79
merupakan insentif bagi penggarap untuk melakukan jual beli garapan secara illegal dan meningkatkan aktivitas penggarapan secara illegal. Tanpa
didukung dengan biaya pengawasan yang memadai maka intensitas pengawasan menjadi berkurang sehingga jual beli lahan garapan illegal dan
penggarapan illegal menjadi meningkat. Konsekuensi logisnya adalah Perum Perhutani mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dan melakuan
komunikasi dengan penggarap, sehingga praktek-praktek penggarapan yang tidak sesuai dengan kontrak terus terjadi.
5.3.3 Peranan Hak Pemilikan Terhadap Degradasi Mangrove
Hak penguasaan atas ekosistem mangrove bersumber dari 11 buah peraturan. Namun yang paling menentukan adalah bersumber dari Keputusan
Kepala unit III Perum Perhutani No 2201 KptsIII1998, tentang GRPKH yang berimplikasi kepada Kontrak kerja sama antara Perum Perhutani
dengan Penggarap untuk melakukan pengelolaan ekosistem mangrove. Kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak tercermin dalam
kontrak. Hasil analisis menunjukkan bahwa sistematik pemberian hingga penghapusan unsur-unsur hak katagonis dan hak konkrit kontrak tidak
menimbulkan kepastian hak penguasaan. Hal ini berarti bahwa kontrak belum efektif mengatur hak dan kewajiban dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
Menurut Schmid 1988 bahwa kejelasan ataupun kepastian hak masing-masing pihak akan tercermin dari sistem pengaturan, sehingga kurang
efektifnya sistem pengaturan berdampak kepada ketidakpastian hak. Kontrak antara Perum Perhutani dengan penggarap hanya memberikan kepastian bagi
penguasaan fisik tanah, dan tidak memiliki kekuatan sebagai lembaga hukum. Lahan garapan belum dapat dikatakan sebagai hak pakai
garap ataupun hak sewa apalagi sebagai hak milik. Ketidakpastian hak penguasaan atas garapan mendorong penggarap untuk melakukan
pemanfaatan secara berlebihan. Hak yang melekat pada kontrak adalah hak untuk berpartisipasi dalam
penanaman sedangkan unsur-unsur yang lainnya berdiri sendiri-sendiri seperti pemanfaatan, pemeliharaan, pengamanan dan perlindungan ekosistem
80
mangrove. Hak unsur tertentu misal penanaman tidak secara otomatis memberikan hak bagi unsur lainnya misalnya memanfaatkan. Kondisi ini
mengakibatkan posisi penggarap menjadi tidak pasti, sehingga alternatif pilihan yang rasional bagi penggarap adalah menghilangkan tanaman
mangrove. Dengan hilangnya atau rusaknya tanaman mangrove maka jangka waktu kontrak menjadi lebih lama dan peluang untuk diperpanjang kontrak
semakin besar. Jangka waktu kontrak perlu mempertimbangkan keberlanjutan usaha penggarap sehingga dapat mengendalikan degradasi mangrove. Hasil
kajian kepastian hak disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak
Komponen hak
Aturan kontrak
Sistematika hak Kepastian
hak penguasaan lahan
Pasti Tak pasti
Hak Katagoris 1.Nama hak
Kerjasama penanaman,
pemeliharaan, pengamanan,
perlindungan, pemanfaatan
hutan
payau sistem
tumpangsari Tidak ada keterkaitan
dengan peraturan
bidang kehutanan
maupun pertanahan
Sumber: Hasil penelitian 2013
81
Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak lanjutan Komponen
hak Aturan
kontrak Sistematika hak
Kepastian hak
penguasaan lahan Pasti
Tak pasti 2. Isi kontrak
a.Kewenanga n
Budidaya pola
empangparit pada
lahan yang dikuasai
Tidak didefinisikan
penggunaan tanah
apakah permukaan
saja atau
hingga bawah permukaan
b.Pembatasan kewenangan
Membangun gubuk kerja,
menebnag pohon,
mengeringkan lahan
yang mengakibatka
n kematian
pohon dan
membanghun pemukiman
Pembatasan kewenangan
tidak difokuskan
untuk memelihara
fungsi ekologis, fungsi sosial
dari lahan garapan
c. Pembeda Membayar
sewa dan
kewajiban tergabung
dalam kelompok tani
hutan Hubungan hak hanya
bersifat bagi
hasil atau
sewa lahan
garapan
Sumber: Hasil penelitian 2013
82
Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak lanjutan Komponen
hak Aturan kontrak
Sistematika hak Kepastian
hak penguasaan lahan
Pengaturan Subyek
Pasti
Tak pasti
Ketentuan umum
Tidak ada
pembatasan peserta yang terlibat dalam
penggarapan Tidak
jelas keberpihakannya
kepada kelompok
masyarakat tertentu sehingga
masyarakat yang memiliki
kemempuan akses lebih besar
peluangnya.
