meninggal karena diseruduk oleh banteng pada tahun 1980an dan beberapa orang luka serta adanya gangguan terhadap tanaman perkebunan milik masyarakat dan
PTPN VIII Mira Mare, sehingga dilakukan beberpa upaya pencegahan seperti yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya. Upaya pencegahan banteng
tersebut ada yang menyebabkan kematian banteng baik secara langsung maupun tidak langsung, akan tetapi masyarakat telah menemukan beberapa banteng yang
mati karena terluka dan terdapat bekas jeratan bahkan yang ditemukan hanya tulang belulang. Hal demikian dapat menyebabkan berkurangnya populasi
banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang.
5.2.4 Persepsi mengenai Banteng
Dyah 1983 menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang diinformasikan
kepadanya dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan diri dan lingkungannya. masyarakat terhadap segala aktivitas dalam kehidupannya.
Persepsi masyarakat yang berada di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, meliputi 1 status dan manfaat keberadaan banteng dan 2 pelestarian
banteng dan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Persentase persepsi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Persepsi masyarakat
Karakteristik Jumlah Orang
Persentase Persepsi mengenai banteng
1.
Status banteng
a. Dilindungi
b. Tidak dilindungi
2. Manfaat keberadaan banteng
a. Hama
b. Netral
3. Konservasi atau pelestarianbanteng
a. Perlu
b. Tidak perlu
4. Status kawasan
a. Bermanfaat
b. Netral
64 44
20 22
42 22
42 100
69 31
34 66
34 66
Mayoritas masyarakat telah mengetahui status banteng yang dilindungi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah yang harus dilestarikan keberadaannya,
akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa banteng merupakan salah satu jenis
satwa yang telah dikategorikan ke dalam status konservasi “Terancam Kepunahan” yang diakibatkan terjadinya penurunan populasinya.
Hal ini menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa banteng merupakan satwa bebas
yang dapat dimanfaatkan atau termasuk satwa yang dapat diburu, dan mereka tidak memiliki kesadaran untuk tetap melestarikan keberadaan banteng.
Sebagian besar masyarakat 69 berpendapat bahwa keberadan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan hama bagi perkebunan, baik milik
masyarakat maupun PTPN VIII Mira Mare. Banteng dianggap masyarakat
mengganggu kebun tanaman pisang dan tanaman yang berada di sekitar rumah masyarakat, sedangkan PTPN VIII Mira Mare mengganggap bahwa banteng
merusak dan memakan anakan tanaman karet dan kelapa hibrida. Sebagian masyarakat juga merasa takut dengan keberadaan banteng karena pernah dihalau
oleh banteng di tengah jalan. Persepsi lainnya masyarakat menganggap bahwa keberadaan banteng tidak terlalu mempengaruhi aktivitas dan kehidupannya
masyarakat sehari-hari atau dikatakan netral 31. Persepsi mengenai manfaat keberadaan banteng ini sangat mempengaruhi terhadap kelestarian populasi
banteng, karena jika masyarakat beranggapan negatif terhadap keberadaan banteng maka diperkirakan masyarakat akan berusaha untuk mencegah atau
mengurangi populasi banteng tersebut, begitu pun sebaliknya. Persepsi masyarakat mengenai pelestarian banteng di kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang pada umunya 66 beranggapan bahwa banteng tidak perlu dilestarikan, sedangkan sebagian masyarakat 34 beranggapan bahwa banteng
perlu dilestarikan keberadaannya. Persepsi masyarakat yang menyatakan tidak
perlunya pelestarian terhadap keberadaan banteng merupakan masyarakat yang beranggapan bahwa banteng adalah pengganggu aktivitas manusia dan hama
perkebunan serta beranggapan bahwa jika banteng dilestarikan dikhawatirkan kawasan hutan Cagar Alam Leuweung Sancang akan mengalami kerusakan
kembali dengan adanya perambahan dan intensitas masyarakat masuk kawasan yang tinggi. Persepsi masyarakat yang mendukung pentingnya keberadaan
banteng untuk dilestarikan mengemukakan bahwa perlunya kegiatan reintroduksi atau pengadaan kembali banteng dengan cara mendatangkan banteng dari habitat
lain karena keberadaannya dapat dijadikan sebagai objek wisata maupun sebagai warisan pengetahuan bagi generasi muda berikutnya.
