66
mangrove menjadi laut 7.62 hektar 0.31 . Perubahan dikarenakan terjadi pengikisan abrasi pantai di wilayah penelitian. Adapun jenis vegetasi
mangrove yang ditemukan yaitu jenis Avicennia, Rhizophora. Avicennia merupakan jenis tumbuhan yang dominan di kawasan Tanjung Pasir.
Sedangkan Rhizophora mendominasi tumbuhan mangrove di Kecamatan Paku Haji dan Kosambi.
5.2 Abrasi pantai
Perubahan terhadap fisik lahan yaitu pengikisan abrasi pantai yang mengakibatkan terjadi pergeseran garis pantai telah dijumpai dalam
penelitian ini. Proses pengikisan pantai di lokasi penelitian karena disebabkan oleh arus air yang cukup deras, gelombang pasang surut yang
tinggi, dan kurangnya hutan mangrove. Pergeseran garis pantai nampak terjadi di daerah Kramat, Kecamatan Pakuhaji, perkiraan bergeseran pantai
akibat abrasi mudur berkisar 0.34 km dan di daerah Desa Salembaran, Kecamatan Kosambi mundur berkisar 0.22 km lihat Gambar 7.
Gambar 7 Pergeseran Garis Pantai Tahun 1990 - 2007 Suwargana 2010 Selain abrasi terjadi pula penambahan daratan kearah laut akresi
Gambar 8 tepatnya di daerah Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga tepatnya sebelah Timur dan sebelah Barat muara sungai Cisadane, garis pantai sebelah
Timur bergeser maju berkisar 1.37 km dan sebelah Barat tepatnya di Desa Kohod bergeser 0.32 km. Proses penambahan daratan terjadi karena
bentuklahan tersebut unik lekuk. Arus pantai yang kuat dan gelombang
67
pasang tinggi mendorong lumpur yang berasal dari sungai Cisadane dan berkumpul di lekukan bibir pantai tersebut. Fenomena tersebut berjalan
bertahun-tahun hingga daratan bertambah maju kearah laut dan menjadi tanah timbul lahan terbuka. Oleh masyarakat kini tanah timbul tersebut telah
dimanfaatkan menjadi lahan tambak.
5.3 Permasalahan pengelolaan mangrove di kabupaten Tangerang
Dari hasil penelitian lapangan dan data sekunder yang relevan ditemukan beberapa permasalahan pokok yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan mangrove di wilayah penelitian.
5.3.1 Konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan
Pengelolaan mangrove terdiri atas dua fungsi utama yaitu Pertama sebagai fungsi lindung yang diselenggarakan dengan tujuan untuk
meningkatkan fungsi pengaturan tata air, pencegahan intrusi air laut, polusi, perlindungan terhadap angin, abrasi pantai dan mempertahankan habitat biota
akuatik dan terrestrial. Kedua , pengelolaan mangrove dengan fungsi pelestarian diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian,
keunikan keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem mangrove. Dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian mangrove diupayakan dapat
terintegrasi dengan kepentingan dan hak masyarakat sekitarnya. Permasalahan utama dalam pengelolaan mangrove yang berkaitan
dengan upaya kelestarian fungsinya adalah perambahan mangrove dalam bentuk perubahan status kawasan untuk keperluan perluasan tambak yang
dilakukan secara besar-besaran oleh pihak swasta. Luas kawasan mangrove di Tangerang kondisinya banyak mengalami tekanan berupa pencemaran dan
perambahan. Selain itu belum ditemukan formula yang cukup memadai untuk menghentikan atau menghambat upaya perambahan yang dilakukan secara
sistematis dan sporadis. Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Tangerang mengalami konflik
antar stakeholder. Konflik pemanfaatan terjadi secara horizontal antar masyarakat dan pengusaha, dan konflik vertikal antar pemerintah daerah.
68
Konflik di Tangerang akibat belum memiliki status hutan yang jelas. Sosialisasi kebijakan bagi para petambak dan masyarakat kurang efektif
sehingga tetap menimbulkan pola pemanfaatan yang berlebihan. Alih fungsi lahan terjadi karena tidak tegasnya penegakan hukum mengenai ketaatan
terhadap rencana tata ruang yang telah disusun. Alih fungsi lahan terjadi khususnya untuk mangrove di Tangerang untuk kegiatan pertambakan.
5.3.2 Peraturan perundangan pengelolaan mangrove. 5.3.2.1 Peraturan yang terkait
Institusilembaga merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur masyarakat Schmid 1998. Peraturan memiliki peranan penting dalam
pengelolaan mangrove. Peraturan dapat berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku penggarap dalam melakukan pemanfaatan mangrove.
Kinerja pengelolaan mangrove adalah merupakan output dari peraturan, sehingga sistem pengawasan yang meliputi sistem organisasi dan
ketatalaksanaannya merupakan bagian integral dalam mempelajari peraturan. Dari hasil penelusuran terdapat banyak peraturan yang terkait secara
langsung dan tidak langsung dengan pengelolaan mangrove. Hirarki peraturan tersebut mulai dari UU hingga Peraturan Desa yang berdasarkan
pengaturannya terdiri atas, yaitu: 1 pengalokasian distribusi kewenangan pengelolaan mangrove; 2 pengaturan substansi penentuan
kawasan mangrove dan pengkonversian mangrove; 3 pengaturan pemanfaatan
mangrove; 4 pengaturan rehabilitasi mangrove; 5 perlindungan dan pengamanan mangrove.
Peraturan yang berkaitan dengan pengaturan pemilikan kawasan mangrove meliputi pendistribusian kewenangan pengaturan, penentuan status
dan fungsi, serta pemanfaatan kawasan mangrove. Ketidakpastian pengaturan terhadap hutan mangrove diantara sektor pemerintah bersumber dari
pendistribusian kewenangan, sedangkan ketidakpastian hak penguasaan bersumber dari pengaturan status dan fungsi, serta pemanfaatan kawasan
hutan. Terdapat sejumlah peraturan yang mendukung bagi terciptanya bebas akses pada kawasan mangrove, yaitu 2 dua UU, 6 enam buah PP, 3 tiga
69
buah Keputusan Menteri, 1satu buah Keputusan Kepala Unit III Perum Perhutani, 1 satu SKB Bupati dan Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan
Bogor, 1 satu buah Perda dan 5 lima buah Perdes. Secara garis besar pengaruh berbagai peraturan terhadap kinerja
pengelolaan mangrove disajikan pada Tabel 9. Kesemua peraturan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi penggarap untuk
melakukan pemanfaatan secara berlebihan sehingga fenomena degradasi selalu terjadi.
Tabel 9 Peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang
Peraturan Bidang Isi
Pelaksanaan Kinerja
PP Nomor 69 Tahun 1996
Pelaksanaan hak
dan kewajiban serta
bentuk dan tata cara peran serta
masyarakat dalam penataan
ruang Perda no 5 tahun
2003 tidak
melibatkan masyarakat
sekitar mangrove Menimbulkan
keraguan status
mangrove dan
peluang bagi free rider
untuk memperjualbelikan
lahan garapan.
Sumber: Hasil penelitian 2013
70
Tabel 9 Peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang lanjutan
Peraturan Bidang Isi
Pelaksanaan Kinerja
PP N0 15 tahun 1990
jo. No
1412000 Usaha
Perikanan Diimplementasikan
pada areal garapan dan
penggarap memperoleh
insentif dibebaskan dari iuran usaha
perikanan
IUP dan
pungutan perikanan
Perubahan pola pemanfaatan dari
tambak tumpangsari
menjadi tambak intensif.
Sehingga kuota pemanfaatan
melewati 4 kali lebih besar.
Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan No 452000
Perijinan Usaha
Perikanan
Keputusan Menteri Kelautan
dan perikanan No 09men2001
Intensifikasi budidaya
udang pada
rawa dan
payau Keputusan
Menteri Keuangan No
174KMK. 041993
Penentuan klasifikasi dan
besarnya nilai jual
objek pajak sebagai
dasar pengenaan
PBB Mangrove
dikatagorikan sebagai tanah tidak
produktif,
nilai jualnya
sama dengan
kelas terendah
Mangrove dianggap bernilai
apabila bermanfaat
dalam
jangka pendek
Keputusan Gubernur
no 593Huk1988
Penguasaan peruntukan dan
penggunaan tanah timbul
Duplikasi pengaturan
kawasan mangrove terutama
yang tidak
ada tanamannya karena
dianggap sebagai
tanah timbul objek land reform
Tanah timbul
yang berbatasan dengan
lahan masyarakat
merupakan objek land
reform. Terjadi dualism
lembaga hak
pemilikan. SK Dirut Perum
Perhutani No.
136Kpts?dir1998 Pengelolaan
hutan bersama masyarakat
Diterapkan pada
kegiatan pengelolaan hutan
mangrove
Perda kabupaten No 5 tahun 2003
Tata ruang
kawasan khusus Pantura
Mangrove tidak
sebagai kawasan
lindung Penggarap tidak
taat aturan main kontrak
Sumber: Hasil penelitian 2013
71
Tabel 10 Peraturan yang berpengaruh terhadap pengelolaan mangrove
Hirarki peraturan
Substansi pengaturan hutan mangrove Kewena
ngan Status
fungsi Pemanf
aatan Rehabili
tasi Perlindun
gan Partisipasi
masyarakat UU
4 3
2 2
3 5
PP 3
1 3
1 1
2 PERPRES
- 1
1 -
1 -
PERMEN 1
5 1
3 2
1 PERGUB
- 1
- -
1 -
PERBUP -
- 1
1 1
- PERDES
- -
- -
4 -
PERDIRUT -
- -
- -
1
Sumber: Hasil penelitian 2013 Ketidakpastian
yang berawal
dari perundang-undangan
ini menimbulkan kebebasan akses pada kawasan mangrove. Secara umum
kondisi ini dipicu setidaknya oleh 5 lima substansi pokok sebagai berikut: 1 Ketidakjelasan kewenangan pada kawasan mangrove dengan tanah milik
masyarakat dan pengaturan antar sektor. 2 Ketiadaan lembaga resolusi konflik di tingkat lokal. 3 Mangrove tidak dinilaidihargai secara layak. 4
Orientasi manfaat bersifat jangka pendek dan 5 Ketidakpastian hak penguasaan tanah atas mangrove.
5.3.2.2 Kewenangan Kawasan Mangrove
Akibat batas yurisdiksi yang tidak jelas baik antar sektor pemerintah maupun antara masyarakat dengan pemerintah telah mengakibatkan konflik
yang berkepanjangan antara masyarakat dengan pengelola mangrove maupun konflik peran diantara sektor-sektor pemerintahan di Tangerang.