b.Ketentuan khusus
Membayar sewa
dan tergabung
dalam kelompok
tani hutan Tidak
ada pengaturan
khusus yang
berkaitan fungsi sosial tanah
Pengaturan tanah
Ketentuan umum
Membangun dan
membudidayakan tambak
dalam kawasan
hutan mangrove
Tidak ada
pengaturan penggunaan
permukaan tanah dan yang ada
dibawah permukaan tanah
b.Ketentuan khusus
Melakukan penyulaman
tanaman, pengamanan
dan perlindungan hutan
Tidak ada
pembatasan lahan
garapan yang
boleh diusahakan dan
yang harus
dipertahankan sebagai hutan
Sumber: Hasil penelitian 2013
83
Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak lanjutan Komponen
hak Aturan kontrak
Sistematika hak Kepastian
hak penguasaan lahan
1.Penciptaan hak
SK Kepala Unit III
Perum Perhutani
No 2201kptsIII1998
yang dituangkan dalam
kontrak kerjasama
Tidak terkait
peraturan kehutanan maupun
pertanahan. Dialokasikan
Oleh pejabat yang tidak
berwenang mengatur
fungsi publik
2.Pembebanan hak
Tidak dapat
diagunkan dan
tidak dapat
diperjualbelikan Tidak ada jaminan
akan ditanami oleh Perhutani
Bukan
lembaga hak
jaminan karena tidak ada
UU 3.Pemindahan
hak Tanaman
tidak berhasil
Akan digunakan
perhutani Melanggar
aturan main Tidak
terkait hukum waris
Tidak dapat
dipindahtangankan
4.Hapusnya hak
Habis masa
berlaku dan tidak diperpanjang
Peristiwa memenuhi kaidah
hukum tetapi
mekanismenya tidak
melalui pemberitahuan
5.Pembuktian hak
Hanya mengatur letak dan lokasi
lahan garapan Tidak memenuhi
azas hukum tanah tidak
ada hak
tanah, tidak ada kompensasi serta
tidak bisa
mengecualikan Status tanah
adalah tanah
hutan, pemegang hak
adalah penyewa
dan posisi
tawar penyewa
lemah apabila
terjadi pelepasan hak
Sumber: Hasil penelitian 2013
84
Kontrak kerjasama tidak membatasi penggarap untuk melakukan maksimalisasi pemanfaatan lahan garapan, sehingga mendorong para
penggarap untuk memilih berprilaku mengambil keuntungan tanpa memberikan kontribusi apa-apa terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.
Apabila seluruh penggarap berprilaku seperti ini maka kerusakan ekosistem mangrove menjadi tidak terkendali. Sebagaimana diungkapkan Magrath
1989 bahwa perilaku mencari keuntungan tanpa memberikan kontribusi apa-apa sebagai indikasi pencarian keuntungan individu tidak dikendalikan
secara efektif dan mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam. Berarti bahwa kontrak yang tidak memberikan kepastian memberikan sumbangan untuk
menciptakan kerusakan ekosistem mangrove. Tabel 14 Kajian kontrak kerjasama Perhutani dengan Penggarap
Unsur Kepastian Hak
Sistematika pengaturan Analisis
Eksis Normatif
Nama hak Perjanjian
kerjasama Penanaman,
Pemeliharaan, Pengamanan,
Perlindungan, Pemanfaatan
Hutan
payau dengan
system Tumpangsari
Pasal 26 UU No 4199
bentuk pemanfaatan
adalah izin usaha pemanfatan
kawasan,
jasa lingkungan
dan pemungutan hasil
hutan kayu. Pasal 42
tentang rehabilitasi hutan
partisipatif Nama hak tidak
sesuai dengan
institusi hak PP No
342002 ataupun
SK Menteri
Kehutanan No.
