pengukuhan belum diajukan dan persetujuan tanda-tanda batas di lapangan baru terjadi pada tanggal 5 Desember 1974.
4. Permasalahan tata batas kembali terjadi karena adanya penyerobotan kawasan
cagar alam oleh masyarakat dengan alasan bahwa yang digarap adalah lahan penduduk di luar kawasan, maka pada tahun 1978 dilakukan rekonstruksi pal
batas mulai pal nomor 1-63 blok CimerakCihurang dan pal batas nomor 230- 290 blok plang dengan luas kawasan yang telah diserobot ± 33.7910 ha. Hasil
pengukuran tersebut dituangkan pada SKPT Menteri Pertanian nomor 370KptsUm61978 tanggal 7 Juni 1978 tentang penegasan kembali batas-
batas Cagar Alam Leuweung Sancang. Akan tetapi pengukuran tersebut tidak pernah berhasil sampai dilakukan rekontruksi kembali pada tahun 1983, tahun
1985, tahun 1989 dan hasilnya tetap bahwa kawasan hutan telah diduduki oleh masyarakat. Jumlah pal batas yang ada di dalam kawasan adalah 385 buah
dengan panjang batas ± 41. 375 km yang terdiri dari batas alam sungai ± 4.25 km dan laut ± 19.375 km dan batas buatan 17.75 km.
5. Permasalahan lain juga muncul dengan adanya surat Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Garut nomor 556774 Diparda tanggal 31 Oktober 1987 perihal pengembangan kepariwisataan di Garut Selatan yang isinya antara lain
menyetujui pola pengembangan daerah tujuan wisata dan muara sungai Cibaluk dan Cijeruk dijadikan tempat tujuan wisata yang akan segera diusulkan
ke pusat. Hal ini tidak sesuai dengan status dan tujuan kawasan sebagai cagar alam.
5.3.3 Sumber Daya Manusia Pengelola
MacKinnon et al. 1990 menyatakan bahwa sumber daya manusia pengelola cagar adalah orang-orang yang diberikan bertanggung jawab dalam
pengelolaan cagar. Pengelola ini diarahkan oleh status sah kawasan, kriteria perlindungan serta tujuan pengelolaan yang dinyatakan dalam rencana
pengelolaan. Pengelola dalam suatu pengelolaan kawasan dapat dilihat dari
beberapa hal, antara lain:
1. Jumlah pengelola
Jumlah pengelola secara keputusan Balai Konservasi Sumber Daya Alam berjumlah 10 orang jagawana atau yang dikenal dengan sebutan Polisi Kehutanan,
akan tetapi yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang sebanyak 5 orang, sedangkan 5 orang lainnya masih diperbantukan di kawasan
konservasi lainnya dan belum secara resmi bertugas di resort Sancang dengan pos jaga berlokasi di CibalukCijeruk. Adapun rincian jumlah pengelola yang ada
tersebut adalah satu orang sebagai kepala resort yang memiliki tupoksi sama dengan tupoksi seksi Konservasi Sumber Daya Alam secara tersirat, sedangkan
yang lainnya merupakan anggota dari kesatuan resort. Jumlah pengelola di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang tidak
memiliki struktur organisasi dan uraian tugas yang tertulis, baik mengenai status, tempat jaga, tugas rutin dan kemungkinan diminta bantuannya untuk
melaksanakan tugas tambahan khusus. MacKinnon et al. 1990 menyatakan bahwa uraian tugas yang jelas sangat penting untuk mendorong kesadaran
individu pengelola dalam pengelolaan kawasan. Trimarsito 2010 menyatakan bahwa jumlah sumber daya manusia untuk
pengelolaan suatu kawasan khususnya pengamanan, idealnya ditentukan dengan jumlah personel pengamanan yang dibutuhkan berdasarkan pada kriteria tertentu
seperti rasio jumlah personel per luas area, panjang batas kawasan dan intensitas tekanan masyarakat terhadap kawasan. Rasio jumlah sumber daya manusia yang
aktif di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dengan luas total kawasannya memiliki tanggung jawab sebesar 661.4 ha per orang.
Rambaldi 2000 menyatakan bahwa perbandingan jumlah personel pengamanan per luas area adalah 1 orang per 1000 hektar yang merupakan hasil
studi kasus mengenai efesiensi jumlah personel pengamanan yang dilakukan pada delapan kawasan konservasi di Filipina. Jumlah sumber daya manusia pengelola
di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang tersebut jika mengacu pada Rambaldi 2000 telah efisien dalam pengamanan kawasan, sehingga faktor jumlah sumber
daya manusia dianggap tidak berpengaruh signifikan terhadap kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang dan jumlah sumber daya manusia yang