Banyaknya Perantara dalam Pembelian Kayu Rakyat

tersebut perlu diterjemahkan kedalam keputusan-keputusan teknis yang legal guna merealisasikan strategi-strategi tersebut dalam jangka menengah dan panjang.

5.4.1 Membangun Kemitraan antara Petani dan Pihak Industri kayu

Industri kayu yang berada di Kabupaten Donggala secara nyata memperoleh bahan baku kayu dari hutan rakyat. Bahkan mayoritas industri kayu yang ada sekarang hanya bertumpu pada bahan baku yang berasal dari hutan hakrakyat. Tingkat ketergantungan yang besar pihak industri kayu terhadap hutan rakyat dapat dijadikan sebagai entry point untuk membangun pola kemitraan dalam usaha kayu rakyat yang lestari. Potensi yang ada pada masyarakat berupa luasan hutan, tenaga kerja, dan adanya usaha pengembangan hutan rakyat merupakan suatu kekuatan yang baik dimanfaatkan untuk pengembangan usaha kayu rakyat, dengan melibatkan pihak industri kayu sebagai konsumen penerima kayu dari hutan rakyat. Kerjasama yang terbangun antara pihak petani dan industri kayu daharapkan dapat memicu pertumbuhan usaha kayu rakyat. Pola kerjasama yang dimaksud akan melibatkan pihak industri kayu sebagai penyedia input berupa bibit dan pupuk. Industri kayu yang diharapkan di masa datang adalah industri yang berdaya efisien, berdaya saing, dan terjamin keberlanjutan pemenuhan bahan bakunya yang berasal dari hutan rakyathak. Karena itu, Winarno 2006 mengatakan bahwa diperlukan pengembangan hutan rakyat yang mengarah kepada hutan rakyat kemitraan-swakarsa mandiri, yang mampu menjamin pasar dan harga yang bersaing dengan menstimulir kerjasama dengan perusahaan mitra untuk pemeliharaan selanjutnya. Dalam jangka panjang diharapkan bahwa industri kayu yang bekerjasama dengan petani hutan rakyat akan didukung oleh suatu keseimbangan yang dinamis, antara supply dan demand bahan baku kayu yang bersumber dari hutan rakyat untuk memenuhi kepentingan lokal maupun yang berorientasi ekspor. Dengan demikian sebagai upaya untuk membangun kemitraan antara pihak industri dan petani hutan rakyat, maka diperlukan keterlibatan Pemda sebagai mediator dan fasilitator. Peran Pemda disini bertujuan menjembatani kesenjangan kepentingan yang ada pada kedua pihak, sehingga para pihak yang terlibat dapat mencapai kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan.

5.4.2 Menciptakan Iklim Pemasaran yang Kondusif

Peningkatan pendapatan di tingkat masyarakat setempat melalui aktifitas usaha kayu rakyat, berdampak positif terhadap upaya pengembangan hutan rakyat ke depan di Kabupaten Donggala. Salah satu faktor yang menentukan terjadinya peningkatan pendapatan pada tingkat petani adalah adanya permintaan kayu rakyat. Dengan demikian hal ini berimplikasi pada pemasaran kayu rakyat yang pada akhirnya akan menambah pendapatan petani. Berdasarkan hasil analisis SWOT terdapat sejumlah variabel yang mempengaruhi distribusi kayu rakyat dari petani sampai ke industri. Variabel- variabel tersebut dapat menghambat terjadinya proses pemasaran kayu yang sehat. Hal ini berdampak pada posisi tawar petani yang lemah, sehingga berimplikasi pada fungsi petani yang hanya sebagai pengambil harga price taker dalam proses pemasaran kayu rakyat. Karena itu diperlukan strategi