Pelaksanaan hak pemilikan melalui kebijakan transmigrasi lokal yang diterapkan pada pengelolaan mangrove merupakan aplikasi pasal 8 UU No 56
tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian yang memerintahkan pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar setiap petani memiliki tanah
pertanian minimal 2 ha, melalui pemberian Surat Keterangan Garapan SKD. Dalam mengaplikasikan kebijakan transmigrasi lokal misalnya terjadi
persoalan batas yurisdiksi yang bersumber dari perbedaan antara sistem hukum Indonesia atau sistem hukum adat dan sistem hukum barat Harsono
1999. Kebijakan transmigrasi lokal bersumber dari sistem hukum Indonesia atau sistem hukum adat UU No 5 tahun 1960. Pengaturan kawasan
72
ekosistem mangrove bersumber dari ordonantie Jawa Madura tahun 1932 yang bersumber dari sistem hukum Barat. Perbedaan kedua sistem hukum
berimplikasi tidak dapat terselesaikannya permasalahan kepemilikan hak garapan. Walaupun proses pengalokasian hak garapan telah dilakukan sejak
tahun 1958, namun karena terjadi dualisme sistem hukum sehingga hak garapan tidak memperoleh ketidakpastian hak.
Konflik yurisdiksi digambarkan oleh Schmid 1988 akan melemahkan komitmen masyarakat. Dihubungkan dengan pengelolaan mangrove, maka
pengendalian kerusakan ekosistem mangrove hanya dimungkinkan apabila penggrap memperoleh kepastian hak atas lahan garapannya.
5.3.2.3 Penyelesaian Konflik
Menurut UU No. 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya bahwa Gubernur maupun
BupatiWalikota tidak
memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan
permasalahan konflik penguasaan tanah hutan Lembaga yang paling berwenang menyelesaikan konflik penguasaan tanah hutan adalah Menteri
Negara Agraria dan Menteri Kehutanan. Kehadiran lembaga resolusi konflik di tingkat lokal sangat diperlukan, mengingat banyak persoalan duplikasi
pengaturan yang bersumber dari dualisme antara sistem hukum yang ada. Berdasarkan PP No. 4096 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa, bahwa mangrove diklasifikasikan sebagai sumberdaya alam bebas akses. Berdasarkan PP No. 471997 bahwa
ekosistem mangrove diklasifikasikan sebagai kawasan lindung yang aksesnya bersifat
terbatas. Implikasi
pengaturan kedua
peraturan tersebut
mempengaruhi terhadap kinerja pengelolaan mangrove. PP No 471997 dijadikan dasar bagi SK Menteri Kehutanan untuk menetapkan kawasan
mangrove sebagai hutan lindung perairan.
73
5.3.2.4 Penghargaan Terhadap Mangrove
Kurangnya penghargaan terhadap ekosistem mangrove tercermin dari beberapa peraturan yang memicu untuk melakukan pemanfaatan secara
berlebihan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 174KMK 041993 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai jualnya sama
dengan kelas terendah. Indikasi lain adalah SK Kepala Unit III No. 22011998 yang mengatur tarif sewa lahan garapan berdasarkan nilai kayu.
Rata-rata tahunan kayu mangrove diperhitungkan setara 12 m³hatahun. Lahan garapan pada wilayah-wilayah baik pasang surutnya baik, nilai
sewanya setara dengan kayu sejumlah 2,4 m³hatahun. Apabila harga kayu mangrove diasumsikan Rp 90.000m³ maka nilai kesempatan kayu hutan
mangrove adalah Rp 216.000hatahun. Kenyataannya, nilai sewa lahan garapnnya hanya Rp 43.200hatahun atau 20 dari nilai kayunya.
Lahan garapan yang lebarnya antara 5 – 10 m nilai sewanya setara dengan kayu sejumlah 4,8 m³hatahun atau sekitar Rp 432.000.- hatahun
atau sekitar 15 dari nilai kayunya. Demikian juga lahan garapan yang lebarnya lebih dari 15 m, dinilai setara dengan kayu sejumlah 12m³hatahun
atau Rp 1.080.000.-hatahun. Tetapi nilai sewa garapan hanya sekitar Rp 108.000.- hatahun atau 10 dari nilai kayunya.
Hal ini berarti bahwa semakin lebar kawasan mangrove dijadikan lahan garapan maka nilai sewanya semakin kecil, sehingga memberikan insentif
untuk melakukan pemanfaatan secara berlebihan. Melalui pengaturan sewa garapan seperti itu, maka insentif terbesar akan diterima oleh penggarap yang
memiliki lahan garapan lebar lebih dari 15 m. Situasi ini memicu penggarap untuk berlomba memperoleh lahan garapan yang lebih luas guna
meningkatkan perolehan keuntungannya. Kurangnya penghargaan terhadap mangrove juga terlihat nyata pada
lahan garapan yang termasuk klasifikasi II, dimana nilai kesempatan ekosistem mangrove disetarakan dengan hilangnya kayu sejumlah 4,8
mhatahun. Akan tetapi nilai sewa lahan garapannya hanya diperhitungkan dengan hilangnya kayu sejumlah 2.4 m3hatahun. Hal yang sama juga
diberlakukan untuk klasifikasi III dan IV, sehingga posisi mangrove semakin
74
mendapat tekanan untuk dimanfaatkan secara berlebihan. Harga sewa lahan garapan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Nilai kompensasi pemanfaatan mangrove di Kabupaten Tangerang Tipe
Nilai kompensasihatahun Klasifikasi I
Klasifikasi II Klasifikasi III
Klasifikasi IV Pasang Surut Baik
A 43200
64800 86400
129600 B
64800 86400
108000 151200
C 86400
108000 129600
172800 D
129600 151200
172800 216000
Pasang Surut Sedang A
33600 50400
67200 100800
B 50400
67200 84400
117600 C
67200 84000
100800 134400
D 100800
117600 134400
16800 Pasang Surut Buruk
A 24000
36000 48000
72000 B
36000 48000
60000 84000
C 48000
60000 72000
96000 D
72000 84000
96000 120000
Sumber : SK Kepala Unit III Perum Perhutani No. 2201KptsIII1998 Keterangan:
Klasifikasi I : Prosentase Tumbuh 80, nilai kerugian 2.4
m3haTahun Klasifikasi II
: Prosentase Tumbuh 60-80, nilai kerugian 4.8 m3haTahun
Klasifikasi III : Prosentase Tumbuh 40-59, nilai kerugian 7.2 m3haTahun
Klasifikasi IV : Prosentase Tumbuh 40, nilai kerugian 4.8 m3haTahun Tipe A
: Lebar Parit 5 m, nilai kerugian 2.4 m3haTahun Tipe B
: Lebar Parit 5-10 m, nilai kerugian 4.8 m3haTahun Tipe C
: Lebar Parit 10.1-15 m, nilai kerugian 7.2 m3haTahun Tipe D
: Lebar Parit 15 m, nilai kerugian 12.0 m3haTahun
75
Persoalan lainnya nilai sosial ekosistem mangrove seringkali tidak diperhitungkan sebagai nilai manfaat. Sebaliknya keuntungan dari
mengeksploitasi mangrove mudah diperhitungkan dari produksi ikan bandeng dan udang.
5.3.2.5 Orientasi Pemanfaatan
Mangrove selama ini diperhitungkan hanya dari manfaat jangka pendek. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya nilai sewa serta hutan
mangrove tidak dialokasikan sebagai kawasan lindung. Rendahnya harga sewa garapan sebagai indikasi bahwa Perum Perhutani mengharapkan
pertumbuhan usaha sewa garapan guna melestarikan penerimaan usahanya. Tidak dialokasikannya hutan mangrove sebagai kawasan lindung, sebagai
indikasi bahwa Pemda lebih berorientasi untuk memperoleh manfaat jangka pendek. Dapat diartikan bahwa hutan mangrove baik oleh Perum Perhutani
maupun Pemda lebih diarahkan menjadi barang swasta murni maupun sebagai barang swasta campuran.
Akibatnya manfaat ekosistem mangrove hanya terdistribusi kepada penggarap saja, sedangkan kelompok masyarakat lainnya kehilangan
kesempatan untuk menikmati fungsi hutan mangrove sebagai barang publik murni dan barang publik campuran.
Faktor pendukung orientasi manfaat jangka pendek adalah 1 program peningkatan produksi perikanan dari 421 kgha menjadi 2 – 3.1 tonha,
sedangkan program reboisasi dianggap menurunkan produksi perikanan dengan laju 10.76 tahun; 2 program memperluas lapangan pekerjaan, dan
3 program peningkatan pendapatan. Sehingga kebijakan tambak intensif menjadi prioritas utama pengembangan manfaat aliran sungai di Kabupaten
Tangerang.
5.3.2.6 Hak Pemilikan
Berbagai peraturan yang tidak mendefinisikan hak pemilikan secara jelas dapat menyebabkan kerusakan mangrove. Kebijakan penghapusan tanah
partikelir UU No. 11958 yang tidak diikuti dengan kejelasan sistem
76
konpensasi berdampak kepada peningkatan penguasaan fisik lahan garapan sehingga terus terjadi kerusakan ekosistem mangrove.
Dualisme sistem hukum antara sistem hukum adat dengan sistem hukum barat menimbulkan ketidakpastian hak penguasaan atas lahan garapan
sehingga penguasaan secara fisik atas lahan garapan menjadi karakteristik utama dalam pemanfaatan ekosistem mangrove. Karakteristik seperti ini
memiliki kemiripan pada karakteristik sumberdaya alam bebas akses. Tidak adanya kepastian hak penguasaan lahan garapan menunjukkan
bahwa empat karakteristik utama dalam konsep hak kepemilikan, yaitu menyeluruh, dapat mengecualikan, dapat dipindahtangankan, dan memiliki
keamanan, tidak sepenuhnya diakomodasikan. Situasi ini mengakibatkan hak pemilikan dalam pengelolaan ekosistem mangrove tidak berfungsi secara
efektif. Sehingga pengendalian kerusakannya sangat begantung kepada efektifitas sistem pengawasan.
5.3.2.7 Sistem Pengawasan
Sistem pengawasan adalah yang berkaitan dengan sistem penegakan hukum dalam pengelolaan mangrove yang meliputi kapasitas organisasi dan
ketatalaksanaan.
Kapasitas Organisasi Dualisme fungsi lembaga Perhutani
Pengalokasian mangrove kepada Perum Perhutani dimulai pada tahun 1978, ketika terjadi restrukturisasi lembaga pengelola ekosistem mangrove
dari Dinas Kehutanan Provinsi kepada Unit III Perhutani. Mangrove di Kabupaten Tangerang termasuk kedalam yurisdiksi Bagian Kesatuan
Pemangkuan HutanAsisten Perum Perhutani Parungpanjang Kesatuan Pemangkuan HutanAdministratur Perum Perhutani Bogor.
Perum Perhutani ini memegang 2 dua misi utama, yaitu melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelayanan publik dan tugas – tugas perusahaan
Negara. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan Perum Perhutani bertanggung jawab kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.
Dualisme fungsi lembaga Perum Perhutani tersebut berakhir dengan
77
diundangkannya PP No 34 Tahun 2002, dimana tugas-tugasnya hanya yang berkaitan dengan fungsi pengelolaan hutan. Artinya fungsi pemerintahan
dalam hal pengelolaan mangrove sudah bukan lagi menjadi otoritas Perum Perhutani. Situasi seperti ini pada tingkat operasional masih belum dipahami
oleh lembaga Perum Perhutani maupun Pemerintah daerah, sehingga seringkali terjadi perbedaan-perbedaan diantara mereka yang berakhir
menjadi konflik peran. Mengacu kepada strata hak Ostrom dan Schlager 1995 bahwa posisi Perum Perhutani dalam pengelolaan ekosistem
mangrove adalah sebagai pengelola sedangkan posisi penggarap sebagai penyewa. Sehingga hubungan diantara penggarap dan Perum Perhutani lebih
bersifat hubungan antara buruh-majikan dan secara eksplisit tertuang dalam kontrak seperti penghapusan hak garapan dapat dilakukan secara sepihak
serta tidak ada kompensasi atas penghapusan hak.
Sistem Pengawasan
Organisasi yang melakukan pengawasan pengelolaan ekosistem
mangrove adalah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH . BKPH memiliki tugas mengatur penyelenggaraan ketatalaksanaan perusahaan,
pengamanan hasil hutan dan melakukan koordinasi dengan lembaga terkait dalam bidang pembinaan hutan, produksi, keamanan agraria, pembinaan
lingkungan, administrasi dan keuangan. Orientasi tugas BKPH adalah pembinaan hutan, keamanan agrarian dan pembinaan lingkungan. Fungsi
produksi difokuskan pada penerimaan Ganti Rugi Penggunaan Kawasan Hutan GRPKH.
Untuk mengendalikan sekitar 4.740.79 ha yang terlibat dalam pemanfaatan mangrove. Perum Perhutani menempatkan 8 orang mandor
yang berfungsi sebagai tenaga pengawas lapangan, yaitu mandor tanam dan mandor polisi teritorial, sehingga setiap orang mandor harus mengontrol
sekitar 592.6 habulan. Total biaya untuk melakukan pengamanan mangrove termasuk gaji 18 personil sekitar Rp 81.531.000.- tahun, atau sekitar Rp
377.500.-orangbulan. Biaya pengamanan mangrove di BKPH Tangerang sekitar Rp 36.972.000.- bulan atau sekitar Rp 7.800.-hatahun.
78
Minimnya biaya pengamanan mengakibatkan petugas lapangan mandor tidak dilengkapi dengan sarana kerja yang memadai. Proporsi
antara mandor dengan areal kerjanya adalah 1 : 1.750, seorang mandor setiap harinya harus mengawasai aktivitas pemanfaatan mangrove seluas 70 ha.
Mandor harus serba bisa, mulai dari sebagai tenaga pengaman, pendamping, dan komunikator. Sehingga seringkali terjadi kesenjangan komunikasi yang
bermuara terjadi perbedaan diantara penggarap dan mandor terutama dalam hal menerapkan GRPKH. Menurut Fitzduff 1997 bahwa kesenjangan
komunikasi tersebut bisa menimbulkan konflik. Biaya untuk mengawasi pengalokasian manfaat mangrove per tahun
hanya sekitar Rp 10.971.000.-tahun, atau sekitar Rp 1.050.-hatahun. Komponen biaya pengawasan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Komponen biaya pengamanan mangrove per tahun No
Komponen Biaya Jumlah Biaya RpTahun
1 Perlindungan Terhadap Pencurian
7.400.000.- 2
Sarana dan prasarana 571.000.-
3 Koordinasi
3.000.000.- 4
Upah dan Tunjangan 70.560.000.-
Jumlah 81.531.000.-
Sumber : Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH Bogor Sementara itu harga garapan berkisar antara Rp 20 – 35 jutaha,
sehingga permasalahan jual beli garapan, peningkatan luasan areal pemanfaatan, penebangan liar, penghilangan batas kawasan hutan, tidak dapat
dikendalikan. Kondisi ini ada kemiripan dengan yang disinyalir oleh Hirakuri 2003 yang menyatakan bahwa salah satu penyebab kerusakan hutan di
Brazil adalah kurangnya biaya pengawasan dan penyuluhan. Perbandingan antara biaya pengawasan dengan keuntungan apabila lahan garapan tersebut
disewakan kembali oleh penggarap terlihat ada kesenjangan yang cukup tinggi. Tanpa melakukan aktivitas apa-apa penggarap sudah menikmati
keuntungan sekitar Rp 2 jutahatahun. Apabila hak garapan tidak dapat diperjualbelikan maka penggarap akan
kehilangan keuntungan sekitar Rp 2 jutahatahun, sehingga mendorong mereka untuk melakukan pemanfaatan secara berlebihan. Pasar sewa garapan
79
merupakan insentif bagi penggarap untuk melakukan jual beli garapan secara illegal dan meningkatkan aktivitas penggarapan secara illegal. Tanpa
didukung dengan biaya pengawasan yang memadai maka intensitas pengawasan menjadi berkurang sehingga jual beli lahan garapan illegal dan
penggarapan illegal menjadi meningkat. Konsekuensi logisnya adalah Perum Perhutani mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dan melakuan
komunikasi dengan penggarap, sehingga praktek-praktek penggarapan yang tidak sesuai dengan kontrak terus terjadi.
5.3.3 Peranan Hak Pemilikan Terhadap Degradasi Mangrove
Hak penguasaan atas ekosistem mangrove bersumber dari 11 buah peraturan. Namun yang paling menentukan adalah bersumber dari Keputusan
Kepala unit III Perum Perhutani No 2201 KptsIII1998, tentang GRPKH yang berimplikasi kepada Kontrak kerja sama antara Perum Perhutani
dengan Penggarap untuk melakukan pengelolaan ekosistem mangrove. Kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak tercermin dalam
kontrak. Hasil analisis menunjukkan bahwa sistematik pemberian hingga penghapusan unsur-unsur hak katagonis dan hak konkrit kontrak tidak
menimbulkan kepastian hak penguasaan. Hal ini berarti bahwa kontrak belum efektif mengatur hak dan kewajiban dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
Menurut Schmid 1988 bahwa kejelasan ataupun kepastian hak masing-masing pihak akan tercermin dari sistem pengaturan, sehingga kurang
efektifnya sistem pengaturan berdampak kepada ketidakpastian hak. Kontrak antara Perum Perhutani dengan penggarap hanya memberikan kepastian bagi
penguasaan fisik tanah, dan tidak memiliki kekuatan sebagai lembaga hukum. Lahan garapan belum dapat dikatakan sebagai hak pakai
garap ataupun hak sewa apalagi sebagai hak milik. Ketidakpastian hak penguasaan atas garapan mendorong penggarap untuk melakukan
pemanfaatan secara berlebihan. Hak yang melekat pada kontrak adalah hak untuk berpartisipasi dalam
penanaman sedangkan unsur-unsur yang lainnya berdiri sendiri-sendiri seperti pemanfaatan, pemeliharaan, pengamanan dan perlindungan ekosistem
80
mangrove. Hak unsur tertentu misal penanaman tidak secara otomatis memberikan hak bagi unsur lainnya misalnya memanfaatkan. Kondisi ini
mengakibatkan posisi penggarap menjadi tidak pasti, sehingga alternatif pilihan yang rasional bagi penggarap adalah menghilangkan tanaman
mangrove. Dengan hilangnya atau rusaknya tanaman mangrove maka jangka waktu kontrak menjadi lebih lama dan peluang untuk diperpanjang kontrak
semakin besar. Jangka waktu kontrak perlu mempertimbangkan keberlanjutan usaha penggarap sehingga dapat mengendalikan degradasi mangrove. Hasil
kajian kepastian hak disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak
Komponen hak
Aturan kontrak
Sistematika hak Kepastian
hak penguasaan lahan
Pasti Tak pasti
Hak Katagoris 1.Nama hak
Kerjasama penanaman,
pemeliharaan, pengamanan,
perlindungan, pemanfaatan
hutan
payau sistem
tumpangsari Tidak ada keterkaitan
dengan peraturan
bidang kehutanan
maupun pertanahan
Sumber: Hasil penelitian 2013
81
Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak lanjutan Komponen
hak Aturan
kontrak Sistematika hak
Kepastian hak
penguasaan lahan Pasti
Tak pasti 2. Isi kontrak
a.Kewenanga n
Budidaya pola
empangparit pada
lahan yang dikuasai
Tidak didefinisikan
penggunaan tanah
apakah permukaan
saja atau
hingga bawah permukaan
b.Pembatasan kewenangan
Membangun gubuk kerja,
menebnag pohon,
mengeringkan lahan
yang mengakibatka
n kematian
pohon dan
membanghun pemukiman
Pembatasan kewenangan
tidak difokuskan
untuk memelihara
fungsi ekologis, fungsi sosial
dari lahan garapan
c. Pembeda Membayar
sewa dan
kewajiban tergabung
dalam kelompok tani
hutan Hubungan hak hanya
bersifat bagi
hasil atau
sewa lahan
garapan
Sumber: Hasil penelitian 2013
82
Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak lanjutan Komponen
hak Aturan kontrak
Sistematika hak Kepastian
hak penguasaan lahan
Pengaturan Subyek
Pasti
Tak pasti
Ketentuan umum
Tidak ada
pembatasan peserta yang terlibat dalam
penggarapan Tidak
jelas keberpihakannya
kepada kelompok
masyarakat tertentu sehingga
masyarakat yang memiliki
kemempuan akses lebih besar
peluangnya.
b.Ketentuan khusus
Membayar sewa
dan tergabung
dalam kelompok
tani hutan Tidak
ada pengaturan
khusus yang
berkaitan fungsi sosial tanah
Pengaturan tanah
Ketentuan umum
Membangun dan
membudidayakan tambak
dalam kawasan
hutan mangrove
Tidak ada
pengaturan penggunaan
permukaan tanah dan yang ada
dibawah permukaan tanah
b.Ketentuan khusus
Melakukan penyulaman
tanaman, pengamanan
dan perlindungan hutan
Tidak ada
pembatasan lahan
garapan yang
boleh diusahakan dan
yang harus
dipertahankan sebagai hutan
Sumber: Hasil penelitian 2013
83
Tabel 13 Hasil kajian kepastian hak lanjutan Komponen
hak Aturan kontrak
Sistematika hak Kepastian
hak penguasaan lahan
1.Penciptaan hak
SK Kepala Unit III
Perum Perhutani
No 2201kptsIII1998
yang dituangkan dalam
kontrak kerjasama
Tidak terkait
peraturan kehutanan maupun
pertanahan. Dialokasikan
Oleh pejabat yang tidak
berwenang mengatur
fungsi publik
2.Pembebanan hak
Tidak dapat
diagunkan dan
tidak dapat
diperjualbelikan Tidak ada jaminan
akan ditanami oleh Perhutani
Bukan
lembaga hak
jaminan karena tidak ada
UU 3.Pemindahan
hak Tanaman
tidak berhasil
Akan digunakan
perhutani Melanggar
aturan main Tidak
terkait hukum waris
Tidak dapat
dipindahtangankan
4.Hapusnya hak
Habis masa
berlaku dan tidak diperpanjang
Peristiwa memenuhi kaidah
hukum tetapi
mekanismenya tidak
melalui pemberitahuan
5.Pembuktian hak
Hanya mengatur letak dan lokasi
lahan garapan Tidak memenuhi
azas hukum tanah tidak
ada hak
tanah, tidak ada kompensasi serta
tidak bisa
mengecualikan Status tanah
adalah tanah
hutan, pemegang hak
adalah penyewa
dan posisi
tawar penyewa
lemah apabila
terjadi pelepasan hak
Sumber: Hasil penelitian 2013
84
Kontrak kerjasama tidak membatasi penggarap untuk melakukan maksimalisasi pemanfaatan lahan garapan, sehingga mendorong para
penggarap untuk memilih berprilaku mengambil keuntungan tanpa memberikan kontribusi apa-apa terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.
