Kerangka Pemikiran Kebaharuan Lokasi dan Waktu Penelitian

3 masyarakat yang meningkat dalam pemanfaatan kayu dan hutan DPK Kabupaten Tangerang 2003.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat optimasi kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kabupaten Tangerang. Guna mewujudkan tujuan penelitian maka tahapan yang dilakukan adalah: 1 Menganalisa kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Tangerang. 2 Menganalisa berbagai peraturan dan perundangan yang mempengaruhi ekosistem mangrove di Kabupaten Tangerang. 3 Menganalisa permasalahan pengelolaan mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang 4 Menganalisa kelembagaan untuk pengelolaan mangrove berbasis perikanan

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Memberikan informasi dan pengetahuan tentang optimasi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove. 2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu masukan bagi para pengambil kebijakan pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang. 3 Dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengelolaan mangrove dengan pendekatan kelembagaan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Secara garis besar ada dua aspek utama yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Pertama adalah aspek teknis yang berlangsung yaitu sistem perikanan, industri, usaha penambangan pasir, abrasi dan pemukiman penduduk. Kedua adalah aspek nonteknis seperti kelembagaan, regulasi, 4 teknologi, perilaku sosial, dan kesadaran masyarakat. Untuk pengelolaan mangrove tidak hanya menekankan pada aspek teknis atau non teknis saja, tetapi keduanya perlu dilaksanakan, dan secara menyeluruh salah satunya dengan menggunakan pendekatan kesisteman, bukan berdasarkan pendekatan yang terpisah yang hanya menekankan pada satu variabel saja. Pada penelitian ini pengelolaan ekosistem mangrove yang dicoba dilihat melalui optimasi peran pemangku kepentingan dalam bentuk kelembagaan sangatlah penting. Kelembagaan adalah suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya Nasution 2002. Telah banyak kajian mengenai kelembagaan, tetapi masih menggunakan pendekatan hard system methodology sehingga kajian dengan menggunakan pendekatan soft system methodology perlu untuk dilakukan.

1.6 Kebaharuan

Pengelolaan ekosistem mangrove telah dikembangkan di banyak wilayah yang memiliki permasalahan terhadap ekosistem mangrove. Dalam pengelolaan mangrove tersebut, umumnya ditekankan pada dimensi ekologi dan ekonomi. Pada penelitian ini akan dilakukan pendekatan kajian kelembagaan, sehingga kebaharuan penelitian ini terletak pada optimasi fungsi kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove berbasis perikanan. 5 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelembagaan dan Peran Kelembagaan