menciptakan iklim pemasaran yang kondusif untuk mengatasi hambatan atau ancaman dimaksud. Menciptakan iklim pemasaran yang kondusif disini berarti, membangun suatu mekanisme pasar kayu rakyat yang efisien dan berpihak pada petani option to the poor. Dalam pengertian ini petani bukan hanya sebagai pengambil harga dalam proses transaksi kayu rakyat, sehingga petani dapat memperoleh bagian keuntungan yang semestinya diperolehnya. Hal ini tidak berarti adanya perbedaan perlakuan kepada pembeli atau konsumen lainnya. Menurut Hardjanto 2003, bahwa untuk menciptakan efisiensi pemasaran setidaknya diperlukan dua syarat, yaitu: 1 terwujudnya kelompok tani usaha; dan 2 terwujudnya informasi pasar. Selanjutnya dengan terbentuknya kelompok tani, maka diharapkan akan meningkatkan posisi tawar petani bargaining position dalam proses pemasaran kayu rakyat. Suatu kelompok yang mempunyai kesamaan visi vision dan kebutuhan need akan mudah untuk melakukan kerjasama demi mencapai tujuan kolektif yang diinginkan, yaitu efisien, adil, dan merata Nikijuluw 1999. Karena itu kelompok tersebut harus terbentuk oleh keinginan anggotanya melalui suatu proses yang wajar, bukan atas rekayasa pemerintah karena adanya kepentingan- kepentingan terselubung, seperti memenuhi persyaratan sebuah proyek. Pada level ini pemerintah dapat berperan sebagai mediator atau fasilitator, yang terlebih dahulu telah melakukan pencerahan kepada masyarakat tentang manfaat suatu kelompok tani sebagai wadah pemersatu. Dalam hal ini peran pemerintah dalam upaya pengembangn hutan rakyat menjadi nyata. Khusus untuk terwujudnya suatu sistem informasi pasar, maka diperlukan peran pemerintah untuk secara aktif dalam penyebaran informasi. Dalam penyebaran sistem informasi pasar, Pemda dapat mengambil peran pelayanan dan peran fasilitasi. Peran pelayanan yang dimaksud disini, yaitu pemerintah mengambil inisiatif untuk menyampaikan informasi pasar secara kerkala kepada petani. Pelayanan ini harus memperhatikan ketepatan informasi dan kecepatan waktu sehingga kegiatan petani terkait pemasaran kayu rakyat dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya peran fasilitasi yang dimaksud disini adalah upaya pendataan dan pemetaan persoalan terkait dengan harga kayu di lapangan secara berkala. Tujuannya untuk mencegah terjadinya distorsi harga kayu yang merugikan petani. Kedua peran tersebut di atas merupakan peran Pemda sebagai pelayan umum servus commune dalam rangka peningkatan pendapatan petani hutan rakyat. Pelayanan masyarakat sangat erat kaitannya dengan esensi dari eksistensi Pemda dalam era otonomi daerah. Dasar pemikiran ini menurut Suwandi 2006 yang memberikan inspirasi pada peningkatan fokus Pemda pada orientasi pelayanan masyarakat. Dari sini timbul esensi Pemda sebagai berikut: 1. Keberadaan Pemda adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. 2. Kemampuan Pemda diukur dari kemampuannya memberikan pelayanan berkualitas dalam batas-batas resources yang tersedia. 3. Pelayanan Pemda baru bernilai apabila sesuai dengan harapan dari masyarakat. 4. Pemda mampu untuk memberikan tuntutan pelayanan yang semakin meningkat dari masyarakat. 5. Pelayanan berkualitas menuntut kedekatan dengan masyarakat selaku konsumen.