Apabila seluruh penggarap berprilaku seperti ini maka kerusakan ekosistem mangrove menjadi tidak terkendali. Sebagaimana diungkapkan Magrath
1989 bahwa perilaku mencari keuntungan tanpa memberikan kontribusi apa-apa sebagai indikasi pencarian keuntungan individu tidak dikendalikan
secara efektif dan mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam. Berarti bahwa kontrak yang tidak memberikan kepastian memberikan sumbangan untuk
menciptakan kerusakan ekosistem mangrove. Tabel 14 Kajian kontrak kerjasama Perhutani dengan Penggarap
Unsur Kepastian Hak
Sistematika pengaturan Analisis
Eksis Normatif
Nama hak Perjanjian
kerjasama Penanaman,
Pemeliharaan, Pengamanan,
Perlindungan, Pemanfaatan
Hutan
payau dengan
system Tumpangsari
Pasal 26 UU No 4199
bentuk pemanfaatan
adalah izin usaha pemanfatan
kawasan,
jasa lingkungan
dan pemungutan hasil
hutan kayu. Pasal 42
tentang rehabilitasi hutan
partisipatif Nama hak tidak
sesuai dengan
institusi hak PP No
342002 ataupun
SK Menteri
Kehutanan No.
31kpts-II2000 tentang
Hutan Kemasyarakatan
Sistematika kontrak
Usaha empang
dalam kawasan
hutan oleh masyarakat
selama 2 tahun, termasuk
hak sekunder
pengelolaan hutan
dalam bentuk
sewa kawasan hutan
Masyarakat memperoleh izin
dari Perum
Perhutani sifatnya
sementara dan
tidak otimatis
memperoleh hak penguasaan tanah
hutan Usaha
empang dalam
kawasan hutan
mangrove diberikan
oleh Perum Perhutani
yang belum
memperoleh izin usaha perikanan
Sumber: Hasil penelitian 2013
85
Tabel 14 Kajian kontrak kerjasama Perhutani dengan Penggarap lanjutan
Unsur Kepastian
Hak Sistematika pengaturan
Analisis Eksis
Normatif Pembebanan hak
Hak ikut
penanaman tidak
secara otomatis
diberiakan konpensasi
melakukan pemanfaatan.
Demikian juga hak memanfaatankan
tidak
secara otomatis
diberi kompensasi
menanami, memelihara,
mengamankan dan melindungi
mangrove Hak
masyarakat adalah
pemanfaatan hasil hutan,
jasa lingkungan,
hak memanfaatkan
kawasan hutan,
dan hak mengelola hutan
kemasyarakatan Perum
Perhutani bukan
lembaga yang
mengatur fungsi
fungsi publik dari hutan
tetapi fungsi
pengelolaan hutan yang tidak dapat
delegasikan kepada pihak lain
Penetapan isi
kontrak Difokuskan
mengatur hubungan
sewa antara
penggarap dan
Perum Perhutani
Diarahkan untuk
meningkatkan optimalisasi
fungsi-fungsi ekologi, ekonomi
sosial
hutan mangrove
Melindungi dan
mempertahankan keberadaan
mangrove dianggap
melindungi fungsi- fungsi
ekologi, ekonomi dan sosial
Pengaturan Pengaturan subyek
tidak memprioritaskan
kepada masyarakat sekitar dan tidak
ada pembatasan Manfaat mangrove
terdistribusi secara proporsional
Manfaat mangrove hanya terdistribusi
kepada yang
memiliki sumberdaya
dan akses
Pengaturan obyek difokuskan
penyulaman tanaman yang mati
Diarahkan mengatur proporsi
tambak dalam
andil, hak
dan kewajiban
untuk memelihara
kelestarian mangrove
Tidak ada
pengaturan proporsi
tambak dalam andil, dan
ketiadaan kewajiban
untuk merehabilitasi atau
menanami garapan
Sumber: Hasil penelitian 2013
86
Tabel 14 Kajian kontrak kerjasama Perhutani dengan Penggarap lanjutan Unsur
Kepastian Hak
Sistematika pengaturan Analisis
Eksis Normatif
Penciptaan hak Bersumber
dari Keputusan Perum
Perhutani hak
primer berada
pada Perhutani Bersumber dari
Pemerintah atau kewenangan
fungsi
publik bidang
kehutanan yang telah
didelegasikan berdasrkan
peraturan
yang berlaku
Hal-hal yang
berkaitan dengan penguasaan hutan
harus bersumber dari
lembaga yang berwenang
memberikan pengaturan fungsi
publik pengelolaan
hutan
Pemindahan hak Hak tidak dapat
dipindahtangankan Prosesnya
dikembalikan ke pemberi
hak, selanjutnya
dialokasikan ke pemohon baru
Dapat dilakukan secara
sepihak oleh
Perum Perhutani
tanpa ada kompensasi
Hapusnya hak Habis
masa berlakunya damn
lalai terhadap
ketentuan Dideklarasi
dengan keputusan,
prosesnya melalui
pemberitahuan. Perpanjangan
hanya diberikan 1 kali
Hapusnya hak
yang berakibat
tanah tersebut
kembali kepada
Perum Perhutani dan tidak ada SK
penghapusan hak
Pembuktian Kontrak kerjasama
tanpa dilegalisasi oleh Pemda
Kontrak dilegalisasi oleh
Pemda Tidak memenuhi
azas hukum tanah dan
pengaturannya memperlemah
penggarap
Sumber: Hasil penelitian 2013
87
Hak Kategoris
Sistematika penciptaan hingga penghapusan hak pada kontrak lahan garapan belum dapat diklasifikasikan sebagai lembaga hukum hak
katagoris. Bentuk kontrak yang paling dimungkinkan berdasarkan PP No 30 Tahun 2003 tentang Perum Perhutani adalah kerjasama usaha tambak antara
Perum Perhutani dengan masyarakat. Akan tetapi Perum Perhutani belum memiliki izin usaha untuk melakukan usaha perikanan berdasarkan PP N0
15 Tahun 1990, demikian juga berdasarkan UU No 41 tahun 1999 belum mengatur mengenai perizinan usaha pemanfaatan ekosistem mangrove untuk
budidaya tambak. Usaha budidaya tambak adalah bentuk penggunaan tanah permukaan
juga air yang berada diatas dan atau dibawah mangrove. Situasi mengakibatkan bahwa pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling
dimungkinkan mengacu UU No. 41 Tahun 1999, yaitu melalui penggunaan kawasan hutan konversi. Permasalahannya bahwa kawasan mangrove di
Kabupaten Tangerang berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195 Kpts-II2002 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung perairan,
sehingga tidak dimungkinkan untuk dikonversi terkecuali diubah fungsinya menjadi kawasan hutan produksi. Hasil analisis kepastian hak disajikan pada
Tabel 14. Pemberian hak untuk melakukan penanaman tidak diikuti dengan
kopensasi memberikan hak untuk mengusahakan tambak dalam kawasan hutan. Demikian juga unsur-unsur lainnya seperti pemeliharaan, pengamanan
dan pemanfaatan ekosistem mangrove, sehingga sumber hubungan saling ketergantungan tidak pernah terwujud. Hal ini yang mengakibatkan
penggarap menginterpretasikan kontrak sebagai persewaan lahan garapan dan bukan dalam konteks mengelola ekosistem mangrove. Interpretasi seperti ini
karena subyek hak hanya mempersyaratkan kewajiban membayar sewa garapan
sebagai persyaratan
utama di
dalam memperoleh
dan memperpanjang kontrak lahan garapan.
Isi hak tidak memberikan kewenangan kepada penggarap untuk memelihara dan melindungi fungsi-fungsi ekologis dan sosial ekosistem
88
mangrove, bahkan isi hak lebih banyak mengatur fungsi ekonomi lahan garapan. Isi hak lebih difokuskan mengatur hubungan antara penggarap dan
Perum Perhutani selaku pemilik lahan. Penggunaan lahan garapan tidak terdefinisikan secara jelas. Padahal dijelaskan Harsono 1999 bahwa
penggunaan pemanfaatan tanah dapat diperluas dari permukaan tanah tetapi juga air yang berada di atas dan atau dibawahnya.
Pengaturan subyek lebih banyak difokuskan kepada pengaturan sewa garapan dan kewajiban telah dijadikan persyaratan utama dalam perolehan
serta perpanjangan hak. Pengaturan subyek tidak memprioritaskan kepada kelompok masyarakat tertentu tetapi kepada seluruh warganegara res
publicae dan tidak ada pembatasan luasan lahan garapan. Pengaturan obyek tidak secara khusus mengatur mengenai kewajiban
penggarap untuk melakukan penanaman kembali atas lahan garapannya. Pengaturan obyek hanya difokuskan kepada penyulaman tanaman hasil
rehabilitasi yang mengalami kematian. Pengaturan seperti ini mengandung makna bahwa penanaman areal lahan garapan bukan merupakan kewajiban
penggarap, dan jangka waktu kontrak sangat bergantung pada keberadaan tanaman mangrove. Semakin sedikit tanaman yang tumbuh pada lahan
garapan maka semakin besar peluang mereka untuk memperpanjang kontrak garapan. Oleh karena itu berkembang prinsip untuk menghilangkan.
Hak Kongkrit
Berdasarkan Tabel bahwa sistematika penciptaan hingga penghapusan hak kongkrit belum menimbulkan kepastian hak penguasaan atas tanah.
Kontrak tidak terkait secara langsung dengan ketentuan konversi UU No 5 Tahun 1960 sehingga tidak memungkinkan bagi pemegang haknya untuk
memperoleh pemilikan ataupun penguasaan atas tanah ekosistem mangrove. Kontrak yang diberikan Perum Perhutani adalah hak atas penguasaan tanah
yang bersifat sementara, yang mana menurut Harsono 1999 bahwa hak tersebut kurang sesuai dengan azas hukum pertanahan nasional yang
menyatakan bahwa dalam usaha pertanian tidak boleh ada unsur-unsur pemerasan. Aktivitas pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan oleh
89
penggarap dengan kompensasi memperoleh hak garapan, sedangkan Perum Perhutani bertindak sebagai pengatur dan pengawas. Hubungan kerja seperti
ini digambarkan Harsono 1999 memiliki kemiripan dengan hubungan antara buruh dan majikan, serta tidak menumbuhkan hubungan saling
ketergantungan Wilson 1995 dalam Ostrom 1999 menyatakan bahwa tidak dialokasikannya posisi hak pengelolaan kepada masyarakat lokal tidak
akan mengarahkan kepada efisiensi. Pengaturan hak Pengaturan kewajiban memelihara fungsi-fungsi sosial
dan ekologis ekosistem mangrove, tidak secara eksplisit diatur dalam kontrak. Memelihara fungsi
ekologis mangrove hanya diindikasikan dengan memelihara hasil reboisasi, sementara itu penanaman secara mendiri atas
lahan garapan secara eksplisit bukan kewajiban penggarap. Tidak ada pengaturan penelantaran fungsi sosial tanah yang berimplikasi kepada
hapusnya hak. Tidak ada pengaturan fungsi ekologis seperti pengeringan tambak yang merupakan rangkaian pemeliharaan tanah ekosistem mangrove.
