan dari dampak aliran dan siklus pertanian yang ada.

2.2. Usahatani

Usahatani adalah organisasi produksi di lapangan pertanian dimana terdapat unsur lahan yang mewakili alam, unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluarga tani, unsur modal, dan unsur pengelolaan atau manajemen yang perannya dibawakan oleh seseorang yang disebut petani (Tjakrawilaksana dan Soriatmadja dalam Nainggolan, 2001).

Menurut Bahtiar Rivai dalam Susanto (2004) usahatani adalah sebagai organisasi alam, kerja, modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini ketatalaksanaanya berdiri sendiri dan diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik terikat secara geologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya.

Keberhasilan suatu usahatani tidak terlepas dari faktor – faktor lingkungan yang mempengaruhi yang bisa dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor – faktor produksi yang pengaruhnya dapat dikendalikan oleh petani seperti penggunaan lahan, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan jumlah keluarga petani. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor – faktor produksi yang tidak dapat dikontrol dan diluar jangkauan petani seperti faktor iklim, cuaca, penyuluhan bagi petani, dan perubahan harga.


(32)

2.2.1. Biaya Usahatani

Biaya dalam usahatani dapat dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai usahatani merupakan pengeluaran tunai yang dikeluarkan oleh petani. Biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan oleh petani, biaya ini dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penggunaan benih dari hasil produksi dan penyusutan sarana produksi.

2.2.2. Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan ini mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit, dan kredit atau pinjaman dari pihak luar. Penerimaan ini dinilai berdasarkan perkalian antara total produksi dengan harga pasar yang berlaku (Soekarwati dkk,1986).

2.2.3. Pendapatan Usahatani

Tingkat keberhasilan dalam mengelola usahatani dapat diukur melalui besarnya pendapatan yang diterima dari usahataninya. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dari kegiatan usahatani dan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani (Soeharjo dan Patong, 1977). Pendapatan bersih merupakan ukuran bagi imbalan yang diperoleh petani dari penggunaan faktor – faktor produksi, kerja, pengelolaan dan modal sendiri maupun modal pinjaman yang diinvestasikan dalam usahataninya (Soekarwati dkk,1986).


(33)

Untuk mengukur tingkat pendapatan petani dapat digunakan konsep pendapatan kotor petani (Gross Farm Income) dan pendapatan bersih petani (Net Farm Income). Pendapatan kotor petani diperoleh sebagai hasil pengurangan biaya tunai dari produksi. Sedangkan pendapatan bersih sebagai hasil pengurangan biaya yang diperhitungkan dari pendapatan kotor petani (Herdt dalam Nainggolan, 2001).

Besarnya pendapatan petani yang diterima petani dalam satu tahun berbeda antar petani. Perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor – faktor tersebut ada yang masih dapat diubah dalam batasan kemampuan petani dan ada faktor yang tidak bisa diubah yaitu iklim dan jenis tanah.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dan upaya peningkatan usahatani yang masih dalam batasan kemampuan petani adalah luas usahatani, dan efisiensi produksi. Luas rata – rata usahatani di Indonesia yang kecil merupakan salahsatu faktor hambatan dalam perubahan pemilihan jenis tanaman yang akan diusahakan (Soeharjo dan Patong, 1977).

Analisis pendapatan berguna bagi petani sebagai pemilik faktor – faktor produksi dan pengelola usahatani. Tujuan analisis pendapatan usahatani adalah untuk menggambarkan tingkat keberhasilan kegiatan usahatani dan melihat prospek usahatani tersebut dimasa yang akan datang.

2.3. Metode System of Rice Intensification (SRI)

System of Rice Intensification (SRI) adalah suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. SRI adalah cara atau sistem penanaman padi dengan intensif, yang memperhatikan dan mengutamakan pengelolaan sumber kekuatan alam, daur


(34)

aliran energi dan siklus nutrisi yang berawal terjadi pada tanah, potensi tumbuh dan berkembangnya tanaman serta pengelolaan peranan atau fungsi air dalam mendukung dan memperkuat berjalannya kehidupan alamiah di ekosistem pertanian (Saina, 2004). Metode tersebut memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah dan tanaman dengan dukungan akar yang kuat dan memelihara mikroba tanah yang melimpah dan beraneka ragam melalui masukan bahan organik, tanpa pupuk kimia konvensioal (Urea, TSP, KCl dan Za) dan pestisida kimia. Produksi tanaman padi diharapkan hingga mencapai 8 ton per ha, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10 – 15 ton per ha. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (Surono, 2004).

Cara bertanam padi ramah lingkungan metode SRI pada dasarnya tidak berbeda dengan padi konvensioal, usahatani padi ramah lingkungan metode SRI diberikan masukan bahan organik baik pupuk dan pestisidanya, sedangkan usahatani padi konvensioal masukannya berupa bahan kimia konvensioal. Cara bertanam padi ramah lingkungan SRI sedikit berbeda dengan padi organik biasa, yaitu pada teknik persemaian, pengolahan tanah, penanaman, dan pengaturan air, seperti uraian berikut.

2.3.1. Varietas dan Benih

Varietas padi yang cocok ditanam pada padi ramah lingkungan metode SRI adalah varietas lokal atau alami. Padi hibrida kurang cocok karena umumnya padi hibrida hanya dapat tumbuh dan berproduksi optimal bila disertai dengan aplikasi pupuk kimia dalam jumlah banyak.


