Tabel 7 Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang
Padang Penggembalaan
Kondisi Tahun 1982
Jenuyanti 2002
1993
Jenuyanti 2002
1996
Subroto 1996
2011
Cijeruk -
7 m dpl -
rumput yang
sengaja ditanam -
menara dalam
keadaan baik -
pemeliharaan secara berkala
- 7 m dpl;
- masih
ada tanaman rumput
gajah -
Sebagian semak belukar
- menara
rusak berat;
- 7 m dpl;
- masih
ada tanaman rumput
gajah -
Sebagian semak belukar 1
– 1.5 m;
- menara
rusak berat;
- 7 m dpl;
- semak
belukar dan pohon
dengan tinggi 4
– 5 m
- terdapat
penggembal aan ternak
masyarakat Cipalawah
- 10 m dpl;
- posisi di tengah-
tengah hutan
primer; -
sumber air
cukup; -
pemeliharaan secara berkala
- 10 m dpl;
- posisi di tengah-
tengah hutan
primer; -
sumber air
cukup; -
sebagian ditumbuhi
semak belukar -
10 m dpl; -
posisi di tengah- tengah
hutan primer;
- sumber
air cukup;
- semak belukar
1.5 – 2 m
- 10 m dpl;
- ditumbuhi
oleh semak belukar dan
pepohonan dengan
tinggi rata- rata 4 m
Cibako -
58 m dpl; -
Padang rumput; -
pinggir hutan
sekunder muda -
58 m dpl; -
semak belukar; -
pinggir hutan
sekunder muda -
58 m dpl; -
mayoritas semak belukar;
- pinggir
hutan sekunder muda
- 58 m dpl;
- semak
belukar dan pepohonan
dengan tinggi rata-
rata 5 m
Ciporeang -
42 m dpl; -
Padang rumput -
42 m dpl; -
sebagian ditumbuhi
semak belukar -
42 m dpl; -
semak belukar 1.5
– 2 m -
42 m dpl; -
Semak dan pohon
dengan tinggi 4
m
Cipadaruum -
44 m dpl; -
Padang rumput -
sumber air
cukup; -
44 m dpl; -
mayoritas ditumbuhi
semak belukar -
sumber air
cukup; -
44 m dpl; -
hutan sekunder; -
sumber air
cukup; -
44 m dpl; -
semak belukar dan
pepohonan dengan
tinggi rata- rata 4 m
Cidaon -
75 m dpl; -
Padang rumput -
sumber air di tengah kawasan
- 75 m dpl;
- Semak belukar
- 75 m dpl;
- hutan sekunder
- 75 m dpl;
- semak
belukar dan pepohonan
rata-rata 5 m
Perbedaan mengenai keberadaan padang penggembalaan yang digunakan oleh banteng berbeda pula dengan Lekagul McNeely 1977 yang menjelaskan
bahwa banteng mengalami perubahan dari merumput di daerah terbuka pada pagi
hingga sore hari menjadi merumput pada malam hari karena adanya gangguan. Sementara itu Halder 1976 berpendapat bahwa ada juga banteng yang tidak
pernah berada di areal penggembalaan, karena ditemukan jejak banteng di hampir seluruh wilayah semenanjung Ujung Kulon kecuali di daerah rawa dan daerah
bergunung yang curam, Hommel 1987 melaporkan sering melihat kawanan banteng di semak dan komunitas tumbuhan langkap Arenga obtusifolia yang
lebat. Perbedaan penggunaan padang penggembalaan dapat disebabkan adanya
perbedaan habitat yang menyebabkan perbedaan pola aktivitas banteng dalam penggunaan habitat. Santosa et. al. 2007 berdasarkan penelitiannya di Taman
Nasional Alas Purwo, menjelaskan bahwa aktivitas banteng pada setiap tipe vegetasi relatif berbeda, yaitu aktivitas istirahat lebih banyak di lakukan di dataran
rendah, mengasin di hutan pantai, dan aktivitas makan yang paling dominan dilakukan di hutan tanaman dan padang penggembalaan. Kontroversi tersebut
dapat disebabkan pula oleh kegagalan dalam membedakan habitat yang disukai prefered habitat dan habitat yang dimanfaatkan used habitat.
2. Ketersediaan Air
Kebutuhan banteng terhadap air tawar dipenuhi dari sumber-sumber air alami, yaitu dari sungai-sungai yang berada di sekitar Cagar Alam Leuweung
Sancang khususnya yang dekat dengan padang penggembalaan. Beberapa sungai dari arah barat sampai ke timur, antara lain: Sungai Cisanggiri, S. Cimerak, S.
Cibaluk, S. Cikiray, S. Cijeruk, S. Cipangikis, S. Cikolomberan, S. Cipalawah, S. Cipanyawungan, S. Cipunaga, S. Cisakoja, S. Cibako, S. Cicukangjambe, S.
