penebangan berikutnya. Pada Gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa sebaran pohon untuk hutan rakyat yang tumbuh secara alami terbanyak pada kelas
diameter 20-25 cm, dan semakin sedikit pada kelas diameter di atas 40 cm. Selanjutnya pada hutan rakyat hasil budi daya, terlihat bahwa sebaran
pohon terbanyak pada kelas diameter 20-25 cm, sedangkan untuk kelas diameter 40 cm ke atas belum ada. Jadi dinamika pertumbuhan pohon menunjukkan bahwa
semakin bertambah dimensi suatu tegakan, maka jumlah pohon pada suatu luasan tertentu mengalami penurunan. Hal ini secara alami diantaranya diakibatkan oleh
adanya persaingan pertumbuhan antar
Berdasarkan hasil wawancara, jumlah pohon yang ditanam oleh responden di atas lahan milik rata-rata lebih dari 100 pohon 100 – 1336 per pemilik. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah pohon yang ditanam cukup banyak. Selanjutnya contoh tegakan hutan rakyat jenis jati Tectona grandis, yang ditanam oleh
masyarakat pada lahan milik seperti ditunjukkan pada Gambar 6. pohon untuk memperoleh hara dan cahaya
matahari.
a b
Gambar 6 Tegakan kayu jati rakyat berdiameter rata-rata 20-25 cm a dan berdiameter 25-30 cm b
Umumnya kegiatan penebangan kayu rakyat yang tumbuh secara alami belum diikuti dengan penanaman kembali. Masyarakat berpendapat “lebih baik
hutan itu tumbuh secara alami”. Sementara itu, sampai saat ini belum terlihat
upaya Pemda baik dalam rencana aksi program maupun kegiatan secara nyata. Upaya tersebut dimaksud untuk mendorong petani agar melakukan penanaman
kembali pada lahan yang telah ditebang. Agar usaha kayu rakyat tetap lestari dan didukung oleh potensi kayu yang
lestari pula, maka pengaturan hasilnya sangat dipengaruhi oleh kepemilikan lahan, luas lahan, dan struktur serta komposisi kayu yang diusahakan. Berdasarkan hasil
wawancara bahwa jumlah pohon yang ditanam oleh responden umumnya di atas 100 pohonpemilik. Karena itu ke depan hutan rakyat hasil budi daya petani
diharapkan dapat menjadi sumber pasokan bahan baku bagi industri.
5.2.1.2 Potensi Tegakan
Potensi tegakan yang dimaksud disini adalah jumlah volume kubikasi dari kayu rakyat yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat dalam luasan
tertentu. Data potensi tegakan yang ada belum mencakup seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Donggala, akan tetapi data yang tersedia dapat dijadikan dasar
untuk mengetahui potensi tegakan. Hal ini karena potensi tegakan kayu rakyat yang ada umumnya hanya terdapat pada beberapa kecamatan, sehingga umumnya
kayu rakyat yang dipasarkan selama ini berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Data sebaran potensi hutan rakyat sebagai penghasil kayu rakyat di setiap
kecamatan di Kabupaten Donggala seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Potensi kayu rakyat di Kabupaten Donggala
Kecamatan Luas ha
Potensi Tegakan m
3
Banawa Selatan 8.783.86
912.40 Sindue
37.533.07 3.898.65
Labuan 10.031.54
1.042.00 Rio Pakava
3.421.89 355.44
Damsol 6.513.86
676.61 Sindue Tombusabora
9.772.86 1.015.13
Sirenja 27.197.12
2.825.03
Jumlah Total 103.254.20
10.725.26
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala, 2010. Tabel 18 menunjukkan bahwa Kecamatan Sindue memiliki potensi kayu rakyat
terbesar yaitu sebesar 3.898.65 m
3
36.35 dan terendah di Kecamatan Rio Pakava sebesar 355.44 m
3
3.31. Potensi tegakan rata-rata sebesar 0.10 m
3
ha. Akan tetapi, potensi tegakan dari kayu rakyat tersebut dikategorikan rendah,
karena belum dapat mencukupi kebutuhan pemenuhan bahan baku industri kayu di Kabupaten Donggala. Hubungan luas dengan potensi dapat dinyatakan dengan
regresi linear sederhana yakni potensi = 0.104Luas, dengan koefisien determinasi R
2
Berdasarkan data statistik 2009 luas lahan potensial berupa lahan kering sebesar 150.582 ha dan lahan tidur sebesar 7.111 ha. Lahan-lahan potensial
tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan hutan rakyat. Secara agroklimat dapat dikembangkan jenis-jenis pohon yang sesuai indikator umum
telah tumbuh dengan baik di lokasi tersebut. Sesuai pengamatan di lapangan, pohon jati dan gmelina dapat tumbuh dengan baik di Kabupaten Donggala.
sebesar 100. Terdapat korelasi positif antara luas dengan potensi. Semakin bertambah luas hutan rakyat, maka potensi makin tinggi. Karena
itu perlu dilakukan upaya pengembangan hutan rakyat.
Hutan rakyat di Kabupaten Donggala umumnya mempunyai keragaman jenis yang sama. Walaupun demikian ada ciri khas tertentu sesuai dengan potensi
dan kondisi geografis wilayah yang bersangkutan. Contohnya di Kecamatan Banawa selain jenis jati dapat juga ditemui gmelina dan ebony. Di samping itu di
Kecamtan Damsol selain jenis-jenis yang tumbuh secara alami, juga terdapat jenis sengon dan durian. Secara umum persentase jenis tanaman yang banyak dijumpai
di hutan rakyat seperti pada Tabel 19. Tabel 19 Distribusi responden berdasarkan jenis pohon yang ditanam
Sumber bibit Jenis pohon Swadana
Gerhan Total
N N
N
Jati 5
14.29 26
74.29 31
88.57 Gmelina
3 8.57
0.00 3
8.57 Ebony
1 2.86
0.00 1
2.86
Total 9
25.71 26
74.29 35
100
Tabel 19 menunjukkan bahwa jati merupakan jenis yang paling banyak ditanam oleh masyarakat dengan persentase 88.57. Hal ini seiring dengan tren
harga jati yang terus naik dan faktor kecocokan tempat tumbuh. Jenis jati yang umumnya dikembangkan adalah jati super. Jati ini memiliki sifat pertumbuhan
diameter maupun tinggi yang lebih cepat dibandingkan dengan jati konvensional Sumarni et al.2009. Karena itu, dengan melihat kecepatan pertumbuhan tersebut
maka diperkirakan pada umur 15 tahun jati sudah dapat dipanen. Hal ini seperti yang disampaikan Pramono, et al. 2010 bahwa jati dapat dipanen pada umur 15-
20 tahun. Keadaan pertumbuhan jati yang ditanam oleh petani seperti pada Gambar 7.
Gambar 7 Pohon jati yang berumur 6 tahun. Berdasarkan data potensi hutan rakyat, maka luas hutan rakyat sampai
dengan tahun 2010 diketahui seluas 103.254.20 ha. dengan potensi tegakan sebesar 10.725.26 m
³ Tabel 18. Namun demikian potensi tersebut belum mampu untuk memasok kebutuhan bahan baku seluruh industri kayu yang ada di
Kabupaten Dongggala. Berdasarkan kapasitas terpasang, bahwa setiap tahun industri kayu membutuhkan pasokan bahan baku sebesar 43.200.00 m
3
tahun, sedangkan kemampuan pasokan dari hutan rakyat sebesar 11.645.26 m
3
tahun 26.95. Karena itu masih terdapat kesenjangan sebesar 31.555.00 m
3
tahun 73.05. Selanjutnya, pada tahun 2010 Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
Tengah telah mengurangi jatah pemenuhan bahan baku bagi industri kayu menjadi 21.600.00 m
3
5.2.1.3 Upaya Pengembangan Hutan Rakyat
tahun. Hal ini bertujuan untuk penyesuaian tingkat kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku. Selain itu, untuk mencegah terjadi illegal
logging.
Upaya pengembangan hutan rakyat yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan pengembangan hutan rakyat pada lahan masyarakat dengan
menggunakan jenis-jenis tertentu. Hal ini dimaksud untuk merehabilitasi lahan-
lahan kritis yang ada. Selain itu juga untuk memenuhi pasokan kebutuhan bahan baku industri dan kayu bangunan bagi petani. Sampai dengan tahun 2010, upaya
pengembangan hutan rakyat melalui kegiatan Gerhan baru mencapai luasan 3.225 ha BPDAS Palu-Poso 2009. Selanjutnya pengembangan hutan rakyat oleh petani
secara swadaya seluas 56 ha. Pemanfaatan lahan untuk pengembangan hutan rakyat dikategorikan masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan luas lahan
potensial lahan tidur dan kering yang masih tersedia. Kesenjangan pemenuhan bahan baku bagi industri kayu di Kabuapten
Donggala telah berakibat pada tidak beroperasinya sejumlah industri kayu. Pemenuhan bahan baku industri kayu dari hutan rakyat telah menjadi subsitusi
kayu dari IUPHHKIPK. Namun demikian, pasokan kayu tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi seluruh industri kayu yang berada
di Kabupaten Donggala. Karena itu, diperlukan upaya-upaya pengembangan hutan rakyat secara lebih intensif agar ke depan dapat menjadi pemasok utama
bagi industri kayu secara kontinyu sustainable. Upaya pengembangan dimaksud dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan potensial yang tersebar di
Kabupaten Donggala. Lahan-lahan potensial yang belum dimanfaatkan saat ini berupa lahan tidur dan lahan kering. Oleh karena itu, lahan-lahan tersebut sangat
potensial dimanfaatkan untuk pengembangan hutan rakyat. Sesuai dengan kondisi faktual di lapangan, bahwa kegiatan pengembangan hutan rakyat di Kabupaten
Donggala didominasi dengan jenis jati. Jenis jati umumnya dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang mengandung kapur dengan siklus musim panas yang nyata
Pramono et al.2010. Berdasarkan data statistik 2009, di Kabupaten Donggala jenis-jenis tanah
umumnya terdiri dari tanah latosol, grumosol, podsolik, androsol, regosol dan vertisol. Tanah-tanah yang mengandung kapur termasuk dalam kelompok vertisol.
Penyebarannya di Indonesia diantaranya meliputi Jawa bagian Tengah sampai ke Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi
Hardjowigeno 2003. Sebagai sebuah asumsi untuk pengembangan hutan rakyat jati, maka dapat
dilakukan dengan pendekatan pemanfaatan secara optimal lahan potensial yang ada di Kabupaten Donggala. Pendekatan pertama yang dilakukan yaitu
pemanfaatan lahan tidur seluas 7.111 ha untuk penanaman jati salomon secara monokultur dengan asumsi sebagai berikut: a Luas lahan: 7.111 ha; b Jarak
tanam: 3 m x 3 m 1.100 tanha. Maka dalam luasan 7.111 ha akan tertanam bibit sebanyak 1.100 x 7.111 = 7.822.100 tanaman.