(35)

Benih bermutu merupakan syarat untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Umumnya benih dikatakan bermutu bila jenisnya murni (lokal), beras nasional (bernas), kering, sehat, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji rerumputan yang tidak dikehendaki, dan daya kecambahnya paling tidak mencapai 90 persen (Andoko, 2002). Cara mengecambahkan benih adalah benih direndam dalam air bersih sekitar dua hari sehingga menyerap air, benih yang hampa akan mengapung di permukaan air, setelah direndam, benih diangkat dan diperam sekitar dua hari agar berkecambah dengan cara dihamparkan diatas lantai kemudian ditutup karung goni basah. Benih yang sudah berkecambah disebar merata dan tidak tumpang tindih. Jumlah ideal bibit yang disebarkan sekitar 50 – 60 gr per m2.

Persemaian metode SRI memakai semacam nampan atau pepiti yang diisi media tanam yaitu campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1 : 1, kemudian benih ditaburkan secara merata tidak terlalu padat dan tidak terlalu jarang, tanah agar selalu dijaga lembab. Banyaknya benih bermutu 0,7 – 1 kg per seratus bata atau 4,9 – 7 kg per ha.

2.3.2. Pengolahan Lahan

Prinsip pengolahan tanah adalah pemecahan bongkahan – bongkahan tanah sawah sedemikian rupa hingga menjadi lumpur lunak dan sangat halus yang disebut koloid. Menurut metode SRI, pengolahan tanah pertama, yaitu tanah dibajak dengan cangkul atau traktor, benamkan pupuk organik (pupuk kompos sebanyak 5 ton per ha), air macak – macak supaya pupuk tidak hanyut. Pengolahan tanah kedua, yaitu tanah dicangkul halus atau digaru atau ditraktor,


(36)

diratakan, air tetap macak – macak atau tidak diairi, endapkan semalam supaya mudah untuk digarit.

2.3.3. Penanaman

Penanaman dilakukan pada saat umur bibit 5 – 10 hari setelah semai dengan jumlah bibit satu buah per rumpun dengan dalam penanaman 0,5 – 1 cm (tanam dangkal) jarak tanam sekitar 25 x 25 cm, 27 x 27 cm atau 30 x 30 cm, dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah anakan produktif karena persingan oksigen, energi matahari, dan nutrisi semakin berkurang.

Berbeda dengan cara konvensioal biasanya bibit yang baik untuk dipindahkan ke lahan penanaman adalah tinggi sekitar 25 cm, memiliki 5 – 6 helai daun, batang bawah besar dan keras, bebas dari hama penyakit, dan jenisnya seragam. Varietas genjah dengan lama penanaman 100 – 115 hari dan umur bibit dipindahkan 18 – 21 hari, Varietas sedang dengan lama penanaman 130 hari dan umur bibit dipindahkan 21 – 25 hari, dan Varietas dalam dengan lama penanaman 150 hari dan umur bibit dipindahkan 30 – 45 hari. Jarak tanam 30 cm x 30 cm. Jumlah bibit 4 – 6 per rumpun dan dibenamkan tidak terlalu dalam sekitar 5 cm.

2.3.4. Perawatan Tanaman

Penyulaman dilakukan maksimal dua minggu setelah tanam. Sekitar 20 hari setelah tanam dilakukan pengolahan tanah ringan dengan menggunakan sorok, airnya dikeluarkan agar terjadi pertukaran udara. Kemudian dilakukan penyiangan agar tanaman padi dapat tumbuh sempurna sehingga produktivitasnya tinggi dengan cara pencabutan gulma yang dilakukan tiga kali.


(37)

Penyiangan pertama saat tanaman berumur empat minggu, kedua umur 35 hari dan ketiga umur 55 hari. Ada beberapa jenis gulma pada tanaman padi, yaitu jajagoan (echinochloa crusgalli), sunduk gangsir (digitaria ciliaris), rumput teki (cyperus rotundus), dan eceng.

2.3.5. Pemasukan dan Pengeluaran Air

Pengaturan air dengan metode SRI, ketika umur padi 1 – 8 hari setelah tanam (hst) air sawah macak – macak, umur padi 9 – 10 hari setelah tanam digenangi 2 – 3 cm (untuk memudahkan penyiangan I), setelah dinyiangi dikeringkan sampai umur 18 hari, saat umur 19 – 20 hari setelah tanam, sawah digenangi untuk memudahkan penyiangan II, kemudian dikeringkan lagi, jika perlu penyiangan III digenangi selama dua hari dan seterusnya dikeringkan sampai tanaman berbunga, pada saat berbunga tanaman diairi atau digenangi sampai padi masak susu, jika padi sudah masak susu pengairan dihentikan atau dikeringkan sampai menjelang panen.

