71
Tabel 10 Peraturan yang berpengaruh terhadap pengelolaan mangrove
Hirarki peraturan
Substansi pengaturan hutan mangrove Kewena
ngan Status
fungsi Pemanf
aatan Rehabili
tasi Perlindun
gan Partisipasi
masyarakat UU
4 3
2 2
3 5
PP 3
1 3
1 1
2 PERPRES
- 1
1 -
1 -
PERMEN 1
5 1
3 2
1 PERGUB
- 1
- -
1 -
PERBUP -
- 1
1 1
- PERDES
- -
- -
4 -
PERDIRUT -
- -
- -
1
Sumber: Hasil penelitian 2013 Ketidakpastian
yang berawal
dari perundang-undangan
ini menimbulkan kebebasan akses pada kawasan mangrove. Secara umum
kondisi ini dipicu setidaknya oleh 5 lima substansi pokok sebagai berikut: 1 Ketidakjelasan kewenangan pada kawasan mangrove dengan tanah milik
masyarakat dan pengaturan antar sektor. 2 Ketiadaan lembaga resolusi konflik di tingkat lokal. 3 Mangrove tidak dinilaidihargai secara layak. 4
Orientasi manfaat bersifat jangka pendek dan 5 Ketidakpastian hak penguasaan tanah atas mangrove.
5.3.2.2 Kewenangan Kawasan Mangrove
Akibat batas yurisdiksi yang tidak jelas baik antar sektor pemerintah maupun antara masyarakat dengan pemerintah telah mengakibatkan konflik
yang berkepanjangan antara masyarakat dengan pengelola mangrove maupun konflik peran diantara sektor-sektor pemerintahan di Tangerang.
Pelaksanaan hak pemilikan melalui kebijakan transmigrasi lokal yang diterapkan pada pengelolaan mangrove merupakan aplikasi pasal 8 UU No 56
tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian yang memerintahkan pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar setiap petani memiliki tanah
pertanian minimal 2 ha, melalui pemberian Surat Keterangan Garapan SKD. Dalam mengaplikasikan kebijakan transmigrasi lokal misalnya terjadi
persoalan batas yurisdiksi yang bersumber dari perbedaan antara sistem hukum Indonesia atau sistem hukum adat dan sistem hukum barat Harsono
1999. Kebijakan transmigrasi lokal bersumber dari sistem hukum Indonesia atau sistem hukum adat UU No 5 tahun 1960. Pengaturan kawasan
72
ekosistem mangrove bersumber dari ordonantie Jawa Madura tahun 1932 yang bersumber dari sistem hukum Barat. Perbedaan kedua sistem hukum
berimplikasi tidak dapat terselesaikannya permasalahan kepemilikan hak garapan. Walaupun proses pengalokasian hak garapan telah dilakukan sejak
tahun 1958, namun karena terjadi dualisme sistem hukum sehingga hak garapan tidak memperoleh ketidakpastian hak.
Konflik yurisdiksi digambarkan oleh Schmid 1988 akan melemahkan komitmen masyarakat. Dihubungkan dengan pengelolaan mangrove, maka
pengendalian kerusakan ekosistem mangrove hanya dimungkinkan apabila penggrap memperoleh kepastian hak atas lahan garapannya.
5.3.2.3 Penyelesaian Konflik
Menurut UU No. 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya bahwa Gubernur maupun
BupatiWalikota tidak
memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan
permasalahan konflik penguasaan tanah hutan Lembaga yang paling berwenang menyelesaikan konflik penguasaan tanah hutan adalah Menteri
Negara Agraria dan Menteri Kehutanan. Kehadiran lembaga resolusi konflik di tingkat lokal sangat diperlukan, mengingat banyak persoalan duplikasi
pengaturan yang bersumber dari dualisme antara sistem hukum yang ada. Berdasarkan PP No. 4096 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa, bahwa mangrove diklasifikasikan sebagai sumberdaya alam bebas akses. Berdasarkan PP No. 471997 bahwa
ekosistem mangrove diklasifikasikan sebagai kawasan lindung yang aksesnya bersifat
terbatas. Implikasi
pengaturan kedua
peraturan tersebut
mempengaruhi terhadap kinerja pengelolaan mangrove. PP No 471997 dijadikan dasar bagi SK Menteri Kehutanan untuk menetapkan kawasan
mangrove sebagai hutan lindung perairan.
73
5.3.2.4 Penghargaan Terhadap Mangrove