Kontrak yang efektif selayaknya menciptakan hak dan kewajiban yang secara khusus mngenai kawasan mangrove, sehingga siapapun yang terlibat
dalam pemanfaatan kawasan mangrove dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan, pengevaluasian dan pemberian sanksi peraturan. Posisi hak dan
kewajiban penggarap disajikan pada Tabel 15. Keselarasan hak dan kewajiban mendorong pelaku pengelolaan
mangrove untuk menciptakan dan mematuhi peraturan secara bersama-sama. Persyaratan untuk menghindari kesalahan pengaturan dalam pengelolaan
kawasan mangrove yang dikemukakan Ostrom 1999 adalah : 1 kejelasan siapa yang diizinkan untuk memanfaatkan; 2 kejelasan waktu, jumlah,
lokasi, dan teknologi pemanfaatan; 3 kejelasan kewajiban memberikan kontribusi terhadap tenaga kerja, dana untuk menyediakan atau merawat
hutan; 4 kejelasan sistim pengawasan, dan; 5 mekanisme penyelesaian konflik.
Tidak diakomodasikannya pemindahan hak mengakibatkan tidak ada pasar bagi lahan garapan, sehingga mendorong penggarap melakukan
pemanfaatan berlebihan. Rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh
90
Perhutani merupakan akibat dari penerimaan sewa garapan, sepanjang terdapat keberlanjutan penerimaan sewa garapan maka Perhutani masih dapat
melanjutkan program penanaman mangrove. Kewajiban untuk memelihara kelestarian ekosistem mangrove telah dialihkan kepada penggarap, sehingga
berkurang tanggung jawab Perhutani dalam hal melestarikan kawasan mangrove. Mengacu posisi hak Schlager dan Ostrom 1996 bahwa tidak bisa
dipindahkannya hak garapan berarti bahwa posisi adalah hanya sebagai penyewa lahan. Sehingga Ostrom 1999 menyatakan bahwa strata hak
seperti ini tidak dapat meningkatkan produktivitas pengawasan. Tabel 15 Strata hak dan kewajiban kontrak Penggarap dan Perhutani
No Penggarap
Perum Perhutani Hak
Kewajiban Hak
Kewajiban 1
Memperoleh hak melalui
permohonan Menyulam tanaman
mati Menentukan
cara tanam,
pemeliharaan tanaman mangrove biudidaya perikanan
Memberi izin tambak
dalam kawasan
mangrove
2 Pengelolaan
pemilikan hasil tambak
Memberantas hama dan
menghindarkn dari
perusakan pohon
Menentukan letak parit, rabak dan jenis ikan
Bimbingan teknis
penanaman pengamann
3 Menerima
andil garapan
Melaporkan perusakan
tegakan hutan
dan mengamankan hutan
Menghentikan sepihak kontrak kerjasama tanpa kompensasi
Mengawasi mengendal
ikan usaha
tambak 4
Melepaskan hak bila akan
digunakan Perhutani
Mencabut hak
jika akan
digunakan Perhutani 5
Melindungi mengamankan aliran
air Mengalokasikan garapan
6 Membayar
sewa lahan GRPKH
Memasukanmengeluarkan air
ke empang 7
Turut aktif dalam kelompok tani hutan
Pemberantasan hama
dan penyakit
8 Mengenal peraturan
perlindungan hutan Menentukan tarif GRPKH
9 Menjaga merawat
batas Menentukan lokasi andil
10 Memasarkan
hasil budidaya ikan
Sumber: Hasil penelitian 2013
91
5.3.4 Perilaku dan Kapasitas Penggarap
Perilaku merupakan perwujudan respon dan reaksi pelaku terhadap peraturan pengelolaan ekosistem mangrove. Perilaku dan kapasitas penggarap
ditunjukkan dalam bentuk ketaatan terhadap kontrak dan persepsinya terhadap ekosistem mangrove.
Perubahan institusi mempengaruhi kualitas hutan mangrove yang diindikasikan dengan ketaatan penggarap terhadap kontrak. Perilaku
penggarap terhadap kontrak hanya 12,0 yang melakukan penanaman dan 15 yang melakukan perawatan dan perlindungan ekosistem mangrove.
Ketaatan penggarap terhadap kontrak disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Ketaatan penggarap terhadap kontrak sewa garapan
Tingkat Ketaatan Penggarap Komponen Kontrak
Sangat baik Baik
Cukup
Kurang
Penanaman 2,0
10,0 80,0
8.0 Perawatan
perlindungan tanaman
15 -
- 85
Sumber: Hasil penelitian 2012 Ketidaktaatan terhadap kontrak sebagai indikasi bahwa penggarap tidak
memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang pemanfaatan ekosistem mangrove dalam bentuk tambak tumpangsari. Penggarap tidak menerima dan
mengakui aturan main pemanfaatan hutan mangrove dan posisi lebih menjadi kuat ketika Perum Perhutani melakukan perubahan aturan main pemanfaatan
menjadi pola surjan, yaitu penanaman tanaman mangrove hanya pada pematang-pematang tambak. Perubahan aturan main tersebut oleh penggarap
diartikan bahwa seluruh lahan garapan telah diperbolehkan untuk diusahakan sebagai tambak.
92
5.4 Stakeholder pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang 5.4.1
Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan mangrove
Menurut Asikin 2001 stakeholder adalah semua pihak yang kepentingannya terpengruh oleh dampak, baik positif maupun negatif, yang
ditimbulkan oleh suatu kebijakan. Pihak yang terpengaruh dampak itu dibedakan menjadi tiga bagian, yakni stakeholders utama dan kunci serta
stakeholders pendukung. Sedangkan Mitchell 1997 mengemukan
stakeholder merupakan
kelompok individu yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Brown 2001 juga menambahkan bahwa analisis
stakeholder merupakan pengumpulan informasi dari individu atau kelompok orang yang berpengaruh didalam memutuskan, mengelompokkan informasi
dan sistem menilai kemungkinan konflik yang terjadi antara kelompok- kelompok berkepentingan. Hasil dari identifikasi stakeholder ditemukan 13
stakeholder di Kabupaten Tangerang yang berkepentingan dalam pengelolaan mangrove. Daftar stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan mangrove
tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Daftar Kelembagaan yang terlibat pengelolaan mangrove
No Kelembagaan
1 Dinas Perikanan dan Kelautan
2 Dinas Lingkungan Hidup
3 Bupati
4 Perum Perhutani
5 Penggarap
6 Perguruan Tinggi
7 Kepala Desa
8 BAPPEDA
9 Dinas Pekerjaan Umum
10 LSM
11 DPRD Kab Tangerang
12 Masyarakat lokal
13 Tokoh masyarakat
Sumber: Hasil penelitian 2013
93
Berdasarkan daftar stakeholder terlihat pengelolaan mangrove di Tangerang melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah sampai
masyarakat lokal. Beragamnya stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan mangrove ini dengan berbagai kepentingannya akan membawa konsekwensi
terhadap semakin kompleksnya pengelolaan mangrove. Olehkarena itu diperlukan suatu kelembagaan untuk mengatur perilaku stakeholder agar
bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan pengelolaan mangrove sesuai dengan tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundangan-undangan.
5.4.2 Tugas Pokok Stakeholder
Tugas pokok adalah sasaran utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Adapun tugas pokok stakeholder di Kabupaten Tangerang
yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Tugas Pokok Stakeholder
No Stakeholder
Tugas Pokok 1
Dinas Perikanan dan Kelautan
Melakukan perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya. Bertanggungjawab pengelolaan penggunaan lahan
pertambakan, pemberian izin 2
BLHD Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat
spesifik pada lingkup pengelolaan di bidang lingkungan hidup. 3
Bupati Memimpin dan penyelenggaraan daerah
4 Perhutani
Perencanaan, pengurusan,
pengusahaan, perlindungan,
pengelolaan hutan. 5
Penggarap Bekerja menggarap lahan
6 Perguruan Tinggi
Melaksanakan tridarma perguruan tinggi 7
Bappeda Merencanakan,
melaksanakan, pembinaan,
koordinasi, pengendalian Perencanaan Pembanguanan Daerah.
Melakukan kerjasama dengan berbagai instansi. Membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidangperencanaan pembangunan
8 Dinas
Pekerjaan Umum
Melaksanakan kewenangan di dinas PU dan menyusun perencanaan penataan ruang
9 DPRD
Melaksanakan proses legislasi, dan pengawasan 10
LSM Memberdayakan masyarakat, penyuluhan, menyampaikan
aspirasi 11
Kepala desa Memberikan pelayanan, pembinaan dan pengawasan pada
masyarakat 12
Tokoh masyarakat Memberikan pembinaan dan pengawasan
13 Masyarakat lokal
Pelaku subyek dalam kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove.
Memberikan masukan kepada pemerintah untuk pengembangan pengelolaan ekosistem mangrove
Sumber: Hasil penelitian 2013
94
Analisis tugas pokok sangat diperlukan untuk melihat sejauh mana kewenangan organisasi pemerintah daerah dalam pengelolaan mangrove
sekaligus melihat sejauh mana kepentingan dan pengaruh organisasi dalam pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang. Tugas pokok menentukan
pola koordinasi antar organisasi karena berkaitan dengan hak dan tanggung jawab organisasi dan bentuk keterlibatan sebuah organisasi dalam kegiatan.
Menurut Uphoff 1986 bahwa kinerja suatu lembaga dapat diukur melalui bagaimana lembaga dapat menyelesaikan tugas pokoknya.
Tabel 19 Aspek pengelolaan mangrove berdasarkan tugas pokok No
Aspek Lembagaorganisasi pengelolaan mangrove
1 Penetapan dan
Pemantapan Bappeda, PU, DKP
2 Pengelolaan
DKP, BLH, Perhutani 3
Pembinaan dan
Pengawasan BLH, DPRD, Perhutani, Kepala desa, tokoh
masyarakat,
Sumber: Hasil penelitian 2013 Hasil identifikasi terhadap lembaga yang terkait dengan pengelolaan
mangrove di Kabupaten Tangerang Tabel 19 menunjukkan terjadi tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan kawasan mangrove. Pada tugas pokok
pengelolaan beberapa lembaga terlibat. Menurut Manan 2001 secara umum ketidakjelasan kewenangan yang
terjadi dalam pengelolaan hutan disebabakan oleh; 1 terdapat lebih dari satu lembaga pemerintah yang
memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan 2 belum jelas dan tegasnya pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah. Banyaknya kantor kantor pusat di daerah sangat mempengaruhi kewenangan otonomi.