Dengan cara konvensioal penggenangan sawah dilakukan agar produktivitas tanaman dan pertumbuhan tanaman menjadi baik tetapi tidak dilakukan secara sembarangan. Setelah bibit ditanam sawah digenangi, setinggi 2 – 5 cm selama 15 hari saat tanaman mulai membentuk anakan agar struktur tanah dapat dipertahankan dan menghambat pertumbuhan gulma. Fase pembentukkan anakan air dipertahankan antara 3 – 5 cm hingga tanaman bunting. Masa bunting tinggi air sekitar 10 cm, kekurangan air dapat berakibat gabah menjadi hampa. Fase pembungaan ketinggian air antara 5 – 10 cm, bila tampak keluar bunga maka sawah dikeringkan 4 – 7 hari agar pembungaan terjadi serentak, saat bunga


(38)

muncul serentak air dimasukkan kembali 5 – 10 cm. Saat seluruh bulir padi mulai menguning pengeringan dilakukan hingga saat panen tiba.

2.3.6. Pemupukan

Seluruh pupuk yang digunakan sepenuhnya berupa pupuk organik mulai pemupukan awal atau dasar hingga pemupukan susulan dapat berbentuk padat yang diaplikasikan lewat akar maupun cair yang diaplikasikan lewat daun. Pupuk dasar berupa pupuk kandang atau kompos matang sebanyak 8 – 10 ton per ha yang diberikan bersamaan dengan pembajakan, bisa juga diberikan pupuk fermentasi atau bokashi cukup 1,5 – 2 ton per ha.

Pemupukan susulan pertama dilakukan saat tanaman berumur 15 hari berupa pupuk kandang 1 ton per ha atau kompos fermentasi (bokasi) 0,5 ton per ha dengan disebarkan disela – sela padi. Pemupukan susulan kedua saat umur tanaman 25 – 60 hari dengan frekuensi seminggu sekali berupa pupuk organik cair buatan sendiri yang kandungan unsur N-nya tinggi, dosisnya sebanyak satu liter pupuk dilarutkan dalam 17 liter air dan disemprotkan pada daun tanaman. Pemupukan susulan ketiga saat tanaman memasuki fase generatif atau pembentukan buah yaitu setelah tanaman berumur 60 hari berupa pupuk organik cair (POC) buatan sendiri yang terbuat dari tulang – tulang ikan, buah – buahan, air beras, dan lain – lain yang difermentasikan terlebih dahulu dengan air nira atau air kelapa selama 15 hari, mengandung unsur P dan K tinggi, dosisnya 2 – 3 sendok makan pupuk P dicampur satu tangki kecil pupuk K, pupuk tersebut disemprotkan ke tanaman seminggu sekali sampai bulir padi tampak menguning.


(39)

Pada pertanian non organik dosis pemupukan kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun, berbeda dengan penggunaan pupuk organik yang cenderung semakin menurun karena sifat pupuk organik antara lain (Andoko, 2002):

a. Memperbaiki struktur tanah, dari berlempung liat menjadi ringan atau remah b. Memperbaiki daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak terurai

c. Memperbaiki daya ikat air pada tanah

d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah e. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara f. Mengandung unsur hara lengkap

g. Membantu proses pelapukan bahan mineral h. Menyediakan makanan bagi mikroba

i. Menurunkan aktivitas mikroorganisme merugikan.

2.3.7. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pemberantasan hama dan penyakit padi organik dilakukan secara terpadu antara teknik budidaya, biologis, fisik (perangkap atau umpan), dan pestisida organik. Berikut beberapa hama dalam usahatani padi dan cara pengendaliannya.

a. Wereng

Berupa serangga kecil ordo homoptera, antara lain wereng coklat (nilaparvata lugens), wereng hijau (nephotettix virescens), wereng zig – zag (deltocephalus dorsalis), dan wereng putih (cofana spectra). Imago betina bertelur 100 – 200 butir diletakkan dalam jaringan daun tanaman. Stadium telur 7 – 10 hari, nimfa 12 – 15 hari, dan imago 10 – 24 hari. Serangga dewasa


(40)

atau imago dan nimfanya mengisap cairan pangkal batang dan bulir padi yang masih lunak, tanaman menjadi layu, menguning dan mati.

Pengendalian hama dengan teknik budi daya antara lain dengan rotasi tanaman agar siklus terputus dengan tanaman palawija seperti kacang hijau atau kedelai, jarak tanaman jangan terlalu rapat. Secara biologis dengan membiarkan predator alami hama wereng seperti laba – laba hidup di persawahan dan menyemprotkan larutan spora cendawan entomopatogen beauveria bassiana untuk menginfeksi wereng. Secara fisik dengan perangkap, karena wereng sangat tertarik cahaya lampu pada malam hari, lampu ditengah disekelilingnya air atau lem sehingga wereng jatuh ke air atau ke lem. Secara kimia dengan ramuan bio pestisida buatan sendiri dan disemprotkan ke tanaman.

b. Walang sangit (leptocorisa oratorius)

Bertubuh ramping dan antena memanjang dan bila terganggu, imago akan mengeluarkan bau menyengat. Imago betina menghasilkan 200 – 300 telur. Setelah 5 – 8 hari, telur menetas menjadi nimfa, nimfa menjadi walang sangit setelah 17 – 27 hari. Walang sangit menghisap bulir padi yang baru diisap sehingga berwarna kecoklatan dan hampa.

