Pelindung Cover The Extinction Factors Of Banteng (Bos Javanicus) In Leuweung Sancang Natural Reserve West Java

Gambar 7. Tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 2003 Luas tutupan lahan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup banteng terutama pakan adalah padang penggembalaan. Luas total awal 6 lokasi padang penggembalaan adalah 130 ha, akan tetapi pada tahun 1982-1983 mengalami pengurangan menjadi 24.84 ha, sehingga pada tahun 1984 dilakukan kegiatan pembukaan dan pemeliharaan kembali 6 padang penggembalaan tersebut untuk mengurangi pergerakan banteng ke luar kawasan karena adanya peningkatan populasi banteng yang mencapai 173 ekor pada tahun 1984, sehingga luas padang penggembalan menjadi 130 ha. Kondisi luasan padang penggembalaan tersebut tidak bertahan lama karena pada tahun 1988-1992 hanya dilakukan pemeliharan pada dua padang penggembalaan, yaitu blok Cijeruk 10 ha dan Cipalawah 30 ha, sehingga luas total padang penggembalaan menjadi 40 ha Subroto 1996. Luas total padang penggembalaan tersebut pada tahun 1993 mengalami penambahan menjadi 42 ha Jenuyanti 2002. Luas padang penggembalaan berdasarkan tutupan lahan tahun 1996 telah berubah menjadi areal pertanian blok Cijeruk, perkebunan blok Cipalawah dan Cipunaga, dan hutan lahan kering primer blok Ciporeang dan Cidahon, sedangkan pada tahun 2003 blok Cijeruk, Cipalawah, Cipunaga dan Cidahon merupakan kawasan rehabilitasi bekas perambahan melalui operasi wanalaga, sedangkan sebagian pada blok Ciporeang telah menjadi pemukiman atau gubuk-gubuk tempat tinggal nelayan. Perubahan tutupan lahan di Cagar Alam Leuweung Sancang terlihat diakibatkan karena adanya peralihan fungsi menjadi areal pertanian, perkebunan, pemukiman, maupun pembukaan lahan oleh masyarakat dan belum jelasnya tata batas antara kawasan cagar alam dengan pihak perkebunan PTPN VIII Mira Mare yang telah ada sejak tahun 1915 dengan luas 4057.08 ha. Adanya perubahan tutupan lahan ini diperkirakan dapat menjadi salah satu faktor atau gangguan terhadap penurunan populasi banteng.

5. Bentuk dan Luas Kawasan

Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberadaan banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang selain tutupan lahan adalah bentuk kawasan dan luas kawasan. Bentuk kawasan yang hampir membentuk persegi panjang memiliki tingkat kecepatan kepunahan spesies lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk lain, yaitu persegi dan bulat karena bentuk yang kompak dan teratur, misalnya lingkaran atau persegi empat, mempunyai garis keliling lebih kecil dari bentuk yang memanjang dan teratur mempunyai kementakan mengandung keanekaragaman jenis yang lebih besar MacKinnon et al. 1990; MacArrthur et al. 1963; Soemarwoto 2004 dan Indrawan et al. 2007. Kawasan Cagar Alam leuweung Sancang yang hanya memiliki luas sebesar 2 157 ha dapat mempengaruhi keberadaan dan pergerakan harian banteng di dalam kawasan tersebut karena banteng yang memiliki wilayah jelajah yang cukup luas. Alikodra 1983 dan Long 2003 menyatakan bahwa wilayah jelajah banteng, baik dalam keadaan berkelompok maupun soliter dapat mencapai 1-2 km, bahkan banteng tua yang soliter dapat mencapai 2-3.5 km. Dengan demikian, kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang jika dilihat dari wilayah jelajahnya yang diasumsikan sebagai jari-jari dalam sebuah lingkaran, sehingga digunakan rumus Πr² hanya dapat menampung kurang lebih 2-7 kelompok banteng dan ; 2157 ha = 21.57 km², sedangkan untuk kelompok banteng tua hanya dapat menampung kurang lebih 1 ekor . Satu kelompok banteng biasanya terdiri dari individu-individu jantan, betina dan anak-anaknya Alikodra 1983 maka jika diasumsikan 1 kelompok terdiri dari jantan, betina dan anak, luas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang hanya mampu menampung 6-24 ekor, terlebih jika dihitung dari luasan total kawasan padang penggembalaan 130 ha, maka daya tampung jelajah banteng kurang lebih hanya 1 kelompok banteng. Oleh karena itu, luasan seharusnya agar keberadaan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ketika populasinya masih ada diperlukan perluasan kawasan secara keseluruhan maupun padang penggembalaan untuk menampung populasi banteng yang tertinggi lihat Tabel 5, yaitu 173 ekor, maka penambahan luasnya sebesar 20.68 km² atau 2 086 ha x 173 ekor- 21.57 km². MacArrthur et al. 1963 dan Soemarwoto 1997 menyatakan bahwa luas dan bentuk kawasan sangat mempengaruhi terhadap keberadaan spesies di dalamnya termasuk banteng karena jika terdapat tekanangangguan dari luar kawasan, termasuk aktivitas manusia berdasarkan teori tepi dan teori pulau maka akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies di dalamnya dan mendorong banteng tersebut ke luar dari dalam kawasan untuk mencari tempat yang lebih aman dan menghindari terjadinya kompetisi antar kelompok banteng dalam memperoleh pakan dan air. Pergerakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang terbagi menjadi dua kategori, yaitu pergerakan harian dan pergerakan pada waktu tertentu. Subroto 1996 menyatakan bahwa contoh pergerakan harian yang dilakukan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang untuk memenuhi hidupnya adalah mencari pakan dari dalam kawasan cagar alam ke daerah PTPN VIII Mira Mare, sedangkan pergerakan pada waktu tertentu adalah pergerakan dari Sancang Timur yang meliputi blok Pos Bantarlimus dan daerah sekitar Cipadaruum, ke daerah Sancang Tengah, yaitu daerah sekitar Cipalawah, blok Meranti dan Blok Bekanta yang biasa dilakukan pada malam hari samapai menjelang pagi hari terutama saat bulan purnama untuk mencari pakan dan menghindari gangguan manusia.