Hutan Rakyat di Indonesia

masih rendah. Selain itu masih belum ada standardisasi produk, sehingga terkadang tidak sesuai dengan permintaan pasar.

2.2 Industri Perkayuan di Indonesia

Pembangunan industri merupakan suatu fungsi dari tujuan pokok kesejahteraan rakyat, bukan kegiatan mandiri hanya sekedar mencapai fisik saja. Industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha meningkatkan mutu sumber daya manusia dan kemampuannya memanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Industri mempunyai peranan sebagai pemimpin leading sector, maksudnya adalah dengan adanya pembangunan industri maka pembangunan sektor-sektor lainnya akan dipacu. Di samping peranan dan perkembangan yang pesat selama ini, industri perkayuan menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks dan berat, yaitu defisit bahan baku yang sangat besar. Berdasarkan realisasi produksi produk- produk hasil hutan diketahui bahwa, total konsumsi kayu oleh industri perkayuan meningkat dengan tajam dari 11.7 juta m³ pada tahun 1980 menjadi 24.1 juta m³ pada tahun 1985, puncaknya 52.7 juta m³ pada tahun 2003, kemudain menurun dengan tajam menjadi 44.5 juta m³ pada tahun 2005. Sementara itu, total produksi kayu bulat yang dilaporkan Departemen Kehutanan adalah 25.2 m³ pada tahun 1980, 14.4 juta m³ pada tahun 1985, 11.4 juta m³ pada tahun 2003 dan 24.2 juta m³ pada tahun 2005 Simangunsong 2006. Apabila selisih kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu olahan dengan produksi kayu bulat resmi dianggap sebagai kayu bulat illegal, maka jelaslah industri kayu telah mengkonsumsi kayu illegal dalam jumlah yang sangat besar dalam proses produksinya. Industri perkayuan juga menghadapi perubahan sumber bahan baku yang berakibat pada perubahan kualitas bahan baku yang digunakan. Saat ini produksi kayu bulat Indonesia berasal dari berbagai sumber, seperti hutan alam, HTI, hutan rakyat dan areal konversi. Menurut Departemen Kehutanan 2006, total produksi kayu pada tahun 2005 adalah 24.19 juta m³ yang berasal dari hutan alam 5.69 juta m³, Menurut Simangunsong 2006, bahwa kondisi yang dihadapi oleh industri perkayuanpun semakin berat karena pembangunan hutan tanaman sampai saat ini kurang berhasil. Realisasi pembangunan HTI untuk menghasilkan kayu pulp dan kayu pertukangan sangat rendah. Dari 10.2 juta ha areal HTI yang sudah diproses perizinannya, baru sekitar 2.8 juta ha atau 28 yang dilaporkan berhasil ditanam selama periode tahun 1989-2006. Beberapa hal yang dirasakan menghambat pengembangan hutan tanaman diantaranya adalah ketidakpastian lokasi, ketidakjelasan status lahan dan kurang jaminan hukum dan usaha.