Pengendalian teknik budidaya dengan cara rotasi tanaman dengan tanaman kacang hijau atau kedelai. Secara biologis dengan penyemprotan cendawan entomopatogen metarhizium anisopliae. Secara fisik dengan perangkap bangkai ketam sawah. Secara kimia dengan ramuan bio pestisida. c. Penggerek batang


(41)

Beberapa jenis penggerek batang, yaitu penggerek batang bergaris (chilo supressalis), penggerek batang kuning (tryporyza incertulas), dan penggerek batang merah jambu (sesamia inferens). Imago (ngengat) hidup 3 – 5 hari, panjang 13 mm, bertelur 200 – 300 butir diletakkan dipermukaan bawah daun utama, menetas menjadi larva setelah 5 – 6 hari. Larva masuk ke pelepah batang dan menggerek jaringan tanaman padi. Serangan saat tanaman muda disebut "sundep" dengan ciri daun termuda mengering dan mudah dicabut, serangan saat tanaman pada fase bunting atau berbunga disebut "beluk" dengan ciri malai padi menjadi kering karena pangkalnya terpotong. Pengendalian teknik budidaya dengan cara tunggul jerami padi

dipotong tepat pada permukaan tanah, lalu dibenamkan pada saat pengolahan tanah agar penggereknya mati, penyiangan gulma terhadap rumput inang hama. Secara biologis dengan penyemprotan larutan campuran cendawan entomopatogen beauveria bassiana dan metarhizium anisopliae. Secara fisik dengan perangkap seperti pada wereng. Secara kimia dengan bio pestisida buatan sendiri.

d. Ganjur

Imago ganjur (orseolia oryzae) seperti nyamuk warna kemerahan. Imago betina bertelur 100 – 250 butir. Telur menetas menjadi nimfa setelah 3 – 4 hari, penetasan dibantu titik – titik embun, masa hidup nimfa 14 – 17 hari. Nimfa memakan bagian dasar titik tumbuh dan pucuk tanaman.

Pengendalian teknik budidaya dengan cara rumput sekitar persawahan yang merupakan tanaman inang dibersihkan. Secara biologis dengan predator alami yaitu laba – laba. Secara fisik dengan perangkap seperti pada wereng.


(42)

Secara kimia dengan penyemprotan bio pestisida seperti pestisida untuk walang sangit.

e. Tikus (rattus argentiventer)

Tikus bersifat jera hama, yaitu tidak akan memakan umpan beracun lagi bila pernah memakannya. Perkembangbiakannya sangat cepat dalam setahun sepasang tikus dapat beranak 1.270 ekor. Tikus menyerang tanaman padi disemua bagian baik daun, batang, maupun biji padi. Pengendalian teknik budidaya dengan serentak menanam padi. Secara biologis dengan predator alami seperti ular sawah dan burung hantu. Secara fisik membuat perangkap dengan umpan gadung, jengkol, atau mengkudu. Secara mekanis dengan membongkar sarang tikus dan pengasapan.

f. Burung pemakan biji – bijian

Pipit tudung putih (lonchura leucogastroides), pipit haji (lonchura raffles), pipit jawa (lonchura leucogastroides orsfield), gelatik (padda oryzivora), perkutut (geopeli striata), dan derkuku (streptopelia chinensis). Burung – burung ini memakan biji padi. Belum ada cara khusus untuk mengendalikannya, masih cara tradisional yaitu menakutinya dengan orang – orangan.

Penyakit merupakan suatu kondisi tidak normal yang menyebabkan fungsi tanaman terganggu. Beberapa jenis penyakit tanaman padi, yaitu:

a. Bercak cokelat

Disebabkan oleh cendawan helminthosporium oryzae yang menyerang tanah kurang subur dan tanah beririgasi kurang baik. Gejalanya timbul bercak – bercak cokelat seperti biji wijen pada daun atau gabah dapat berakibat


(43)

kehilangan hasil 50 persen dengan kualitas biji rendah. Pengendalian dengan memperbaiki kesuburan tanah yaitu dengan pupuk kandang atau kompos, bisa juga dengan membuat fungisida organik sendiri.

b. Blast

Bersifat kosmopolit, artinya menyerang tanaman padi diseluruh dunia oleh cendawan pyricularia oryzae. Pemicunya adalah pemupukan N terlalu tinggi dengan gejala bercak seperti mata pada daun padi. Pengendaliannya dengan menghindari penggunaan pupuk N terlalu tinggi dan penyemprotan fungisida organik buatan sendiri.

c. Tungro

Disebabkan oleh virus tungro yang dibawa oleh wereng. Tanaman menjadi kerdil dan daun berwarna kuning atau oranye saat tanaman masih muda umur 10 – 20 hari. Kehilangan hasilnya sangat besar sekitar 67 persen, sementara serangan pada saat tanaman fase akhir, kehilangan hasil sekitar 10 – 20 persen. Pengendaliannya dengan memberantas berbagai jenis rumput liar diantaranya jajagoan dan sunduk gangsir yang merupakan tanaman inang wereng, dapat juga dengan menggunakan laba – laba untuk memberantas wereng.

2.3.8. Panen

Sepuluh hari sebelum panen, sawah dikeringkan agar masaknya padi serentak dan memudahkan pemanenan. Pemanenan padi harus dilakukan pada saat yang tepat, pemanenan yang terlalu cepat dapat menyebabkan kualitas gabah menjadi rendah, sebaliknya panen yang terlambat dapat menurunkan produksi.


(44)

Untuk memastikan padi siap panen adalah dengan cara menekan butir gabah, bila butirannya sudah keras maka saat itu paling tepat untuk dipanen.