5.4.3 Klasifikasi dan Partisipasi Kelembagaan
Hasil identifikasi kelembagaan terdapat 13 kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang yaitu Dinas Perikanan
dan Kelautan, Dinas Lingkungan Hidup, Perum Perhutani, Penggrap,
95
Perguruan Tinggi, Kepala Desa, BAPPEDA, Dinas Pekerjaan Umum, LSM, DPRD Kab Tangerang, Masyarakat Lokal, dan Tokoh Masyarakat.
Secara umum stakeholder pengelolaan mangrove terdiri dari organisasi pemerintah dan non pemerintah dan masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukan oleh IIED 2005 bahwa stakeholders dapat meliputi organisasi atau kelompok-kelompok sosial dan komunitas masyarakat lokal.
Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya, Reed 2009 mengelompokkan stakeholder menjadi 4
bagian yaitu stakeholders subyek, stakeholder key player, stakeholder context setter dan stakeholder crowd.
Menurut Hermawan 2005, tingkat pengaruh mengindikasikan kemampuan
stakeholder untuk
mempengaruhi keberhasilan
atau ketidakberhasilan suatu kegiatan. Sedangkan tingkat kepentingan keterlibatan
berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholder. Dalam penelitian ini kepentingan dan pengaruh
stakeholder diidentifikasi
berdasarkan kewenangannya yang tertuang dalam tugas pokok dalam mengambil keputusan terkait dengan proses pengelolaan hutan mangrove.
Adapun informasi tentang tingkat kepentingan keterlibatan dan tingkat pengaruh stakeholder disajikan pada Tabel 19.
Klasifikasi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan keterlibatan dan pengaruhnya dalam pengelolaan mangrove dilakukan di wilayah
Kabupaten Tangerang. Stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya dianalisis pada 4 kelompok stakeholder.
Selanjutnya stakeholder yang telah diklasifikasi berdasarkan pengaruh dan kepentingannya dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan
subyek, pemain kunci key player, penghubung dan penonton. Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholder yang bisa melakukan kerjasama dan
stakeholder yang memiliki resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan. Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 10.
96
Tabel 20 Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengelolaan Mangrove di KabupatenTangerang
Stakeholder Kepentingan
Pengaruh Dinas Kelautan
dan Perikanan Tinggi.Koordinator pengelola
di daerah Tinggi. Pengambil kebijakan
BLHD Rendah. Tidak menerima
dampak Tinggi. Koordinasi terhadap
Pengawasan lingkungan Bupati
Tinggi. Penyelenggara Tinggi. Pengambil kebijakan
Perhutani Tinggi.Koordinator pengelola
Tinggi. Pengambil kebijakan Penggarap
Tinggi. Menerima manfaat dari sumberdaya mangrove
Rendah. Tidak mempunyai akses terhadap kebijakan
Perguruan Tinggi Tinggi.
Tidak menerima
dampak Rendah. Tidak bisa
mempengaruhi keputusan Kepala Desa
Tinggi. Sebagai Pembina
masyarakat sekitar mangrove Tinggi. Koordinasi pemerintahan
dan kontrol wilayah teritori BAPPEDA
Rendah. Tidak menerima
dampak Tinggi. Kontrol implementasi
perencanaan. Dinas PU
Tinggi. Pemeliharaan infra- struktur seperti jalan
Tinggi. Koordinasi penataan ruang
LSM Rendah. Tidak menerima
dampak Rendah. Tidak bisa
mempengaruhi keputusan DPRD
Rendah. Tidak menerima dampak
Tinggi. Dukungan proses pengambilan keputusan
tingkat lokal
Masyarakat lokal Tinggi.
Menerima manfaat dari sumberdaya mangrove
Rendah. Tidak mempunyai Akses terhadap kebijakan
TokohMasyarakat Tinggi.
Menerima manfaat dari keberadaa sumberdaya
hutan Rendah. Tidak mempunyai akses
terhadap kebijakan
Sumber: Analisis Penelitian 2013
97
Gambar 10 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder berdasarkan tugas pokok
Berdasarkan matriks tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh yang menempati posisi kuadran A subyek di Kabupaten Tangerang terdapat
stakeholder, dengan tingkat kepentingan tinggi dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu tokoh masyarakat, dan masyarakat lokal.
Apabila kegiatan ini ingin melindungi kepentingan mereka, maka diperlukan inisiatif-inisiatif khusus terutama karena mereka adalah
merupakan para pihak yang paling besar menerima dampak dari kegiatan ini. Peningkatan kemampuan dan peningkatan kesadaran terhadap
mangrove sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan merupakan salah satu upaya
yang dapat ditempuh untuk melibatkan stakeholder ini dalam kegiatan pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang.
Posisi kuadran B key players di Tangerang terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Bupati, Perhutani, Penggarap, Dinas PU dan Kepala Desa.
Stakeholder ini merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi. Kuadran B ditempati oleh
banyak stakeholder dibandingkan dengan Kuadran A, C dan D. Banyaknya pihak yang berperan sebagai pemain adalah potensi besar dalam rangka
SUBYEK
Masyarakat lokal Tokoh Masyarakat
KEY PLAYER Dinas Kelautan dan
Perikanan Bupati
Perhutani Penggarap
Dinas PU Kepala Desa
CROWD
Perguruan Tinggi LSM
CONTEXT SETTER
BLHD BAPPEDA
DPRD
PENGARUH K
E P
E N
T I
N G
A N
98
pengelolaan mangrove. Perlu dilakukan kerjasama yang baik agar kegiatan pengelolaan mangrove dapat mencapai kinerja yang diharapkan.
Posisi kuadran C context setter di Kabupaten Tangerang terdapat stakeholder, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang
tinggi yaitu BAPPEDA, BLHD dan DPRD. Kuadran D crowd di Tangerang terdapat stakeholder, dengan tingkat
kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu Perguruan Tinggi dan LSM. Stakeholder ini tidak memerlukan pelibatan intensif dalam
pencapaian tujuan kegiatan tetapi apabila memungkinkan, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi berkala untuk mengetahui perkembangan
kepentingannya. Dari hasil klasifikasi stakeholder tersebut maka untuk mencapai pengelolaan yang baik perlu ada optimasi fungsi dari kelembagaan
terutama yang terlibat dalam kelompok key players.
5.5 Optimasi Fungsi Kelembagaan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan mangrove terlihat peran beberapa stakeholder belum optimal dalam pengelolaan. Bryson 2003 mengatakan
belum optimalnya pengelolaan sumberdaya diakibatkan oleh tidak optimalnya peran stakeholder yang dalam menentukan kebijakan.
Mengacu kepada kuadran stakeholder versi Reed 2009 stakeholder yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan dalam pengelolaan terdapat
pada key stakeholder dan context setter yang terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup, Perhutani, Penggarap, Dinas PU dan
Kepala Desa, BAPPEDA dan DPRD. Untuk mengoptimalkan peran stakeholder yang berpengaruh pada
kebijakan pengelolaan mangrove maka perlu dilakukan strategi pelibatan partisipasi stakeholder key player dan context setter untuk dapat menghalangi
atau memblokir kegiatan yang berdampak negatif pada kegiatan pengelolaan mangrove di Tangerang.
Partisipasi merupakan
proses keterlibatan
stakeholder dalam
mempengaruhi dan ikut mengendalikan jalannya rangkaian penyusunan kebijakan yang berdampak kepadanya. Karena itu tiap stakeholder akan
99
memiliki tingkat keterlibatan yang berbeda-beda sesuai dengan bobot yang dimilikinya. Bobot yang dimaksud adalah tingkat kedekatan kepentingan
stakeholder bersangkutan dengan pengambilan keputusan dan kekuatan pengaruhnya terhadap proses penyusunan kebijakan. Adapun partisipasi
stakeholder yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan mangrove dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Partisipasi stakeholder pengelolaan mangrove di modifikasi dari Bryson 2003
Aspek Jenis Partisipasi
Informasi Koordinasi
Kolaborasi Pemberdayaan
Penetapan Kawasan
Dinas Kelautan
dan Perikanan
Dinas
Lingk ungan Hidup
Perhutani Dinas PU
Kepala Desa Dinas
Kelautan dan
Perikanan Dinas
Lingku ngan Hidup
Perhutani Penggarap
Dinas PU Kepala Desa
Dinas Kelautan
dan Perikanan
Dinas Lingkungan
Hidup Perhutani
Penggarap
Pengelolaan Dinas
Kelautan Perhutani
Dinas Kelautan
Perhutani Kepala Desa
Universitas Masyarakat
Lokal Penggarap
Pembinaan dan
Pengawasan Kepala Desa
Kepala Desa Dinas
Kelautan, Perhutani,
Kepala Desa LSM
Hasil Penelitian 2013 Berdasarkan tabel 20 diatas jenis partisipasi yang bisa dilakukan oleh
stakeholder kunci dalam aspek pemantapan dan penetapan, pengelolaan pembinaan serta pengawasan kawasan mangrove adalah memberikan
informasi, koordinasi, kolaborasi dan pemberdayaan.
5.5.1 Optimasi dalam memberikan informasi
Memberikan informasi artinya stakeholder
kunci harus saling memberikan informasi yang jelas tentang keberadaan mangrove. Selama ini
organisasi di lingkungan pemerintah lebih mengetahui informasi internal
100
dibandingkan informasi eksternal. Stakeholder yang berasal pemerintahan cenderung bekerja secara sektoral dan sangat jarang mensosialisasikan
kegiatannya pada pihak lain. Sebagai contoh wawancara dengan Dinas Perikanan dan Kelautan yang selama ini memiliki data informasi luasan
mangrove di kabupaten Tangerang, akan tetapi data yang dimiliki berbeda dengan yang ada pada lembaga lain. Demikian halnya informasi hasil-hasil
penelitian yang dilakukan beberapa Perguruan Tinggi perlu di sosialisasikan kepada pihak lain. Sering terjadi informasi yang dipegang organisasi
pemrintah kurang lengkap dan sifatnya parsial. Situasi ini menyebabakan perilaku oportunistik pihak-pihak yang memanfaatkan mangrove untuk
mengeksploitasi sumberdaya ini sehingga menimbulkan kerusakan. Untuk itu pihak Dinas Perikanan dan Kelautan selaku pengelola di daerah harus
proaktif mengumpulkan senua informasi yang berkaitan dengan khususnya kondisi mangrove di kabupaten Tangerang.
5.5.2 Optimasi Koordinasi
Jenis partisipasi selanjutnya yang harus dilakukan oleh stakeholder key player adalah melakukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksud disini adalah
pertukaran informasi kegiatan dua arah antar organisasi sebagai proses perintegrasian kegiatan-kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan yang
lebih efisien dan efektif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terjadi kendala dalam
melaksanakan koordinasi antara SKPD Pemerintah Daerah dan kantor UPT Kementrian Kehutanan Perhutani di daerah dalam pengelolaan hutan
mangrove karena masih terdapatnya ego sektoral, sebagai contoh dalam pelaksanaan penanaman mangrove terjadi tumpang tindih program antara
Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang dengan Dinas Lingkungan Hidup Tangerang dan UPT Kementerian Kehutanan Perhutani. Tumpang tindih
program mengindikasikan buruknya koordinasi pengelolaan mangrove di Tangerang.
