c. Sifat Kimia
Pasaribu dan Roliadi 1990 menyatakan bahwa komponen kimia yang dikandung kayu mangium, baik yang berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman tidak ideal
untuk pulp bila ditinjau dari kandungan kimianya. Menurut klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia Anonim, 1976, kelompok akasia dari spesies A. auriculiformis A.cunn
dan A. decurrens Willd termasuk kelompok tinggi 45 dalam hal kandungan selolusa, kadar lignin dan pentosan rendah 18-21, sedangkan zat ekstraktif dan kadar abu
tergolong tinggi 3–6. Perbedaan umur pohon memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komposisi
kimia kayu. Kadar selulosa, lignin, kelarutan dalam alkohol-benzena dan air dingin, secara umum menunjukkan kecenderungan menurun dengan bertambahnya umur pohon
sedangkan kadar pentosan cenderung meningkat. Untuk kadar abu, silika, kelarutan dalam NaOH 1 dan air panas, memberikan respon yang berfluktuatif dengan
bertambahnya umur tanaman. Berdasarkan penelitian Muladi 1996, kandungan komponen kimia kayu Akasia
yang berumur 12 tahun sebesar 73,9 holoselulosa, 53,8 selulosa, lignin sebesar 26,6 dan ekstraktif yang larut dalam alkohol benzen sebesar 3,9 . Selanjutnya dijelaskan
pula bahwa dari nilai kerapatan dasarnya sebesar 0,462 gcm
3
d. Keawetan dan Keterawetan
akan diperoleh 462,1 kg substansi kayu kering tanur sebagai bahan baku pulp dan kertas.
Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu. Biasanya faktor perusak yang dimaksud adalah faktor biologis seperti jamur,
serangga terutama rayap dan bubuk kayu kering dan binatang laut. Sifat keawetan ditentukan berdasarkan persentase penurunan berat kayu akibat serangan faktor biologis.
Sedangkan sifat keterawetan adalah kemampuan kayu menyerap bahan pengawet tertentu yang diawetkan dengan metode tertentu. Sifat keterawetan ditentukan berdasarkan retensi
dan daya penetrasi bahan pengawet terhadap kayu. Retensi dinyatakan dalam kgm
3
kayu dihitung berdasarkan penimbangan kayu sebelum dan sesudah pengawetan. Penetrasi
dinyatakan dalam persen luas penampang contoh uji Martawijaya dan Barly, 1990; Ismanto, 1995.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut kayu Akasia A. mangium Willd. memiliki kelas
ketahanan IV rendah terhadap serangan rayap tanah Macrotermes dan kelas ketahanan III sedang terhadap penggerek di laut Muslich dan Sumarni, 1993.
Berdasarkan kelas keawetan dari Findlay dan kelas keterawetan dari Smith dan Tamblyn dalam Martawijaya Barly 1990 dinyatakan bahwa kayu mangium memiliki
sifat keawetan yang berbeda menurut asal kayunya. Dengan menggunakan bahan pengawet CCA, kayu mangium dari hutan tanaman asal Jawa Barat relatif memiliki
sifat keawetan lebih buruk kelas awet II – III dibanding kayu mangium dari hutan alam asal Maluku yang memiliki kelas awet I-II.
3. Keteknikan Kayu Konstruksi a. Kayu Konstruksi dan Tegangan Ijin
Kayu konstruksi adalah kayu bangunan untuk digunakan sebagai elemen struktur bangunan yang penggunaannya memerlukan perhitungan beban Surjokusumo, 1982.
Struktur adalah gabungan komponen yang menahan gaya desak, tarik atau momen untuk meneruskan beban ke tanah dengan aman. Elemen struktur terdiri atas batang desak yang
berfungsi menahan gaya desak aksial, batang tarik yang menahan gaya tarik aksial, balok yang menahan gaya geser, lentur dan gaya aksial dalam struktur horisontal dan kolom
yang berfungsi sama dengan balok namun dalam struktur vertikal Siswadi et al, 1999. Kayu adalah bahan konstruksi yang diperoleh dari tumbuhan yang hidup di alam.
Dengan sifat alam yang beragam akan mempengaruhi kualitas kayu yang dibentuknya, dan untuk mampu menahan beban yang diemban suatu kayu harus berada pada batas
tegangan yang diijinkan. Tegangan dasar pada kayu yang kemudian diperhitungkan dengan beberapa faktor koreksi seperti keamanan, penyesuaian, pengaruh ukuran, kadar
air dan rasio kekuatan, akan menghasilkan suatu nilai tegangan yang diijinkan allowable stress
yang memberikan jaminan keselamatan dalam penggunaannya. Tegangan ijin dibuat sedekat mungkin dengan penggunaannya supaya dihasilkan nilai penggunan dan
keamanan yang cukup tinggi Surjokusumo, 1993. Nilai tegangan ijin tersebut bila digunakan pada konstruksi harus digandakan
dengan suatu faktor yang sesuai dengan sifat muatan dan kondisi keterlindungan struktur. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia PKKI, 1961 memberikan patokan besarnya
tegangan yang diperkenankan bagi kayu Indonesia sebagaimana Tabel 6 berikut.