Secara tradisional padi dipanen dengan ketam tetapi kurang efisien karena lambat dan perlu banyak tenaga kerja, untuk lahan 2.500 m2 diperlukan sepuluh tenaga kerja dalam waktu dua hari. Agar panen berlangsung cepat, alat yang digunakan adalah sabit karena dengan empat tenaga kerja lahan 2.500 m2 sudah dipanen dalam waktu setengah hari. Setelah panen, gabah dirontokkan dari malainya dengan mesin atau tenaga manusia dengan dipukul – pukulkan dan diberi alas terpal agar terkumpul.

2.3.9. Pasca Panen

Gabah hasil panen tersebut dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari dengan alas anyaman bambu, tikar, terpal atau lantai semen. Bila cuaca cerah lama penjemuran sekitar tiga hari, tetapi bila terkadang mendung bisa sampai satu minggu. Untuk memastikan padi telah kering adalah dengan cara menggigitnya, bila digigit tidak patah maka gabah sudah kering sehingga dapat disimpan atau digiling menjadi beras.

Penggilingan merupakan kegiatan pemisahan beras dari kulitnya. Ada dua cara yaitu secara tradisional dan modern. Cara tradisional yaitu gabah ditumbuk dengan menggunakan lesung dan alu yang akan menghasilkan beras dan kulit tetapi berasnya kecoklatan karena masih terbalut bekatul yang disebut beras pecah kulit, nasi dari beras pecah kulit ini sangat baik gizinya karena tingginya kandungan vitamin B. Untuk mendapatkan beras putih bersih, beras pecah kulit harus ditumbuk ulang atau disosoh. Cara tradisional ini pengerjaannya sangat lambat, tenaga kerja yang memadai tidak tersedia dan alatnya sulit dijumpai.


(45)

Penggilingan dengan cara modern dengan menggunakan mesin huller. Hasil yang diperolehnya sama hanya pengerjaannya lebih cepat, tahap pertama diperoleh beras pecah kulit dan tahap kedua akan menjadi putih bersih. Maka beras ini dapat di simpan di tempat kering atau dipasarkan langsung ke konsumen.

2.4. Pemasaran

Adanya kebutuhan dan keinginan manusia menimbulkan permintaan terhadap produk tertentu yang didukung oleh kemampuan membeli. Produk tersebut diciptakan untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia sehingga timbul proses pertukaran untuk memperoleh produk yang diinginkan atau dibutuhkan dengan menawarkan sesuatu sebagai gantinya (Kotler, 1997).

Pemasaran menurut Kotler (1997) adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Sedangkan definisi pemasaran menurut Limbong dan Sitorus (1987) adalah segala usaha kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen. Ditinjau dari segi ekonomis, kegiatan pemasaran bersifat produktif karena memberikan nilai tambah dari kegiatan suatu barang.

Konsep yang melandasi pemasaran adalah pertukaran (Kotler,1997). Terjadinya pertukaran harus dipenuhi lima kondisi sebagai berikut:


(46)

2. Masing – masing pihak mempunyai sesuatu yang mungkin bernilai bagi orang lain.

3. Masing – masing pihak mampu berkomunikasi dan melakukan penyerahan. 4. Masing – masing pihak bebas menolak atau menerima tawaran.

5. Masing – masing pihak yakin bahwa berunding dengan pihak lain adalah layak dan bermanfaat.

2.4.1. Fungsi Pemasaran

Proses penyampaian barang dari titik produsen ke titik konsumen memerlukan berbagai kegiatan atau tindakan. Kegiatan – kegiatan tersebut dinamakan sebagai fungsi pemasaran. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), fungsi pemasaran merupakan kegiatan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari titik produsen ke titik konsumen.

Menurut Kotler (1997), tiga fungsi pokok pemasaran yairu:

1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang meperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan yang terdiri dari fungsi pembelian dan fungsi penjualan.

2. Fungsi fisik, merupakan semua kegiatan yang langsung berhubungan dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kepuasan tempat, bentuk dan waktu. Kegiatan yang termasuk kedalam fungsi fisik adalah kegiatan penyimpanan pengolahan dan pengangkutan.

3. Fungsi fasilitas, merupakan semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen.


(47)

2.4.2. Lembaga dan Saluran Pemasaran

Lembaga pemasarana (Sudiyono, 2002) adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi – fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa merjin pemasaran. Saluran pemasaran adalah usaha yang dilakukan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen yang didalamnya terlibat beberapa lembaga pemasaran yang menjalankan fungsi – fungsi pemasaran (Limbong dan Sitorus, 1987). Sedangkan menurut Kotler (1997) saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling bergantung serta terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap digunakan atau dikonsumsi. Semua saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang – orang yang membutuhkannya atau menginginkanya.

2.4.3. Struktur Pasar

Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan perusahaan, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis – jenis dan diferensiasi produk serta syarat – syarat masuk (Limbong dan Sitorus, 1987). Struktur pasar menunjukkan secara deskriptif jumlah perusahaan, dominan atau tidaknya perusahaan – perusahaan, sifat produk dan pangsa pasar yang dikuasai akan menentukan perilaku pasar yaitu keputusan


(48)

atau strategi pemasaran yang akan dipakai, kebijaksanaan harga dan lain – lain. Struktur pasar dicirikan oleh : (1) konsentrasi pasar, (2) diferensiasi produk, dan (3) kebebasan keluar masuk pasar.

