Rehabilitasi Fisik Habitat Mangrove

F. Pemeliharaan tanaman Jenis tanaman yang ditanam perlu diperhatikan sifat silvikulturnya yang lebih difokuskan pada tindakan pemeliharaan seperti 1 penyulaman yaitu kegiatan penanaman kembali bagian yang kosong bekas tanaman yang mati atau rusak sehingga terpenuhi jumlah tanaman normal dalam satuan luasan tertentu; 2 penyiangan yaitu memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada tanaman pokok sehingga meningkatkan pertumbuhannya; 3 penjarangan yaitu kegiatan penebangan sebagian pohon untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi pohon tinggal.

2.12.2 Rehabilitasi Fisik Habitat Mangrove

Mangrove memiliki kemampuan memperbaiki habitatnya sendiri dengan mengembangkan strategi establismen, pertumbuhan dan perkembangan, serta regenerasi. Namun, pada kondisi-kondisi tertentu regenerasi alami pada mangrove akan terhambat terutama bila terjadi perubahan kondisi fisik habitat ke arah tidak normal seperti perubahan pada sistem hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional penanaman sering tidak berhasil meskipun dilakukan secara berulang-ulang Ong 1995. Rehabilitasi fisik perlu dipertimbangkan untuk dilakukan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekosistem homeostatis telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah kerusakan terhambat oleh karena beberapa alasan. Konsep ini belum pernah dianalisis atau dibahas secara lengkap untuk habitat mangrove Abdullah 1988. Untuk banyak kasus seringkali pengelola suatu program rehabilitasi melakukan penanaman mangrove sebagai pilihan pertamanya. Padahal pendekatan rehabilitasi terbaik adalah dengan mengetahui penyebab hilangnya mangrove, menangani penyebabnya, kemudian melakukan proses perbaikan habitat mangrove. Bibit mangrove ditanam hanya jika mekanisme alami tidak memungkinkan dan hanya setelah dilakukan pembenahan hidrologi Clough 1988. Menurut Piyakarnchana 1988, semua habitat mangrove dapat memperbaiki kondisi alami dalam waktu 15 – 20 tahun, jika paling tidak dua kondisi berikut dapat dipenuhi: 1. Kondisi normal hidrologi tidak terganggu, 2. Ketersediaan biji dan bibit mangrove serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi ternyata normal atau mendekati keadaan normal tetapi biji mangrove tidak dapat mendekati daerah rehabilitasi, maka mangrove dapat direhabilitasi dengan cara konvensional yaitu melalui penanaman. Oleh karena bibit mangrove dapat diperbaharui tanpa penanaman, maka rencana rehabilitasi secara fisik harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lingkungan lainnya yang mungkin menghambat perkembangan mangrove. Jika aliran air terhalangi dan ditemukan adanya tekanan lainnya, maka hal-hal tersebut harus ditangani terlebih dahulu. Jika masalah ini tidak ada atau telah ditanggulangi, maka perlu dilakukan pengamatan untuk memastikan tersedianya bibit alami. Bila bibit alami tidak cukup tersedia, maka penanaman dapat dilakukan untuk membantu perbaikan alami Macintosh 2002. Sangat disayangkan bahwa banyak kegiatan rehabilitasi mangrove langsung dimulai dengan aktivitas penanaman tanpa mempertimbangkan mengapa perkembangan secara alami tidak terjadi. Seringkali kegiatan-kegiatan seperti ini berakhir dengan kegagalan sebagaimana yang terjadi dikebanyakan proyek penanaman mangrove di Indonesia dan tempat lainnya Khazali 1999. Secara ringkas Sukardjo 1990, menyarankan 5 tahap penting untuk keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi fisik mangrove, yakni: 1. Memahami autekologi ekologi setiap jenis mangrove, pola reproduksi, distribusi benih, dan keberhasilan pembentukan bibit, 2. Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan keberhasilan pembentukkan dan pertumbuhan spesies mangrove yang menjadi target, 3. Memperkirakan perubahan lingkungan mangrove asli yang menghalangi pertumbuhan alami mangrove, 4. Disain program rehabilitasi fisik untuk memperbaiki hidrologi yang layak, dan jika memungkinkan digunakan benih alami mangrove untuk melakukan penanaman. 