2.3 Pengembangan Tanaman Jati

Jati Tectona grandis L.f. merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tumbuhan yang dikenal sebagai kayu komersial bermutu tinggi ini, termasuk dalam suku Verbenaceae. Daerah sebaran asli dari jati meliputi India, Myanmar, dan Thailand. Jati pertama kali ditanam di Indonesia di Pulau Jawa diperkirakan pada abad ke 2 Masehi, yang dilakukan oleh para penyebar agama Hindu. Saat ini jati telah dikenal secara luas dan dikembangkan oleh pemerintah, swasta, dan petani. Tanaman ini telah banyak dikembangkan, bahkan di beberapa tempat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan tradisional masyarakat. Di Indonesia, tanaman jati secara khusus berpotensi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, pedagang, dan industri pengolahan. Secara umum berperan dalam pembangunan daerah dan nasional. Kayu jati dan hasil olahannya memiliki wilayah pemasaran yang luas, di luar maupun di dalam negeri. Tanaman jati memiliki masa tebang yang panjang sehingga memiliki fungsi lingkungan dalam pengaturan tata air hidrologi dan iklim lokal. Kualitas kayunya yang tinggi, memungkinkan hasil olahannya untuk digunakan dalam jangka waktu yang lama. Hampir seluruh bagian dari tanaman jati dapat dimanfaatkan, bahkan salah satu jenis ulatnya Hyblaea puera di beberapa daerah menjadi makanan sumber protein yang disukai masyarakat Pramono AA. et al. 2010 Pengelolaan hutan jati rakyat umumnya dilaksanakan secara tradisional, sehingga mutu dan jumlah kayu yang dihasilkan masih rendah. Petani masih sulit memperoleh informasi teknis tentang pengelolaan jati, sehingga teknik yang benar belum banyak diterapkan di hutan rakyat. Informasi tentang pengelolaan jati yang tersedia saat ini kebanyakan masih ditulis dalam bahasa yang ilmiah, sehingga sulit dipahami, kurang menarik dan kurang praktis untuk petani. Di samping itu pula, terbatasnya akses untuk mendapatkan informasi yang tepat guna dalam budi daya jati menyebabkan belum maksimalnya produktifitas jati secara umum, khususnya di luar P. Jawa. Peningkatkan mutu hutan jati rakyat yang baik dapat dilakukan dengan cara penerapan teknik budi daya silvikultur yang baik, dimulai dari pemilihan benih, pembibitan, penanaman, pemeliharaan sampai pemanenan. Teknik pengelolaan jati yang diperlukan adalah teknik yang tidak memerlukan biaya mahal dan sederhana sehingga mudah untuk dilaksanakan oleh petani. Nilai jual pohon jati ditentukan oleh kualitas pohon yang dicirikan dengan: ukuran dan kelurusan batang, tinggi batang bebas cabang, kelurusan serat kayu, dan ada tidaknya cacat kayu. Perlakuan silvikultur yang tepat akan mampu meningkatkan mutu pohon jati sehingga meningkatkan nilai jualnya. Perlakuan-perlakuan silvikultur yang dimaksud menurut Pramono et al. 2010 yaitu: a penggunaan bibit unggul sehingga akan menghasilkan pohon yang tumbuh cepat dan berbatang lurus; b pemangkasan cabang pruning pada saat jati berumur muda akan menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu, dan batang bebas cabang tinggi; c penjarangan thinning akan mengurangi persaingan antara pohon dalam memperoleh makanan hara dari tanah dan cahaya, sehingga mempercepat pertumbuhan diameter batang; dan d pemupukan pada tanaman jati akan mempercepat pertumbuhan sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar. Selain itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit agar menjamin pohon tumbuh sehat dan normal sehingga menghasilkan kayu yang berukuran besar dan bebas dari cacat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini pengembangan pohon jati tidak hanya dilakukan secara generatif tetapi juga melalui cara vegetatif. Usaha pengembangan pohon jati dengan cara vegetatif dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan mutu benih yang sama dengan induknya. Salah satu cara yang dikembangkan adalah dengan sistem kultur jaringan. Untuk mendapatkan sifat fisiologis yang sama maka diperlukan pohon induk jati yang memiliki pertumbuhan yang baik. Pohon induk jati berasal dari hasil seleksi terbaik dari klon unggul yang sudah teruji di lapangan. Perbanyakan bibit dilakukan dengan teknologi kultur jaringan sehingga mutu bibit dapat dijamin sesuai dengan induknya true to type, sehat dan seragam Sumarni et al. 2009 Masyarakat umumnya telah memanfaatkan bibit jati yang berasal dari pengembangbiakan dengan sistem kultur jaringan. Jati hasil kultur jaringan memiliki keunggulan-keunggulan jika dibandingkan dengan jati yang dikembangkan secara generatif tradisional. Beberapa ciri yang merupakan keunggulannya, yaitu 1 pertumbuhan batang yang lebih cepat dan lurus; 2 jati ini lebih proporsional antara pertambahan tinggi dan diameternya; 3 lebih keras sehingga tidak mudah patah saat terjadi angin kencang; dan 4 daun jatinya relatif lebih kecil, tapi lebih tebal dan posisi tegak tidak terkulai. Bentuk seperti ini mendukung ketahanan tanaman terhadap kekeringan penguapan air lebih efisien. Ukuran daun yang terlalu lebar dan tipis pada jati lain akan mudah mengalami stres air dan kering mempercepat kerontokan daun terutama pada saat musim kemarau. Agar dapat memberikan penghasilan yang maksimal sebaiknya pohon jati ditebang jika: a telah cukup dewasa untuk menghasilkan kayu berkualitas baik, minimal pohon telah berumur sekitar 15-20 tahun; dan b harga kayu sedang tinggi. Untuk menentukan volume pohon berdiri maka dapat dihitung dengan menggunakan tabel volume jati, yang disesuaikan dengan kualitas lahan tempat jati ditanam. Pengukuran diameter batang Dbh diukur dari batang setinggi dada 130 cm. Selanjutnya untuk perhitungan volume batang kayulog dapat dilakukan dengan menghitung rata-rata luas bidang dasar pangkal dan ujung dan dikalikan dengan panjang batang, dengan menggunakan rumus: V= ¼ x π x dp² + ¼ x π x du² x 12 x P Keterangan : V = Volume batang π = 3.14 dp = Diameter pangkal du = Diameter ujung P = Panjang batang