Penggunaan Perekat pada Kayu

pasta dan cement perekat dengan bahan dasar karet atau resin thermopalstik yang dilarutkan dalam pelarut organik. Kollmann et al. 1975 dan Cowd 1991 mengklasifikasikan perekat berdasarkan komponen utamanya ke dalam dua golongan besar, yaitu: a. Perekat alami natural antara lain seperti pati, perekat protein, shelak, getah, teraspal, natrium silikat dan sebagainya b. Perekat buatan sintetic yang dibagi dalam dua tipe dasar yaitu: 1. Perekat thermosetting mengeras-bahang, yaitu sistem polimer yang dapat diawetkan dengan cara dipanasi seperti urea, melamin, furan, phenol, epoxy dan polyester tidak jenuh. 2. Perekat thermoplastic lentuk-bahang, yaitu polimer yang dapat dilunakkan dan dicetak dengan pemanasan seperti selulosa ester dan eter, polyamida dan sebagainya. Jenis perekat perekat memang berpengaruh sangat besar pada hasil suatu perakatan. Perekat sintetis yang banyak dipergunakan dalam industri pengolahan kayu pada umumnya memiliki kekuatan dan ketahanan rekat yang tinggi, namun demikian kekuatan dan ketahanannya juga masih dipengaruhi oleh bentuk sambungan, permukaan bahan yang direkat, persiapan perekat, pelaburan, kondisi perekatan dan temperaturnya Kollmann et al., 1975. Selanjutnya Brown et al. 1952 menyatakan bahwa beberapa aspek yang berhubungan dengan garis rekat kampuh, glue line pada perekatan kayu adalah sebagai berikut: a. Jumlah rantai ikatan Terdapat lima rantai ikatan perekat yang dapat terjadi pada perekatan dua permukaan kayu. Lima rantai tersebut terdiri atas satu rantai paling tengah yang merupakan kohesi perekat yang bergantung pada komponen kimia dan gaya kohesi tersebut dapat berkurang karena penggunaan ekstender yang berlebihan. Dua rantai yang berhubungan dengan rantai paling tengah tersebut adalah ikatan yang terbentuk antara perekat dengan permukaan yang direkat, sedangkan dua rantai yang terletak di ujung merupakan penjangkaran perekat ke kayu yang utamanya tergantung pada sifat permukaan kayu tersebut. b. Tahap perkembangan perekatan Perkembangan garis rekat terjadi dalam beberapa tahap yakni pengaliran, pemindahan, penembusan, pembasahan dan pemadatan. Pengaliran merupakan proses perekat mengalir mendatar membentuk lapisan tipis seperti film, pemindahan merupakan proses perekat berpindah dari permukaan yang telah dilaburi perekat ke permukaan lain sedangkan penembusan adalah proses menembusnya perekat ke kedua permukaan kayu yang berhubungan. Proses selanjutnya adalah proses pembasahan yang merupakan proses membasahnya permukaan kayu oleh bahan perekat. Proses ini merupakan proses awal dari ikatan kimia dan yang mempengaruhi proses ini adalah kekentalan perekat, sifat kimia dari perekat dan keadaan permukaan kayu. Proses terakhir adalah pemadatan atau pengerasan, yaitu tahap akhir dari perkembangan garis rekat yang memadat menjadi bahan yang keras. Pemadatan perekat dapat terjadi karena pendinginan, reaksi kimia atau kombinasinya, dan terkadang berlangsung pada suhu tinggi. c. Pengaruh tekanan Tekanan diperlukan untuk meratakan perekat dan membentuk lapisan perekat yang tipis sehingga membuat terjadinya kontak antara lapisan tersebut dengan permukaan kayu. Tekanan juga membantu masuknya perekat ke dalam sel kayu. d. Karakter perubahan fisik perekat Berdasarkan pergerakan perekat antara saat dilabur hingga perekat berubah secara sempurna, hasil penyambungan dapat menghasilkan ikatan yang lemah starved joint , tidak menjangkar unchored, perekat lebih awal berubah precure glue atau ikatan yang menyatu bonded joint. e. Pengaruh tebal garis perekat Ketebalan garis perekat ternyata tidak berhubungan dengan keteguhan rekat, namun garis rekat yang terlalu tebal atau terlalu tipis akan turut serta menurunkan keteguhan rekat. f. Pengaruh dinding sel Kandungan lignin yang tinggi pada lamela tengah akan menyebabkan adhesi dan kohesi menurun karena lignin pada lamela tengah menghalangi terjadinya kontak antara dinding primer dari sel yang terpisah. g. Pengaruh permukaan kayu yang direkat Permukaan yang halus dan rata akan menghasilkan keteguhan rekat yang lebih kuat dibandingkan permukaan yang kasar atau permukaan yang diketam dengan pisau yang tumpul atau bergerigi.

6. Pemadatan Kayu

Pemadatan kayu untuk tujuan stabilisasi dimensi dapat dilakukan melalui impregnasi densifying by impregnation dan pemadatan dengan pengempaan densifying by compression . Kalau yang pertama mengisi struktur rongga sel dengan berbagai zat yang menyebabkan struktur lebih padat, yang disebut kedua lebih bersifat modifikasi sifat kayu tanpa merusak struktur sel kayu Stamm, 1964. Pemadatan kayu dengan pengempaan merupakan usaha meningkatkan mutu kayu dengan memberikan perlakuan kempa panas thermo-mechanical, atau yang di Amerika dikenal dengan istilah staypack, yaitu pengempaan kayu tanpa adanya proses bahan kimia. Yano et al. 1996, 1997 dalam Yano 2000 menyatakan bahwa terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan untuk meningkatkan kekuatan kayu yaitu kualitas dan kuantitas material dinding sel. Efek pemadatan adalah meningkatkan rasio dinding sel. Perubahan bentuk dinding sel tanpa merusakkannya merupakan hal penting yang harus diperhatikan guna mencapai kekuatan yang tinggi. Pemadatan kayu berfungsi sebagai upaya stabilisasi dimensi, disamping keseragaman dan peningkatan kekuatan. Pemadatan akan berhasil lebih baik kalau sebelumnya dilakukan perlakuan pendahuluan agar kayu bersifat plastis. Tujuan plastisasi adalah agar kayu lebih lunak sehingga mudah dibentuk, dipadatkan, mengurangi energi pembentukan dan mengurangi cacat akibat pengempaan. Perlakuan pendahuluan sebelum pemadatan meliputi perendaman, perebusan atau pengukusan. Pemadatan yang berhasil dilakukan pada kayu Agatis Agathis loranthifolia sampai 50 berlangsung pada suhu 125 – 175 C selama 9-20 menit dengan perlakuan pendahuluan berupa pengukusan dan perebusan selama 1 – 2 jam, sedangkan waktu pencapaian pemadatan bambu adalah selama 3 menit dalam suhu 150 – 180 USDA 1999 menyatakan bahwa panas dan kelembaban akan membuat kayu lebih plastis dan lebih mudah dibentuk. Proses plastisasi yang dianjurkan adalah pengukusan dan perebusan kira-kira 15 menit tiap cm tebal kayu dengan kadar air 20- 25. Untuk bahan yang lebih tebal dan kadar air lebih rendah diperlukan waktu pengukusan atau perebusan yang lebih lama, yaitu 30 menit tiap cm. Pemadatan juga mampu memperbaiki sifat kayu, seperti fleksural MOE, MOR dan tegangan pada batas proporsi, kekuatan tekan, tarik, geser, kekauan dan kekuatan pukul rata-rata lebih besar dari 150. C. Nugroho dan Ando, 2001; Sulistyono, 2001. Penelitian Murhofiq 2000 membuktikan bahwa pemadatan kayu sengon dan agathis hingga tebal 50 meningkatkan kerapatan dan sifat mekanis bahan yang dihasilkan hingga mencapai 300 untuk kekerasan ujung dan daya dukung baut, sedang Rilatupa dalam Sulistyono 2001 mencapai hasil 100 – 246 untuk perlakuan yang sama. Navi et al. 1999 dalam Ayina et al. 2000 menyatakan bahwa kayu terpadatkan dapat menggantikan kayu solid dalam teknik sipil untuk berbagai kegunaan. Tomme et al. 1998 meneliti sifat mekanis dan higroskopis kayu terpadatkan jenis beech dan spruce. Hasilnya terjadi peningkatan dari 0,67 grcm 3 dan 0,43 grcm 3 menjadi 1,27 grcm 3 dan 1,3 grcm 3 pada temperatur 140 C dan 150 Tekanan, waktu dan temperatur kempa merupakan faktor yang berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Untuk mendapatkan bahan yang mempunyai springback rendah, diperlukan perlakuan setelah proses pengempaan selesai post-treatment, misalnya proses pemanasan thermo-mechanical atau proses hidro-panas thermal- hydro-mechanical Navi et al., 2000. C. kekuatan geser meningkat 10 kali dan kekerasan serta stabilitas dimensi meningkat secara signifikan. Killmann dan Koh 1988 melakukan penelitian pendahuluan tentang pemadatan kayu sawit. Plastisasi dilakukan dengan merendam kayu sawit dalam larutan amonia selama 24 jam. Hasilnya terjadi pengurangan tebal sebesar 10 – 15 dari tebal awal nominal, dengan kerapatan meningkat hingga 165, dan peningkatan tertinggi terjadi pada kayu berkerapatan rendah.