Sistem Pengawasan Peraturan perundangan pengelolaan mangrove. .1 Peraturan yang terkait

76 konpensasi berdampak kepada peningkatan penguasaan fisik lahan garapan sehingga terus terjadi kerusakan ekosistem mangrove. Dualisme sistem hukum antara sistem hukum adat dengan sistem hukum barat menimbulkan ketidakpastian hak penguasaan atas lahan garapan sehingga penguasaan secara fisik atas lahan garapan menjadi karakteristik utama dalam pemanfaatan ekosistem mangrove. Karakteristik seperti ini memiliki kemiripan pada karakteristik sumberdaya alam bebas akses. Tidak adanya kepastian hak penguasaan lahan garapan menunjukkan bahwa empat karakteristik utama dalam konsep hak kepemilikan, yaitu menyeluruh, dapat mengecualikan, dapat dipindahtangankan, dan memiliki keamanan, tidak sepenuhnya diakomodasikan. Situasi ini mengakibatkan hak pemilikan dalam pengelolaan ekosistem mangrove tidak berfungsi secara efektif. Sehingga pengendalian kerusakannya sangat begantung kepada efektifitas sistem pengawasan.

5.3.2.7 Sistem Pengawasan

Sistem pengawasan adalah yang berkaitan dengan sistem penegakan hukum dalam pengelolaan mangrove yang meliputi kapasitas organisasi dan ketatalaksanaan. Kapasitas Organisasi Dualisme fungsi lembaga Perhutani Pengalokasian mangrove kepada Perum Perhutani dimulai pada tahun 1978, ketika terjadi restrukturisasi lembaga pengelola ekosistem mangrove dari Dinas Kehutanan Provinsi kepada Unit III Perhutani. Mangrove di Kabupaten Tangerang termasuk kedalam yurisdiksi Bagian Kesatuan Pemangkuan HutanAsisten Perum Perhutani Parungpanjang Kesatuan Pemangkuan HutanAdministratur Perum Perhutani Bogor. Perum Perhutani ini memegang 2 dua misi utama, yaitu melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelayanan publik dan tugas – tugas perusahaan Negara. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan Perum Perhutani bertanggung jawab kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Dualisme fungsi lembaga Perum Perhutani tersebut berakhir dengan 77 diundangkannya PP No 34 Tahun 2002, dimana tugas-tugasnya hanya yang berkaitan dengan fungsi pengelolaan hutan. Artinya fungsi pemerintahan dalam hal pengelolaan mangrove sudah bukan lagi menjadi otoritas Perum Perhutani. Situasi seperti ini pada tingkat operasional masih belum dipahami oleh lembaga Perum Perhutani maupun Pemerintah daerah, sehingga seringkali terjadi perbedaan-perbedaan diantara mereka yang berakhir menjadi konflik peran. Mengacu kepada strata hak Ostrom dan Schlager 1995 bahwa posisi Perum Perhutani dalam pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai pengelola sedangkan posisi penggarap sebagai penyewa. Sehingga hubungan diantara penggarap dan Perum Perhutani lebih bersifat hubungan antara buruh-majikan dan secara eksplisit tertuang dalam kontrak seperti penghapusan hak garapan dapat dilakukan secara sepihak serta tidak ada kompensasi atas penghapusan hak. Sistem Pengawasan Organisasi yang melakukan pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove adalah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH . BKPH memiliki tugas mengatur penyelenggaraan ketatalaksanaan perusahaan, pengamanan hasil hutan dan melakukan koordinasi dengan lembaga terkait dalam bidang pembinaan hutan, produksi, keamanan agraria, pembinaan lingkungan, administrasi dan keuangan. Orientasi tugas BKPH adalah pembinaan hutan, keamanan agrarian dan pembinaan lingkungan. Fungsi produksi difokuskan pada penerimaan Ganti Rugi Penggunaan Kawasan Hutan GRPKH. Untuk mengendalikan sekitar 4.740.79 ha yang terlibat dalam pemanfaatan mangrove. Perum Perhutani menempatkan 8 orang mandor yang berfungsi sebagai tenaga pengawas lapangan, yaitu mandor tanam dan mandor polisi teritorial, sehingga setiap orang mandor harus mengontrol sekitar 592.6 habulan. Total biaya untuk melakukan pengamanan mangrove termasuk gaji 18 personil sekitar Rp 81.531.000.- tahun, atau sekitar Rp 377.500.-orangbulan. Biaya pengamanan mangrove di BKPH Tangerang sekitar Rp 36.972.000.- bulan atau sekitar Rp 7.800.-hatahun. 78 Minimnya biaya pengamanan mengakibatkan petugas lapangan mandor tidak dilengkapi dengan sarana kerja yang memadai. Proporsi antara mandor dengan areal kerjanya adalah 1 : 1.750, seorang mandor setiap harinya harus mengawasai aktivitas pemanfaatan mangrove seluas 70 ha. Mandor harus serba bisa, mulai dari sebagai tenaga pengaman, pendamping, dan komunikator. Sehingga seringkali terjadi kesenjangan komunikasi yang bermuara terjadi perbedaan diantara penggarap dan mandor terutama dalam hal menerapkan GRPKH. Menurut Fitzduff 1997 bahwa kesenjangan komunikasi tersebut bisa menimbulkan konflik. Biaya untuk mengawasi pengalokasian manfaat mangrove per tahun hanya sekitar Rp 10.971.000.-tahun, atau sekitar Rp 1.050.-hatahun. Komponen biaya pengawasan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Komponen biaya pengamanan mangrove per tahun No Komponen Biaya Jumlah Biaya RpTahun 1 Perlindungan Terhadap Pencurian 7.400.000.- 2 Sarana dan prasarana 571.000.- 3 Koordinasi 3.000.000.- 4 Upah dan Tunjangan 70.560.000.- Jumlah 81.531.000.- Sumber : Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH Bogor Sementara itu harga garapan berkisar antara Rp 20 – 35 jutaha, sehingga permasalahan jual beli garapan, peningkatan luasan areal pemanfaatan, penebangan liar, penghilangan batas kawasan hutan, tidak dapat dikendalikan. Kondisi ini ada kemiripan dengan yang disinyalir oleh Hirakuri 2003 yang menyatakan bahwa salah satu penyebab kerusakan hutan di Brazil adalah kurangnya biaya pengawasan dan penyuluhan. Perbandingan antara biaya pengawasan dengan keuntungan apabila lahan garapan tersebut disewakan kembali oleh penggarap terlihat ada kesenjangan yang cukup tinggi. Tanpa melakukan aktivitas apa-apa penggarap sudah menikmati keuntungan sekitar Rp 2 jutahatahun. Apabila hak garapan tidak dapat diperjualbelikan maka penggarap akan kehilangan keuntungan sekitar Rp 2 jutahatahun, sehingga mendorong mereka untuk melakukan pemanfaatan secara berlebihan. Pasar sewa garapan 79 merupakan insentif bagi penggarap untuk melakukan jual beli garapan secara illegal dan meningkatkan aktivitas penggarapan secara illegal. Tanpa didukung dengan biaya pengawasan yang memadai maka intensitas pengawasan menjadi berkurang sehingga jual beli lahan garapan illegal dan penggarapan illegal menjadi meningkat. Konsekuensi logisnya adalah Perum Perhutani mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dan melakuan komunikasi dengan penggarap, sehingga praktek-praktek penggarapan yang tidak sesuai dengan kontrak terus terjadi.

5.3.3 Peranan Hak Pemilikan Terhadap Degradasi Mangrove