Status dan keberadaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang menurut sebagian besar masyarakat 66 berpendapat bahwa keberadan kawasan tersebut
tidak terlalu mempengaruhi aktivitas dan kehidupannya masyarakat sehari- harinya, sedangkan sebagian masyarakat 34 beranggapan bahwa keberadaan
status kawasan sebagai kawasan konservasi sangat bermanfaat untuk melestarikan segala komponen ekosistem didalamnya termasuk kelestarian banteng. Persepsi
mengenai status kawasan ini dapat mempengaruhi terhadap kelestarian populasi banteng dan komponen ekosistem lain di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung
Sancang, karena jika masyarakat beranggapan negatif terhadap status kawasan, maka diperkirakan masyarakat akan tetap berusaha melakukan perambahan atau
pengambilan sumber daya yang ada di dalam kawasan, seperti pengambilan satwa khususnya burung untuk diperjualbelikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, begitu pun sebaliknya.
5.2.5 Interaksi terhadap kawasan
Alikodra 1993 menyebutkan bahwa selain adanya bencana alam, berubahnya kondisi ekologi atau habitat banteng disebabkan oleh kegiatan-
kegiatan manusia. Interaksi atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dilihat dari uraian pekerjaan dan hasil
analisis di lokasi penelitian tersebut terdiri dari beberapa kegiatan, seperti perburuan atau pengambilan satwa, perambahan, pemukiman, penangkapan hasil
laut dan penggembalaan ternak. Kegiatan ini sangat berkaitan dengan penggunaan lahan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.
Bakosurtanal 2007 menyebutkan bahwa penggunaan lahan termasuk ke dalam komponen sosial budaya karena penggunaan lahan mencerminkan hasil
kegiatan manusia atas lahan serta statusnya. Adanya aktivitas manusia dalam
menjalankan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutupan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi
apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan, karena dalam
kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan.
Subiyakto 1990 menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola
sumber daya alam, khususnya lahan. Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak pada masyarakat dan kondisi lingkungannya sehingga akan
terjadi penyesuaian sistem sosial pada pemanfaatan alam, khususnya lahan. Interaksi masyarakat di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, antara
lain:
1. Pengambilan hasil laut
Pengambilan hasil laut yang dilakukan oleh masyarakat meliputi rumput laut, kerang-kerangan, ikan hias dan ikan konsumsi serta berbagai jenis udang.
Aktivitas melaut ini telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahu 1960an mulai dari pengambilan secara sederhana seperti menggunakan pancing, jaring hingga
menggunakan perahu seperti yang ada sampai saat ini. Jumlah perahu di seluruh lokasi yang ada pada saat penelitian ± 24 buah yang diperoleh dari Dinas
Perikanan setempat. Lokasi atau blok pengambilan hasil laut berada di daerah antara muara Sungai Cipangikisan hingga muara Cikolomberan, muara
Cikabodasan, Cipunaga dan Ciporeang sampai Cipanglemuan. Kegiatan pengambilan hasil laut selain pada musim barat dilakukan hampir
setiap hari dari pagi sampai malam hari karena masyarakat nelayan bahwa pada musim tersebut aman dan dapat menghasilkan banyak tangkapannya. Hal ini
berbeda dengan melaut pada musim barat yang kondisi angin dan gelombang lautnya tidak stabil dan diperkirakan dapat membahayakan keselamatan nelayan
serta ikan, udang dan lainnya pada musim tersebut sangat sedikit, sehingga para nelayan cenderung hanya mengolah rumput laut mereka yang telah diperoleh
sebelumnya untuk segera dijual kepada pengepul. Kegiatan melaut masyarakat juga didukung dengan adanya akses atau jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan
bermotor yang terhubung sampai pada lokasi pengambilan hasil laut tersebut, sehingga masyarakat nelayan mendapatkan kemudahan untuk langsung
mendistribusikan hasil laut mereka ke tampat pelelangan untuk menjual hasil laut tersebut.