Kelembagaan, institusi, pada umumnya lebih di arahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi berfungsi sebagai wadah atau tempat, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika , kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Kelembagaan berasal dari kata lembaga, yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu lembaga juga dapat diartikan sebagai aturan dalam sebuah kelompok sosial yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politk dan ekonomi. Lembaga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu lembaga formal dan nonformal. Lembaga formal adalah kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki hubungan kerja rasional dan mempunyai tujuan bersama, biasaya mempunyai struktur organisasi yang jelas, contohnya perseroan terbatas, sekolah, partai politik, badan pemerintah, dan sebagainya. Lembaga non- formal adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan bersama dan biasanya hanya memiliki ketua saja. Contohnya arisan ibu-ibu rumah tangga, belajar bersama, dan sebagainya. Lembaga formal memiliki struktur yang menjelaskan hubungan-hubungan otoritas, kekuasaan akuntabilitas dan tanggungjawab serta bagaimana bentuk saluran komunikasi berlangsung dengan tugas-tugas bagi masing-masing anggota. Lembaga formal bersifat terencana dan tahan lama, karena ditekankan pada aturan sehingga tidak fleksibel. Pada lembaga non-formal biasanya sulit menentukan untuk waktu nyata seorang untuk menjadi anggota organisasi, bahkan tujuan dari organisasi tidak terspesifikasi dengan jelas. Lembaga non-formal dapat dialihkan menjadi lembaga formal apabila kegiatan dan hubungan yang terjadi di dalam di lakukan secara terstruktur atau memiliki struktur organisasi yang lengkap dan terumuskan. 6 Kelembagaan adalah suatu hubungan dan tatanan antara anggota masyarakat atau organisasi yang melekat, di wadahi dalam suatu jaringan atau organisasi, yang dapat menentukan suatu hubungan antara manusia atau organisasi dengan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik atau aturan formal dan nonformal untuk berkerjasama demi mencapai tujuan yang diinginkan. Kelembagaan berarti seperangkat peraturan yang mengatur tingakah laku masyarakat untuk mendapatkan tujuan hidup mereka. Kelembagaan berisi sekelompok orang yang bekerjasama dengan pembagian tugas tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Tujuan peserta kelompok dapat berbeda, tetapi dalam organisasi menjadi satu kesatuan. Kelembagaan lebih ditekankan pada aturan main the rules dan kegiatan kolektif collective action untuk mewujudkan kepentingan umum atau bersama. Kelembagaan menurut beberapa ahli, sebagian dilihat dari kode etik dan aturan main. Sedangkan sebagian lagi dilihat pada organisasi dengan struktur, fungsi dan menejemennya. Saat ini kelembagaan biasanya dipadukan antara organisasi dengan aturan main. Kelembagaan merupakan suatu unit sosial yang berusaha untuk mencapai tujuan tertentu dan menyebabkan lembaga tunduk pada kebutuhan tersebut. Beberapa unsur penting dalam kelembagaan adalah institusi, yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat, norma tingkah laku yang telah mengakar pada kehidupan masyarakat dan telah diterima untuk mencapai tujuan tertentu, peraturan dengan penegakan aturan, aturan dalam masyarakat yang memberikan wadah koordinasi dan kerjasama dengan dukungan hak dan kewajiban serta tingkah laku anggota, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, insentif. Kelembagaan lokal dan area aktifitasnya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori sektor publik administrasi lokal dan pemerintah lokal, kategori sektor suka rela organisasi keanggotaan dan koperasi, organisasi swasta organisasi jasa dan bisnis swasta. Bentuk resmi suatu lembaga yaitu lembaga garis line organization, military organization, lembaga garis dan staf line and staff organization, lembaga fungsi functional organization. Lembaga garis bertanggung jawab pada satu atasan dan bertanggungjawab penuh pada tugasnya. Lembaga garis 7 dan staf wajib melaporkan laporan kegiatan pada satu atasan yang lebih tinggi, dan lembaga fungsi bertanggung jawab kepada lebih dari satu atasan yang sesuai dengan spesialisasinya masing-masing. Tiga jenis dasar dari lembaga yaitu, lembaga sistem otoriter, terdapat dua tingkatan kedudukan, atasan dan bawahan. Atasan bertujuan membina dan menguasai yang lain, suka maupun tidak suka, biasanya ditentukan oleh keturunan, kekayaan, umur, pendidikan, kedudukankemampuan, hal ini menyebabkan atasan memutuskan segala sesuatu sendiri, lembaga sistem demokrasi , semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seimbang, pemimpin berfungsi sebagai yang satu dari yang sama, lembaga sistem biarkan saja laissez faire semua anggota sama tingkat kedudukan dan fungsi sehingga pemimpin tidak memiliki arti dan tidak mempunyai fungsi. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat diketahui pengertian kelembagaan adalah suatu pola hubungan antara anggota masyarakat yang saling mengikat, diwadahi dalam suatu jaringan atau organisasi dengan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal dan non-formal untuk bekerjasama demi mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Mubyarto 1989, yang dimaksud lembaga adalah organisasi atau kaedah-kaedah baik formal maupun informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam kegiatan-kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Nasution 2002, kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku individual dan sangat penting artinya bagi pengembangan pertanian. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu : kelembagaan sebagai suatu aturan main rule of the game dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya. Kelembagaan sebagai 8 organisasi biasanya merujuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah, koperasi, bank dan sebagainya. Kelembagaan menurut definisi Hayami dan Kikuchi 1987 dan Bardan 1989 dalam Peter 2000 mempunyai dua pengertian yaitu: Pertama, kelembagaan adalah suatu aturan main rule of the game dalam interaksi interpersonal. Kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-haknya dan tanggung jawabnya. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Menurut Pakpahan 1990 dalam Kartodihardjo 1998 kelembagaan atau institusi merupakan sistem yang kompleks rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum adat istiadat, aturan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu perorangan atau organisasi atau dalam bentuk bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur individu. Kelembagaan meupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, pendidikan, HPH dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak. Kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama Shafer dan Smith dalam Pakpahan, 1989, yaitu batasan kewenangan jurisdictional boundary, hak kepemilikan property right dan aturan perwakilan rules of representation yang uraiannya adalah sebagai berikut: 1 Batas kewenangan, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya, faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya tersebut harus dikonsumsi secara bersama maka batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan dan pengguna sumberdaya tersebut dalam aturan pengambilan keputusan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaman seperti yang diharapkan 9 ditentukan oleh empat hal yaitu; perasaan peserta sebagai suatu bagian masyarakat. Anwar 2001 menyatakan bahwa kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-masing pihak, 2 Hak kepemilikan, diartikan hak yang dimiliki seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan adat dan tradisi atau consensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Olehkarena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau hak penguasaan apabila tanpa pengesahan dari masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah: 1 hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan 2 hak yang tercermin oleh kepemilikan adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya, 3 Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap keadaan dan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oeh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut. Dengan demikian pengertian kelembagaan diatas memberikan gambaran bahwasanya jika kinerja pengelolaan hutan tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti institusi pengelolaan hutan tidak mengandung faktor-faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat agar memberikan respon dan melakukan reaksi untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan masyarakat. Menurut Schmidt 1987 dalam Kartodihardjo 2000, institusi atau kelembagaan dapat merubah faktor eksternal dalam proses pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan. Dipihak lain kelembagaan dapat menjadi perubah faktor internal dalam pembangunan. Dengan demikian perubahan kelembagaan berlangsung sebagai akibat dari perubahan ditempat lain. Interdependensi antara teknologi dengan 10 institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input berupa tenaga kerja, kapital, manajemen dan lain lain, dalam proses transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu, organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari suatu analisis yang digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi.

2.1.1 Hak Pemilikan

Hak pemilikan seperti dijelaskan oleh Schmid 1998 adalah menggambarkan hubungan individu dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu yang lainnya. Hak merupakan instrumen masyarakat untuk mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Hak adalah sesuatu yang disepakati, tidak statis, ia berangsur-angsur berubah dan sebagian sejalan dengan proses kesepakatan politis. Bromley 1991 dalam Hanna dan Munasinghe 1995, menyatakan bahwa hak pemilikan merupakan kumpulan hak yang diberikan dimana telah didefinisikan secara jelas hak dan kewajiban didalam pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Lynch 1993, hak pemilikan sumberdaya alam terdiri atas 6 enam kelompok besar yaitu: 1 hak menggunakan secara langsung; 2 hak memperoleh keuntungan ekonomi secara tidak langsung; 3 hak untuk mengendalikan; 4 hak memindahtangankan; 5 hak-hak residual, mewariskan; 6 hak simbolik. Hal pemilikan sumberdaya alam berdasarkan hubungan segitiga sosial pemberi hak, penerima hak dan pengakuan masyarakat terdiri atas hak pemilikan perorangan, hak pemilkan bersama, hak milik negara dan bebas akses atau akses terbuka Stevenson 1991; Ostrom 1991; McKean 2000; Ellsworth 2004. Hak pemilkan bersama merupakan mekanisme institusi untuk mengandalikan sumberdaya alam yang dimanfaatkan secara beragam oleh masyarakat. Stevenson 1991 11 menyatakan bahwa prasyarat melakukan pengaturan hak pemilikan bersama adalah : 1 bebas dari intervensi pihak luar; 2 memiliki batas yang jelas; 3 memiliki anggota yang jelas; 4 memiliki kebebasan membuat dan menerapkan aturan main; 5 laju pemanfaatan sumberdaya alam relative rendah dan seragam; 6 aturan main fleksibel; 7 hak dapat ditegakkan; 8 distribusi manfaat berkeadilan; 9 solusi konflik yang murah; 10 institusi secara berjenjang fleksibel dan mudah dikendalikan. Terdapat dua karakteristik kunci dalam hak pemilikan bersama, yaitu teridentifikasinya pengguna dan dipahaminya hak serta kewajiban di dalam memanfaatkannya. Pemilikan perorangan didefinisikan oleh McKean 2000 adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya memiliki kemampuan untuk mengeluarkanmengecualikan pihak lain atas sesuatu yang telah menjadi haknya. Gibson, McKean, dan Ostrom 2000 menyatakan bahwa pemilikan swasta sangat bergantung pada keberadaan dan kemampuan untuk menegakkan peraturan dengan terlebih dahulu mendefinisikan siapa yang berhak mengerjakan atas sumberdaya alam. Ellsworth 2004, menyatakan bahwa hak pemilikan negara adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya adalah pemerintah atau lembaga publik yang diberi kuasa oleh negara. Hak pemilikan negara memiliki karakteristik dikuasai dan pengaturannya dilaksanakan pemerintah, pengaturan oleh pemerintah harus menjamin masyarakat untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan. Bebas akses atau akses terbuka adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam dengan karakteristik tidak adanya pembatasan dan pemilikan. Sumberdaya alam bebas akses merupakan konsekuensi kebijakan pemerintah yang memberikan jaminan kepada seluruh warga negaranya untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya alam Stevenson 1991; Gibson, McKean, dan Ostrom 2000. 12 Tabel 1 Hubungan sosial pemanfaatan sumberdaya alam Bentuk pengaturan Hak Pemilikan Milik perorangan Milik bersama Milik negara Bebas akses Pembatasan Tidak dibatasi Pelaku Satu orang Anggota Anggota Anggota Terbuka Pemanfaatan Individu Dibatasi peraturan Dibatasi peraturan Tidak terbatas Tidak terbatas Sumber: Ostrom dan Stevenson 1991 dan Ellswotrh 2004

2.1.2 Batas Kewenangan

Menurut Schmid 1998 menyatakan bahwa batas kewenangan diartikan sebagai batas wilyah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sumberdaya alam. Karena mangrove memiliki karakteristik dapat dikonsumsi dan dirasakan manfaatnya secara bersama maka persoalan batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan pengguna. Batas kewenangan berperan mengatur alokasi sumberdaya alam yang diindikasikan dengan kinerja tertentu.

2.1.3 Aturan Keterwakilan

Aturan keterwakilan mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai ditentukan oleh kaidah-kaidah keterwakilan. Apabila pemerintah menginginkan perubahan alokasi dan distribusi secara keseluruhan dapat dilakukan dengan aturan keterwakilan. Aturan keterwakilan mempengaruhi biaya membuat keputusan. Ongkos membuat keputusan akan mempengaruhi nilai output. Semakin besar biaya transaksi mengakibatkan semakin menurun nilai output. Olehkarena itu perlu dicari mekanisme yang paling efisien yang dapat menetapkan biaya transaksi. Tujun insitusi adalah mengurangi ketidakpastian, karena masing- masing pihak telah memberikan pengakuan bahwa hak seseorang merupakan kewajiban orang lain. Hayami dan Kikuchi 1981 , menyatakan bahwa terdapat tiga manfaat dari institusi, yaitu : 1 pedoman bagi anggota masyarakat untuk berprilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup; 2 menjaga kebutuhan masyarakat atau kelompok sosial tertentu; 3 pedoman untuk 13 berprilaku. Apabila kerusakan ekosistem mangrove masih meningkat berarti bahwa institusi yang ada tidak mampu mengendalikan hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap ekosistem mangrove. Kemungkinan penyebab adalah ketidakpastian hak pemilikan dan lemahnya sistem pengawasan.

2.1.4 Kepastian Hak Pemilikan

Hak pemilikan merupakan ikatan atau kumpulan hak untuk mengawasi dan menggunakan sumberdaya alam oleh seseorang atau sekelompok orang. Schmidt 1998 menyatakan bahwa kepastian hak menjadi sangat penting karena mempengaruhi kinerja ekonomi. Magrath 1998 dan Stevenson 1991 menyatakan bahwa apabila hak pemilikan terdefinisikan secara jelas, maka tindakan pengurasan sumberdaya alam menjadi tidak ekonomis sehingga mendorong kearah pemanfaatan secara berkelanjutan. Kepastian hak penguasaan tanah dijelaskan oleh Harsono 1999, adalah serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang hak untuk berbuat sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat mengenai tanah yang menjadi haknya. Unsur kepastian hak penguasaan tanah terdiri atas hak katagoris dan hak konkrit. Hak katagoris apabila hak penguasaan atas tanah belum dihubangkan dengan obyek dan suyeknya invidu atau badan hukum sebagai pemegang haknya, contohnya adalah hak milik, hak guna usaha dan lain-lain. Unsur- unsur hak katagoris adalah: 1 Nama hak terkait dengan peraturan yang berlaku, 2 Isi yang menyangkut: a kewenangan, yaitu kekuasaan dan pembatasan kekuasaan, serta pembeda, b kewajiban, yaitu memelihara potensi tanah, fungsi sosial tanah, fungsi ekologis tanah. 3 Subyek hak menyangkut: a persyaratan; b pengaturan umum dan c pengaturan khusus. 4 Obyek hak menyangkut pengaturan pokok dan pengaturan khusus. Menurut Stevenson 1991 bahwa hak pemilikan belum bermakna apabila belum dihubungkan dengan bentuk fisik kongkrit dari sumberdaya alam. Hak kongkrit menurut Harsono, adalah apabila hak penguasaan tanah 14 sudah dihubungkan dengan obyek dan subyeknya individu atau badan hukum sebagai pemegang haknya. Unsur hak kongkrit adalah sebagai berikut: 1 Penciptaan hak 2 Pembebanan dengan hak-hak lainnya 3 Peralihan hak 4 Hapusnya hak 5 Pembuktian hak Hak atas lahan garapan mangrove dikatakan memberikan kapasitas apabila sistematika penciptaan sampai dengan penghapusan unsur-unsur hak katagoris dan hak kongkrit adalah dalam jangka panjang memberikan jaminan untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kepastian hak penguasaan secara teoritis berfungsi sebagai alat koordinasi yang efektif karena mengarahkan perilaku pemegang haknya untuk mengendalikan kerusakan mangrove.

