Lampiran 7 Hasil Koefisien Korelasi Kendall Tau
Variabel LBK
Persepsi Mayarakat
Interaksi Masyarakat
Tata Batas Status Kawasan
Kegiatan PMP Mitra
LBK 1.00000
0.059761
0.549350
-0.029881 0.059761
0.138013 -.0394405
Persepsi Masyarakat
0.059761 1.000000
0.088388 0.093750
0.375000 0.433013
0.117851 Interaksi
Masyarakat
0.549350
0.088388 1.000000
-0.441942 0.176777
0.612372
-0.166667
Tata Batas -0.029881
0.093750 -0.441942
1.000000
0.531250
-0.360844 -0.294628
Status Kawasan 0.059761
0.375000 0.176777
0.531250
1.000000 0.216506
-0.353553 Kegiatan PMP
0.138013 0.433013
0.612372
-0.360844
0.216506 1.000000
0.408248 Mitra
-0.394405 0.117851
-0.166667 -0.294628
-0.353553 0.408248
1.000000
123
ABSTRACT
RENI SRIMULYANINGSIH.
The Extinction Factors of Banteng Bos javanicus
in Leuweung Sancang Natural Reserve West Java. Under direction by HADI SUKADI ALIKODRA dan RINEKSO SOEKMADI.
Banteng Bos javanicus is one of wildlife species that is categorized into the conservation status of Endangered which its habitat and population continue
to decline to extinction even in natural reserve such as Leuweung Sancang Natural Reserve.
Habitat and population of banteng currently just located in national park which is wide area and intensive management with other protected areas including
Leuweung Sancang Natural Reserve. The objective of this research is to anlyze
the extinction factors of banteng in Leuweng Sancang Natural Reserve by identifying and analyzing the population, distribution, habitat, socio-economic
activities of communitie and area management system. To identify ecology, socio economic and management condition with literature study and interview. The
research analysis is reliability and validity instrument, spatial, qualitative, quantitative and correlation factors. Wide and shape area, boundary area, area
status, PMP activities, stakeholders, community perception and community interaction are all factors than can affect to banteng extinction in Leuweung
Sancang Natural Reserve
. Correlation factors are a wide and shape area WSA
with community interaction 0.540350; b PMP activities with community interaction; c boundary area with area status 0.531250. The extinction factors
of banteng are illegal hunting that impact of 3 factors, are: 1 habitat degradation especially less maintenance of grazing area and the elongated shape of Leuweung
Sancang Natural Reserve did not support banteng population, 2 less of management intensity, 3 local people negative perception for banteng existence.
Key Word: Banteng, Extinction, Leuweung Sancang.
RINGKASAN
RENI SRIMULYANINGSIH. Faktor-Faktor Penyebab Kepunahan Banteng Bos javanicus
di Cagar Alam Leuweung Sancang Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI SUKADI ALIKODRA dan RINEKSO SOEKMADI.
Banteng Bos javanicus merupakan salah satu jenis satwa liar yang telah dikategorikan ke dalam status konservasi
“Terancam Kepunahan” yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa karena populasinya dan penyebarannya semakin terdesak oleh aktivitas manusia yang jumlahnya terus meningkat, sehingga menyebabkan
kerusakan dan perubahan habitat banteng. Kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terjadi pada tahun 2003 yang dinyatakan oleh Peraturan
Mneteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng yang diperkirakan terjadi karena beberapa faktor, seperti
rusaknya padang rumput akibat pemukiman dan perambahan masyarakat sekitar cagar, intensitas pengelolaan sehingga membuat kondisi populasi dan
penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang dilakukan melalui kajian
terhadap 1 perkembangan populasi, penyebaran dan habitat banteng dari waktu ke waktu, 2 kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan dan 3
kondisi pengelolaan kawasan.
Penelitian dilakukan di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber
Daya Alam Wilayah III, Seksi Konservasi Wilayah V, Resort Konservasi Sumber Daya Alam Sancang yang secara administratif termasuk wilayah Kecamatan
Cibalong, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dan penulisan tesis berlangsung selama ± 10 bulan, yaitu mulai bulan Agustus 2011 sampai Mei
2012. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi literatur. Analisis data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu uji realibilitas kuesioner masyarakat
menggunakan software SPSS 16.0, analisis korelasi dan pengelompokan antara faktor menggunakan software Statistica 7.
Kondisi populasi banteng pada tahun 1984-1988, tahun 1988-1992, dan tahun1992-1996 mengalami penurunan jumlah, yaitu masing-masing 77 ekor, 32
ekor dan 52 ekor. Jika dilihat dari proporsi jenis kelamin antara jantan dan betina setiap tahunnya mengalami perbandingan rata-rata 1 : 2, hanya pada tahun 1992
mencapai 1 : 5, sedangkan laju pertumbuhan tiap tahunnya berturur-turut adalah - 19, -8, -13 ekortahun. Hal ini berarti populasi banteng menuju kepunahan yang
diduga akibat angka kematian tinggi atau laju pertumbuhan banteng terganggu yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: decimating factors, welfare
factors, influence factors,
dan kematian karena umur tua. Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang tersebar di dalam dan di luar
kawasan. Banteng di dalam kawasan tersebar di enam padang penggembalaan, sedangkan di luar kawasan di perkebunan PTPN VIII Mira Mare dan halaman
rumah masyarakat untuk mencari makan. Pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang masih ada sampai saat ini adalah alang-alang Imperata
cylindrica
, tepus Ammomum coccineum, langkap Arenga obtusifolia dan
kanyere badak Bridelia glauca. Sumber pakan berasal dari padang penggembalaan yang telah ada sejak tahun 1960 dan dilakukan penanaman
rumput gajah Pennisetum purpureum pada tahun 1983 serta dilakukan pemeliharaan berkelanjutan sampai tahun 1987.
Bentuk kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah hampir membentuk persegi panjang yang memiliki tingkat kecepatan kepunahan spesies lebih tinggi
dibandingkan dengan bentuk lain, yaitu persegi dan bulat karena bentuk yang kompak dan teratur, misalnya lingkaran atau persegi empat, mempunyai garis
keliling lebih kecil dari bentuk yang memanjang dan teratur mempunyai kementakan mengandung keanekaragaman jenis yang lebih besar dan
mempengaruhi luas jelajah banteng yang mencapai 1-2 km, sehingga hanya dapat menampung 6-24 ekor, sedangkan daya dukung berdasarkan produktivitas rumput
padang penggembalaan dengan luas total 130 ha adalah 147-390 ekor.
Sebagian besar masyarakat berasal dari Desa Sancang 81 dan berumur 40-50 tahun 41 yang berhubungan langsung dengan keberadaan banteng sejak
tahun 1960 an dengan tingkat pendidikan lulusan SD 94 dan pendapatan rata- rata Rp 500 000 lima ratus ribu rupiah samapai Rp 1000 000 satu juta rupiah.
Masyarakat mengetahui adanya perburuan banteng dan 27 mengakui keterlibatannya, dan hampir semua responden pernah memakan daging banteng.
Selain itu, juga pernah terjadi konflik banteng dengan manusia sehingga menimbulkan 2 korban tewas akibat serangan banteng pada tahun 1980an.
Sebagaian besar masyarakat 69 tersebut berpendapat bahwa banteng merupakan hama bagi kebun mereka dan tidak perlu dilestarikan and sebanyak
34 berpendapat bahwa kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang tidak bermanfaat bagi kehidupan mereka. Kegiatan yang sering dan telah dilakukan
masyarakat di dalam kawasan cagar alam sejak tahun 1980an, antara lain: pengambilan hasil laut, pemukiman, ziarah, perambahan, perburuan satwa,
penggembalaan ternak dan pemusnahan amunisi TNI, sehingga beberapa hal tersebut dapat mempengaruhi keberadaan banteng.
Perubahan status kawasan dari cagar alam dan suaka margasatwa menjadi cagar alam memiliki perbedaan tujuan pengelolaan, sehingga sangat
mempengaruhi keberadaan banteng, karena banteng bukan merupakan objek utama dalam pengelolaan. Hal ini didukung dengan belum adanya penegasan
mengenai tata batas kawasan aktivitas dan keberadaan banteng yang ada didalam kawasan.
Sumber Daya Manusia pengelola kawasan rata-rata lulusan SMAsederajat dan belum pernah ada pelatihan mengenai pengelolaan kawasan maupun spesies
yang ada di dalam kawasan. Kegiatan PMP Patroli, Monitoring dan Penyuluhan yang telah jarang dilakukan setiap hari kerja bahkan di hari libur jika ada kejadian
di dalam kawasan, sehingga sangat mempengaruhi pengelolaan banteng dan frekuensi interaksi masyarakat ke dalam kawasan. Hal ini didukung pula dengan
keberadaan mitra dalam pengelolaan.
Faktor penentu penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang, terdiri dari luas padang penggmbalaan, interaksi masyrakat terutama
perburuan, persepsi masyarakat, status kawasan, tata batas, kegiatan PMP dan keberadaan mitra. Hubungan faktor-faktor berdsarkan penilaian dari para ahli
yang kemudian dianalisis menggunakan software Statistica 7 terdiri dari 5 faktor yang memiliki korelasi nyata dengan nilai p 0.05 antara lain: 1 Luas dan
Bentuk Kawasan LBK dengan interaksi masyarakat 0.540350; 2 kegiatan PMP dengan interaksi masyarakat 0.612372; 3 Tata batas dan status kawasan
0.531250, sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi banteng punah dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang sejak tahun 2003 dikarenakan adanya
kegiatan masyarakat di dalam kawasan, terutama perburuan. Faktor-faktor penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Sancang disebabkan pula oleh 1
kerusakan habitat khususnya padang penggembalaan dan kurangnya luas serta bentuk kawasan yang tidak sesuai untuk menunjang populasi banteng, 2
kurangnya intensitas pengelolaan, meliputi kajian terhadap fungsi kawasan, tata batas, kegiatan PMP dan keberadaan mitra, 3 sosial ekonomi masyarakat sekitar
kawasan tidak mendukung keberadaan banteng dan kawasan cagar yang dilindungi, sehingga melakukan perburuan, penebangan liar dan perambahan
hutan.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banteng Bos javanicus merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta telah dikategorikan ke dalam status konservasi
“Terancam Kepunahan” berdasarkan pada penurunan populasinya yang melebihi kisaran 80 dalam tiga generasi terakhir IUCN 2004. Populasi
dan penyebaran banteng saat ini semakin terbatas karena terdesak oleh aktivitas manusia yang jumlahnya terus meningkat, sehingga menyebabkan kerusakan dan
perubahan habitat banteng. Hoogerwerf 1970 mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng di
Indonesia meliputi Pulau Kalimantan dan Jawa dengan populasi pada tahun 1940 sekitar 2000 ekor, yang sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan di
dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut terus menurun dari tahun ke tahun hingga pada tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa
diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor. Alikodra 1983 mengemukakan bahwa banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti
Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam
Leuweung Sancang, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri, akan tetapi menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 58 tahun 2011
tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Tahun 2011-2020 saat ini daerah penyebarannya hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Taman
Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran. Penyebab terus menurunnya populasi dan habitat banteng disebabkan pula
oleh beberapa faktor, seperti kerusakan dan konversi habitat serta adanya predator seperti ajag Cuon alpinus yang juga termasuk satwa terancam punah yang terjadi
di Taman Nasional Alas Purwo Pudyatmoko et al. 2007, perburuan liar di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran Suhadi 2009.
Alikodra 1983 dan Tiuria et al. 2008 juga menduga adanya penyakit dan hibridisasi dengan sapi ternak, seperti infeksi cacing Fasciola spp dan cacing
Paramphistomum spp , selain itu terdapat pula adanya dugaan kompetisi ekologi
dengan niche pakan badak jawa dan banteng di Taman Nasional Ujung Kulon Muntasib et al. 2000; YMR 2002; Effendy et al. 2004.
Kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena beberapa faktor, seperti rusaknya padang rumput
akibat telah berubah fungsinya menjadi ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan banteng sehingga membuat kondisi populasi
dan penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar Mardi 1995; Subroto 1996; Jenuyanti 2002.
Kondisi demikian, menyebabkan populasi banteng setiap tahunnya mengalami fluktuasi sejak tahun 1970 100
ekor, 1980 kurang dari 100 ekor, 1996 12 ekor dan tahun 2003 adalah nol. Peraturan Menteri Kehutanan No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana
Aksi Konservasi Banteng Tahun 2011-2020 pada akhirnya menyatakan bahwa populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang telah punah karena tidak
pernah ditemukan lagi. Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ditetapkan sebagai cagar alam
berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 370KptsUm61978 tanggal 9 Juni 1978 tentang Penegasan Kembali Batas-Batas Cagar Alam Leuweung Sancang
sebagaimana Dimaksud dalam SK Menteri Pertanian No.116Um59 jo. SK. Menteri Pertanian No.9470SKM tanggal 25 Oktober 1960 dengan luasan 2.157
ha dan pada tahun 1990 mengalami penambahan luas sebesar 1150 ha di bagian selatan sebagai cagar alam laut dengan nama Cagar Alam Laut Sancang
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 682Kpts-II1990 tanggal 17 Nopember 1990 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 92Kpts-II1990
tentang Penunjukkan Perairan Pantai di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang yang Terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Barat Seluas ± 683 ha sebagai Cagar Alam laut BBKSDA 2007. Intensitas pengelolaan cagar alam secara umum relatif lebih rendah jika dibandingkan
dengan taman nasional. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengelola, kelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan dan alokasi anggarannya.
Kawasan Cagar Alam leuweung Sancang merupakan salah satu cagar alam yang memiliki keanekaragaman hayati sangat penting dan sebagai salah satu
keterwakilan ekosistem dataran rendah yang kaya akan jenis flora dan fauna di Pulau Jawa. Salah satu jenis yang dikelola adalah banteng yang saat ini telah
dinyatakan punah. Kepunahan banteng tersebut perlu suatu kajian mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab kepunahannya, seperti kondisi populasi,
penyebaran, habitat, kegiatan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan sistem pengelolaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang sehingga dapat
merumuskan faktor- faktor penyebab kepunahan banteng tersebut. Kajian terhadap kepunahan ini sangat penting sebagai pembelajaran bagi pengelolaan
populasi banteng di kawasan konservasi lainnya agar tidak mengalami hal yang sama.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang dilakukan melalui kajian
terhadap: 1.
Perkembangan populasi, penyebaran dan habitat banteng dari waktu ke waktu. 2.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan. 3.
Kondisi pengelolaan kawasan.
1.3 Manfaat
Manfaat penelitian ini antara lain: 1.
Memperkaya ilmu pengetahuan faktor-faktor penyebab kepunahan suatu spesies dan memperoleh suatu pembelajaran mengenai faktor-faktor penyebab
kepunahan banteng sehingga dapat dikembangkan untuk konservasi banteng maupun spesies lainnya.
2. Merekomendasikan pentingnya dilakukan rehabilitasi habitat agar lebih
mendukung populasi di dalam kawasan konservasinya. 3.
Menjadi rujukan pengelolaan banteng dan habitatnya sehingga keberadaan populasi banteng tetap lestari.
1.4 Kerangka Pemikiran
Soemarwoto 1997 menyatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan oleh pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia yang sangat tinggi sehingga
menyebabkan kerusakan habitat akibat adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nursahid 1999 menambahkan
bahwa kegiatan manusia tersebut, yaitu pertambangan, perburuan, pertanian, perumahan hingga industri. Indrawan et al. 2007 menambahkan bahwa selain
kegiatan manusia tersebut juga diakibatkan adanya invasi spesies-spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktor-faktor tersebut.
Alikodra 2010 menyatakan bahwa faktor utama penyebab kepunahan adalah penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak terkendali, dan
pencemaran lingkungan. Kepunahan tersebut akan terjadi pada suatu spesies jika populasi spesies tersebut telah mengalami pengurangan jumlah yang sangat tajam
dan menyebabkan kematian. Alikodra 2002 menyatakan bahwa kematian pada spesies disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keadaan alam, kecelakaan,
perkelahian, dan adanya aktivitas manusia.
Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa populasi banteng di Indonesia tertekan oleh kerusakan habitat dan tidak terkontrolnya perburuan. Alikodra
1983 menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon disebabkan penurunan jumlah dan luas kawasan padang penggembalaan,
adanya pemangsaan yang intensif terutama terhadap anak banteng dan angka kelahiran yang rendah dan kematian banteng yang disebabkan oleh penyakit,
parasit, diburu, kaeracunan, pemangsaan dan mati karena umur tua. MacKinnon et al. 1990 menyatakan bahwa untuk mencegah kepunahan
suatu spesies yang berada di dalam cagar diperlukan suatu pengelolaan yang intensif dan dilakukan secara berkala, seperti kegiatan monitoring habitat,
pengamanan kawasan, penyuluhan masyarakat dan sebagainya. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut diperkirakan mempengaruhi terhadap keberadaan populasi
banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, sehingga penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis kondisi habitat, sosial ekonomi
masyarakat dan pengelolaan kawasan. Hal demikian dilakukan agar dapat merumuskan faktor-faktor penyebab kepunahan banteng yang dapat
merekomendasikan pengelolaan banteng dan pengelolaan kawasan yang merupakan habitat banteng di kawasan konservasi lainnya sehingga keberadaan
banteng akan tetap lestari. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran studi kepunahan banteng di Cagar
Alam Leuweung Sancang Modifikasi dari Hoogerwerf 1970; Alikodra 1983, 2010; MacKinnon et al. 1990; Nursahid 1999;
Soemarwoto 2004; Indrawan et al. 2007.
Kepunahan Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang
Kondisi Ekologis
Aktivitas Masyarakat
- Habitat pakan, air,
pelindungcover -
Populasi Penyebaran
- Jejak Banteng
- Pendapatan
- Persepsi terhadap
keberadaan banteng dan keberadaan
kawasan -
Interaksi Pengelolaan
Kawasan
- Kualitas Sumber Daya
Manusia -
Status Tata Batas Kawasan
- Kegiatan Patroli
Monitoring dan Patroli
Populasi dan Penyebaran Banteng
Rekomendasi Pengelolaan
Habitat Banteng
Merumuskan Faktor Penyebab Kepunahan Banteng
Analisis GIS, Analisis Kualitatif dan Analisis
Kuantitatif
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Banteng
2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng
Menurut Lekagul dan McNeely 1977 banteng diklasifikasikan ke dalam dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, Famili
Bovidae, genus Bos, spesies Bos Javanicus, subspesies Bos javanicus javanicus terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di
Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina. Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih
tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya dan memiliki tinggi pundak mencapai 120-170 cm. Bagian dada banteng memiliki gelambir yang dimulai dari pangkal
kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan Lekagul dan McNeely 1977. Maryanto et al. 2008 menyatakan bahwa bentuk
tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan, tinggi jantan mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m
dengan bobot badan 635 kg. Lekagul dan McNeely 1977 menyatakan bahwa banteng jantan berwarna
hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya, sedangkan banteng betina berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya
akan semakin gelap menjadi coklat tua. Alikodra 1983 dan Maryanto et al. 2008 juga menambahkan bahwa banteng memiliki sepasang tanduk yang dapat
membedakan jenis kelamin dan umur banteng, tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan
pada banteng betina memiliki ukuran tanduk yang lebih kecil.
2.1.2 Populasi dan Penyebaran
Tarumingkeng 1994 menyatakan bahwa populasi adalah kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies atau
kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan, dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata
ruang tertentu. Begon et al. 2006 menyatakan bahwa populasi adalah organisme
yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakkan pada waktu dan tempat yang sama dan menghasilkan
keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi banteng di Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perburuan dan aktivitas
manusia sekitar habitat banteng sehingga mempengaruhi keberadaan populasi banteng.
Imron et al. 2007 mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng
lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah. Suhadi 2009 dan Pudyatmoko et al. 2007 menyatakan bahwa populasi banteng di
Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006 mengalami penurunan disebabkan tingginya aktivitas manusia, kurang stabilnya
ketersediaan rumput di padang penggembalan Bekol dan adanya predator. Mardi 1995 dan Subroto 1996 menyatakan bahwa penurunan populasi
banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena rusaknya padang penggembalaan. Jenuyanti 2002 menambahkan bahwa penurunan
tersebut diakibatkan telah berubah fungsinya padang penggembalaan menjadi ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan
banteng, sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar. Penurunan populasi banteng di
Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang
Tahun Jumlah
Sumber
1988 200
Ashby dan Santiapillai 1988 2000
10 Kompas 28 Nov 2003
2003 Punah
Kompas 28 Nov 2003 Sumber: Permenhut No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng
2011-2020
Hoogerwerf 1970 mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng meliputi Burma, Thai, Indocina, Semenanjung Malaya dan Indonesia Kalimantan
dan jawa dan memperkirakan bahwa populasi banteng sekitar pada tahun 1940 sekitar 2000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di
dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut dari tahun ke tahun terus