5.4.3 Meningkatkan Usaha Kayu Rakyat yang didukung oleh Kebijakan

yang Bersifat Insentif Usaha kayu rakyat yang telah berkembang di Kabupaten Donggala harus terus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Peningkatan usaha kayu rakyat yang efektif dan efisien tidak terlepas dari peran berbagai pihak terutama Pemda dan petani kayu rakyat itu sendiri. Keterlibatan Pemda dalam hal ini terutama dalam pembuatan atau penataan peraturan-peraturan berupa Perda dan Perbub terkait dengan penyediaan input bibit, pupuk, proses perizinan dan pemasaran kayu rakyat yang kondusif bagi petani. Aturan-aturan yang kondusif bagi petani disini berarti, aturan tersebut dapat menghilangkan atau minimal meminimalisir hambatan-hambatan kelembagaan dalam proses pengurusa izin dan pemasaran kayu rakyat. Dengan demikian, petani dapat memiliki kemampuan dan kemauan memanfaatkan peluang-peluang yang ada, untuk meningkatkan usaha kayu rakyat ke depan. Untuk meningkatkan usaha tersebut, diperlukan dukungan dana dari lembaga-lembaga keuangan bank dan non bank, yang bersedia mendukung investasi di bidang kehutanan dengan memberikan kucuran dana bagi petani hutan rakyat. Karena itu dibutuhkan program kemitraan antara lembaga keuangan yang tidak memungut ribah bank syariah, dengan para petani yang difasilitasi oleh Pemerintah dan Pemda. Adam Smith 1723-1790 pendiri pilar utama dalam bidang ekonomi berpendapat bahwa ekonomi adalah cabang dari ilmu moral. Ilmu ekonomi sesungguhnya merupakan ilmu yang mengatur pemerataan, menjaga hak dan kewajiban serta menjunjung keadilan. Namun dalam prakteknya ilmu ekonomi mengalami perubahan dan pemekaran. Meskipun demikian prinsip normatif dalam ilmu ekonomi tidak pernah berubah, yaitu perubahan persepsi dalam etika dan moral akan mengubah cara pandang praktik-praktik ekonomi. Disinilah model bank yang tidak memungut ribah memberikan sumbangannya untuk ikut mewarnai wajah ilmu ekonomi. Dengan demikian, pemerintah dan Pemda dapat diharapkan lebih tanggap melihat peluang ekonomi yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang memiliki moral dan etika bisnis, yang tidak memungut keuntungan melainkan bagi hasil dari usaha bersama. Selanjutnya diupayakan kerjasama dengan pihak industri kayu sebagai mitra yang akan menerima pasokan bahan baku kayu dari hutan rakyat. Kerjasama dimaksud dapat berupa penyediaan bibit tanaman dan tenaga scalergrader dalam kegiatan pengolahan kayu saat pemanenan. Hal ini selaras dengan Hardjanto 2003 yang mengemukan bahwa dalam usaha kayu rakyat diperlukan strategi integrasi vertikal forward dan backward pada usaha kayu rakyat. Strategi ini diharapkan dapat menyatukan dan mengendalikan kegiatan usaha hulu dan hilir. Pada backward berarti melakukan kerjasama dengan usaha hulu diantaranya usaha penyediaan bibit dan fasilitas keuangan dan perbankan, sedangkan pada Forward petani melakukan aliansi strategis dengan industri kayu. Akhirnya meningkatkan usaha kayu rakyat yang efektif dan efisien, merupakan suatu bentuk usaha membangun kerjasama antara para pihak, yaitu Pemda, petani, pedagang, pihak industri kayu, dan pihak perbankan. Kerjasama dimaksud untuk membangun visi bersama, dalam mewujudkan moral ekonomi yang berpihak pada petani hutan rakyat, yang umumnya adalah petani kecil dan sederhana. Kelompok ini merupakan pihak yang belum mendapatkan bagian dari hasil penjualan kayu yang sesuai dengan pengorbanan yang dilakukan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor strategis dari keempat aspek yang berpengaruh, yaitu: a aspek produksi: struktur tegakan hutan rakyat menyerupai kurva “J” terbalik yang ditunjukkan dengan distribusi pohon ada pada setiap kelas diameter. Selanjutnya potensi tegakan yang ada dikategorikan masih rendah. Selain itu upaya pengembangan hutan rakyatpun dikategorikan rendah; b aspek pemasaran: struktur pasar pada perdagangan kayu rakyat menunjukkan bahwa petani belum mendapakan keuntungan yang optimal, informasi harga dan pasar dikuasai oleh pihak pembeli, dan distribusi keuntungan lebih banyak pada pihak pembeli kayu. Pada perilaku pasar petani berusaha secara individual untuk melakukan adaptasi terhadap harga kayu. Struktur pasar dan perilaku pasar menunjukkan monopsoni lokal; c aspek pengolahan: Umumnya petani belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam pengolahan kayu. Selanjutnya produktifitas industri kayu masih rendah. d aspek kelembagaan: Pada tingkat petani belum terbentuk lembaga pengurusan sumber daya dan usaha, di samping itu sampai saat ini belum ada upaya langsung dari Pemda untuk memfasilitasi pembentukan kelembagaan di tingkat petani. 