4. Perambahan
Perambahan ditandai dengan adanya penebangan liar dan pengambilan kayu secara besar-besaran yang terjadi sekitar tahun 1998-2002 dengan total kerusakan
seluas 1725.6 ha atau sekitar 80 dari total daratan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang Anonim 2000.
Penebangan liar awalnya hanya dilakukan di daerah yang sulit dijangkau dan tersembunyi, yaitu blok Cibunigeulis,
Cipangikisan dan blok 20 yang digunakan untuk kayu pertukangan atau diperdagangkan SBKSDA II 1993b. Kegiatan perambahan ini berdasarkan
informasi masyarakat didorong karena adanya krisis moneter yang membolehkan segala cara termasuk perambahan hutan.
Awal terjadinya perambahan dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari luar kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang, yaitu daerah Pameungpeuk dan sekitarnya bahkan ada yang berasal dari daerah Tasikmalaya melakukan penebangan terhadap kayu-kayu yang
berada di dalam kawasan cagar alam, sehingga masyarakat sekitar kawasan tidak dapat menerima kondisi tersebut dan beranggapan bahwa yang berhak melakukan
penebangan kayu di dalam kawasan adalah masyarakat sekitar yang telah menjaga hutan tersebut.
Hasil inventarisasi SBKSDA Jabar II tahun 1994 bahwa sebelum terjadi perambahan pada tahun 1998-2002 tersebut, perambahan dan penyerobotan
yang telah dilakukan oleh masyarakat, baik yang digunakan sawah, ladang dan pemukiman seluruhnya dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Perambahan dan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh masyarakat
Lokasi Penggunaan Lahan Ha
Sawah Pemukiman dan Ladang
Jumlah
Cimerak 11.68
6.87 18.55
Cihurang 8.024
17.073 25.097
PlangSancang 5.13
31.40 36.53
Total 24.834
55.343 80.177
Kegiatan perambahan yang terjadi di Cagar Alam Leuweung Sancang sangat mempengaruhi luas habitat yang digunakan oleh satwa di dalamnya
menjadi berkurang dan mengurangi ketersediaan pakannya terutama satwa herbivora, seperti banteng. Alikodra 1993 menyatakan bahwa dampak dari
adanya perambahan pada suatu kawasan dapat menyebabkan berubahnya penyebaran dan kelimpahan pakan satwa, berubahnya iklim mikro dan
berkurangnya tempat berkembangbiak dan berlindung. Kondisi demikian
diperlukan tata batas kawasan yang jelas, sehingga memiliki kejelasan lahan yang dapat digunakan atau digarap oleh masyarakat, selain itu melakukan pendekatan
terhadap masyarakat agar menjaga kelestarian cagar alam tersebut.
5. Perburuan satwa
Perburuan dilakukan oleh sebagian masyarakat, baik yang berada di sekitar maupun luar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Tujuan pengambilan
satwa ini adalah untuk barang awetan, hewan peliharaan dan diperjualbelikan. Jenis satwa yang digunakan sebagai barang awetan merupakan satwa yang
dilindungi, seperti rusa Cervus timorensis, kucing hutan Felis benghalensis, jelarang Ratufa bicolor, penyu sisik Eretmochelys olivaceae dan penyu lekang
Lepidochelys olivaceae SBKSDA II 1991. Kegiatan perburuan dilakukan dengan cara pemasangan jerat, seperti
informasi yang diberikan oleh pelaku pengambilan satwa burung yang dijumpai pada saat penelitian di jalan patroli menuju tempat peziarah. Pengambilan burung
ini dilakukan oleh dua orang dengan pemasangan jerat terlebih dahulu dan beberapa hari kemudian satu orang akan melakukan pemeriksaan terhadap jerat
tersebut apakah dapat menangkap burung atau tidak. Jika pemasangan jeratnya berhasil, maka burung hasil tangkapannya dimasukkan ke dalam sangkar yang
ditutupi kain dan dipasang di jok belakang kendaraan roda dua Gambar 9a. Kegiatan pengambilan satwa lainnya dilakukan dengan cara perburuan.
Selama penelitian terjadi satu kali perjumpaan dengan kelompok pemburu yang akan masuk ke dalam kawasan dengan menggunakan kendaraan roda empat
dengan perlengkapan senapan angin. Pemburu tersebut terdiri dari dua orang yang masuk ke dalam kawasan melalui blok Cipadaruum melewati Kampung Cibalieur,
Desa Sancang. Mereka mengaku bahwa akan berburu babi hutan yang berada di luar batas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang mengganggu tanaman
perkebunan PTPN VIII Mira Mare Gambar 9b. Pemburu tersebut menyatakan bahwa kegiatan berburu di sekitar kawasan
Cagar Alam Leuweung Sancang telah dilakukan sejak tahun 1980an dengan beberapa kelompok lainnya dari Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia
Perbakin. Kegiatan pengambilan dan perburuan satwa yang terjadi dari tahun