2.1.5 Sistem Pengawasan

Permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove adalah bagaimana mengatur hutan mangrove dalam keadaan lestari, pada sisi lainnya juga harus mengakomodasikan keinginan yang beragam dan sekelompok orang yang ingin memanfaatkan hutan mangrove guna memenuhi kepentingannya. Pengalaman beberapa negara bahwa hak pemilikan tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk menyelesaikan seluruh permasalahan sumberdaya alam. Hal ini karena tidak ada karakteristik sumberdaya alam yang benar-benar sempurna sebagai barang privat dan barang publik Stevenson 1991; Ostrom 1999; McKean 2000. Magrath 1989, menyatakan bahwa untuk pengaturan pengelolaan sumberdaya alam yang dapat mengendalikan pemanfaatan berlebihan adalah melalui : 1 pendekatan pengaturan langsung yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan tanpa bantuan mekanisme pasar; 2 pendekatan mekanisme pasar; 3 gabungan antara peraturan dengan mekanisme pasar. Magrath 1989 Stevenson 1991 dan Ostrom 1999, menyatakan bahwa mengaplikasikan hak pemilikan tanpa diikuti dengan sistem pengaturan yang efektif dapat 15 menciptakan permasalahan penghamburan sumberdaya alam dan memaksimalkan keuntungan, sehingga menghasilkan kerugian ekonomi dan sosial. Schmid 1987 dalam Kartodihardjo 1998 menyatakan bahwa institusi memiliki implikasi terhadap inisiatif dan kemampuan suatu organisasi untuk menjalankan penegakan peraturan guna mengatasi permasalahan komitmen, efisiensi, dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Pengaturan yang efektif adalah membatasi pemanfaatan dan orang- orang yang memanfaatkan, serta mendefinisikan secara jelas hak, kewajiban dan memiliki kewenangan untuk mengecualikan orang-orang atau kelompok orang yang tidak memiliki hak Stevenson 1991, Alikodra 2002, menyatakan bahwa terdapat 27 buah peraturan yang mengatur mengenai pengelolaan hutan mengrove yang kesemuanya mengarah kepada konservasi, namun dalam implementasinya banyak menghadapi hambatan karena perbedaan persepsi, ego sektor dan sulitnya penegakan hukum. Menurut Hirakuri 2003, pengaturan sumberdaya hutan di Brasil melalui peraturan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, ternyata tidak efektif mengendalikan kerusakan hutan. Apabila hak pemilikan tidak diaplikasikan dalam pengelolaan hutan mangrove, maka secara teoritis kinerja sangat bergantung kepada efektivitas pengawasan. Keberhasilan hanya dimungkinkan apabila lembaga pengawas bertindak dalam kerangka kepentingan kepentingan publik, memahami bekerjanya sistem ekologis, serta memiliki kemampuan dan kapasitas mengajak penggarap untuk berperilaku memanfaatkan ekosistem mangrove secara optimal. Apabila prasyarat tersebut tidak terpenuhi maka perilaku aktor cenderung berperilaku untuk selalu mengambil keuntungan tanpa memberikan kontribusi apa-apa terhadap pengelolaan hutan, sehingga terjadi pemborosan sumberdaya hutan yang berakibat menimbulkan kerugian secara sosial dan ekonomi. Persekongkolan antara pencuri, cukong dan oknum aparat sebagaiamana digambarkan Kartodihardjo dan Soedomo 2005, merupakan bukti empiris bahwa kebanyakan aktor menginginkan keuntungan tanpa memberikan kontribusi apa-apa. Perilaku tersebut adalah pilihan yang rasional bagi aktor, namun menimbulkan permasalahan ketika sebagian besar 16 berprilaku seperti itu. Tidak terkendalinya perilaku mengambil keuntungan tanpa berkontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya alam adalah indikasi terjadinya kegagalan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam. Bertitik tolak dari teori-teori tersebut maka sistem pengawasan yang efektif adalah yang memberikan peran kepada penggarap untuk mengendalikan dirinya sendiri untuk tidak melakukan pemanfaatan secara berlebihan. Selain itu peningkatan kapasitas pengawasan sangat diperlukan guna memantau aktivitas pemanfaatan mangrove.

2.1.6 Konsep Perilaku dan Kapasitas Penggarap

Perilaku dan kemampuan penggarap dalam merespon peraturan mempengaruhi kinerja pengelolaan ekosistem mangrove. Pemahaman terhadap hak dan kewajiban aturan main pemerintahan yang bersumber dari peraturan, akan mempengaruhi perilaku penggarap dalam melakukan pemanfaatan ekosistem mangrove. Pemahaman yang baik dan benar terhadap aturan main sebagai indikasi bahwa penggarap mengakui dan menerima aturan main. Kemungkinan lainnya yang menyebabkan kinerja pengelolaan ekosistem mangrove tidak seperti yang diharapkan karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas untuk melakukan reaksi seperti yang diharapkan oleh pemerintah Kartodihardjo 1998. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan ekosistem mangrove, kemungkinan penggarap memiliki perilaku dan kapasitas untuk memanfaatkan mangrove dengan pola tambak intensif. Sehingga mereka akan berusaha mempengaruhi dengan menolak institusi yang ditetapkan. Penolakan kemungkinan karena tidak sesuainya strata hak. Dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam Ostrom dan Schlager 1996 dalam Ostrom 1999, hak pemilikan dapat dijabarkan dalam strata hak untuk memasuki hutan, hak untuk memanfaatkan hutan, hak untuk melakukan pengelolaan hutan, hak untuk mengecualikan orang lain yang tidak memiliki hak dan memperjualbelikan hak. Sedangkan masyarakat dikelompokkan berturut-turut adalah sebagai pemilik, pengelola, penyewa, pengguna dan penikmat. Penikmat yang memiliki hak keindahan tetapi tidak memiliki hak untuk mengeksploitasi. 17 Tabel 2 Perangkat hak berdasarkan strata Strata Hak Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Penikmat Memasuki v v v v v Memanfaatkan v v v v Mengelola v v v v Mengecualikan v v Memindahtangankan v Sumber: Ostrom 1999 Kartodihardjo 1998, menyatakan bahwa rendahnya strata hak mengakibatkan pemegang hak tidak memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Dihubungkan dengan pemanfaatan ekosistem mangrove, rendahnya strata hak garapan mengarahkan perilaku penggarap untuk tidak memperlakukan ekosistem mangrove sebagai asset guna meningkatkan produktivitas usaha tambaknya. Oleh karena itu penggarap tidak berusaha untuk melindungi dan melestarikan ekosistem mangrove, karena dianggap sebagai penghambat untuk memaksimalisasikan keuntungannya.