101
Hasil kajian Sutrisno 2011 menemukan bahwa kebijakan koordinasi dalam pengelolaan hutan cenderung menggunakan pendekatan vertikal yang
dicirikan oleh level tertinggi organisasi pemerintah. Hal ini menjadi penyebab kegagalan koordinasi antar pemerintah karena mekanisme koordinasi vertikal
cenderung hanya mengatur bagaimana pengorganisasian pengambilan keputusan terpusat dalam sebuah organisasi.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan mangrove maka koordinasi yang dapat dilakukan adalah koordinasi horizontal yang mengkoordinasikan
tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan dalam tingkat organisasi yang setingkat. Dipilihnya koordinasi horizontal karena memudahkan
komunikasi sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan lebih efisien.
Munandar 2001 menawarkan pola koordinasi yang dapat dilakukan adalah membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah sekumpulan
orang yang berinteraksi satu sama lain sekaligus mempersiapkan diri sendiri sebagai bagian dari kelompok yang datang bersama-sama untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.
5.5.3 Optimasi Kolaborasi
Langkah selanjutnya adalah melakukan kolaborasi yaitu pembagian peran dan kerjasama di dalam pengelolaan mangrove. Kolaborasi yang terjadi
diharapkan akan menjadi sebuah kegiatan berbagi pengetahuan, belajar, dan membangun suatu kesepakatan dan pada akhirnya meningkatkan kesuksesan
dalam menyelesaikan suatu masalah. Partisipasi pemerintah dalam kolaborasi adalah berperan dalam mensinergikan kegiatan-kegiatan pengelolaan
mangrove di Tangerang. Berdasarkan Tabel 26 Perguruan Tinggi juga perlu berpartisipasi dalam bentuk kolaborasi. Perguruan Tinggi bisa berperan
dalam pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat diharapkan mampu mengatasi persoalan dalam dirinya. Keberadaan Perguruan Tinggi dinilai
mampu melakukan transfer pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat sehingga terjadi perubahan sosial yang dapat menjamin kelestarian mangrove.
102
5.6 Optimasi struktural kelembagaan pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang
5.6.1 Identifikasi Elemen dan Sub Elemen
Berdasarkan data penelitian tentang kondisi mangrove, peraturan perundang-undangan dan stakeholder di kabupaten Tangerang serta hasil
diskusi dan analisa lapangan maupun studi literatur dipilih tiga elemen yang perlu dikaji untuk mengukur pengelolaan ekosistem mangrove di Tangerang,
yaitu; 1 Tujuan program
2 Kendala program 3 Kebutuhan program
Dari ketiga elemen tersebut dikaji dan diuraikan menjadi sub elemen, dilanjutkan dengan penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen dari
setiap elemen pengembangan pengelolaan ekosistem mangrove. Adapun sub elemen dari elemen tujuan yang teridentifikasi adalah:
Sub elemen dari elemen Tujuan yang teridentifikasi adalah : 1 Menjaga kelestarian mangrove
2 Produksi ikan berkelanjutan 3 Lapangan pekerjaan berkesinambungan
4 Terjaganya keseimbangan ekosistem perairan 5 Mencegah terjadinya abrasi
6 Mencegah terjadinya penambangan pasir pantai 7 Meningkatkan koordinasi antar lembaga
8 Penegakkan regulasi 9 Rasionalisasi lahan garapan
10 Kelestarian sumberdaya perairan
11 Peningkatan kesejahteraan masyarakat
12 Membuat strategi pengelolaan mangrove sama masyarakat
103
Sub elemen dari elemen Kebutuhan program adalah: 1
Koordinasi dan komunikasi 2
Penegakkan hokum 3
Alokasi dana 4
Sumberdaya manusia 5
Lembaga resolusi konflik 6
Partisipasi masyarakat 7
Penghargaan terhadap mangrove 8
Penentuan kepemilikan 9
Peran swasta 10 Monitoring dan evaluasi
11 Peraturan kepemilikan 12 Penetapan lahan garapan
Dengan adanya tujuan serta kebutuhan program dalam pengelolaan mangrove, ternyata ditemukan 12 elemen kendala yaitu:
1 Perbedaan persepsi tentang ekosistem mangrove
2 Kerjasama lintas sektoral masih lemah
3 Penegakkan regulasi
4 Peraturan dan perundang-undangan
5 Tanggung jawab kepemilikan lahan garapan
6 Perilaku dan kapasitas penggarap
7 Rendahnya kemampuan pengelolaan bersama
8 Ego sektoral
9 Konflik peran diantara sektor
10 Partisipasi aktif masyarakat 11 Peningkatan penguasaan teknologi
12 Belum didukung data dan informasi tentang mangrove
Dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan akan melibatkan berbagai lembaga. Pengelolaan mangrove berkelanjutan akan melibatkan berbagai
instansi yang terkait dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian.
104
Untuk mewujudkan keberhasilan pengelolaan tersebut maka dibutuhkan lembaga yang dapat menghadapi berbagai kendala. Selanjutnya lembaga yang
terlibat membutuhkan tujuan program yang akan dipakai untuk menghilangkan kendala tersebut. Selanjutnya ketiga parameter tersebut
dianalisis untuk mendapatkan elemen kunci dan faktor yang menjadi penggerak keberhasilan pengelolaan mangrove di Tangerang.
5.6.2 Tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan ekosistem Mangrove di Kabupaten Tangerang
Elemen tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan mangrove di Tangerang dijabarkan dalam 12 sub elemen Tabel 22.
Tabel 22 Sub elemen tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan mangrove No
Sub Elemen 1
Menjaga kelestarian mangrove 1 2
Produksi ikan berkelanjutan 2 3
Lapangan pekerjaan berkesinambungan 3 4
Terjaganya keseimbangan ekosistem 4 5
Mencegah terjadinya abrasi 5 6
Mencegah terjadinya penambangan pasir pantai 6 7
Meningkatkan koordinasi antar lembaga 7 8
Penegakkan regulasi 8 9
Rasionalisasi lahan garapan 9 10
Kelestarian sumberdaya perairan 10 11
Peningkatan kesejahteraan masyarakat 11 12
Membuat strategi pengelolaan mangrove bersama masyarakat 12 Sumber: Hasil penelitian 2013
Hubungan kontekstual antar sub elemen dalam elemen tujuan adalah sub elemen yang satu memberikan kontribusi terhadap tercapainya sub
elemen tujuan yang lain. Berdasarkan analisis menggunakan Interpretativ Structural Modeling dapat dibuat struktur elemen tujuan pengembangan
pengelolaan ekosistem seperti tersaji dalam Gambar 11. Sub elemen meningkatkan koordinasi dalam pengelolaan 7 dan penegakkan regulasi 8
ternyata menjadi dasar bagi sub elemen lainnya.
105
Apabila kedua tujuan tersebut dapat tercapai maka diharapkan akan dapat mendorong tercapainya tujuan menjaga kelestarian mangrove 1,
terjaganya keseimbangan ekosistem perairan 4, mencegah terjadinya abrasi 5, mencegah terjadinya penambangan pasir pantai 6, rasionalisasi lahan
garapan 9, kelestarian sumberdaya perikanan 10 dan membuat strategi pengelolaan mangrove bersama masyarakat 12.
Selanjutnya apabila ketujuh tujuan tersebut dapat dicapai maka selanjutnya kondisi ini akan mendorong produksi ikan berkelanjutan 2,
lapangan pekerjaan berkesinambungan 3 dan peningkatan kesejahteraan masyarakat 5.
Gambar 11 Model optimasi struktur tujuan pengelolaan mangrove Klasifikasi sub elemen tujuan berdasarkan nilai DP dan D seperti
terlihat pada Gambar 12 menempatkan sub elemen meningkatkan koordinasi dalam pengelolaan 7 penegakkan regulasi 8 pada sektor independent. Hal
ini berarti kedua subelemen tujuan tersebut memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap tercapainya sub elemen tujuan lainnya akan tetapi
tercapainya kedua sub elemen tujuan tersebut sangat sedikit dipengaruhi oleh tercapainya sub elemen tujuan lainnya. Sub elemen ini berarti sub elemen
kunci yang perlu lebih diperhatikan.
2
9 6
5 4
1
8 7
Level 3 Level 2
Level 4
3
Level 1
10 12
11
106
Sub elemen yang berkaitan dengan meningkatkan kelestarian mangrove 1 terjaganya keseimbangan ekosistem perairan 4 mencegah terjadinya
abrasi 6 mencegah terjadinya penambangan pasir pantai 7 menempati sektor linkage. Hal ini berarti tercapainya tujuan keempat sub elemen tersebut
sangat dipengaruhi oleh tercapainya sub elemen lain sekaligus juga sangat mempengaruhi tercapainya sub elemen lain pula, oleh karena itu sub elemen
ini harus ditangani secara hati-hati, sedangkan sub elemen meningkatkan lapangan pekerjaan berkesinambungan 3 dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat 5 dan produksi ikan 2 berada pada sektor dependent. Hal ini berarti tercapainya tujuan sub elemen ini sangat dipengaruhi
oleh tercapainya sub elemen tujuan lainnya akan tetapi tidak atau sedikit mempengaruhi ketercapaian sub elemen tujuan lain. Hasil analisis sub elemen
tujuan dengan ISM ini menunjukkan tujuan koordinasi merupakan dasar untuk mencapai tujuan lainnya. Dampak lebih lanjut dari peningkatan
Gambar 12 Matriks Driver-Power dan Dependence ElemenTujuan
107
5.6.3 Kebutuhan Program yang diperlukan dalam Pengelolaan Mangrove di pesisir Tangerang
Kebutuhan program yang diperlukan dalam pengelolaan mangrove dijabarkan menjadi 12 sub elemen yaitu seperti pada Tabel 22. Interpretasi
dalam bentuk hierarki hasil analisis dengan ISM disajikan pada Gambar 13. Gambar
14 adalah pengelompokkan kedalam empat sektor
yakni autonomous, dependent, linkage dan independent.
Tabel 23 Kebutuhan program yang diperlukan dalam pengelolaan mangrove di Tangerang
No Sub Elemen
1 Koordinasi dan komunikasi
2 Penegakan hukum
3 Alokasi dana
4 Sumberdaya manusia
5 Lembaga resolusi konflik
6 Partisipasi masyarakat
7 Penghargaan terhadap mangrove
8 Penentuan kepemilikan
9 Peran swasta
10 Monitoring dan evaluasi
11 Peraturan kepemilikan
12 Penetapan lahan garapan
Sumber: Hasil penelitian 2013 Seperti pada hasil analisis ISM pada tujuan program yang ingin
dicapai, dalam pengelolaan mangrove maka pada elemen kebutuhan program yang diperlukan terdiri dari 3 level hierarki. Gambar 27 menunjukkan level 3
adalah koordinasi dan komunikasi 1 penegakan hukum 2 dan alokasi dana 3. Selanjutnya level 2 adalah sumberdaya manusia 4, partisipasi
masyarakat 6, Sedangkan pada level 1 adalah lembaga resolusi konflik 5 penghargaan terhadap mangrove 7 penentuan kepemilikan lahan 8 peran
swasta 9 monitoring dan evaluasi 10 peraturan kepemilikan 11 dan penetapan lahan garapan 12. Diagram hierarki kebutuhan program ini dapat
dilihat pada Gambar 13.
108
Gambar 13 Model optimasi struktur kebutuhan pengelolaan mangrove
Gambar 14 Matriks Driver-Power dan Dependence Elemen Kebutuhan
5 8
6 4
2
Level 2 Level 1
Level 3
7
3 9
10 11
1
1
109
5.6.4 Kendala dalam Pengelolaan Mangrove
Elemen kendala yang dihadapi dalam pengelolaan mangrove di Tangerang dijabarkan dalam 12 sub elemen Tabel 24.
Tabel 24 Sub elemen kendala yang ditemukan No
Sub elemen kendala 1
Perbedaan persepsi tentang ekosistem mangrove 2
Kerjasama lintas sektoral masih lemah 3
Penegakkan regulasi 4
Peraturan dan perundang-undangan 5
Tanggung jawab kepemilikan lahan garapan 6
Perilaku dan kapasitas penggarap 7
Rendahnya kemampuan pengelolaan bersama 8
Ego sektoral 9
Konflik peran diantara sektor 10
Partisipasi aktif masyarakat 11
Peningkatan penguasaan teknologi 12
Belum didukung data dan informasi tentang mangrove Sumber: Hasil penelitian 2013
Hubungan kontekstual antar sub elemen dalam elemen kendala adalah sub elemen yang satu menyebabkan terjadinya sub elemen kendala yang lain.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 2 elemen yang berada pada posisi independent yaitu sub elemen masih terdapat perbedaan persepsi
tentang ekosistem mangrove 1, dan kerjasama lintas sektoral masih lemah 2, menjadi dasar bagi sub elemen lainnya dan memiliki daya penggerak
yang sangat kuat terhadap keberhasilan pengelolaan mangrove di kabupatenTangerang.
Sedangkan penegakkan regulasi 3, tanggung jawab kepemilikan lahan garapan 5 perilaku dan kapasitas penggarap 6, rendahnya kemempuan
pengelolaan bersama 7 dan belum ada partisipasi aktif masyarakat 10 berada pada sektor linkage II.
Dengan teratasinya ketujuh kendala tersebut maka diharapkan lima kendala peraturan dan perundang-undangan 4 ego sektoral 8
konflik peran diantara sektor 9 peningkatan penguasaan teknologi 11 dan belum didukung data dan informasi tentang mangrove 12 yang
berada pada dependent III dapat diatasi.
110
Gambar 15 Model optimasi struktur kendala pengelolaan mangrove Klasifikasi sub elemen kendala berdasarkan nilai DP dan D Gambar 35
menempatkan sub elemen 1 dan 2 pada sektor independent. Hal ini berarti kedua sub elemen tujuan tersebut merupakan sub elemen mendorong
timbulnya sub elemen kendala lainnya akan tetapi timbulnya kendala ini sangat sedikit dipengaruhi oleh sub elemen kendala lainnya.
Gambar 16 Matriks Driver-Power DP dan DependenceD Elemen Kendala
4
10 7
6 5
3
2 1
Level 3 Level 2
Level 4
8 9
11 12
Level 1
111
Sub elemen kendala penegakkan regulasi 3, tanggungjawab
kepemilikan lahan garapan 5, perilaku dan kapasitas penggarap 6, rendahnya kemampuan pengelolaan bersama 7, partisipasi aktif masyarakat
10 menempati sektor linkage. Hal ini berarti timbulnya kelima kendala tersebut sangat didorong oleh
timbulnya sub elemen kendala lainnya sekaligus juga akan sangat mendorong timbulnya sub elemen kendala yang lain, oleh karena itu sub elemen ini harus
ditangani secara hati-hati, sedangkan sub elemen peraturan dan perundang- undangan 4, ego sektoral 8, konflik peran diantara sektor 9, peningkatan
penguasaan teknologi 11 dan belum ada data tentang mangrove yang lengkap 12 berada pada sektor dependent.
Hal ini berarti timbulnya kendala sub elemen ini sangat dipengaruhi oleh timbulnya kendala sub elemen lainnya akan tetapi tidak atau sedikit
mempengaruhi timbulnya sub elemen kendala lain. Hasil analisis sub elemen kendala dengan ISM ini menunjukkan bahwa perbedaan persepsi tentang
ekosistem mangrove 1 kerjasama lintas sektoral masih lemah 2 telah menyebabkan pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir Tangerang tidak
terkelola dengan baik.
5.7 Pengembangan Skenario Pengelolaan
Skenario pengelolaan mangrove disusun berdasarkan faktor- faktor kunci yang berpengaruh pada pengelolaan mangrove. Berdasarkan
faktor-faktor kunci tersebut selanjutnya dideskripsikan tentang berbagai keadaan state yang mungkin akan terjadi dimasa yang akan datang. Untuk
keenam faktor kunci yang berpengaruh terhadap pengelolaan, selanjutnya akan dipilih keadaan yang mungkin terjadi dimasa mendatang.
Menurut Hardjomidjojo 2002, hal ini dimaksudkan untuk memprediksi kemungkinan yang dapat terjadi pada faktor tersebut, apakah
berkembang kearah yang lebih baik dari sekarang, tetap, atau akan semakin buruk dari keadaan sekarang. Hasil ini dapat memberikan kewaspadaan bagi
pengambil kebijakan untuk menjalankan strategi yang dipilih.
112
Pemetaan keadaan faktor-faktor penentu pengelolaan mangrove yang mungkin berpeluang terjadi dimasa yang akan datang selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 25. Berdasarkan keadaan yang telah dibuat, maka dapat disusun skenario tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi untuk
pengembangan pengelolaan mangrove dimasa yang akan datang. Skenario disusun dalam rangka menghasilkan rekomendasi operasional untuk
pengelolaan mangrove di masa depan.
Penentuan Kondisi State Variabel Kunci di Masa Depan
Dari keenam variabel terpilih, selanjutnya perwakilan stakeholders melakukan eksplorasi secara konsensus untuk menentukan kondisi yang
berpeluang terjadi terhadap variabel tersebut pada masa depan. Eksplorasi terhadap kondisi variabel tersebut penting dilakukan untuk membangun
skenario yang diinginkan Godet and Roubelat 1998 Hasil penentuan kondisi variabel dan kombinasinya untuk membangun skenario perencanaan
pengelolaan mangrove di wilayah pesisir Tangerang disajikan pada Tabel 24. Pada Tabel 25 masing-masing variabel diberi kode dengan hurup A
sampai F dan kondisi variabel diberi kode angka 1 sampai 3 sehingga kombinasinya dapat ditulis ringkas seperti B2, yang bermakna bahwa kondisi
variabel penegakan hukum ke depan adalah tetap seperti saat ini. Penentuan kondisi variabel di masa depan merupakan hasil dari analisis morfologis dan
diskusi kelompok, perwakilan stakeholders melakukan perkiraan terhadap masing-masing variabel.
Tabel 25 Kondisi state variabel yang ditetapkan secara konsensus Variabel
Kode variabel
Keadaan State 1
2 3
Sumberdaya manusia A
Meningkat Tetap
Penegakan hukum B
Baik Tetap
Alokasi dana C
Meningkat Tetap
Koordinasi kelembagaan D
Meningkat Tetap
Menurun Partisipasi masyarakat
E Meningkat
Tetap Sumber: Hasil Analisis 2013
113
Pengembangan Skenario
Pengembangan skenario dilakukan melalui brainstorming dan diskusi kelompok . Dalam forum tersebut perwakilan stakeholders diminta untuk
dapat memberikan perkiraan dari kondisi masing-masing variabel penentu pada masa datang. Perkiraan tersebut merupakan opini dan cerminan
kepentingan stakeholders di masa depan. Dari perkiraan mengenai kondisi variabel tersebut di masa datang, dapat disusun skenario yang mungkin
terjadi di wilayah pesisir Tangerang. Suatu skenario merupakan sebuah kombinasi variabel dengan kondisi yang berbeda-beda perwakilan
stakeholders diminta untuk menyusun sejumlah skenario dengan menyusun kombinasi variabel dan kondisinya. Dari hasil brainstorming didapatkan
konsensus penyusunan skenario dalam pengelolaan mangrove pesisir Kabupaten Tangerang yang mungkin terjadi, yakni sebagai berikut:
Optimis A1-B1-C1-D1-E1,
yaitu kualitas
SDM masyarakat pesisir meningkat, penegakan
hukum baik, alokasi dana meningkat, koordinasi
kelembagaan meningkat,
partisipasi masyarakat meningkat Moderat
A1-B1-C1-D2-E1, yaitu
kualitas SDM
masyarakat pesisir meningkat, penegakan hukum baik, alokasi dana meningkat,
koordinasi kelembagaan tetap, partisipasi masyarakat meningkat
Pesimis A2-B2-C2-D2-E2,
yaitu kualitas
SDM masyarakat pesisir tetap, penegakan hukum
tetap, alokasi dana tetap, koordinasi kelembagaan tetap, partisipasi masyarakat
tetap
Sangat pesimis A2-B2-C2-D3-E2
yaitu kualitas
SDM masyarakat pesisir tetap, penegakan hukum
tetap, alokasi dana turun, koordinasi kelembagaan tetap, partisipasi masyarakat
tetap
Dari skenario yang disusun para perwakilan stakeholders, tampak bahwa perbedaan antarskenario memberikan implikasi terhadap upaya yang
harus dilakukan dalam pengelolaan mangrove pesisir Tangerang. Pada skenario optimis, harus dilakukan upaya perbaikan yang maksimal terhadap
semua variabel sehingga sistem akan menuju ke arah yang lebih baik. Secara
114
implisit tampak bahwa skenario optimis merupakan cerminan kepentingan stakeholders untuk mencapai suatu kondisi wilayah pesisir yang ideal pada
masa depan. Pada ekstrim yang lain, skenario sangat pesimis menunjukkan bahwa jika kondisi seperti saat ini terus berlangsung, tidak diperlukan upaya
perbaikan, dan sistem akan menjadi lebih buruk daripada kondisi saat ini. Sebagai kompromi dari kedua skenario ekstrim di atas, perwakilan
stakeholders juga merumuskan skenario moderat dan pesimis. Kedua skenario kompromis ini merupakan cerminan dari kepentingan stakeholders
dengan mempertimbangkan kemampuan memperbaiki berbagai variabel penentu Brown 2001. Upaya logis yang dapat diajukan oleh perwakilan
stakeholders secara nyata dapat dirumuskan dalam implikasi strategis dan aksi antisipatif.
5.8 Implikasi Strategis dan Aksi Antisipatif