Gambar 13 Partisipasi masyarakat dalam mengikuti kegiatan pelatihan penyuluhan
Gambar 13 menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan penyuluhanpelatihan cukup tinggi 62.86. Hal ini berpengaruh pada
penyerapan informasi dan teknologi bagi kegiatan pengembangan hutan rakyat. Untuk kegiatan penanaman masyarakat melakukan secara mandiri pada lahan
masing-masing dibawah bimbinganpendampingan dari penyuluh lapangan. Selanjutnya untuk kegiatan pengamanan hutan, masing-masing pemilik lahan
bertanggung jawab atas keamanan lahannya dari kebakaran, pencurian dan kerusakan tanaman yang disebabkan oleh ternak.
5.3.2 Faktor Internal Kelemahan Weakness
Kinerja usaha kayu rakyatpun dapat dipengaruhi oleh kelemahan- kelemahan yang secara internal ada pada petani. Dibandingkan dengan faktor-
faktor kekuatan, maka kelemahan-kelemahan yang ada perlu diketahui agar dapat dilakukan minimalisasi dengan memanfaatkan kekuata-kekuatan yang ada pada
petani. Berdasarkan hasil wawancara terhadap key informan dan petani diperoleh
variabel-variabel kelemahan dari usaha pengembangan hutan rakyat seperti pada Tabel 31. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa variabel yang relatif
mempunyai skor paling tinggi, yaitu belum adanya kelembagaan di tingkat petani dengan nilai skor 0.735, sedangkan variabel dengan skor terendah, yaitu daya
jangkau ke lokasi pemanenan dengan nilai skor sebesar 0.190.
Tabel 31 Hasil evaluasi variabel faktor internal kelemahan Weakness
No Faktor internal kelemahan
Bobot Rating
Skor
1 Belum adanya kelembagaan di tingkat petani
0.184 4.000
0.735 2
Kurangnya pengetahuan dan teknologi 0.156
4.000 0.626
3 Ketergantungan terhadap pedagang
0.163 3.000
0.490 4
Kesulitan memperoleh informasi pasar 0.143
3.000 0.429
5 Belum ada rencana pengelolaan kayu rakyat
0.129 3.000
0.388 6
Belum adanya penanaman kembali 0.129
3.000 0.388
7 Sulitnya akses ke lokasi pemanenan
0.095 2.000
0.190
Jumlah 1.000
3.245
Data pada Tabel 31 mengenai variabel-variabel kelemahan internal pada petani dalam usaha kayu rakyat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Belum Adanya Kelembagaan di Tingkat Petani
Kelembagaan dan organisasi terkadang sulit untuk dipisahkan secara nyata. Organisasi merupakan suatu struktur mulai dari yang sederhana sampai
yang kompleks yang mengenal dan mengatur aturan-aturan yang beroperasi secara formal dan informal. Suatu organisasi dikatakan telah melembaga apabila
organisasi tersebut mendapat status khusus dan legitimasi, karena telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan harapan normatif bagi
masyarkat. Pengelolaan hutan rakyat pada tingkat petani di Kabupaten Donggala
masih dilakukan secara individual. Hal ini terjadi karena belum terbentuknya lembaga di tingkat petani yang berfungsi sabagai pemersatu seluruh petani dalam
melakukan aktifitas pengelolaan hutan rakyat. Lembaga yang dimaksud dapat berupa kelompok tani. Kelompok ini diharapkan dapat menjadi media yang
berfungsi menampung aspirasi petani, menyamakan persepsi dan media komunikasi antar petani dan kelompok lain di luar petani.
Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala pernah membentuk kelompok tani. Namun, kelompok tani
yang dibentuk bukan didasari oleh kemamuan petani tetapi oleh pemerintah. Dorongan pihak pelaksana proyek Gerhan yang mensyaratkan pembentukan
kelompok tani merupakan faktor utama terbentuknya kelompok tani. Akibatnya setelah proyek selesai, kelompok tanipun bubar dengan sendirinya. Pembentukan
kelembagaan di tingkat petani hendaknya tumbuh dan hidup di dalam kehidupan masyarakat, yang muncul sebagai reaksi terhadap permasalahan sosial ekonomi
yang petani hadapi dalam proses pengelolaan kayu rakyat. Selanjutnya dengan kesadaran akan pentingnya suatu kelembagaan tersebut maka lembaga yang
terbentuk akan bertahan dengan baik. Pemahaman yang kurang akan manfaatnya kelompok tani, membuat para
petani melakukan kegiatan pemanenan dan pemasaran kayu rakyatnya secara bebas. Padahal keberadaan lembaga seperti kelompok tani yang tumbuh atas
kesadaran akan pentingnya kesamaan visi, sangat perlu sebagai media tukar menukar informasi mengenai kegiatan pengembangan hutan rakyat yang selama
ini dilakukan petani. Berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan rakyat, pemerintah desa
belum berfungsi sebagai media penampung informasi dan aspirasi terkait pengelolaan hutan rakyat untuk disampaikan kepada pemerintah. Pemerintah desa
belum pernah menyampaikan kepada pemerintah kecamatan dan kabupaten, tentang ketidak sepadanan informasi mengenai harga kayu yang sebenarnya di
tingkat petani, atau terjadi pungutan liar saat melakukan penjualan kayu. Hal ini bisa dimaklumi karena lembaga ini selain tidak mempunyai kewajiban,
pemerintah desa lebih berfungsi untuk menyampaikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat dan cenderung tidak menyampaikan aspirasi masyarakat
kepada pemerintah. Pada dasarnya masyarakat menyadari pentingnya saling kerjasama dalam
kelompok dan menyatukan sikap dan pendapat, khususnya ketika berhadapan dengan pengusahapembeli kayu dalam menegosiasi harga yang disadari pula
masih sangat rendah. Walaupun motivasi untuk membentuk suatu kelompok cukup besar, tetapi diperlukan waktu yang lama untuk membentuk lembaga di
tingkat petani yang kuat dan mandiri. Hal ini disadari membutuhkan waktu dan tenaga serta pikiran yang jauh melebihi waktu yang tersedia untuk satu kali
periode penelitian.