2.1.7 Pengendalian Hubungan Saling Ketergantungan

Degradasi mangrove dapat terkendali apabila : 1 luasan mangrove yang dimanfaatkan untuk usaha tambak tidak melebihi kuota yang ditetapkan. Ketepatan dalam menentukan kouta tergantung kepada ketersediaan informasi yang diperlukan; 2 mangrove dapat ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya melalui peningkatan hasil rehabilitasi; 3 mangrove dapat dilindungi dari berbagai kerusakan, baik yang terjadi secara alami maupun karena gangguan keamanan hutan. Situasi biaya transaksi tinggi dari mangrove mengakibatkan penggarap merespon dan berperilaku mengkonversi mangrove menjadi tambak tanpa bersedia merehabilitasi, mengamankan dan melindunginya. Perilaku seperti ini merupakan perilaku yang tidak diharapkan yang menurut Stevenson 1991, dianggap sebagai pilihan rasional bagi individu, namun menimbulkan permasalahan besar apabila seluruh peserta berprilaku seperti ini. Pengendalian terhadap maksimalisasi keuntungan adalah konsep yang digunakan untuk mengendalikan perilaku yang tidak diharapkan dan bermuara terkendalinya kerusakan mangrove. 18 Hak pemilikan dapat mengendalikan perilaku penggarap untuk melakukan pemanfaatan mangrove secara lestari. Diaplikasikannya hak pemilkan dapat mendorong penggarap untuk melakukan rehabilitasi dan perlindungan mangrove secara partisipasif, karena dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas usahanya. 2.2 Ekosistem mangrove 2.2.1 Pengertian ekosistem mangrove Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang memiliki substrat berlumpur dan dapat tahan terhadap perubahan salinitas yang signifikan. Mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki muara sungai yang besar dan delta yang aliran airnya mengandung lumpur. Dilihat dari fungsi bagi ekosistem perairan, ekosistem mangrove memberikan tempat untuk memijah dan membesarkan berbagai jenis ikan, crustacea, dan spesies perairan lainnya Nagelkerken dan Van Der Velde, 2004. Komponen dasar rantai makanan di ekosistem mangrove adalah serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove daun, ranting, buah, batang dan sebagainya. Serasah mangrove yang jatuh ke perairan akan diurai oleh mikroorganisme menjadi partikel-partikel detritus sebagai sumber makanan bagi biota perairan yang memiliki perilaku makan dengan menyaring air laut. Serasah daun diperkirakan memberikan kontribusi yang penting pada ekosistem mangrove, tingginya produktifitas yang dihasilkan serasah daun yaitu sebanyak 7-8 tontahunHa Alongi 2002. Mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu silt dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air 19 sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut FAO 1994. Karakteristik ekosistem mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorfologi, hidrologi, dan drainase. Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Mangrove hidup pada daerah yang tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove. Ekosistem mangrove terdapat pada daerah yang terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat dan air pada ekosistem ini bersalinitas payau 2- 22 PSU hingga asin hingga 38 PSU Bengen 2002b. Komunitas fauna mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok yaitu : 1 Kelompok fauna daratanterestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. 2 Kelompok fauna perairanakuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu tipe yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang dan tipe yang menempati substrat baik keras akar dan batang pohon mangrove maupun lunak lumpur, terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis avertebrata lainnya. Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri atas berbagai kelompok, yaitu: burung, mamalia, mollusca, crustacea, dan ikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Gopal and Chauchan 2006, pada daerah mangrove di Sundarbans India terdapat 8 spesies mamalia, 10 spesies reptilia dan 3 spesies burung yang hidup dan berasosiasi dengan mangrove. 20 Dahuri 2004 mengatakan bahwa di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan satu jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis yang merupakan mangrove sejati true mangrove. Vegetasi mangrove dapat dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi pendukung, dan vegetasi asosiasi. Di Pulau Bali dan Lombok ditemukan 17 spesies vegetasi utama, 13 spesies vegetasi pendukung dan 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi Kitamura 2004.

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Nilai keuntungan manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi pencemaran produksi bahan organik sebagai sumber makanan, sebagai wilayahdaerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu: 1 Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir. 2 Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir. 21 3 Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan. 4 Mangrove menghasilkan bahan organik organic biomass yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan. 5 Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya. 6 Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan, udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan. Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Chapman 1977 dalam Kusmana 1998 terdiri 5 lima habitat, yakni: 1 Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga. 2 Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga terutama nyamuk. 3 Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keongkerang. 4 Lubang permanen dan semi permanent di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak. 5 Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikanudang. Secara fisik mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan abrasi. Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau 22 berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini Abdullah 1988. Peranan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, serta kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut. Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri 2004 mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung khususnya burung air, habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati Khazali 2001. Kontribusi yang paling penting dari mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 tonhatahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7 dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme terutama kepiting dan organisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi. Sistem perakaran dan tajuk yang rapat serta kokoh merupakan habitat alami yang aman untuk spesies perairan berkembang biak, selain itu mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai, penstabilisasi, penyangga serta pencegah erosi yang diakibatkan oleh arus, gelombang, dan angin bagi kelangsungan hidup manusia dan mamalia di darat dan biota perairan di laut. 23

