Pemukiman juga terdapat di dalam kawasan berupa gubuk-gubuk liar atau tempat tinggal yang atapnya terbuat dari daun kelapa, sedangkan dinding dan tiang
penyangganya dari bambu, yaitu di sepanjang pantai selatan cagar alam dari muara Sungai Cipangikisan sampai Cipalemuan Gambar 8.
Gambar 8. Contoh gubuk-gubuk liar di blok Ciporeang Gubuk-gubuk tersebut pada tahun 1997 tercatat sebanyak 94 gubuk liar
yang tersebar di 9 lokasi, akan tetapi setahun kemudian tahun 1998 jumlah gubuk mulai bertambah mencapai ratusan. Pertambahan keberadaan gubuk-gubuk ini
berhasil ditekan oleh operasi Lodaya yang dilakukan oleh pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang, sehingga pada tahun 2006 keberadaan gubuk mulai
berkurang menjadi 87 gubuk. Penurunan jumlah gubuk tersebut tidak bertahan lama, sehingga pada tahun 2011 bertambah kembali mendekati jumlah gubuk
pada tahun 1997, yaitu 93 gubuk. Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang
Lokasi Jumlah Gubuk
1997 Mustari 2007
2006 Mustari 2007
2011
Cipangikisan 10
6 11
Cikabodasan 10
7 11
Cetut 3
4 4
Cikolomberan 30
29 23
Cipunaga 9
9 9
Cibako 6
6 11
Ciporeang 12
12 10
Karang Jambe 3
3 3
Cipalemuan 11
11 11
Jumlah 94
87 93
Fungsi gubuk tersebut sebagai tempat tinggal masyarakat nelayan, pelelangan ikan dan penyimpanan alat-alat untuk melaut bahkan beberapa
dijadikan sebagai warung atau tempat jualan makanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di dalam kawasan tersebut. Akibat adanya aktivitas
masyarakat nelayan tersebut diperkirakan dapat mengganggu aktivitas banteng, terutama untuk mengasin salt lick, sehingga banteng akan mencari tempat lain
untuk mengasin atau merubah waktunya pada saat tidak ada atau sedikit gangguan termasuk gangguan dari aktivitas masyarakat. Alikodra 2010 menyatakan bahwa
banteng memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi terhadap gangguan.
3. Ziarah
Pengunjungpeziarah adalah orang yang mengunjungi tempat-tempat tertentu di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang dianggap
keramat oleh pengunjung, seperti blok Cikayaan yang dianggap sebagai air untuk mendapat kesuksesan dan dipercaya terdapat harimau jadi-jadian dan dapat
diakses melalui blok Plang yang berada di Kampung Sancang. Kedatangan pengunjung tersebut tergantung terhadap cuaca dan bulan pada kalender islam
atau tahun hijriah, seperti pada musim hujan biasanya jumlah pengunjung cenderung lebih sedikit dibandingkan pada cuaca yang cerah. Pada bulan Maulud
biasanya pengunjung mencapai lebih dari 100 orang dan hampir setiap hari pada bulan tersebut, sedangkan pada bulan lainnya pengunjung lebih banyak pada
malam jumat rata-rata mencapai ± 20 orang, sehingga dalam satu bulan rata-rata 80-100 orang.
Pengunjung tersebut dikenakan bayaran tiket masuk sebesar Rp 3000.00 tiga ribu rupiah per orang kepada pos jaga yang dibentuk oleh masyarakat. Hasil
dari tiket tersebut berdasarkan informasi dari petugas pos jaga dan beberapa masyarakat bahwa 40 untuk penjaga pos, 30 untuk kesejahteraan Desa
Sancang dan 30 untuk pihak BKSDA, akan tetapi pihak BKSDA menegaskan tidak menerima persentase dari pendapatan tersebut.
Pihak desa juga menegaskan bahwa 30 tersebut digunakan oleh warga yang berada di Kampung
Sancangblok Plang untuk memperbaiki jalan menuju tempat ziarah dan laut berdasarkan kesepakatan antar warga setempat dan pihak desa tidak pernah
menegaskan adanya tarif tiket untuk masuk kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kondisi tersebut diperlukan adanya suatu kesepakatan antara berbagai
pihak terkait sehingga memperoleh suatu kebijakan yang dapat menyelaraskan antara kebutuhan berbagai pihak dengan tetap menjaga kelestarian dan
keseimbangan ekosistem di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang .
Peninggalan sejarah di Cagar Alam Leuweung Sancang menurut SBKSDA Jawa Barat II tahun 1973 dan informasi masyarakat serta catatan narasumber
cerita rakyat Kabupaten Garut untuk buku internasional UNESCO United Nation Education Scientific and Cultural Organization tahun 1972, meliputi:
a. Cadas Sancang adalah bekas keraton negara sancang yang runtuh pada tahun
1597. Tempat ini banyak dikunungi orang sebagai temapat ziarah, terdapat di sekitar muara Sungai Cipangikisan.
b. Makam Syech Pandita Rukmantara adalah makam sahabat Prabu Kian Santang
putra Prabu Siliwangi, terletak di blok Cipalawah. c.
Pohon Kaboa Aegiceras corniculatum yang dianggap sebagai pohon keramat oleh sebagian orang karena konon pohon ini sebagai tempat Prabu Siliwangi
berpegangan sebelum akhirnya pada waktu dikejar putranya untuk masuk islam.
Peninggalan-peninggalan tersebut menarik perhatian masyarakat sehingga hampir setiap hari pengunjung datang dari asal yang berbeda, baik dari sekitar
Jabodetabek Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi maupun dari luar Pulau Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan pengunjung tersebut
memberikan penghasilan tersendiri bagi masyarakat sekitar untuk menjadi ojek bagi pengunjung, sehingga keluar masuknya kendaraan roda dua yang setiap
harinya berawal dari pagi hingga malam hari akan merusak tanah dan vegetasi yang tumbuh di atasnya karena terjadi pemadatan tanah yang mengakibatkan erosi
tanah dan akar tanaman tidak dapat menembus tanah untuk mendapatkan unsur hara di dalam tanah tersebut. Akibat lainnya yang paling penting adalah kondisi
tersebut sangat mengganggu aktivitas satwa liar khususnya banteng yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.
4. Perambahan
Perambahan ditandai dengan adanya penebangan liar dan pengambilan kayu secara besar-besaran yang terjadi sekitar tahun 1998-2002 dengan total kerusakan
seluas 1725.6 ha atau sekitar 80 dari total daratan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang Anonim 2000.
Penebangan liar awalnya hanya dilakukan di daerah yang sulit dijangkau dan tersembunyi, yaitu blok Cibunigeulis,
Cipangikisan dan blok 20 yang digunakan untuk kayu pertukangan atau diperdagangkan SBKSDA II 1993b. Kegiatan perambahan ini berdasarkan
informasi masyarakat didorong karena adanya krisis moneter yang membolehkan segala cara termasuk perambahan hutan.
Awal terjadinya perambahan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari luar kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang, yaitu daerah Pameungpeuk dan sekitarnya bahkan ada yang berasal dari daerah Tasikmalaya melakukan penebangan terhadap kayu-kayu yang
berada di dalam kawasan cagar alam, sehingga masyarakat sekitar kawasan tidak dapat menerima kondisi tersebut dan beranggapan bahwa yang berhak melakukan
penebangan kayu di dalam kawasan adalah masyarakat sekitar yang telah menjaga hutan tersebut.
Hasil inventarisasi SBKSDA Jabar II tahun 1994 bahwa sebelum terjadi perambahan pada tahun 1998-2002 tersebut, perambahan dan penyerobotan
yang telah dilakukan oleh masyarakat, baik yang digunakan sawah, ladang dan pemukiman seluruhnya dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Perambahan dan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh masyarakat
Lokasi Penggunaan Lahan Ha
Sawah Pemukiman dan Ladang
Jumlah
Cimerak 11.68
6.87 18.55
Cihurang 8.024
17.073 25.097
PlangSancang 5.13
31.40 36.53
Total 24.834
55.343 80.177
Kegiatan perambahan yang terjadi di Cagar Alam Leuweung Sancang sangat mempengaruhi luas habitat yang digunakan oleh satwa di dalamnya
menjadi berkurang dan mengurangi ketersediaan pakannya terutama satwa herbivora, seperti banteng. Alikodra 1993 menyatakan bahwa dampak dari
adanya perambahan pada suatu kawasan dapat menyebabkan berubahnya penyebaran dan kelimpahan pakan satwa, berubahnya iklim mikro dan
berkurangnya tempat berkembangbiak dan berlindung. Kondisi demikian