; 2157 ha = 21.57 km², sedangkan untuk kelompok banteng tua hanya dapat menampung kurang lebih 1 ekor
. Satu kelompok banteng biasanya terdiri dari individu-individu jantan, betina
dan anak-anaknya Alikodra 1983 maka jika diasumsikan 1 kelompok terdiri dari jantan, betina dan anak, luas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang hanya
mampu menampung 6-24 ekor, terlebih jika dihitung dari luasan total kawasan padang penggembalaan 130 ha, maka daya tampung jelajah banteng kurang
lebih hanya 1 kelompok banteng. Oleh karena itu, luasan seharusnya agar keberadaan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ketika populasinya masih
ada diperlukan perluasan kawasan secara keseluruhan maupun padang penggembalaan untuk menampung populasi banteng yang tertinggi lihat Tabel
5, yaitu 173 ekor, maka penambahan luasnya sebesar 20.68 km² atau 2 086 ha x 173 ekor- 21.57 km².
MacArrthur et al. 1963 dan Soemarwoto 1997 menyatakan bahwa luas dan bentuk kawasan sangat mempengaruhi terhadap keberadaan spesies di
dalamnya termasuk banteng karena jika terdapat tekanangangguan dari luar kawasan, termasuk aktivitas manusia berdasarkan teori tepi dan teori pulau maka
akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies di dalamnya dan mendorong banteng tersebut ke luar dari dalam kawasan untuk mencari tempat
yang lebih aman dan menghindari terjadinya kompetisi antar kelompok banteng dalam memperoleh pakan dan air. Pergerakan banteng di Cagar Alam Leuweung
Sancang terbagi menjadi dua kategori, yaitu pergerakan harian dan pergerakan pada waktu tertentu. Subroto 1996 menyatakan bahwa contoh pergerakan harian
yang dilakukan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang untuk memenuhi hidupnya adalah mencari pakan dari dalam kawasan cagar alam ke daerah PTPN
VIII Mira Mare, sedangkan pergerakan pada waktu tertentu adalah pergerakan dari Sancang Timur yang meliputi blok Pos Bantarlimus dan daerah sekitar
Cipadaruum, ke daerah Sancang Tengah, yaitu daerah sekitar Cipalawah, blok Meranti dan Blok Bekanta yang biasa dilakukan pada malam hari samapai
menjelang pagi hari terutama saat bulan purnama untuk mencari pakan dan menghindari gangguan manusia.
MacKinnon et al. 1990 menyatakan bahwa jumlah spesies yang dapat dipertahankan suatu cagar pada tingkat keseimbangan akan bergantung pada
ukuran, jarak ke kawasan lain yang sama habitatnya dan kemampuan penyebaran spesies tersebut, sehingga jika kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang akan
dipertahankan sebagai habitat banteng dengan cara diadakan kegiatan reintroduksi banteng dari habitat banteng yang hampir memiliki kesamaan baik secara
geografis maupun biotik dan abiotik kawasan, seperti banteng yang berada di Taman Nasional Ujung Kulon, maka diperlukan penambahan kawasan penyangga
yang dapat mendukung keberadaan atau kelangsungan hidup banteng jika terdapat gangguan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kawasan
penyangga tersebut dapat bekerjasama dengan kawasan perkebunan yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu
PTPN VIII Mira Mare untuk bekerjasama menjaga dan melestarikan keberadaan banteng dengan cara kegiatan ekowisata banteng atau kegiatan lainnya, sehingga
para pihak termasuk masyarakat yang berada di sekitar kawasan dapat dilibatkan secara langsung dalam kegiatan tersebut dan diharapkan dapat mengurangi
interaksi masyarakat ke dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.
5.1.3 Daya Dukung Kawasan
Daya dukung banteng didalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diperoleh dengan membandingkan dengan nilai produktivitas padang
penggembalaan di Taman Nasional Ujung Kulon. Hal ini dilakukan karena Cagar Alam Leuweung Sancang tidak memiliki data yang lengkap mengenai
produktivitas rumput secara berkala dan pada saat penelitian tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran produktivitas rumput karena kondisinya yang telah
menjadi semak belukar dan hutan sekunder Tabel 7, sehingga dilakukan perbandingan dengan kawasan yang memiliki kondisi ekologi hampir mirip
dengan Cagar Alam Leuweung Sancang. Taman Nasional Ujung Kulon berdasarkan kondisi biofisik kawasan dan
iklim mikro memiliki beberapa persamaan dengan Cagar Alam Leuweung Sancang, antara lain: kondisi topografi kawasan yang sama, yaitu kombinasi
dataran landai dan perbukitan, klasifikasi iklim berdasarkan Schmidt dan
Ferguson termasuk ke dalam tipe iklim B, yaitu tipe basah dengan nilai Q Quontient sebesar 24.19 dimana Q adalah persentase perbandingan antara
rata-rata jumlah bulan kering dengan rat-rata bulan basah, dengan temperatur udara berkisar 25-30°C dan data curah hujan kawasan adalah 1500-3500
mmtahun Renstra 2010. Iklim mikro ini merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk banteng,
sehingga berpengaruh terhadap perilaku dan ukuran tubuh satwaliar Alikodra 2002.
Banteng secara normal akan memakan hijauan setinggi 13 bagian dari pucuknya dan pertumbuhan yang diperlukan oleh rumput setelah dimakan banteng
untuk mencapai kondisi sebelum dimakan banteng adalah 5 hari Widyatna 1982, oleh karena itu untuk menghitung produktivitas banteng diperlukan perlakuan
pemotongan terhadap rumput yang dimakan oleh banteng tersebut. Kebutuhan makan banteng rata-rata per hari adalah 24.67 kg, sehingga daya dukung banteng
di padang penggembalaan adalah 2-3 ekorha Alikodra 1983, maka daya dukung di enam lokasi padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang dengan
luas total 130 ha dapat diasumsikan bahwa daya dukungnya adalah 130 ha x 2-3 ekorha = 260-390 ekor. Daya dukung banteng ini akan berbeda jika dihitung
berdasarkan daya dukung di Cijungkulon yang memiliki luas 15 ha adalah 17 ekor Dharmakalih 1997, maka daya dukung di Cagar Alam Leuweung Sancang
adalah x 17 ekor = 147 ekor.
Populasi banteng tertinggi pada Tabel 5 terjadi pada tahun 1984 sebanyak 173 ekor, maka daya dukung banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang jika
dibandingkan dengan pendapat Alikodra 1983 masih dalam kondisi normal. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pendapat Dharmakalih 1997 bahwa terjadi
over populasi karena melebihi daya dukungnya, yaitu sebanyak 26 ekor 173-147
ekor.
5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan 5.2.1 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga mempengaruhi terhadap keberadaan
banteng karena dengan banyaknya jumlah penduduk di sekitar kawasan cagar alam dikhawatirkan akan mendorong masuk ke dalam kawasan semakin tinggi,
sehingga mengancam keberadaan banteng baik dari segi populasi maupun habitatnya.
Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1993 jumlah penduduk mencapai 12300 jiwa mengakibatkan luas tutupan lahan perkebunan mencapai 738.34 ha
dan rusaknya padang penggembalaan serta populasi mengalami penurunan dari tahun 1984 sebanyak 173 ekor menjadi 64 ekor pada tahun 1992 bahkan pada
tahun 2003 telah dinyatakan punah atau tidak ditemukan lagi. Jumlah penduduk di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 9.
Keberadaan masyarakat di sekitar habitat banteng sangat menentukan terhadap keberadaan banteng. Imron et al. 2007 mengukur populasi banteng di
Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusia
lebih rendah. Suhadi 2009 dan Pudyatmoko et al. 2007 menambahkan bahwa populasi banteng di Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun
2003 sampai 2006 mengalami penurunan yang disebabkan tingginya aktivitas manusia.
Tabel 9 Jumlah penduduk sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang
No. Desa
Jumlah Penduduk Jiwa 1993
1994 1996
2011
1 Karyamukti
3497 3520
4208 3196
2 Sagara
3676 3835
3912 6029
3 Sancang
5127 5108
5863 6519
Jumlah
12300 12463 13983 15744
Sumber : Monografi Desa-desa di Kecamatan Cibalong Tahun 1993, 1994, 1996 dan 2011
5.2.2 Karakteristik Masyarakat
Karakteristik adalah sifat-sifat yang melekat dan dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungan hidup. Karakteristik
masyarakat sangat penting diketahui untuk menentukan hubungan antara
keberadaaan masyarakat dengan kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Karakteristik masyarakat diketahui dari hasil wawancara
secara mendalam dengan jumlah responden sebanyak 64 orang .
Karakteristik yang diamati meliputi umur, asal, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan Tabel
10. Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Cagar Alam Leuweung Sancang
Karakteristik Jumlah Orang
Persentase 1.
Asal
a. Desa Sancang
b. Desa Karyamukti
c. Cibalong
d. Pameungpeuk
52 1
5 6
81 2
8 9
2. Kelas umur
a. 40 tahun
b. 40-50 tahun
c. 50-60 tahun
d. 60-70 tahun
e. 70 tahun
4 26
13 15
6
6 41
20 24
9
e.
3. Tingkat Pendidikan
a. SD
b. SMPsederajat
c. SMAsederajat
60 2
2 94
3 3
4. Pekerjaan
a. Nelayan
b. Petani
c. Juru kunci
d. Pedagang
e. Pensiunan PPA
f. Pensiunan
47 6
8 1
1 1
73 9
12 2
2 2
5. Pendapatan rata-rata per bulan
a. Rp. 500000,-
b. Rp. 500000 – 1000000,-
Rp. 1.000.000,- 2
54 8
3 84
13
Mayoritas responden berasal dari Desa Sancang 81 yang merupakan masyarakat asli dari daerah sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang
telah tinggal semenjak tahun 1960an dan berinteraksi langsung dengan keberadaan banteng. Desa Sancang khususnya blok Plang merupakan salah satu
kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang dirambah menjadi pemukiman dan perkebunan masyarakat dengan luas ± 33.7910 ha SSKSDA Garut 1995.
Kampung Sancang atau yang dikenal dengan blok Plang juga memberikan kemudahan akses untuk masuk ke dalam kawasan cagar alam, baik untuk