Aktivitas keluar dan masuknya kendaraan bermotor tersebut diduga dapat mengganggu keberadaan dan aktivitas banteng didalamnya sehingga banteng
memilih dan menyebar ke kawasan yang lebih aman termasuk ke luar kawasan perkebunan PTPN VIII Mira Mare, sehingga hal ini merupakan salah satu
penyebab berkurangnya kehadiran banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dikarenakan banteng memiliki tingkat kepekaan tinggi
terhadap keberadaan predator termasuk manusia. Kondisi seperti ini terjadi pada pengukuran populasi di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak
yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah Imron et al. 2007.
2. Pemukiman
Pemukiman di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari pemukiman permanen dan semi permanen. Pemukiman permanen terdapat di
Kampung Cihurang dan Cimerak, Desa Karyamukti. Pemukiman ini berawal dari gubuk-gubuk menjadi semi permanen dan pemukiman permanen. SSKSDA
1995 menyatakan bahwa pemukiman di blok Cihurang pada tahun 1976 terdapat 30 Kepala Keluarga pada tanah seluas 25 ha, sedangkan lebih rincinya mengenai
penggunaan lahan tersebut dapat dijelaskan pada sub bab permabahan. Penggarapan lahan secara umum oleh masyarakat diakibatkan oleh
ketidakjelasan dan perbedaan persepsi antara para pihak mengenai tata batas kawasan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam III Bogor menyatakan bahwa awal
terjadinya pemukiman terjadi pada bulan Juni tahun 1985 ketika dilakukan rekontruksi tanah batas pada tahun 1988. Saat itu Kepala Desa Maroko beserta
petugas dari Sub Dit. Agraria beranggapan bahwa patok batas PA 230-291 adalah tanah negara yang diserahkan kepada masyarakat bekas PTP XIII saat ini PTPN
VIII Mira Mare sehingga penataan batas terlambat. Akibat dari kejadian tersebut maka terjadilah penggarapan liar tersebut seluas ± 33.7910 ha yang
dijadikan areal kebun dan perumahan penduduk sebanyak 38 Kepala Keluarga.
Saat ini blok sengketa tersebut dikenal dengan nama blok Plang atau Kampung Sukalaksana atau Kampung Sancang, Desa Sancang dan telah
mengalami penambahan jumlah penduduk, yaitu mencapai 56 Kepala Keluarga.
Pemukiman juga terdapat di dalam kawasan berupa gubuk-gubuk liar atau tempat tinggal yang atapnya terbuat dari daun kelapa, sedangkan dinding dan tiang
penyangganya dari bambu, yaitu di sepanjang pantai selatan cagar alam dari muara Sungai Cipangikisan sampai Cipalemuan Gambar 8.
Gambar 8. Contoh gubuk-gubuk liar di blok Ciporeang Gubuk-gubuk tersebut pada tahun 1997 tercatat sebanyak 94 gubuk liar
yang tersebar di 9 lokasi, akan tetapi setahun kemudian tahun 1998 jumlah gubuk mulai bertambah mencapai ratusan. Pertambahan keberadaan gubuk-gubuk ini
berhasil ditekan oleh operasi Lodaya yang dilakukan oleh pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang, sehingga pada tahun 2006 keberadaan gubuk mulai
berkurang menjadi 87 gubuk. Penurunan jumlah gubuk tersebut tidak bertahan lama, sehingga pada tahun 2011 bertambah kembali mendekati jumlah gubuk
pada tahun 1997, yaitu 93 gubuk. Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang
Lokasi Jumlah Gubuk
1997 Mustari 2007
2006 Mustari 2007
2011
Cipangikisan 10
6 11
Cikabodasan 10
7 11
Cetut 3
4 4
Cikolomberan 30
29 23
Cipunaga 9
9 9
Cibako 6
6 11
Ciporeang 12
12 10
Karang Jambe 3
3 3
Cipalemuan 11
11 11
Jumlah 94
87 93