2.2.3 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Ekosistem Mangrove Fisiografi Pantai

Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh. Iklim dan Oceanografi Faktor iklim yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove meliputi cahaya matahari, curah hujan, suhu udara, dan angin, adalah sebagai berikut : Cahaya Tanaman mangrove umumnya membutuhkan intensitas matahari tinggi atau penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkalm² hari. Curah Hujan Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm tahun. Suhu Udara Keadaan suhu yang baik, akan menentukan proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Menurut Kusmana 2003, mengatakan bahwa mangrove yang terdapat di bagian Timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran 26,3 ºC pada bulan Desember sampai dengan 28,7 ºC. Untuk setiap jenis mangrove, dibatasi pada lingkungan suhu yang berbeda bagi pertumbuhannya. Hutching dan Saenger 1987 dalam Kusmana 2003 mengatakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan 24 beberapa jenis mangrove, yaitu : Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa, Ceriops spp., Excoecaria agalloca dan Lumintzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera spp. 27 ºC, Xylocarpus spp. Berkisar antara 21-26 ºC dan X. granatum 28 ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata- rata minimal 20ºC. Temperatur rata-rata udara yang penting untuk pertumbuhan mangrove berkisar 20º - 40ºC Tomascik 1997. Suhu air juga merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan mangrove. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20ºC, sedangkan kisaran suhu musiman tidak lebih dari 5ºC . Temperatur yang tinggi 40ºC cenderung tidak mempengaruhi kehidupan tumbuhan mangrove . Angin Angin juga berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal. Salinitas Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, mereka juga dapat bertahan hidup pada lingkungan pantai yang sering kali tidak digenangi oleh air . Avicennia spp merupakan jenis yang paling memiliki kemampuan toleransi tinggi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis lainnya. Avicennia marina mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati air tawar sampai dengan salinitas 90 ‰. Pada kondisi salinitas yang ekstrim ini, pohon tumbuh kerdil, dan kemampuan untuk menghasilkan buah menjadi hilang McNae 1999. Namun demikian, tumbuhan mangrove tidak dapat bertumbuh pada lingkungan yang benar-benar tawar. 25 Arus Arus laut merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mangrove, terutama untuk peletakan atau penancapan semaian mangrove. Arus susur pantai mempunyai kontribusi terhadap pola penyebaran mangrove Tomascik 1997. Arus yang sangat berperan di kawasan hutan mangrove adalah arus pasang surut. Daerah-daerah yang terletak di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang bisa mencapai puluhan kilometer, seperti yang terdapat di Sungai Barito Provinsi Kalimantan Selatan. Panjang hamparan mangrove tergantung pada intrusi air laut yang sangat di pengaruhi oleh pasang surut air laut Noor 1999. Pasang surut Zonasi vertikal mangrove mempunyai kaitan erat dengan pasang surut. Di Indonesia, areal yang selalu digenangi, walaupun pada saat pasang rendah, umumnya didominasi oleh Avicennia alba dan Sonneratia alba. Areal yang digenangi oleh pasang sedang, didominasi oleh Rhizophora spp. Adapun areal yang digenangi pada saat pasang tinggi, dimana areal ini lebih ke arah darat, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera spp dan Xylocarpus granatum. Sedangkan areal yang hanya digenangi pada saat pasang tertinggi saja, umumnya didominasi oleh jenis Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea Noor 1999. Keterlindungan Fisiografis pantai menentukan lokasi bertumbuh dan berkembangnya komunitas mangrove. Mangrove dengan pertumbuhan yang baik biasanya terdapat di daerah pantai yang terlindung dari gelombang dan angin yang kuat, misalnya di daerah pantai yang memiliki terumbu karang yang baik serta tidak terlewati oleh arus pantai yang kuat . Menurut Nybakken 1992 biasanya mangrove dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terlindung dari gelombang dan memiliki pergerakan air yang minimal. Noor 1999 mengemukakan bahwa umumnya lebar hutan mangrove jarang melebihi 4 Km, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan 26 tertutup. Pada daerah seperti ini, lebar hutan mangrove dapat mencapai 18 Km, seperti yang terdapat di Sungai Sembilang Provinsi Sumatera Selatan atau bahkan bisa mencapai lebih dari 30 Km seperti yang terdapat di Teluk Bintuni Provinsi Irian Jaya. Batimetri Perairan Daerah pantai yang perairannya dangkal merupakan tempat yang banyak ditumbuhi mangrove. Kondisi tersebut dapat terlihat di daerah sepanjang pantai timur Pulau Sumatera Selat Malaka, bagian timur, selatan dan barat Pulau Kalimantan, bagian tenggara pantai Pulau Irian Laut Arafuru, serta di Pulau Halmahera. Vegetasi mangrove yang terdapat di daerah-daerah tersebut umumnya didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan Verbenanceae Menurut Bengen 2002b mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai yang perairannya dangkal dan memungkinkan ujung semaian mencapai dasar perairan dan menancap untuk kemudian bertumbuh. Selanjutnya, Chapman 1997 mengemukakan bahwa secara umum mangrove tidak ditemui di tempat-tempat dimana benih tidak dapat mengakar. Substrat Endapan lumpur yang cukup memadai merupakan salah satu faktor penentu kehadiran dan perkembangan mangrove . Sebagian besar hutan mangrove yang ada di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian berasosiasi dengan substrat berlumpur. Jadi kebanyakan mangrove mempunyai kecenderungan umum untuk bertumbuh di substrat lunak Tomascik 1997. Mangrove juga dapat berkembang baik pada substrat kapur, seperti mangrove yang terdapat di Pulau Rambut Teluk Jakarta, Pulau Panjang dan Pulau Berau Provinsi Kalimantan Timur. Tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak dan batuan-batuan organik yang lembut. Tanah vulkanik juga merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mangrove. 27 Oksigen Terlarut Keadaan oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi dan percepatan dekomposisi serasah sehingga kosentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari, yang dibatasi oleh waktu, musim, kesuburan tanah, dan organisme akuatik. Menurut Aksornkoae 1978, konsentrasi oksigen terlarut untuk mangrove 1,7-3,4 mgl, lebih rendah dibanding diluar mangrove sebesar 4,4 mgl. Zonasi Mangrove Zonasi hutan mangrove dari suatu tempat ke tempat lain berbeda tergantung pada kombinasi faktor-faktor yang mempengaruhi. Zonasi dapat juga diputuskan oleh kondisi lokal seperti penguapan air dari tanah yang mengakibatkan terjadi hipersalinitas. Hipersalin cenderung mematikan bakau membentuk daerah gundul Nybakken 1992. Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik didalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi. Selain itu tiga zona yang terdapat pada kawasan mangrove yang disebakan terjadinya perbedaan penggenangan yang juga berakibat pada perbedaan salinitas. Hal ini yang membuat adanya perbedaan jenis dikawasan mangrove. Adapun pembagian kawasan mangrove berdasarkan penggenangan sebagai berikut : 1 Zona “proksimal” yaitu zona yang terdekat dengan laut, pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis seperti Rhyzopora apicuta, R. mucronata dan Soneratia alba. 2 Zona “middle” yaitu kawasan antara laut dan darat, pada zona ini biasanya akan ditemukan S. caselaris, R. alba, Bruguiera gymnorrhiza, Avicenia marina 28 3 Zona “distal” yaitu zona yang terjauh dari laut, pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Heritiera littolis, Pongamia, Pandanus spp, dan Hibiscus tilliaceus. Substrat, salinitas, kedalaman dan lama penggenangan serta ketahanan terhadap gelombang dan arus adalah faktor penentu tumbuh dan menyebarnya jenis-jenis mangrove. Pada daerah mangrove yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, urutan vertikalnya dari spesies mangrove sangat jelas kelihatan. Salah satu tipe zonasi mangrove di Indonesia Bengen 2000 a; 1 Daerah yang paling dekat dengan laut ditumbuhi jenis Avicennia dan Sonneratia biasanya tumbuh pada lumpur dalam kaya bahan organik 2 Lebih kearah darat, umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga ditumbuhi Bruguiera dan Xylocarpus 3 Kearah darat setelah zona Rhizophora spp, hutan mangrove didominasi oleh Bruguiera spp. Daerah yang paling dekat dengan daratan dimana terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan daratan rendah, umumnya ditumbuhi Nypa dan pandan laut Pandanus spp.

