diperlukan tata batas kawasan yang jelas, sehingga memiliki kejelasan lahan yang dapat digunakan atau digarap oleh masyarakat, selain itu melakukan pendekatan
terhadap masyarakat agar menjaga kelestarian cagar alam tersebut.
5. Perburuan satwa
Perburuan dilakukan oleh sebagian masyarakat, baik yang berada di sekitar maupun luar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Tujuan pengambilan
satwa ini adalah untuk barang awetan, hewan peliharaan dan diperjualbelikan. Jenis satwa yang digunakan sebagai barang awetan merupakan satwa yang
dilindungi, seperti rusa Cervus timorensis, kucing hutan Felis benghalensis, jelarang Ratufa bicolor, penyu sisik Eretmochelys olivaceae dan penyu lekang
Lepidochelys olivaceae SBKSDA II 1991. Kegiatan perburuan dilakukan dengan cara pemasangan jerat, seperti
informasi yang diberikan oleh pelaku pengambilan satwa burung yang dijumpai pada saat penelitian di jalan patroli menuju tempat peziarah. Pengambilan burung
ini dilakukan oleh dua orang dengan pemasangan jerat terlebih dahulu dan beberapa hari kemudian satu orang akan melakukan pemeriksaan terhadap jerat
tersebut apakah dapat menangkap burung atau tidak. Jika pemasangan jeratnya berhasil, maka burung hasil tangkapannya dimasukkan ke dalam sangkar yang
ditutupi kain dan dipasang di jok belakang kendaraan roda dua Gambar 9a. Kegiatan pengambilan satwa lainnya dilakukan dengan cara perburuan.
Selama penelitian terjadi satu kali perjumpaan dengan kelompok pemburu yang akan masuk ke dalam kawasan dengan menggunakan kendaraan roda empat
dengan perlengkapan senapan angin. Pemburu tersebut terdiri dari dua orang yang masuk ke dalam kawasan melalui blok Cipadaruum melewati Kampung Cibalieur,
Desa Sancang. Mereka mengaku bahwa akan berburu babi hutan yang berada di luar batas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang mengganggu tanaman
perkebunan PTPN VIII Mira Mare Gambar 9b. Pemburu tersebut menyatakan bahwa kegiatan berburu di sekitar kawasan
Cagar Alam Leuweung Sancang telah dilakukan sejak tahun 1980an dengan beberapa kelompok lainnya dari Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia
Perbakin. Kegiatan pengambilan dan perburuan satwa yang terjadi dari tahun
1980 sampai saat ini diperkirakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan banteng sehingga terjadi kepunahan.
a b
Gambar 9. Kegiatan perburuan satwa a penangkapan burung di blok Plang dan b perburuan babi di blok Cipadaruum
6. Penggembalaan ternak
Penggembalaan ternak sapi dan kerbau dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan di daerah perbatasan cagar alam bahkan di dalam kawasan cagar alam
seperti padang penggembalaan yang diperuntukkan sebagai tempat pakan banteng. Kegiatan penggembalaan ini dilakukan masyarakat sejak tahun 2003 dengan
melepasliarkan ternaknya ke dalam kawasan. Jumlah ternak yang ditemukan pada saat penelitian ± 70 ekor yang terbagi ke dalam 3 blok, yaitu 10 ekor sapi di blok
Cibako, lebih dari 50 ekor sapi di blok Rancaherang dan 20 ekor kerbau di blok Cijeruk.
Alikodra 2010 menyatakan bahwa pola penggembalaan ternak akan menyebabkan kerusakan tanah akibat injakan, kerusakan vegetasi, persaingan
dalam hal ini banteng dan satwa pemakan rumput lainnya dan kemungkinan terjadinya penularan penyakit dari ternak, seperti infeksi cacing Fasciola spp dan
Paramphistomum spp yang merupakan telur cacing trematoda parasitik yang
banyak ditemukan pada hewan ruminansia maupun mamalia Tiuria et al. 2008 kepada satwa banteng dan satwa lainnya atau sebaliknya sehingga pada tahun
tersebut tidak ditemukan lagi jejak banteng dan hanya beberapa dari informasi masyarakat yang pernah melihat banteng berada di dalam hutan primer.
5.3 Pengelolaan Kawasan 5.3.1 Status Hukum Kawasan
SKSDA Garut 1995 menyatakan bahwa sejarah penunjukkan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada awalnya ditunjuk sebagai kawasan Suaka
Margasatwa dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 1959, akan tetapi pada tahun 1960 sampai saat ini statusnya berubah menjadi Cagar Alam
Leuweung Sancang yang terdiri dari cagar alam darat dan laut. Fungsi dari kedua status tersebut adalah sama, yaitu sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan,
akan tetapi berbeda pada objek tujuan pengelolaannya. Tujuan pengelolaan Cagar Alam Leuweung Sancang secara umum ditujukan
sebagai upaya pengawetan keanekaragaman spesies dan tipe ekosistem hutan yang berfungsi sebagai penyangga antara daratan dan lautan, terutama sebagai salah
satu keterwakilan ekosistem dataran rendah yang kaya akan jenis di Pulau Jawa. Prinsip pengelolaan cagar alam dengan berdasarkan peraturan perundangan di
Indonesia adalah tidak diperkenankan adanya kegiatan pendayagunaan potensi dan pengembangan sarana dan prasarana. Kegiatan yang diperkenankan hanya
pembangunan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan monitoring dan perlindungan kawasan.
Pengelolaan dan pengawasan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diserahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Ciamis dengan
wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah Garut melalui Kepala Satuan Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sancang. Pengelolaannya dibagi ke dalam
beberapa blok dengan batasan sungai, yaitu Sungai Cimerak, S. Cisanggiri, S. Cibaluk, S. Cijeruk, S. Cipanyawungan, S. Cipalawah, S. Cipangikis, S.
Cikolomberan, S. Cipunaga, S. Cibako, S. Cicucakangjambe, S. Ciporeang, S. Cipangikisan, S. Cipadarum, S. Cidahon dan S. Bantarlimus.
Tujuan pengelolaan Suaka Margasatwa adalah untuk menjamin dan menjaga jenis satwa, populasi danatau habitatnya, sehingga dalam menunjang kegiatan
pengawetan diperbolehkan melakukan pembinaan habitat dan populasi dengan beberapa bentuk kegiatan, seperti pembinaan padang rumput untuk makanan
satwa, pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon