Pemilahan Kayu dan Pendugaan Kekuatan Kayu Konstruksi

Penetapan satu nilai kekuatan karakteristik untuk setiap jeniskelompok jenis, secara ekonomis maupun sumberdaya sangat merugikan karena justifikasi kekuatan jauh di bawah kemampuan sebenarnya dari sebagian besar kayu. Tindakan ini menyebabkan penggunaan dimensi kayu untuk suatu beban tertentu menjadi lebih besar dibanding yang dibutuhkan, sehingga terjadi pemborosan sumberdaya. Karena itu pemilahan guna penentuan kelas mutu grading dikembangkan dengan mencari variable selain jenis sebagai dasar pengkelasan mutu. Variabel alternatif tersebut sekurang-kurangnya dapat diukur dengan mudah tanpa merusak kayu dan mempunyai korelasi yang tinggi dengan sifat kekuatan kayu. Berat jenis dan MOE memenuhi kedua syarat tersebut dengan baik. Menurut Gloss 1994 dalam Surjokusumo dan Bahtiar 2000, berat jenis berkorelasi dengan MOR sebesar 0,5 dan MOE sebesar 0,7-0,8. Penggunaan berat jenis dan MOE secara bersama-sama tidak dapat meningkatkan kemampuan pendugaan karena koefisien korelasinya tetap 0,7-0,8. Karena itu MOE diharapkan dapat digunakan sebagai variabel tunggal untuk menduga kekuatan kayu. Namun demikian, koreksi atas jenis tampaknya masih perlu dilakukan meski asumsi dasarnya MOE dapat menduga MOR secara regardless species . Untuk kemudahan dan alasan ekonomi, setiap potong kayu yang memiliki sifat mekanis serupa dipilah atau dikelompokkan dalam kelas yang disebut dengan kelas mutu stress grades. Kelas mutu tersebut dicirikan oleh satu atau lebih standar penyortiran, sekumpulan sifat mekanis yang diijinkan untuk desain struktur dan sebuah nama kelas mutu yang khas. Sifat mekanis yang diijinkan tergantung pada standar penyortiran dan faktor tambahan yang tidak berkorelasi dengan standar penyortiran. Dalam pengkelasan mutu, sifat yang diperhatikan sebagai standar penyortiran adalah modulus elastisitas, kekuatan tekan, tarik dan geser sejajar serat, kekuatan tekan tegaklurus serat dan kekuatan lentur patah. Dalam perkembangannya, dewasa ini dikenal dua system pemilahan kayu yang dikenal dengan pemilahan visual dan pemilahan masinal. 1. Pemilahan visual Pemilahan visual merupakan metoda pemilahan yang paling tua. Metoda ini berdasar anggapan bahwa sifat kayu gergajian berbeda dari sifat kayu bebas cacat karena terdapat karakteristik pertumbuhan yang kasat mata yang berpengaruh terhadap sifat tersebut. Karakteristik pertumbuhan ini digunakan untuk menyortir kayu gergajian ke dalam beberapa kelas mutu. Dengan demikian pemilahan visual didasarkan dua konsepsi penting yaitu: a. Kekuatan kayu konstruksi berbanding lurus dengan kekuatan jenis kayunya dalam keadaan bebas cacat. Kekuatan ini didapatkan dari pengujian contoh kecil bebas cacat. b. Reduksi kekuatan karena cacat kayu seperti miring serat dan lain-lain dinyatakan dalam rasio kekuatan yang menggambarkan besarnya pengaruh cacat tersebut. Dalam ASTM D-2452008 karakteristik pertumbuhan yang dipergunakan sebagai standar penyortiran adalah miring serat, mata kayu, retak dan pecah, pingul dan seleksi berat jenisnya. Demikian pula dalam PKKI 1961 dan SII 0458-81 karakteristik pertumbuhan yang dipergunakan sebagai standar penyortiran adalah mata kayu, pingul, miring serat, reta, pecah dan berat jenis. Dalam SKI 1988 memanfaatkan mata kayu, pingul, miring serat, retak, pecah, lubang gerek dan cacat gabungan dalam peyortiran kelas mutu kayu A dan B. Meski demikian, pemilahan visual ini sulit dikembangkan karena tidak praktis, terlebih bagi kayu Indonesia yang beraneka ragam jenis dan kelompok jenis di pasaran. 