31kpts-II2000 tentang
Hutan Kemasyarakatan
Sistematika kontrak
Usaha empang
dalam kawasan
hutan oleh masyarakat
selama 2 tahun, termasuk
hak sekunder
pengelolaan hutan
dalam bentuk
sewa kawasan hutan
Masyarakat memperoleh izin
dari Perum
Perhutani sifatnya
sementara dan
tidak otimatis
memperoleh hak penguasaan tanah
hutan Usaha
empang dalam
kawasan hutan
mangrove diberikan
oleh Perum Perhutani
yang belum
memperoleh izin usaha perikanan
Sumber: Hasil penelitian 2013
85
Tabel 14 Kajian kontrak kerjasama Perhutani dengan Penggarap lanjutan
Unsur Kepastian
Hak Sistematika pengaturan
Analisis Eksis
Normatif Pembebanan hak
Hak ikut
penanaman tidak
secara otomatis
diberiakan konpensasi
melakukan pemanfaatan.
Demikian juga hak memanfaatankan
tidak
secara otomatis
diberi kompensasi
menanami, memelihara,
mengamankan dan melindungi
mangrove Hak
masyarakat adalah
pemanfaatan hasil hutan,
jasa lingkungan,
hak memanfaatkan
kawasan hutan,
dan hak mengelola hutan
kemasyarakatan Perum
Perhutani bukan
lembaga yang
mengatur fungsi
fungsi publik dari hutan
tetapi fungsi
pengelolaan hutan yang tidak dapat
delegasikan kepada pihak lain
Penetapan isi
kontrak Difokuskan
mengatur hubungan
sewa antara
penggarap dan
Perum Perhutani
Diarahkan untuk
meningkatkan optimalisasi
fungsi-fungsi ekologi, ekonomi
sosial
hutan mangrove
Melindungi dan
mempertahankan keberadaan
mangrove dianggap
melindungi fungsi- fungsi
ekologi, ekonomi dan sosial
Pengaturan Pengaturan subyek
tidak memprioritaskan
kepada masyarakat sekitar dan tidak
ada pembatasan Manfaat mangrove
terdistribusi secara proporsional
Manfaat mangrove hanya terdistribusi
kepada yang
memiliki sumberdaya
dan akses
Pengaturan obyek difokuskan
penyulaman tanaman yang mati
Diarahkan mengatur proporsi
tambak dalam
andil, hak
dan kewajiban
untuk memelihara
kelestarian mangrove
Tidak ada
pengaturan proporsi
tambak dalam andil, dan
ketiadaan kewajiban
untuk merehabilitasi atau
menanami garapan
Sumber: Hasil penelitian 2013
86
Tabel 14 Kajian kontrak kerjasama Perhutani dengan Penggarap lanjutan Unsur
Kepastian Hak
Sistematika pengaturan Analisis
Eksis Normatif
Penciptaan hak Bersumber
dari Keputusan Perum
Perhutani hak
primer berada
pada Perhutani Bersumber dari
Pemerintah atau kewenangan
fungsi
publik bidang
kehutanan yang telah
didelegasikan berdasrkan
peraturan
yang berlaku
Hal-hal yang
berkaitan dengan penguasaan hutan
harus bersumber dari
lembaga yang berwenang
memberikan pengaturan fungsi
publik pengelolaan
hutan
Pemindahan hak Hak tidak dapat
dipindahtangankan Prosesnya
dikembalikan ke pemberi
hak, selanjutnya
dialokasikan ke pemohon baru
Dapat dilakukan secara
sepihak oleh
Perum Perhutani
tanpa ada kompensasi
Hapusnya hak Habis
masa berlakunya damn
lalai terhadap
ketentuan Dideklarasi
dengan keputusan,
prosesnya melalui
pemberitahuan. Perpanjangan
hanya diberikan 1 kali
Hapusnya hak
yang berakibat
tanah tersebut
kembali kepada
Perum Perhutani dan tidak ada SK
penghapusan hak
Pembuktian Kontrak kerjasama
tanpa dilegalisasi oleh Pemda
Kontrak dilegalisasi oleh
Pemda Tidak memenuhi
azas hukum tanah dan
pengaturannya memperlemah
penggarap
Sumber: Hasil penelitian 2013
87
Hak Kategoris
Sistematika penciptaan hingga penghapusan hak pada kontrak lahan garapan belum dapat diklasifikasikan sebagai lembaga hukum hak
katagoris. Bentuk kontrak yang paling dimungkinkan berdasarkan PP No 30 Tahun 2003 tentang Perum Perhutani adalah kerjasama usaha tambak antara
Perum Perhutani dengan masyarakat. Akan tetapi Perum Perhutani belum memiliki izin usaha untuk melakukan usaha perikanan berdasarkan PP N0
15 Tahun 1990, demikian juga berdasarkan UU No 41 tahun 1999 belum mengatur mengenai perizinan usaha pemanfaatan ekosistem mangrove untuk
budidaya tambak. Usaha budidaya tambak adalah bentuk penggunaan tanah permukaan
juga air yang berada diatas dan atau dibawah mangrove. Situasi mengakibatkan bahwa pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling
dimungkinkan mengacu UU No. 41 Tahun 1999, yaitu melalui penggunaan kawasan hutan konversi. Permasalahannya bahwa kawasan mangrove di