2.2.4 Pengelolaan ekosistem mangrove

Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya manusia dalam mengubah sumber daya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi. Dahuri 2001 menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk ekosistem mangrove adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivitas mempunyai dua arti yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil pangan. Pengelolaaan ekosistem mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal ini sebagai langkah awal adalah mencegah semakin rusaknya ekosistim hutan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya Saenger 1983. 29 Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikordinasi secara resmi di dalam rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyrakat perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaaan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik Alikodra 1999. Pengelolaaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup kecil. Saenger 1993 mengatakan bahwa pengelolaan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan. Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada. Pengelolaan ekosistem mangrove tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi diwujudkan dalam bentuk pengelolaan multiguna Ahson 1993. Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek, Dahuri 2001. Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Pelestarian mangrove merupakan suatu usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat 30 membutuhkan sifat akomodatif dari pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya apabila lebih berpihak pada institusi yang paling rentan terhadap sumberdaya mangrove, yakni masyarakat. Masyarakat harus diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian mangrove. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap keberadaan mangrove perlu diarahkan kepada cara pandang pentingnya sumberdaya ini.

2.2.5 Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Kawasan pesisir merupakan wilayah yang secara ekologis sangat peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkat, sehingga wilayah pesisir mengalami tekanan dan cenderung menurunkan kualitas lingkungan wilayah pesisir serta kerusakan-kerusakan kawasan pesisir. Kondisi tersebut tidak bisa secara parsial dilihat sebagai masalah salah satu sektor saja, walaupun sektor hulu yang menerima dampak terbesar adalah sektor perikanan. Masalah degradasi kualitas dan nilai ekonomi sumber daya alam merupakan masalah lintas sektoral yang membutuhkan penanganan yang terpadu, tidak hanya pada tataran komitmen namun sampai pada tataran aksi manajemen pengelolaan ekosistem. Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan mangrove yang efektif dan efisien di Kabupaten Tangerang dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke 31 tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat. Dalam pengelolaan mangrove di Indonesia terdapat beberapa isu yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan mangrove tersebut. Masalah-masalah utama isu yang berhubungan dengan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Indonesia dapat dibagi menjadi empat isu yaitu: 1 Isu Ekologi a. Sekitar 57 dari total luas mangrove Indonesia berada dalam kondisi rusak, sehingga fungsi ekologis mangrove menurun. b. Konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove yang diharapkan mampu meningkatkan fungsi ekologi masih dianggap sebagai beban, bukan tanggung jawab. 2 Isu Sosial Ekonomi a. Keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove di antara penentu kebijakan dan masyarakat b. Keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi pengelolaan ekosistem mangrove belum optimal c. Kegiatan budidaya pada ekosistem mangrove yang ramah lingkungan dan berkelanjutan masih belum berkembang 3 Isu Kelembagaan a. Koordinasi pengelolaan serta penjabaran peran dan tanggung jawab instansi terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove belum berjalan b. Lemahnya kerangka kerja kelembagaan pusat–daerah yang berwenang dalam pengelolaan ekosistem mangrove c. Belum ada instansi yang disepakati untuk diberikan peranan kunci lintas sektoral untuk menjamin keharmonisan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove. 4 Isu Peraturan Perundang-Undangan a. Kebijakan pengelolaan dan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan ekosistem mangrove dan wilayah pesisir masih bersifat sektoral. b. Penegakan hukum dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih lemah. 32 c..Payung hukum pengelolaan ekosistem mangrove pada tingkat operasional masih banyak kelemahan.