Struktur pasar sangat penting dalam analisis pemasaran karena melalui analisis struktur pasar secara otomatis akan dapat dijelaskan bagaimana perilaku partisipan yang terlibat dan menunjukkan keragaan yang terjadi akibat dari struktur dan perilaku pasar yang ada dalam sistem pemasaran tersebut.

Menurut Sudiyono (2002) ada empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar, yaitu: (1) jumlah dan besar penjual dan pembeli, (2) keadaan produk yang diperjual belikan, (3) kemudahan masuk dan keluar pasar, dan (4) pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi.

Ditinjau dari sisi penjualan, berdasarkan jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjual belikan maka struktur pasar dibedakan menjadi:

1) Persaingan sempurna: banyak penjual dan produk homogen terstandarisasi sempurna,

2) Persaingan monopolistik: banyak penjual dengan produk yang homogen standarisasi dan berbeda corak,

3) Oligopoli: sedikit penjual dengan produk hoterogen terstandarisasi atau berbeda corak, dan

4) Monopoli: satu penjual dengan produk unik atau tidak dapat didistribusikan oleh produk lainnya.


(49)

1) Pasar persaingan sempurna: banyak pembeli dengan produk homogen terstandarisasi,

2) Persaingan oligopsonistik: banyak pembeli dengan produk berbeda corak, 3) Oligopsoni: sedikit pembeli dengan homogen terstandarisasi atau berbeda

corak, dan

4) Monopsoni: terdapat satu pembeli dengan produk unik.

2.4.4. Marjin Pemasaran

Marjin tataniaga didefinisikan sebagai perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen, atau dapat pula dinyatakan sebagai nilai dari jasa – jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir. Kegiatan untuk memindahkan barang dari titik produsen ke titik konsumen membutuhkan pengeluaran baik fisik maupun materi. Pengeluaran yang harus dilakukan untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke konsumen disebut biaya tataniaga. Hammond dan Dahl (1977), menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf). Nilai marjin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perkalian antara marjin tataniaga dengan volume produk yang terjual (Pr – Pf). Qrf yang mengandung pengertian marketing cost dan marketing charge seperti yang terdapat pada Gambar 1. Jadi pendekatan terhadap nilai marjin tataniaga dapat melalui returnsto factor (marketing cost) yaitu penjumlahan dari biaya tataniaga, yang merupakan balas jasa terhadap input yang digunakan seperti tenaga kerja, modal, investasi yang diberikan untuk lancarnya proses tataniaga


(50)

dan input – input lainnya, serta dengan pendekatan returns to institution (marketing charge), yaitu pendekatan melalui lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan (pedagang pengumpul, pengolah, grosir, agen dan pengecer).

Setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi yang dilakukan antar lembaga biasanya berbeda-beda, hal ini menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat, semakin besar perbedaan harga antara produsen dengan harga di tingkat konsumen. secara grafis margin tataniaga dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Kurva Permintaan Asal dan Turunan

Sumber: Hammond dan Dahl, 1977 Keterangan :

Pr : harga di tingkat pengecer Pf : harga di tingkat petani Sr : suplai di tingkat pengecer Sf : suplai di tingkat petani Dr : demand di tingkat pengecer Df : demand di tingkat petani Qrf : jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer

Pr – Pf : Margin tataniaga P

Pr M Pf

0 Qrf Q Sr

Sf

Dr Df


(51)

Besarnya margin pemasaran pada suatu saluran pemasaran tertentu dapat dinyatakan sebagai jumlah dari margin pada masing – masing lembaga tataniaga yang terlibat. Rendahnya biaya tataniaga suatu komoditi belum tentu dapat mencerminkan efisiensi yang tinggi. Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi kegiatan tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. Farmer’s Share merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang diterima konsumen akhir. Bagian yang diterima lembaga tataniaga sering dinyatakan dalam bentuk persentase (Limbong dan Sitorus, 1987).

2.4.5. Efisisensi Pemasaran

Efisiensi pemasaran secara sederhana dapat didefinisikan secara sederhana sebagai optimalisasi dari output dan input, suatu perubahan yang dapat mengurangi biaya input dalam melakukan kegiatan pemasaran tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari output, ini menunjukkan perbaikan tingkat efisiensi pemasaran (Alpindo, 2004).

Pemasaran disebut efisisen apabila tercipta keadaan dimana pihak – pihak yang terlibat baik produsen, lembaga – lembaga pemasaran maupun konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas pemasaran tersebut (Limbong dan Sitorus, 1987). Sedangkan menurut Mubyarto (1991) sistem tataniaga dikatakan efisien apabila memenuhi dua syarat yaitu mampu menyampaikan hasil – hasil dari petani prodesen kepada konsumen dengan biaya semurah – murahnya, dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari seluruh harga yang dibayarkan oleh konsumen terakhir dalam kegiatan produksi barang tersebut.


(52)

Menurut Sudiyono (2002) efisiensi pemasaran dapat dilihat dari dua efisiensi yaitu efisiensi oprasional dan efisiensi penetapan harga. Efisiensi oprasional digunakan untuk mendekati efisiensi produksi, diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran yang diasumsikan sifat utama output tidak mengalami perubahan, dengan kata lain efisiensi oprasional lebih berkaitan dengan teknologi.