2. Peran serta Pemda dalam kegiatan Gerhan masih berbasis proyek dan bersifat tentatif. Selanjutnya, Perbub No. 14 Tahun 2009 yang telah ditetapkan oleh Pemda belum semuanya bersifat insentif langsung kepada petani. 3. Strategi-strategi prioritas yang harus dibangun untuk pengembangan hutan rakyat ke depan didesain dengan menggunkan strategi SO Strength - Opportunities, yaitu : membangun kemitraan antara petani dan pihak industri kayu dalam usaha kayu rakyat; menciptakan iklim pemasaran yang kondusif; dan meningkatkan usaha kayu rakyat yang didukung dengan kebijakan yang bersifat insentif.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka dibuat beberapa saran sebagai berikut: 1. Pemda perlu melakukan perencanaan pemanenan kayu rakyat bersama dengan petani. Untuk meningkatkan potensi kayu rakyat maka dapat dilakukan pengembangan hutan rakyat dengan memanfaatkan lahan-lahan potensial yang ada secara maksimal. Selanjutnya, Pemda perlu menyampaikan informasi harga dan pasar kayu rakyat secara berkala kepada petani. Di samping itu perlu dilakukan pendekatan kepada pihak industri kayu, agar melakukan peremajaan mesin-mesin pengggergajian kayu. Perlu dilakukan fasilitasi untuk pembentukan lembaga pengurusan sumber daya dan usaha di tingkat petani. 2. Pemda perlu menyusun suatu rencana stratejik kehutanan yang dapat dijadikan acuan bagi instansi teknis untuk meningkatkan perannya dalam pengembangan hutan rakyat. Di samping itu, Dishutbun perlu meningkatkan perannya secara teknis melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Selain itu, untuk mendorong pengembangan hutan rakyat maka perlu fasilitasi dari Pemda dalam hal penyediaan input berupa bibit tanaman dan pupuk. Karena itu, diperlukan pula aturan-aturan yang bersifat insentif. 3. Pemda dapat berperan untuk untuk membangun suatu pola kemitraan antara petani dan pihak industri dalam pengembangan hutan rakyat. Selanjutnya, perlu ada jaminan kepastian proses pemasaran kayu rakyat agar tidak mengalami hambatan-hambatan. Di samping itu, dilakukan pengendalian peredaran kayu rakyat melalui penyederhanaan birokrasi. Untuk mewujudkannya maka diperlukan suatu kebijakan tertulis yang dapat dijadikan pegangan baik oleh pihak Dishutbun Kabupaten Donggala maupun bagi stakeholders. STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT UNTUK MENUNJANG PASOKAN BAHAN BAKU INDUSTRI KAYU DI KABUPATEN DONGGALA-SULAWESI TENGAH PLAGHELMO SERAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 DAFTAR PUSTAKA Adi R. 2009. Sosiologi Hukum: Perannya dalam Penegakan Hukum. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. Aspar. 2009. Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Rakyat di Kabupaten Donggala: Studi Kasus Kecamatan Sindue [skripsi]. Palu: Fakultas Pertanian Jurusan Manajemen Hutan, Universitas Muhammadiyah Palu. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press. [BPDAS Palu-Poso] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu-Poso. 2009. Laporan Monitoring dan Evaluasi Gerhan. Palu: BPDAS. [BP2HP XIV-Palu] Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilaya XIV Palu. 2009. Laporan Tahunan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XIV Palu. Palu: BP2HP. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Sensus Pertanian. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Donggala dalam Angka. Palu: BPS. Cubbage FW, O’Laughiin J, Bullock CS. 1993. Forest Resource Policy. John Wiley and Sons, INC.New York. Darusman D, Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Di dalam: Kontribusi Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Pusat Litbang Kehutanan. Bogor. David, FR. 2002. Manajemen Strategis: Konsep Alih Bahasa. Jakarta. Gramedia. Jakarta. Davis LS, Johnson KN, Bettinger SP, Howard ET. 2001. Forest Management: To sustain ecological, economic, and social values. McGraw – Higher Education. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1997. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 29Kpts-II1997 tentang Pendanaan Dan Usaha Hutan Rakyat. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26Menhut-II2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2005. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 631Menhut-II2005 tentang Pengelompokan Jenis Kayu. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63Menhut-II2006 tentang Penetapan Jenis-Jenis Kayu Hutan Rakyat yang Peredarannya Menggunakan Dokumen SKSKB. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55Menhut-II2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33Menhut-II2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51Menhut-II2006 tentang Penggunaan SKAU untuk Pengangkutan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Jangka Panjang Pembangunan Kehutanan Tahun 2006-2025. Jakarta: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Tahun 2008. Jakarta: Dephut. [Dishut] Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. 2006. Laporan Pengawasan Peredaran Hasil Hutan Kayu. Palu: Dishut. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2006. Pasokan Bahan Baku Untuk Mendukung Industri Perkayuan di Indonesia. In-House Working Group Revitalisasi Industri Kehutnan. Jakarta: Ditjen BPK. [Ditjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2010. Kegiatan Hutan Rakyat Tahun 2003 - 2007 di Kabupaten Donggala. Jakarta. Ditjen RLPS. Efendi S, Singarimbun M. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta. Fuad M, Christine H, Nurlela, Sugiarto, Paulus YEF. 2005. Pengantar Bisnis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. Hakim I, Indartik, Suryndari EY. 2009. Analisis Tataniaga dan Pasar Kayu Sengon di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vo.6 No.2 Tahun 2009. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Hardjanto a. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Dalam Suhardjito penyunting. Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat P3KM. Bogor.pp.7-11. IPB. Bogor. Hardjanto b. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Science 162:1243–1248. Hardiwinarto S. 2009. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air. Di dalam: Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Prosiding Workshop Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. CV. Akademika Presindo. Jakarta. 2003 Hartono BT. 2006. Ketersediaan Pasokan Kayu dari Hutan Tanaman untuk Memenuhi Bahan Baku Industri Perkayuan. Di dalam: Pasokan Bahan Baku Kayu untuk Mendukung Industri Perkayuan di Indonesia. In-House Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. [IPB] Institut Pertanian Bogor.1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Jakarta. Jariyah AN, Cahyono AS. 2006. Studi Ketersediaan Kayu Rakyat di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 2 No. 1 Tahun 2006. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Kamaluddin LM. 2003. Analisis dan evaluasi mengenai kebijakan penentuan sumber daya kelautan di wilayah perbatasan negara tetangga. Disampaikan pada Acara Diskusi Pembangunan Pulau - Pulau Kecil. Diselenggarakan oleh PKSPL - IPB, 2 Januari 2003 di JMC Jakarta. Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 3, Mei 2003: 264-273. Kartodihardjo H, Khan A, Darusman D, Hasibuan I, Fuad SB. 2004. Menyimak Perjalanan Otonomi Daerah Sektor Kehutanan. Di dalam: Penguatan Desentralisasi Sektor Kehutanan di Indonesia. Prosiding Workshop Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. Kasmudjo. 2010. Teknologi Hasil Hutan: Suatu Pengantar. Cakrawala Media. Jogjakarta. Kotler P, Keller LK. 2009. Manajemen Pemasaran. PT. Macanan Jaya Cemerlang. Jakarta. Lane JE. 2003. Management and public organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National University of Singapore.Working paper. Mani L. 2010. Peluang Investasi Jati Sekaligus Berpartisipasi Merehabilitasi Hutan di Indonesia. PT. General Green Inovation. Mankiw GN. 2006. Principles of economics. Pengantar Ekonomi Mikro. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Manurung T. 2006. Industri Perkayuan di Indonesia. Di dalam: Industri Perkayuan di Indonesia dalam Rangka Persiapan Pencanangan Hutan Tanaman Rakyat. In-House Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Mubyarto. 1987. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Nikijuluw VPH. 1999. Estabilishment of a Local Foshery Co-Managament. Lesson Gained from Bali Island. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Nugroho B. 2003. Kajian Institusi Pelibatan Usaha Kecil-Menengah Industri Pemanenan Hutan Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor..