Penyuluhan dalam kehutanan merupakan suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk mempengaruhi komponen perilaku seseorang ke arah yang
dikehendaki melalui kesepakatan, komunikasi dan difusi dengan jalan menyediakan metode, prinsip dan filosofi kelestarian hutan dan sumber daya alam
yang berada di sekitarnya sebagai hasil dari keterlibatan proses belajar mengajar antara sasaran dan pengajar. MacKinnon et al. 1990 menyatakan bahwa kegiatan
penyuluhan merupakan spesialisasi untuk hubungan dengan masyarakat dan bertanggung jawab atas pembuatan konsep dan penyajian informasi mengenai
keseluruhan program cagar alam bagi masyarakat umum, terutama yang berada di luar cagar alam agar terjalin komunikasi yang jelas antara masyarakat dan
instansilembaga yang terkait.
5.3.5 Permasalahan dan Ganguan dalam Pengelolaan
Beberapa permasalahan yang ada di dalam pengelolaan Cagar Alam Leuweung Sancang yang pernah terjadi dan permasalahan yang ada sampai saat
ini antara lain:
1. Tumpang tindih kawasan dengan PTPN VIII Mira Mare
Jenuyanti 2002 menyatakan bahwa luas perkebunan pada tahun 1993 bertambah luas sebesar 45.25 dengan laju pertambahan sebesar 99.07 hatahun.
Pertambahan ini terjadi karena sebagian areal pencadangan yang tadinya masih berupa belukar tua telah dialih fungsikan menjadi areal perkebunan, baik yang
telah menjadi perkebunan karet 0.94 maupun yang masih dalam tahap pembukaan lahan. Hal ini baru mendapatkan solusi kerjasama untuk melakukan
tata batas pada tahun 2011.
2. Tumpang tindih kebijakan dengan pemerintahan setempat
Salah satunya contoh kasus yang terjadi, yaitu terdapat penambangan pasir besi di Blok Cihurang dan Cimerak dengan Surat Ijin Usaha Pertambangan
SIUP melalui Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan SDAP pemerintah Kabupaten Garut dengan No. 541.231644SDAP2004 tanggal 26 November
2004 kepada PT Asgarindo Prima Utama seluas 2500 ha yang disetujui oleh Badan Pertahanan Nasional setempat. Pihak SDAP mengklaim dikeluarkannya
SIUP tersebut sesuai prosedur dan berdasarkan rekomendasi dari Camat Cibalong dan Pameungpeuk serta peninjauan tim SDAP. Selain itu, Kabupaten Garut
membantah bahwa ijin eksplorasi karena kawasan tersebut sebagian besar sudah menjadi pemukiman penduduk sekitarnya, yang sudah tidak layak disebut
kawasan cagar alam. Kabupaten Garut 2005; Anonim 2007. Pihak PT Asgarindo pun mengklaim bahwa eksplorasi tersebut tidak akan
berdampak terhadap lingkungan dikarenakan eksplorasi dilakukan sebatas pengambilan sampel dengan jarak 1 m x 1 km tiap titik pengambilan sampel.
Pengambilannya pun dengan mesin digerakkan diesel berdaya 16 PK dan pipa seukuran satu inci. Sampel diambil hanya seberat satu kg per titik eksplorasi.
Tujuan ekplorasi tersebut sebagai penelitian, untuk menentukan kadar deposit pasir besi, bentuk pengolahannya, dan titik transporasi pengangkutan pasir besi
nantinya sehingga untuk menuju tahapan eksploitasi masih cukup lama karena mesti menempuh sejumlah prosedur, antara lain pembuatan izin Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL dengan rencana pembuatannya akan bekerjasama dengan lembaga penelitian Universitas Padjadjaran dan Universitas
Garut. Hal ini sangat bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan No. 682Kpts- II1990 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 92Kpts-II1990
tentang Penunjukkan Perairan Pantai di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang yang Terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Barat Seluas ± 683 ha sebagai Cagar Alam laut menyebutkan bahwa perairan pantai sekitar Sancang seluas 1150 ha termasuk cagar alam dan
diperlukan penyelesaian mengenai tumpang tindih kebijakan.
3. Interaksi masyarakat
Interaksi masyarakat seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan salah satu permasalahan yang belum dapat diselesaikan dari tahun 1980 sampai saat ini.
Hal ini dikarenakan masyarakat masih beranggapan bahwa Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan salah satu tempat yang sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, seperti mengambil hasil laut dan mengantarkan peziarah ke dalam kawasan. Hal ini mendorong masyarakat untuk
membuat akses ke dalam kawasan dengan menggunakan kendaraan bermotor
yang berawal dari permintaan para nelayan yang menangkap ikan dan hasil laut lainnya agar distribusi hasil tangkapannya lebih mudah dipasarkan dan mendapat
keuntungan yang cukup dengan kemudahan pendistribusian tersebut.
4. Kegiatan Pemusnahan amunisi senjata Tentara Nasional Indonesia TNI
Kegiatan pemusnahan amunisi senjata TNI ini terletak di blok Rancaherang yang berada di dalam kawasan cagar alam seluas 4 ha, berdasarkan Surat Menteri
Kehutanan No. 572Menhut-II1986 tanggal 20 Nopember 1986 tentang Ijin Penggunaan Kawasan seluas empat ha untuk areal peleburan amunisi. Kegiatan
ini dilaksanakan oleh instansi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI dari Langlangbuana, Kodam Metro Jaya, Kodam IV dan Kodam V yang dimulai
sejak tahun 1967. Biasanya dalam satu tahun terjadi satu kali peledakan selama satu bulan dengan jumlah amunisi yang diledakkan mencapai ± 450 ton.
Peledakan amunisi ini dengan cara dimasukkan ke dalam lubang yang telah dibuat kemudian dihancurkan dengan peledak.
Pengaruhnya adalah rusaknya vegetasi, lansekap dan menimbulkan suara dengan dentuman yang sangat tinggi yang dapat
menggaggu keberadaan banteng.
5.3.5 Pemberian SanksiHukum
Sanksihukum merupakan salah satu tindakan penegakan hukum. Penegakan hukum ini dapat dilakukan oleh instansi cagar alam sendiri danatau
mengembangkan hubungan kerja yang erat dengan badan nasional penegak hukum untuk mengawasi penyalahgunaan dalam kawasan yang dilindungi.
Pemberian sanksi diberikan kepada staf pengelola yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah diberikan oleh Kementerian
Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam provinsi. Pemberian hukuman kepada masayarakat yang melanggar atau
menyalahgunakan pertauran pengelolaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pernah dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan perburuan
banteng pada tahun 1980-1990 dan perambahan hutan penebangan kayu ilegal pada tahun 1993 dan 1998-2002. Sanksi yang diberikan berupa penahanan
langsung terhadap pelaku yang bekerjasama dengan pihak kepolisian setempat.
Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera agar tidak melakukan kembali kegiatannya, akan tetapi saat ini pemberian sanksinya hanya berupa teguran agar
tidak mengulangi. Padahal pemberian sanksi ini merupakan mata rantai terpenting bagi keberhasilan kegiatan pelestarian. Tidak adanya sanksi ini diperkirakan dapat
mempengaruhi interaksi masyarakat tinggi sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem kawasan, terutama kerusakan habitat banteng yang berakibat terjadi
penurunan populasi banteng setiap tahunnya dan berlanjut menuju kepunahan.
5.3.7 Mitra Kerja
Mitra kerja dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang saat ini belum terjalin dengan baik. Hal ini masih terlihat dari adanya tumpang
tindih mengenai kebijakan antara beberapa instansi pemerintahan setempat pemerintah Kabupaten Garut, seperti Dinas Perikanan yang seolah-olah
mendukung keberadaan kampung nelayan di dalam kawasan dan disetujuinya usulan bahwa sebagian kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang untuk dijadikan
sebagai daerah tujuan wisata Blok Cijeruk oleh Dinas Pariwisata. Adapun mitra kerja yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan dan tidak secara tertulis adalah
dengan pihak perkebunan Mira Mare, sehingga pada waktu keberadaan populasi banteng masih tinggi, yaitu pada tahun 1970-1980an dilakukan pemeliharaan
padang penggembalaan, pembuatan menara pengamatan untuk melihat dan memantau keberadaan banteng dan pengulangan tata batas kawasan. Kerjasama
lainnya yang terjalin sampai saat ini adalah dengan perguruan tinggi khususnya Institut Pertanian Bogor dalam pelaksanaan praktik pengenalan ekosistem hutan
yang dilaksanakan setiap tahun sekali, sehingga pihak pengelola kawasan memiliki data mengenai kondisi hutan cagar alam setiap tahunnya, sedangkan
dengan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat sampai saat ini masih belum terjalin. Keberadaan mitra dengan berbagai instansi atau lembaga lain, baik yang berada di
sekitar cagar alam maupun di luar kawasan seharusnya dapat terjalin sepanjang pengelolaan untuk tetap menjaga kelestarian banteng.
5.3.8 Upaya Penyelesaian Permasalahan
Upaya-upaya penyelesaian permasalahan yang telah dilakukan oleh pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang antara lain:
1. Penataan ulang tata batas dengan melibatkan semua pihak terkait seperti PTPN
VIII Mira Mare pada tahun 1971 diperoleh persetujuan dengan pihak perkebunan tentang penukaran wilayah cagar alam yang telah ditanami karet
dengan sebagian tanah perkebunan, tetapi penukaran belum dilaksanakan. 2.
Penataan ulang tata batas dengan melibatkan semua pihak terkait PTPN VIII Mira Mare dan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut yang dilakukan pada
tahun 2011. 3.
Salah satu bentuk usaha pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam membuat surat keberatan pada tanggal 9 Desember 2004 kepada pemerintahan
Kabupaten Garut dan Kementerian Kehutanan, sehingga kegiatan eksploitasi pasir tersebut dapat dihentikan.
4. Operasi wanalaga, rehabilitasi lahan dan sosialisasi.
Upaya ini dilakukan oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat pada tahun 2003 bersama dengan jajaran Kepolisisan Daerah Jawa
Barat, Kepolisian Resort Garut dan Perum Perhutani Unit III melaksanakan Operasi Wanalaga Lodaya 2003 dengan hasil dari operasi tersebut yaitu dapat
menghentikan seluruh aktivitas perambahan. Pada tahun ini sekaligus dilakukan upaya melakukan rehabilitasi melalui kegiatan DIKS-DR seluas 17
ha di Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu blok Ciporeang melalui kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GN-RHL seluas 200 ha.
Jenis tumbuhan dalam kegiatan rehabilitasi tersebut adalah jenis-jenis yang berada di dalam kawasan cagar alam sebelumnya seperti yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya. Sasaran utama sosialisasi yang dilakukan adalah kepada instansi terkait
seperti Pemerintah Daerah, Musyawarah Pimpinan Kecamatan, Musyawarah Pimpinan Daerah, bahkan tingkat propinsi. Selanjutnya di arahkan kepada para
pelajar, pemuda, masyarakat sekitar kawasan, tokoh-adat, dan lain sebagainya, sehingga dapat menyamakan visi dalam membangun dan mengamankan
kawasan konservasi. Hasil dari sosialisasi ini berupa ekspose tentang arti penting kawasan konservasi untuk sistem penyangga kehidupan.
5.4 Faktor Penentu Penyebab Kepunahan
Faktor penentu penyebab kepunahan banteng diperoleh dari hasil analisis ketiga kondisi Cagar Alam Leuweung Sancang yang mempengaruhi langsung
terhadap penurunan populasi banteng terdiri dari beberapa faktor, yaitu:
1. Luas padang penggembalaan
Semakin luas padang penggembalaan, maka ketersediaan pakan banteng dapat terpenuhi sehingga keberadaan populasinya akan tetap lestari, demikian
sebaliknya semakin berkurang luasan padang penggembalaan maka populasi banteng akan mengalami penurunan Gambar 11. Ketersediaan pakan bagi
banteng tergantung pada luas kualitas dari keberadaan pakan di padang pengembalaan atau luas secara alami atau luas awal penentuan padang
pengembalaan tersebut. Semakin luas padang penggembalaan yang dipelihara secara intensif, maka produktivitas pakan yang dihasilkan juga akan tinggi dan
ketersediaan pakan banteng akan tercukupi, demikian sebaliknya. Kurangnya luas padang penggembalaan dan rendahnya produktivitas pakan
telah mengakibatkan adanya persaingan, baik antara spesies banteng maupun antara spesies lain dan keluarnya banteng dari kawasan cagar alam serta
mengganggu areal perkebunan PTPN VIII Mira Mare dan kebun masyarakat di sekitarnya. Akibat penyebaran banteng ke luar kawasan tersebut telah
menimbulkan adanya persepsi negatif dari masyarakat bahwa banteng merupakan satwa hama karena telah merusak perkebunan mereka. Persepsi tersebut
mendorong masyarakat untuk mmeburu banteng agar tidak mengganggu perkebunannya.
Luas padang penggembalaan sangat berhubungan dengan luas dan bentuk kawasan karena semakin luas padang dan lebar bentuk kawasannnya, maka akan
luas pula padang penggembalaan yang akan dibuat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan.
Luas kawasan dan luas padang