Berdasarkan hasil proyeksi produksi per hektar yang dikembangkan oleh PT. General Green Inovation Bogor, bahwa jati salomon memiliki keunggulan-
keunggulan, yaitu perbanyakan bibit dilakukan dengan teknologi kultur jaringan, sehingga mutu bibit dapat dijamin sesuai dengan induknya true to type, sehat,
dan seragam. Pertumbuhan batang keduanya lebih cepat dan lurus. Pada jenis jati ini antara pertambahan tinggi dan diameternya lebih proporsional serta lebih
keras, sehingga tidak mudah patah saat terjadi angin kencang. Selanjutnya jati jenis ini dapat di panen pada umur 7, 10, dan 15 tahun. Jati jenis ini sudah banyak
ditanam pada lahan tidur dan kritis di daerah Jawah Barat, Lampung, dan Gorontalo. Keunggulan-keunggulan dari jati salomon seperti pada Tabel 20 di
bawah ini. Tabel 20 Proyeksi produksi kayu jati salomon per hektar
Uraian Kisaran Produksi
Umur thn 7
10 15
T. Bebas Cabang M 7.00
8.5 10.00
Diameter cm 22.00
28.00 38.00
Volume per pohon m
³
0.27 0.52
1.13 Populasi per ha pohon
1.100 1.100
1.100 Jumlah panen
25 25
50 Produksi m
³
74.25 142.00
621.50
Sumber : Mani, 2011. Tabel 20 di atas menunjukkan bahwa pada umur 7 tahun dengan jumlah
panen sebesar 25, maka jati akan dapat dipanen dengan produksi sebesar 74.25 m³ha, sedangkan pada umur 10 tahun produksi kayu sebesar 142.00 m³ha dan
pada umur 15 tahun produksi kayu jati akan mencapai 621.50 m³ha. Apabila jati yang ditanam dipanen pada umur 7 tahun 74.25 m³ha maka akan diperoleh
volume kayu sebesar 74.25 m³ x 7.111 ha = 527.991.75 m³. Jumlah ini tentu sangat bermanfaat bagi kelangsungan pasokan bahan kayu bulat bagi industri
kayu yang ada di Kabupaten Donggala. Di samping itu pula dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, kegiatan pertukangan yang memproduksi meubeler, dan
dapat juga untuk memasok kebutuhan bahan baku bagi industri lain di luar Kabupaten Donggala.
Selanjutnya pada pendekatan kedua, dilakukan asumsi pengembangan hutan jati rakyat dengan memanfaatkan lahan kering sebesar 50 dari luas total
yang tersedia di Kabupaten Donggala, yaitu 150.582 ha. Luas lahan yang akan dimanfaatkan sebesar 75.291 ha. Kegiatan ini dilakukan dengan pola agroforestry
berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh Koperasi Perumahan Wana Bakti Nusantara KPWN, dengan menggunakan bibit Jati Unggul Nusantara JUN.
Jati ini memiliki keunggulan perakaran tunggang majemuk, sehingga perakarannya kokoh dan batang cepat besar dan tidak mudah roboh. Penanaman
JUN dengan dengan pola ini diasumsikan sebagai berikut: a Luas lahan: 75.291 ha; b Jarak tanam : 2 m x 5 m 1.000 tanha. Dalam luasan 75.291 ha akan
tertanam bibit sebanyak 1.000 x 75.291 = 75.291.000 tanaman. Sesuai dengan hasil proyeksi produksi per hektar, JUN dapat dipanen pada umur 5 tahun dengan
volume seperti pada Tabel 21 di bawah ini. Tabel 21 Proyeksi produksi kayu Jati Unggu l Nusantara per hektar
Uraian Asumsi Produksi per Pohon
Minimal Maksimal
Umur thn 5
5 T. Bebas Cabang M
6.5 8.00
Diameter cm 20.00
22.00 Volume per pohon
m
³ 0.204
0.304 Populasi per Ha pohon
1.000 1.000
Jumlah Panen 25
25 Produksi
m
³ 51.00
76.00 Sumber: Soeroso dan Poedjowadi, 2009.
Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk JUN pada umur 5 tahun sudah dapat dipanen, dengan asumsi kubikasi terendah per pohon sebesar 0.204 m³ dan
tertinggi sebesar 0.304 m³. Apabila jumlah panenan diasumsikan sebesar 25 maka volume kayu yang akan dihasilkan untuk asumsi produksi terendah sebesar
51 m³ha, sedangkan untuk asumsi tertinggi sebesar 76 m³ha. Dengan demikian pada umur masa panen 5 tahun akan diperoleh kayu sebesar 51 m³ x 75.291 ha =
3.839.841.00 m³ atau 76 m³ x 75.291 ha = 5.722.116.00 m³.