2.2.6 Korelasi Ekosistem Mangrove dan Perikanan

Siregar, dan Purwoko 2002 menyatakan, kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkorelasi secara timbal balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya daratan atau lautan secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Di antara elemen ekosistem pesisir yang ada, mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemaran. Dalam tinjauan siklus biomasa, mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin dan pemijahan dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di ekosistem mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik dentritus yang dihasilkan dari dekomposisi serasah contoh: daun, ranting dan bunga. Selama proses dekomposisi, serasah berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme penyaring makanan, pemakan partikulat dan pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil dan selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga. Disamping itu terdapat jenis-jenis Crustacea penting seperti udang yang secara langsung memakan partikulat bahan organik dan juga memakan konsumer tingkat pertama. Singkatnya, mangrove berperan peting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan, baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari daur hidupnya. 33 2.3 Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut 2.3.1 Pengelolaan Pesisir Terpadu Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu P2T adalah proses yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan sustainability dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu: 1 UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alamdan Ekosistemnya. 2 UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang. 3 UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan LingkunganHidup. 4 UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah. 5 PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. 6 Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 7 Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. 8 Berbagai Peraturan Daerah yang relevan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu Integrated Coastal Zone Management, ICZM. Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif Dahuri et. 34 Al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi economic growth jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat stakeholders, dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan integration dan koordinasi.

2.3.2 Pengelolaan Pesisir Secara Berkelanjutan

Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital capital maintenance, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati biodiversity, sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dekratisasi, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan Wiyana, 2004. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada : 1 pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah eko-hidrologis yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; 2 kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan 3 kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan produk dan 35 jasalingkungan pesisir. Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini palingkurang memiliki empat tahapanutama : 1 penataan dan perencanaan, 2 formulasi, 3 implementasi, dan 4 evaluasi Cicin- Sain and Knecht 1998. Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulandan analisis data gunamengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategidan pemilihan strukturimplementasi untukmencapai tujuan tersebut. Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan maka keterpaduan dalamperencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu: a keterpaduan wilayahekologis; b keterpaduan sektor; c keterpaduan disiplin ilmu; dan d keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain,penetapan komposisi dan lajutingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholderssecara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaanpemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

2.3.3 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu

Salah satu isu dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan adalah konflik pengelolaan wilayah pesisir yang tumpang tindih perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintahan daerah, masyarakat setempat dan swasta yang memiliki berbagai kepentingan masing-masing. Padahal dalam proses pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu PWPLT dituntut implementasi yang 36 berkesinambungan dan dinamis dengan mempertimbangkan segala aspek sosio-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir stakeholders serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada Rohmin, 2001. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah pesisir dimana perencanaan sektoral yang berpotensi menimbulkan berbagai kepentingan instansi ke perencanaan terpadu yang melibatkan stakeholders yang berkepentingan di wilayah tersebut. Pengaturan Hukum dan Kelembagaan Menurut Albert W. Koers, berdasarkan hukum laut klasik sebagaimana yang tertuang dalam konvensi hukum Jenewa 1958, pada pokoknya laut dibagi dalam dua daerah kawasan, yaitu laut teritorial dan laut lepas Negara-negara pantai memiliki kedaulatan penuh di laut teritorial termasuk dasar laut dan udara di atasnya dengan disertai kewajiban untuk menjamin hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. Daerah pesisir dan pantai yang merupakan bagian dari daerah kawasan laut teritorial, maka dengan sendirinya merupakan bagian dari yusdiksi negara pantai, sehingga pengaturan hukum dalam kaitan dengan pengelolaan dan pelestariannya merupakan kewenangan dari negara pantai Pengaturan hukum di wilayah sekitar daerah pesisir dan pantai sebenarnya telah ada sejak masa penjajahan Belanda, namun permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya yang ada tetap selalu timbul bahkan seakan akan berlomba-lomba dengan sarana pengaturan hukum dan kemampuan aparat penegak hukumnya, salah satu penyebabnya adalah kurang terintegrasinya pengaturan sehingga peraturan yang satu tidak konsisten dengan peraturan lainnya akibat yang terjadi adalah timbulnya ketidak pastian hukum dan bahkan tidak jarang terjadi benturan wewenang dalam tehnik pelaksanaannya. Benturan peraturan yang terkait dengan kegiatan pengelolaan daerah pesisir dan pantai diantaranya bisa dilihat dalam undang-undang No: 9 tahun 1985 tentang perikanan, perhatian utama dari undang-undang ini adalah mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, hal yang menarik dari undang-undang ini adalah mengenai pengertian sumberdaya ikan , pasal 1 37 angka 2 mengelompokan jenis-jenis biota perairan yang kita kenal bukan sebagai ikan misalnya buaya, penyu, kura-kura, biawak, serta rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidup di dalam air, pengertian demikian akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan sektor lain, misalnya yang menyangkut status hutan bakau sebagai jenis tumbuhan yang hidup dalam air serta buaya penyu yang selama ini adalah merupakan bagian dari kewenangan departemen kehutan. Di samping permasalahan pengaturan hukum, pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di daerah pesisir dan pantai, juga menyangkut lembaga pengelola, sampai saat ini daerah pesisir dan pantai belum memiliki lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang khusus untuk menangani permasalahan dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah pesisir dan pantai, keadaan demikian cukup mengherankan jika dikaitkan dengan status negara kita sebagai negara kepulaan yang konon memiliki pantai terpanjang di dunia. Akibat rendahnya prioritas penanganan permasalahan yang timbul di daerah pesisir dan pantai di karenakan aturan hukum yang belum baik serta belum adanya lembaga yang diberi wewenang khusus inilah, sehingga pengelolaan sumberdaya alam yang ada di daerah pesisir dan pantai belum bisa dilakukan secara optimal. 38 39 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di pesisir Kabupaten Tangerang. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan kondisi kawasan mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang mengalami degradasi yang masih terus berlangsung. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juli 2012.

3.2 Tahapan Penelitian