Ciporeang, S. Cipangikisan, S. Cipadaruum dan S. Cikaengan. Sungai-sungai yang sering digunakan oleh banteng berdasarkan informasi dari petugas adalah
Sungai Cijeruk, Sungai Cipangikis, Sungai Cikolomberan, Sungai Cibako dan Sungai Cipadaruum. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian Subroto 1996
bahwa beberapa sungai yang sering digunakan oleh banteng dan berdekatan dengan padang penggembalaan, yaitu Sungai Cipadaruum, anak Sungai
Cipangikisan dan Sungai Cikolomberan.
Kondisi air sungai maupun sumber air lainnya termasuk genangan air yang dijadikan sumber air yang digunakan banteng sampai saat ini masih terbilang
jernih dan selalu ada di setiap musim, hanya saja air sungai tersebut akan sedikit berwarna kecoklatan pada saat terjadi hujan yang diperkirakan akibat adanya
pengikisan tanah yang terbawa oleh air. Hal ini berbeda dengan kondisi genangan air yang berada di tengah padang penggembalaan Cijeruk walaupun terjadi hujan,
akan tetapi kondisi airnya masih terlihat jernih. Mardi 1995 dan Durahman 1998 menyatakan bahwa sumber air lainnya
berasal dari bak tempat penampungan air minum dengan lebar 90 cm, panjang 180 cm dan kedalaman 60 cm. Bak penampungan air tersebut pada saat penelitian
sudah tidak ditemukan lagi dan berdasarkan informasi dari petugas cagar alam bak tersebut sudah tidak berfungsi sejak tahun 1998.
Alikodra 1983 mengemukakan bahwa kebutuhan air yang diperlukan oleh banteng tidak hanya air tawar, tetapi diperlukan pula air laut untuk memenuhi
kebutuhan garammineralnya atau yang biasa disebut dengan istilah pengasinan diperoleh dari pantai yang berada di sekitar habitatnya. Kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang merupakan suatu kawasan yang terdiri dari daratan dan lautan, sehingga kebutuhan banteng terhadap garammineral dapat dipenuhi
langsung dari pantai yang berada di sekitarnya. Selain itu, keberadaan sungai- sungai sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan air tawarnya merupakan bagian
hulu yang mengalirkan air ke laut. Kondisi ini menggambarkan kemudahan akses banteng terhadap kebutuhan air.
Kebutuhan banteng terhadap garam diperkirakan bahwa tumbuhan di hutan hujan tropika termasuk hutan Cagar Alam Leuweung Sancang, pada umumnya
memiliki kandungan sodium Na yang rendah menyebabkan hewan-hewan herbivora memerlukan tambahan mineral yang biasanya diperoleh dari tempat
pengasinan. Alikodra 1983 menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon memnuhi kebutuhan mineralnya dari pantai, sedangkan banteng di
Taman Nasional Baluran diketahui minum air payau di kubangan air sepanjang pantai yang dilakukan pada malam hari setelah jenis-jenis lain seperti babi hutan,
rusa dan kerbau air selesai minum dan berkubang.
Peranan air ini sangat penting dalam tubuh agar dapat memperlancar reaksi kimia dan merupakan medium ionisasi dan hidrolisa zat makanan yang sangat
baik. Asam-asam amino yang terdapat dalam air akan mengalami ionisasi sehingga zat makanan akan lebih reaktif. Selain itu, Alikodra 1983 menyatakan
bahwa air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air berkurang akan mempengaruhi
kelangsungan kehidupan satwa liar tersebut, dengan demikian kebutuhan banteng akan garam pun sangat penting untuk pertumbuhannya.
3. Pelindung Cover
Alikodra 2002 menyatakan bahwa pelindung atau cover adalah struktur lingkungan yang dapat melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai kegiatan
satwa liar lainnya, oleh karena itu dapat diartikan sebagai areal atau tegakan yang dapat berfungsi sebagai pelindung atau tempat bersembunyi dari segala macam
gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Alikodra dan Sastradipradja 1983 menyatakan bahwa hutan di Taman Nasional Ujung Kulon seluas 330.2 ha
merupakan areal yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Hal ini berbeda dengan
Santosa et al. 2007 bahwa banteng menggunakan hutan dataran rendah di Taman Nasional Alas Purwo sebagai tempat beristirahat dan mencari makanan
tambahan. Perbedaan penggunaan hutan ini diperkirakan adanya adaptasi banteng dengan kondisi lingkungan sekitarnya.
Tipe vegetasi hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan dataran rendah dan padang penggembalaan.
Alikodra 1983 menyatakan bahwa tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan
sumber-sumber air Gambar 4.