Efisiensi penetapan harga digunakan untuk mendekati efisiensi distribusi, dengan asumsi output – input dalam bentuk fisik adalah tetap konstan. Efisisensi penetapan harga berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kerja proses pemasaran dalam menyampaikan output pertanian dari daerah produsen ke daerah konsumen.

Indikator – indikator yang digunakan dalam menentukan efisiensi pemasaran adalah marjin pemasaran, harga ditingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan intensitas persaingan pasar.

Marjin pemasaran besar tidak selamanya menunjukkan saluran tidak efisien, maka perlu mempertimbangkan aspek – aspek berikut:

1) Penggunaan teknologi baru dalam proses produksi dapat menekan biaya produksi sehingga marjin pemasaran menjadi lebih besar

2) Adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi yang lebih siap dinikmati, walaupun harga lebih mahal

3) Adanya spesialisasi produksi dan suatu daerah sehingga membentuk daerah – daerah sentral produksi, sehingga akan menaikkan daerah pemasaran

4) Adanya tambahan biaya pengolahan dan penyimpanan untuk meningkatkan kegunaan bentuk


(53)

5) Meningkatkan upah buruh dan tenaga kerja.

Kenaikan harga ditingkat konsumen sering digunakan sebagai ukuran ketidakefisienan proses pemasaran, harga ditingkat konsumen sebenarnya merupakan fungsi dari pendapatan konsumen, musim, ketersediaan penawaran dibanding permintaan efektif, harga barang substitusi dan harga barang komplementer. Sehingga dalam menyimpulkan bahwa harga komoditi dapat digunakan untuk mengukur efisiensi pemasaran harus mempertimbangkan pengaruh variabel – variabel tersebut terhadap harga ditingkat konsumen.

Penyediaan fasilitas untuk pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran, sehingga kurangnya ketersediaan fasilitas fisik terutama pengangkutan diidentikkan dengan ketidak efisienan proses pemasaran.

Intensitas persaingan pasar seringkali digunakan untuk menilai efisiensi pemasaran. Sehingga pasar persaingan sempurna dianggap lebih efisien, dibanding struktur pasar oligopoli, persaingan monopolistik.

2.5. Persepsi

2.5.1. Pengertian Persepsi

Benyamin dalam Rakhmat (1988) mengemukakan bahwa tahap paling awal dalam penerimaan informasi adalah sensasi, yaitu pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra. Pada akhirnya sensasi ini akan mempengaruhi persepsi atau dengan kata lain persepsi dapat mengubah sensasi menjadi informasi.


(54)

Persepsi menurut Desiderato dalam Rakhmat (1988) adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan – hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Persepsi dimulai dengan ditangkapnya rangsangan – rangsangan dari lingkungan oleh alat – alat indera manusia yang diproses hingga timbul makna tentang objek tersebut, dengan kata lain jika sejumlah penginderaan disatukan dan dikoordinasikan didalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak) sehingga manusia bisa mengenali dan menilai objek – objek tersebut maka keadaan ini dinamakan persepsi (Sarwono, 1992).

2.5.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Kretch dan Crutchfield dalam Rakhmat (1988) mengemukakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional diantaranya yaitu kebutuhan, pengalaman masa lalu dan faktor – faktor personal lainnya. Kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional dan latar belakang budaya juga turut mempengaruhi persepsi. Faktor struktural yang menentukan persepsi adalah semata – mata berasal dari sifat stimuli fisik dan efek – efek yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Sementara itu Bonner dalam Rakhmat (1988) menambahkan bahwa faktor kebudayaan juga berpengaruh dalam pembentukan persepsi selain faktor stuktural dan fungsional. Faktor fungsional terdiri dari kebutuhan, kebiasaan, dan pengalaman masa lalu. Faktor stuktural adalah tidak dipengaruhi oleh kebutuhan individu, emosi, ataupun imajinasi sedangkan faktor kebudayaan adalah faktor – faktor dimana kita dapat melihat dunia dalam konteks adat dan tradisi.


(55)

Menurut Sarwono (1992), persepsi juga ditentukan oleh pengalaman dan pengalaman itu dipengaruhi oleh kebudayaan. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stilmuli melainkan karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut. Secara psikologis kita dapat mengatakan bahwa setiap orang mempersepsikan stimuli sesuai dengan karakteristik persoalannya atau dengan kata lain pesan diberi makna yang berlainan oleh orang yang berbeda. Faktor lain yang penting dalam mempengaruhi persepsi adalah perhatian (attention). Perhatian akan terjadi jika kita mengkonsentrasikan diri pada salahsatu alat indra kita, dan mengesampingkan masukan – masukan melalui alat indera yang lain. Perhatian menurut Andersen dalam Rakhmat (1988) adalah proses mental ketika suatu stimuli menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan stimuli yang lain.

Teori Gestalt dalam Rakhmat (1988) menjelaskan bahwa bila kita mempersepsikan sesuatu, kita tidak melihat bagian – bagiannya lalu menghimpunnya namun kita mempersepsikan sebagai suatu keseluruhan. Begitu juga pendapat Kohler bahwa jika kita ingin memahami sesuatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta – fakta yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Agar kita dapat memahami seseorang, kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dalam masyarakat yang dihadapinya.