2. Pemilahan masinal Sistem masinal mulai dipergunakan pada permulaan tahun 1960 serentak di Amerika Serikat, Inggris dan Australia, dan terus berkembang mengikuti perkembangan sistem teknologi. Di Indonesia telah dikembangkan mesin pemilah mekanis yang murah dan sederhana sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia, dan dikenal sebagai Mesin Pemilah Kayu Panter Plank and Sorter. Pada dasarnya Panter menduga kekuatan kayu dengan cara mengukur defleksi untuk beban tertentu yang kemudian dikonversi dalam bentuk persamaan hubungan menjadi suatu nilai modulus elastisitas dan kekuatan lentur patahnya. Persamaan tersebut adalah MOR = 109 + 0,00301 MOE-Panter Surjokusumo dan Bahtiar, 1999. 3. Format untuk menghitung kekuatan kayu Selanjutnya Surjokusumo dan Bahtiar 2000 menjelaskan dua cara yang dapat digunakan untuk mengukur tegangan yang diperkenankan pada kayu yaitu pengujian langsung dengan menghancurkan beberapa contoh uji, dan pengujian tidak langsung dengan mengukur variabel sifat kayu yang berkorelasi erat dengan kekuatan kayu tanpa merusaknya non destructive test. Ada dua format yang dikembangkan untuk menghitung kekuatan kayu yaitu ASD Allowable Stress Design dan LRFD Load and Resistant Factor Design. a. Format ASD Allowable Stress Design Format ASD merupakan format konvensional yang sangat sederhana, diasumsikan tidak terdapat variabilitas beban sehingga setiap macam beban dianggap mempunyai pengaruh yang sama terhadap kayu. Dengan demikian tegangan ijin murni ditentukan oleh distribusi kekuatan kayu dan tidak ada distribusi beban. Konsep dasar yang berlaku dalam format ASD adalah: K d . F x ≥ D + L yang berarti beban hidup ditambah beban mati harus lebih kecil atau sama dengan tegangan ijin dikalikan dengan faktor lama pembebanan. Faktor lama pembebanan K d dipilih 1,00 untuk lantai, 1,15 untuk beban salju dan 1,25 untuk atap tanpa salju. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi lama pembebanan selama 10 tahun. Sedangkan tegangan ijin F x b. Format LRFD Load and Resistant Factor Design merupakan kekuatan karakteristik kayu yang telah direduksi dengan faktor keamanan sebagai faktor pengali, yakni sebesar 12,1 untuk softwood dan 12,3 untuk hardwood. Kekuatan karakteristik suatu jenis atau kelompok kayu merupakan 5 exclution limit terhadap distribusi populasinya. Pedoman SKI 1988 menerapkan metoda ini dan menyajikan tabel tegangan ijin kayu konstruksi yang telah dikelas-kelaskan dalam 13 kelas mutu kayu yang disebut dengan TS Tegangan Serat. Format LRFD merupakan format yang praktis, sederhana dan siap pakai bagi masyarakat perkayuan di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1999. Dasar penggunaan analisis keterandalan dalam menentukan faktor beban load dan daya tahan resistance untuk desain struktural mengacu pada suatu diagram keamanan struktur. Standar ASTM D 5457 2008 mengijinkan dua cara perhitungan ketahanan referensi reference resistance yaitu dengan prosedur reliability normalization dan format conversion . Realibility normalization merupakan prosedur LRFD yang dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat, sedangkan format conversion hanya mengalikan tegangan ijin allowable stress dalam format ASD dengan faktor konversi sebesar 2,16 φ, karena itu format conversion tidak dapat menghitung keterandalan struktural dengan tepat.

c. Kayu Rekayasa Struktural Structural Engineered Wood

Kayu struktural adalah kayu gergajian yang dapat digunakan untuk struktur bangunan. Dengan demikian kayu rekayasa struktural adalah semua material yang berbahan dasar kayu atau serat kayu yang diolah sedemikian rupa sehingga mampu menjadi bahan struktur bangunan. APA-EWA 2002 membagi kayu rekayasa struktural dalam beberapa kategori, antara lain panel struktural termasuk kayu lapis, OSB oriented strand board dan panel komposit, kemudian kayu lamina glued laminated timber, SCL structural composite lumber termasuk di dalamnya LVL laminated veneer lumber serta balok I I-joist. Sementara itu Smulski 1997 mencontohkan jenis produk komposit kayu yang termasuk dalam kayu rekayasa engineered wood products antara lain adalah kayu lamina glulam, kayu lapis plywood, sambungan kayu dengan plat baja, balok I wood I-joist, OSB oriented strand board, waferboard, LVL laminated veneer lumber, PSL parallel strand lumber dan LSL laminated strand lumber. Pembuatan balok komposit merupakan salah satu cara untuk mendapatkan bahan konstruksi dari kayu berdiameter kecil. Uji coba pembuatan produk ini antara lain dilakukan oleh Ginoga 1998. Hasil pengujian mutu kekuatan strength grade berdasarkan kekuatan lentur, balok komposit Akasia memenuhi standar JAS dan tergolong ke dalam E120-F330. Kekuatan geser rata-ratanya sebesar 24,35 kgfcm 2 , kekuatan tekan sejajar 379,13 kgfcm 2 Pada balok susun, seringkali dimensi kayu tidak mencukupi kebutuhan sehingga beberapa balok harus disusun menjadi satu, dengan resiko terjadinya tegangan geser akibat gaya lintang pada balok tersebut, terutama bila balok tidak dilekatkan satu sama lain. Untuk melekatkan balok susun dapat digunakan baut, namun karena tegangan geser menimbulkan gaya geser maka bidang kontak antar balok susun harus diberi alat sambung yang mampu mendukung gaya geser tersebut. Alat sambung tersebut dapat berupa kokot pasak disertai baut yang hanya berfungsi sebagai pengikat Hong dan Djokowahjono, 1994. kelas kuat II, sedangkan kekuatan delaminasinya belum memenuhi standar JAS. Pada pembuatan bilah sambung dan papan sambung, kayu Akasia berkualitas baik dibawah kualitas kayu pinus dan diatas kayu sukun dengan menggunakan sambungan menjari Alamsyah dan Rahman, 2002.

4. Sambungan Kayu dengan Pasak

Sambungan kayu timber connections memerlukan alat sambung connector yang dibedakan atas alat sambung tradisional traditional connector dan alat sambung modern cotemporer connector. Sambungan kayu berdasarkan alat sambung tradisional terbagi atas dua jenis yakni tipe sambungan pasak shank joint, dowel type joint dimana beban baik tegangan tekan atau tarik disalurkan dari kayu ke kayu lewat sepanjang sambungan. Contoh sambungan ini adalah pasak bulat drift pin, dowel, baut bolt, sekrup screw dan paku nail. Tipe yang lain adalah sambungan luar skin type connector dimana beban ditransmisikan dari kayu ke sambungan terutama melalui geseran. Contohnya adalah pelat geser shear plate atau cincin belah split ring. Dalam banyak kasus baut digunakan sebagai pelekap batang kayu yang digabungkan namun tidak ambil bagian dalam transmisi gaya, semata-mata hanya menjaga agar sambungan masih berada pada tempatnya atau batang kayu asli tidak merenggang akibat bekerjanya momen. Sementara itu metoda sambungan kotemporer menggunakan alat sambung glulam rivets, glued-in bolts dan glued-in rods Madsen, 1992; Madsen, 2000. Pasak adalah benda yang dimasukkan sebagian pada bidang sambungan untuk memindahkan beban dari bagian yang satu kepada yang lain Yap, 1984. Dalam PKKI 1961 dijelaskan bahwa pasak adalah alat penyambung yang dimasukkan ke dalam takikan dalam kayu dan yang dibebani tekanan dan geseran. Pasak dipasang dalam lubang yang mempunyai ukuran yang sama atau tidak ada kelonggaran, sehingga jika terjadi pengembangan dan penyusutan kayu, pasak dapat tetap dipertahankan dalam lubang. Oleh karena itu kadar air pasak harus sama dengan kadar air kayu pada saat pemasangan jika pasak terbuat dari kayu Faherty dan Williamson, 1999. Sementara itu R-SNI 2002 mengharuskan diameter lubang penuntun untuk paku dan pasak tidak boleh melebihi 0,9 D untuk G 0,6 dan 0,75 D untuk G ≤ 0,6 dimana G adalah berat jenis dan D adalah diameter batang pasak atau paku. Sambungan dengan pasak kayu dapat berupa pasak persegi panjang, pasak bulat silindrik, dowel dan pasak Kubler pasak bulat seperti cincin tebal dan berlubang kecil untuk pemasangan baut pengencang. Pasak kayu memiliki kelebihan dibanding baut, yaitu kayu mampu mendukung gaya yang besar, efisiensi lebih tinggi dan deformasi lebih kecil. Sambungan pasak bulat lebih baik daripada pasak persegi karena meski keduanya dibebani beban geseran dan desakan, pada pasak bulat tidak mengalami momen jungkit Wiryomartono, 1977; Yap, 1984.