Gambar 4. Kondisi pelindung ideal banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang Modifikasi dari Alikodra 1983, 2010
Kesatuan ekosistem banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang terdiri dari sumber air laut, padang penggembalaan, sumber air tawar dan hutan telah
mengalami perubahan yang disebabkan oleh berubahnya tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang, terutama padang penggembalaan yang biasa digunakan
oleh banteng menjadi tempat penggembalaan ternak masyarakat Gambar 5a dan menjadi semak belukar bahkan sebagian menjadi hutan sekunder Gambar 5b.
a b
Gambar 5. Kondisi padang penggembalaan banteng saat ini a padang penggembalaan sebagai padang penggembalaan ternak kerbau
b padang penggembalaan menjadi semak belukar
Perubahan padang penggembalaan tersebut dapat mempengaruhi tempat berlindung banteng terutama untuk mencari pakan dan kegiatan sosialnya yang
biasa dilakukan di padang penggembalaan. Alikodra 2002 menyatakan bahwa peranan pelindung terdiri dari tempat persembunyian hiding cover dan tempat
penyesuaian terhadap perubahan temperatur thermal cover. Hiding cover merupakan salah satu bentuk pelindung yang memiliki peranan bagi banteng
bebas dari ancaman. Kerapatan hiding cover di Cagar Alam Leuweung Sancang yang digunakan oleh banteng sebagian besar di atas 40 Durahman 1998, hal
ini menunjukkan tingkat keamanan bagi banteng cukup baik. Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa tinggi hiding cover ini apabila dibandingkan dengan tinggi
bahu banteng yang mencapai tinggi 170 cm sudah dapat menghilangkan intaian predator dari jarak jauh. Selain itu dalam kondisi demikian banteng dapat dengan
mudah mengenali pemangsanya dan melakukan persembunyian.
Durahman 1998 menyatakan kerapatan tertinggi di Cagar Alam Leuweung
Sacang adalah padang penggembalaan Cipalawah, yaitu mencapai 160 cm dan nilai persentase kerapatannya berkisar antara 47
– 100. Hal ini menunjukkan bahwa Cagar Alam Leuweung Sacang memiliki hiding cover yang cukup baik.
Basuni 1993 dan Alikodra 2002 menyatakan bahwa Thermal cover merupakan komponen yang sangat diperlukan oleh satwa untuk mencegah terbuangnya energi
yang didapatkan atau penyesuaian terhadap perubahan temperatur. Hal ini menyebabkan banteng memerlukan struktur pohon yang memiliki kerapatan yang
cukup untuk istirahat ataupun aktivitas lainnya. Hasil pengamatan terhadap thermal cover
berdasarkan persen kerapatan penutupan vegetasi diperoleh bahwa padang penggembalaan Cijeruk mempunyai nilai kerapatan penutupan vegetasi
25, Cipalawah 60 dan Cibako 54 Durahman 1998. Kondisi hiding dan thermal cover
ini didukung dengan pendapat masyarakat bahwa terdapat 3 ekor banteng jantan yang diperkirakan masih berada di Blok Cipalawah yang memiliki
cover paling baik diantara padang penggembalaan lainnya.
4. Tutupan Lahan
Lillesand 1994 menyatakan bahwa tutupan lahan merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan atau gambaran mengenai kondisi
penutupan lahan berdasarkan persentasi tutupan tajuk pohon. Kondisi tutupan lahan yang dianalisis adalah kondisi tutupan lahan pada tahun 1996 dan 2003
berdasarkan citra landsat. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aktivitas perambahan yang terjadi pada tahun 1998-2002 terhadap kondisi habitat dan
keberadaan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang. Tutupan lahan Cagar
Alam Leuweung Sancang pada tahun 1996 terdiri dari hutan lahan kering primer, perkebunan dan pertanian, sedangkan pada tahun 2003 memiliki jenis tutupan
lahan cukup beragam Tabel 8. Tabel 8 Luas tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang
Jenis Tutupan Lahan Luas ha
1996 2003
Hutan rawa sekunder -
77.29292 Hutan lahan kering primer
918.6987 -
Hutan lahan kering sekunder -
455.527 Areal rehabilitasi HTI
- 851.7111
Semak belukar -
12.26363 Perkebunan
723.7157 11.171
Pertanian Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering bercampur semak 514.5856
- 166.1317
467.8711 Tanah terbuka
- 37.72583
Pemukiman Tubuh Air
- 77.3056
Total 2157
2157
Perbedaan jenis tutupan lahan ini diperkirakan karena pada tahun 2003 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi habitat dan adanya operasi wanalaga petugas cagar
alam yang telah berhasil memberhentikan kegiatan perambahan yang berlangsung secara besar-besaran pada tahun 1998-2002 sehingga mengalami kerusakan
sampai 1725.6 ha atau 80 dari total daratan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petugas adalah menanami kembali areal yang mengalami kerusakan dengan biji dan anakan pohon yang
berada di dalam kawasan, seperti ketapang Terminalia catappa, teureup Artocarpus elastica, kenanga Canangium odoratum, bayur Pterospermum
javanicum , hantap Sterculia oblongata, salam Syzygium polyanthum,
kipahang Pongamia pinnata, heras Aleurites moluccana, nyamplung Calophyllum inophyllum, putat Barringtonia acutangula yang memiliki jarak
tanam hampir seragam, sehingga diinterpretasikan oleh citra landsat sebagai Hutan Tanaman Industri HTI.
Luas tutupan lahan pada Tabel 6 terlihat bahwa luas perkebunan pada tahun 1996 adalah 723.7157, sedangkan pada tahun 2003 mengalami pengurangan luas
berturut-turut menjadi 11.171 ha. Perkebunan tersebut terdiri dari perkebunan milik masyarakat dan perkebunan milik PTPN VIII Mira Mare yang didominasi