Sementara Oskamp dalam Sadli (1976) menyebutkan ada empat karakteristik dari faktor – faktor pribadi yang dapat mempengaruhi persepsi kita yaitu:

1. Ciri – ciri khas dari obyek stimulus, yang mencakup nilai, arti emosional, familiaritas, dan intensitas.


(56)

a. Nilai adalah ciri – ciri stimuli seperti nilainya bagi subjek yang mempengaruhi caranya stimuli tersebut dipersiapkan.

b. Arti emosional adalah seberapa jauh stimulus tertentu merupakan sesuatu yang mengancam atau menyenangkan atau juga mempengaruhi persepsi orang yang bersangkutan.

c. Familiaritas adalah pengalaman berdasarkan exposure yang berkali – kali terhadap suatu stimulus akan dipersepsikan lebih akurat.

d. Intensitas adalah berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai stimulus tersebut.

2. Faktor – faktor pribadi, yaitu ciri khas individu seperti taraf kecerdasan, minat, emosi, kesenangan, dan lain sebagainya.

3. Faktor pengaruh kelompok, yaitu respon orang lain yang dapat memberi arahan ke suatu tingkah laku konform. Berdasarkan studi Flament, ditentukan bahwa adanya kohesi dalam kelompok (matual attraction) yang berpengaruh dapat menyebabkan perubahan persepsi anggota yang naif, dan juga dalam keadaan dimana tidak ada tekanan untuk bertingkah laku konform, maka pengaruh sosial yang hanya informatif saja sifatnya dapat memodifisir persepsi individu.

4. Faktor perbedaan latar belakang kultural. Tajfel menjelaskan variabel sosial yang dianggap sengat berpengaruh dalam persepsi sosial seseorang yaitu: a. Fungsional salience: objek yang fungsional adalah objek yang berbeda –

beda bagi setiap lingkungan, sesuai dengan banyak dan ragamnya fungsi. Dalam satu masyarakat, tingkat kepentingan terhadap suatu benda akan berbeda dengan masyarakat lain.


(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARJIN PEMASARAN

PADI RAMAH LINGKUNGAN

(Kasus di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu,

Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

Oleh

FARID FITRIADI

A14102675

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(2)

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan skripsi yang ditulis oleh: Nama : Farid Fitriadi

NRP : A 14102675

Program Studi : Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Petanian

Judul : Analisis Pendapatan dan Marjin Pemasaran Padi Ramah Lingkungan (Kasus di Desa Sukagalih Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan Sarjana Pertanian

Menyetujui Dosen Pembimbing

Ir. Rita Nurmalina Suryana, MS NIP : 131 685 542

Mengetahui Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP : 130 422 698


(3)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISIS PENDAPATAN DAN MARJIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN’ BENAR – BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, Oktober 2005

Farid Fitriadi A 14102675


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 4 Agustus 1981. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan H. Soso Warsono dan Hj. Tuti Hutoah.

Pada tahun 1993 penulis lulus dari SDN Nusawangi I Cisayong Tasikmalaya, lalu melanjutkan ke MTs Muawanah Tasikmalaya yang lulus pada tahun 1996. Setelah lulus dari SMUN 2 Tasikmalaya pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan ke Program Diploma III Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2002.

Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Pertanian dan akhirnya memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada bulan Oktober 2005.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT, Tuhan semesta alam, tiada Tuhan selain Alloh, atas rahmat, karunia, izin dan ridho-Nya, maka penulis dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis Sadar bahwa dalam menyelesaikan pendidikan dibutuhkan bantun dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kesih kepada: 1. Mamah dan bapa atas perhatian yang tulus dan kasih sayang serta dorongan

moral terutama do’a – do’anya dan materil selama ini. Serta A Rijal, A Irwan, Teh Tanti, Teh Nensi, adikku Farida dan Kang Acep, serta keponakanku Akmal, Azhar, Auli dan Azki terima kasih atas semua dukungan yang diberikan selama ini.

2. Ir. Rita Nurmalina Suryana, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan membimbing penulis dengan sabar sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netti Tinaprilla, MS selaku dosen evaluator kolokium dan tim layak uji yang telah meluangkan waktu, memberikan koreksi, masukan, dan saran bagi penulis.

4. Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto M.Ec selaku dosen penguji utama, atas masukan dan sarannya dalam perbaikan skripsi ini.

5. Dra. Yusalina, MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan atas masukan dan sarannya dalam perbaikan skripsi inin.


(6)

6. Dinas Pertanian Tasikmalaya, Kepala Desa Sukagalih dan staf, Ketua KTNA Tasikmalaya dan Staf, dan seluruh petani yang terlibat didalam penulisan ini, terima kasih atas bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skipsi ini. 7. Keluarga besar K.H Mama Chudori yang telah memberikan dukungan, serta

do’anya.

8. Sahabat seperjuangan Sarah, Ayu, Qq, Yayank, Dian, Aep, Hendra, Maul, Doly, Indra, Medy, Ferry, Kosim, Akner, dan teman – teman Ekstensi Angkatan 7, 8, dan 9, terima kasih atas dukungan yang diberikan selama ini. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil tulisan ini jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak kekurangan, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2005