Kabupaten Tangerang berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195 Kpts-II2002 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung perairan,
sehingga tidak dimungkinkan untuk dikonversi terkecuali diubah fungsinya menjadi kawasan hutan produksi. Hasil analisis kepastian hak disajikan pada
Tabel 14. Pemberian hak untuk melakukan penanaman tidak diikuti dengan
kopensasi memberikan hak untuk mengusahakan tambak dalam kawasan hutan. Demikian juga unsur-unsur lainnya seperti pemeliharaan, pengamanan
dan pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga sumber hubungan saling ketergantungan tidak pernah terwujud. Hal ini yang mengakibatkan
penggarap menginterpretasikan kontrak sebagai persewaan lahan garapan dan bukan dalam konteks mengelola ekosistem mangrove. Interpretasi seperti ini
karena subyek hak hanya mempersyaratkan kewajiban membayar sewa garapan
sebagai persyaratan
utama di
dalam memperoleh
dan memperpanjang kontrak lahan garapan.
Isi hak tidak memberikan kewenangan kepada penggarap untuk memelihara dan melindungi fungsi-fungsi ekologis dan sosial ekosistem
88
mangrove, bahkan isi hak lebih banyak mengatur fungsi ekonomi lahan garapan. Isi hak lebih difokuskan mengatur hubungan antara penggarap dan
Perum Perhutani selaku pemilik lahan. Penggunaan lahan garapan tidak terdefinisikan secara jelas. Padahal dijelaskan Harsono 1999 bahwa
penggunaan pemanfaatan tanah dapat diperluas dari permukaan tanah tetapi juga air yang berada di atas dan atau dibawahnya.
Pengaturan subyek lebih banyak difokuskan kepada pengaturan sewa garapan dan kewajiban telah dijadikan persyaratan utama dalam perolehan
serta perpanjangan hak. Pengaturan subyek tidak memprioritaskan kepada kelompok masyarakat tertentu tetapi kepada seluruh warganegara res
publicae dan tidak ada pembatasan luasan lahan garapan. Pengaturan obyek tidak secara khusus mengatur mengenai kewajiban
penggarap untuk melakukan penanaman kembali atas lahan garapannya. Pengaturan obyek hanya difokuskan kepada penyulaman tanaman hasil
rehabilitasi yang mengalami kematian. Pengaturan seperti ini mengandung makna bahwa penanaman areal lahan garapan bukan merupakan kewajiban
penggarap, dan jangka waktu kontrak sangat bergantung pada keberadaan tanaman mangrove. Semakin sedikit tanaman yang tumbuh pada lahan
garapan maka semakin besar peluang mereka untuk memperpanjang kontrak garapan. Oleh karena itu berkembang prinsip untuk menghilangkan.
Hak Kongkrit
Berdasarkan Tabel bahwa sistematika penciptaan hingga penghapusan hak kongkrit belum menimbulkan kepastian hak penguasaan atas tanah.
Kontrak tidak terkait secara langsung dengan ketentuan konversi UU No 5 Tahun 1960 sehingga tidak memungkinkan bagi pemegang haknya untuk
memperoleh pemilikan ataupun penguasaan atas tanah ekosistem mangrove. Kontrak yang diberikan Perum Perhutani adalah hak atas penguasaan tanah
yang bersifat sementara, yang mana menurut Harsono 1999 bahwa hak tersebut kurang sesuai dengan azas hukum pertanahan nasional yang
menyatakan bahwa dalam usaha pertanian tidak boleh ada unsur-unsur pemerasan. Aktivitas pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan oleh
89
penggarap dengan kompensasi memperoleh hak garapan, sedangkan Perum Perhutani bertindak sebagai pengatur dan pengawas. Hubungan kerja seperti
ini digambarkan Harsono 1999 memiliki kemiripan dengan hubungan antara buruh dan majikan, serta tidak menumbuhkan hubungan saling
ketergantungan Wilson 1995 dalam Ostrom 1999 menyatakan bahwa tidak dialokasikannya posisi hak pengelolaan kepada masyarakat lokal tidak
akan mengarahkan kepada efisiensi. Pengaturan hak Pengaturan kewajiban memelihara fungsi-fungsi sosial
dan ekologis ekosistem mangrove, tidak secara eksplisit diatur dalam kontrak. Memelihara fungsi
ekologis mangrove hanya diindikasikan dengan memelihara hasil reboisasi, sementara itu penanaman secara mendiri atas
lahan garapan secara eksplisit bukan kewajiban penggarap. Tidak ada pengaturan penelantaran fungsi sosial tanah yang berimplikasi kepada
hapusnya hak. Tidak ada pengaturan fungsi ekologis seperti pengeringan tambak yang merupakan rangkaian pemeliharaan tanah ekosistem mangrove.
Kontrak yang efektif selayaknya menciptakan hak dan kewajiban yang secara khusus mngenai kawasan mangrove, sehingga siapapun yang terlibat
dalam pemanfaatan kawasan mangrove dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan, pengevaluasian dan pemberian sanksi peraturan. Posisi hak dan
kewajiban penggarap disajikan pada Tabel 15. Keselarasan hak dan kewajiban mendorong pelaku pengelolaan
mangrove untuk menciptakan dan mematuhi peraturan secara bersama-sama. Persyaratan untuk menghindari kesalahan pengaturan dalam pengelolaan
kawasan mangrove yang dikemukakan Ostrom 1999 adalah : 1 kejelasan siapa yang diizinkan untuk memanfaatkan; 2 kejelasan waktu, jumlah,
lokasi, dan teknologi pemanfaatan; 3 kejelasan kewajiban memberikan kontribusi terhadap tenaga kerja, dana untuk menyediakan atau merawat
hutan; 4 kejelasan sistim pengawasan, dan; 5 mekanisme penyelesaian konflik.
Tidak diakomodasikannya pemindahan hak mengakibatkan tidak ada pasar bagi lahan garapan, sehingga mendorong penggarap melakukan
pemanfaatan berlebihan. Rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh
90
Perhutani merupakan akibat dari penerimaan sewa garapan, sepanjang terdapat keberlanjutan penerimaan sewa garapan maka Perhutani masih dapat
melanjutkan program penanaman mangrove. Kewajiban untuk memelihara kelestarian ekosistem mangrove telah dialihkan kepada penggarap, sehingga
berkurang tanggung jawab Perhutani dalam hal melestarikan kawasan mangrove. Mengacu posisi hak Schlager dan Ostrom 1996 bahwa tidak bisa
dipindahkannya hak garapan berarti bahwa posisi adalah hanya sebagai penyewa lahan. Sehingga Ostrom 1999 menyatakan bahwa strata hak
seperti ini tidak dapat meningkatkan produktivitas pengawasan. Tabel 15 Strata hak dan kewajiban kontrak Penggarap dan Perhutani
No Penggarap
Perum Perhutani Hak
Kewajiban Hak
Kewajiban 1
Memperoleh hak melalui
permohonan Menyulam tanaman
mati Menentukan
cara tanam,
pemeliharaan tanaman mangrove biudidaya perikanan
Memberi izin tambak
dalam kawasan
mangrove
2 Pengelolaan
pemilikan hasil tambak
Memberantas hama dan
menghindarkn dari
perusakan pohon
Menentukan letak parit, rabak dan jenis ikan
Bimbingan teknis
penanaman pengamann
3 Menerima
andil garapan
Melaporkan perusakan
tegakan hutan
dan mengamankan hutan
Menghentikan sepihak kontrak kerjasama tanpa kompensasi
Mengawasi mengendal
ikan usaha
tambak 4
Melepaskan hak bila akan
digunakan Perhutani
Mencabut hak
jika akan
digunakan Perhutani 5
Melindungi mengamankan aliran
air Mengalokasikan garapan
6 Membayar
sewa lahan GRPKH
Memasukanmengeluarkan air
ke empang 7
Turut aktif dalam kelompok tani hutan
Pemberantasan hama
dan penyakit
8 Mengenal peraturan
perlindungan hutan Menentukan tarif GRPKH
9 Menjaga merawat
batas Menentukan lokasi andil
10 Memasarkan
hasil budidaya ikan
Sumber: Hasil penelitian 2013
91
5.3.4 Perilaku dan Kapasitas Penggarap