Tersedianya Tenaga Kerja HASIL DAN PEMBAHASAN

kelembagaan di tingkat petani hendaknya tumbuh dan hidup di dalam kehidupan masyarakat, yang muncul sebagai reaksi terhadap permasalahan sosial ekonomi yang petani hadapi dalam proses pengelolaan kayu rakyat. Selanjutnya dengan kesadaran akan pentingnya suatu kelembagaan tersebut maka lembaga yang terbentuk akan bertahan dengan baik. Pemahaman yang kurang akan manfaatnya kelompok tani, membuat para petani melakukan kegiatan pemanenan dan pemasaran kayu rakyatnya secara bebas. Padahal keberadaan lembaga seperti kelompok tani yang tumbuh atas kesadaran akan pentingnya kesamaan visi, sangat perlu sebagai media tukar menukar informasi mengenai kegiatan pengembangan hutan rakyat yang selama ini dilakukan petani. Berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan rakyat, pemerintah desa belum berfungsi sebagai media penampung informasi dan aspirasi terkait pengelolaan hutan rakyat untuk disampaikan kepada pemerintah. Pemerintah desa belum pernah menyampaikan kepada pemerintah kecamatan dan kabupaten, tentang ketidak sepadanan informasi mengenai harga kayu yang sebenarnya di tingkat petani, atau terjadi pungutan liar saat melakukan penjualan kayu. Hal ini bisa dimaklumi karena lembaga ini selain tidak mempunyai kewajiban, pemerintah desa lebih berfungsi untuk menyampaikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat dan cenderung tidak menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Pada dasarnya masyarakat menyadari pentingnya saling kerjasama dalam kelompok dan menyatukan sikap dan pendapat, khususnya ketika berhadapan dengan pengusahapembeli kayu dalam menegosiasi harga yang disadari pula masih sangat rendah. Walaupun motivasi untuk membentuk suatu kelompok cukup besar, tetapi diperlukan waktu yang lama untuk membentuk lembaga di tingkat petani yang kuat dan mandiri. Hal ini disadari membutuhkan waktu dan tenaga serta pikiran yang jauh melebihi waktu yang tersedia untuk satu kali periode penelitian.

b. Kurangnya Pengetahuan dan Teknologi dalam Pengolahan Kayu

Umumnya masyarakat yang berada di lokasi penelitian memiliki pengetahuan yang terbatas dalam pengolahan kayu. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk menginventarisasi potensi kayu, cara mengolah kayu hasil tebangan secara efisisen dan efektif dengan memperhatikan azas kelestarian hasil dan azas kelestarian ekonomi dengan menggunakan teknologi yang memadai. Selanjutnya, karena keterbatasan pengetahuan dalam menentukan kubikasi maka umumnya dalam penentuan kubikasi dilakukannya dengan setelah pohon hasil tebangan diubah bentuk menjadi squere log. Walaupun ini dilakukan atas dasar pengalaman petani, namun hal ini dapat berakibat pada pohon yang dijual umumnya memiliki ukuran yang lebih dibanding dengan yang sebenarnya. Masyarakat menyadari bahwa mereka harus mengelolah hutan untuk mendapatkan kayu dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, sehingga usaha kayu rakyat bisa berlangsung secara kontinyu. Namun kenyataannya mereka belum memiliki pengetahuan yang memadai dan keterampilan teknis yang baik, tentang cara mengelolah hutan agar fungsi kelestarian dapat terjamin sejalan dengan fungsi ekononi yang mereka peroleh dari usaha kayu rakyat. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, setelah melakukan penebagan pohon masyarakat hanya mengambil batang pohon utama. Batang tersebut selanjutnya dipacak dengan menggunakan kampak, sedangkan bagian-bagian pohon yang lain dibiarkan begitu saja. Sisa-sisa bagian pohon yang lain belum dimanfaatkan untuk kebutuhan kayu bakar dan pembuatan arang, yang sesungguhnya telah memiliki pasar tersendiri. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi efisiensi dalam pemanfaatan kayu hasil panen. Selain itu, sistem penebangan yang dilakukan adalah tebang butuh yang belum diikuti dengan penanaman kembali, dapat mengancam kelestarian lingkungan dan usaha dalam jangka panjang.