99
memiliki tingkat keterlibatan yang berbeda-beda sesuai dengan bobot yang dimilikinya. Bobot yang dimaksud adalah tingkat kedekatan kepentingan
stakeholder bersangkutan dengan pengambilan keputusan dan kekuatan pengaruhnya terhadap proses penyusunan kebijakan. Adapun partisipasi
stakeholder yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan mangrove dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Partisipasi stakeholder pengelolaan mangrove di modifikasi dari Bryson 2003
Aspek Jenis Partisipasi
Informasi Koordinasi
Kolaborasi Pemberdayaan
Penetapan Kawasan
Dinas Kelautan
dan Perikanan
Dinas
Lingk ungan Hidup
Perhutani Dinas PU
Kepala Desa Dinas
Kelautan dan
Perikanan Dinas
Lingku ngan Hidup
Perhutani Penggarap
Dinas PU Kepala Desa
Dinas Kelautan
dan Perikanan
Dinas Lingkungan
Hidup Perhutani
Penggarap
Pengelolaan Dinas
Kelautan Perhutani
Dinas Kelautan
Perhutani Kepala Desa
Universitas Masyarakat
Lokal Penggarap
Pembinaan dan
Pengawasan Kepala Desa
Kepala Desa Dinas
Kelautan, Perhutani,
Kepala Desa LSM
Hasil Penelitian 2013 Berdasarkan tabel 20 diatas jenis partisipasi yang bisa dilakukan oleh
stakeholder kunci dalam aspek pemantapan dan penetapan, pengelolaan pembinaan serta pengawasan kawasan mangrove adalah memberikan
informasi, koordinasi, kolaborasi dan pemberdayaan.
5.5.1 Optimasi dalam memberikan informasi
Memberikan informasi artinya stakeholder
kunci harus saling memberikan informasi yang jelas tentang keberadaan mangrove. Selama ini
organisasi di lingkungan pemerintah lebih mengetahui informasi internal
100
dibandingkan informasi eksternal. Stakeholder yang berasal pemerintahan cenderung bekerja secara sektoral dan sangat jarang mensosialisasikan
kegiatannya pada pihak lain. Sebagai contoh wawancara dengan Dinas Perikanan dan Kelautan yang selama ini memiliki data informasi luasan
mangrove di kabupaten Tangerang, akan tetapi data yang dimiliki berbeda dengan yang ada pada lembaga lain. Demikian halnya informasi hasil-hasil
penelitian yang dilakukan beberapa Perguruan Tinggi perlu di sosialisasikan kepada pihak lain. Sering terjadi informasi yang dipegang organisasi
pemrintah kurang lengkap dan sifatnya parsial. Situasi ini menyebabakan perilaku oportunistik pihak-pihak yang memanfaatkan mangrove untuk
mengeksploitasi sumberdaya ini sehingga menimbulkan kerusakan. Untuk itu pihak Dinas Perikanan dan Kelautan selaku pengelola di daerah harus
proaktif mengumpulkan senua informasi yang berkaitan dengan khususnya kondisi mangrove di kabupaten Tangerang.
5.5.2 Optimasi Koordinasi
Jenis partisipasi selanjutnya yang harus dilakukan oleh stakeholder key player adalah melakukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksud disini adalah
pertukaran informasi kegiatan dua arah antar organisasi sebagai proses perintegrasian kegiatan-kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan yang
lebih efisien dan efektif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terjadi kendala dalam
melaksanakan koordinasi antara SKPD Pemerintah Daerah dan kantor UPT Kementrian Kehutanan Perhutani di daerah dalam pengelolaan hutan
mangrove karena masih terdapatnya ego sektoral, sebagai contoh dalam pelaksanaan penanaman mangrove terjadi tumpang tindih program antara
Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang dengan Dinas Lingkungan Hidup Tangerang dan UPT Kementerian Kehutanan Perhutani. Tumpang tindih
program mengindikasikan buruknya koordinasi pengelolaan mangrove di Tangerang.
101
Hasil kajian Sutrisno 2011 menemukan bahwa kebijakan koordinasi dalam pengelolaan hutan cenderung menggunakan pendekatan vertikal yang
dicirikan oleh level tertinggi organisasi pemerintah. Hal ini menjadi penyebab kegagalan koordinasi antar pemerintah karena mekanisme koordinasi vertikal
cenderung hanya mengatur bagaimana pengorganisasian pengambilan keputusan terpusat dalam sebuah organisasi.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan mangrove maka koordinasi yang dapat dilakukan adalah koordinasi horizontal yang mengkoordinasikan
tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan dalam tingkat organisasi yang setingkat. Dipilihnya koordinasi horizontal karena memudahkan
komunikasi sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan lebih efisien.
Munandar 2001 menawarkan pola koordinasi yang dapat dilakukan adalah membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah sekumpulan
orang yang berinteraksi satu sama lain sekaligus mempersiapkan diri sendiri sebagai bagian dari kelompok yang datang bersama-sama untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.
5.5.3 Optimasi Kolaborasi