5. Hanya melakukan penanaman bibit, memungut, atau mengolah biji setelah mengetahui langkah alami di atas 1 – 4 tidak memberikan jumlah bibit dan hasil, tingkat stabilitas, atau tingkat pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan. Faktor yang paling penting dalam mendisain suatu kegiatan rehabilitasi mangrove adalah pengenalan hidrologi frekuensi dan durasi pasang surut air laut yang berlaku pada suatu komunitas mangrove yang berdekatan dengan areal rehabilitasi. Sebagai pengganti atas biaya pengumpulan data yang mahal yaitu dengan menggunakan batas air pasang serta melakukan survei terhadap mangrove yang tumbuh sehat untuk mendapatkan suatu diagram penampang distribusi spasial, kemiringan, dan morfologi suatu ekosistem mangrove, yang kemudian menjadi model konstruksi. Penggalian dan penimbunan kembali bekas galian diperlukan untuk membentuk tingkat kemiringan yang sama serta ketinggian relatif terhadap batas areal yang ditentukan untuk memastikan hidrologinya sudah tepat. Areal dimana penimbunan dilakukan terhadap lahan yang pernah ditumbuhi mangrove, dilakukan pengerukan kembali timbunan tersebut untuk mencapai tanah humus mangrove sebelumnya kemungkinan akan menghasilkan kondisi yang terlalu lembab untuk pembentukkan mangrove, ini disebabkan kepadatan dan kerapatan lapisan aslinya. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, ketinggian dapat disesuaikan dengan ketinggian habitat mangrove yang masih ada. Bentuk lain dari rehabilitasi fisik mangrove yaitu melibatkan penggabungan kembali areal-areal hidrologi yang terpisah ke situasi jangkauan air yang normal Sukardjo 2002.. Penanaman mangrove hanya diperlukan bila pertumbuhan alami tidak mungkin terjadi akibat kurangnya kecambah propagule atau kondisi tanah yang kurang mendukung. Ketika penanaman diperlukan, penempatan bibit Rhyzophora yang matang secara langsung dalam humus dapat mempercepat pertumbuhan mangrove. Teknik ini tidak dapat diterapkan untuk genus mangrove lainnya karena diperlukan pelepasan kulit biji dari kecambah sebelum pembentukannya, serta membutuhkan akan yang menyentuh permukaan tanah secara langsung dengan kotiledon yang terbuka. Kematian bibit ditahap awal jarang terjadi, namun harapan tingkat keberhasilannya adalah sekitar 50. Meskipun penanaman pada musim panas adalah yang ideal, tetapi bibit mangrove dapat pula ditanam sepanjang tahun dengan hasil yang memuaskan. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada ekosistem mangrove yang terdapat di pulau- pulau kecil TNB Provinsi Sulawesi Utara. Letak posisi geografis lokasi penetian adalah antara 1º35’41”-1º32’16” N dan 124º50’50”- 124º49’22,6” E. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli 2010. Ekosistem mangrove dan masyarakat yang ada di TNB adalah objek penelitian ini. Pemilihan objek penelitian dilakukan sesuai dengan kebutuhan data dan metode yang digunakan untuk menganalisisnya Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap awal yang ditempuh adalah survey pendahuluan. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan data sekunder lokasi penelitian dari studi pustaka mengenai TNB dari beberapa sumber yang ada. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dari TNB, berupa profil desa dan data kawasan ekosistem mangrove yang ada. Kegiatan tahap awal ini dilakukan mulai dari bulan Juli 2010. Tahap selanjutnya adalah pengambilan data primer di lokasi penelitian. Data primer yang dikumpulkan adalah data vegetasi mangrove beserta kondisi biofisik, kuisioner, dan profil desa masyarakat. Tahap yang terakhir adalah tahap pengolahan data dan penulisan hasil penelitian.

3.2 Jenis dan metode Pengambilan data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan mempergunakan metode pengamatan lapangan observasi dan metode sampling stratified, cluster, random, purposive, systematic sampling. Metode observasi merupakan metode yang sangat mendasar dalam melakukan inventarisasi potensi sumberdaya di ekosistem mangrove Kusumastanto 2002; Kusmana et al., 2005. Data sosial dan ekonomi yang terkait dengan kegiatan penelitian ini akan dikumpulkan di lokasi penelitian dari para responden. Responden akan dipilih secara purposive sampling dan accidental sampling. Pengumpulan data terhadap responden akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan wawancara mendalam deep interview dengan menggunakan kuisioner. 3.2.1 Data Sosial, Ekonomi, dan kelembagaan Data sosial ekonomi dikumpulkan secara langsung dengan cara wawancara yang berpedoman pada kuisioner. Sedangkan data jumlah penduduk, mata pencaharian, dan tingkat pendidikan diperoleh dari kantor desa, kantor kecamatan, dan badan pusat statistik daerah. Responden dipilih sebagai unit penelitian dengan metode penarikan contoh acak secara sengaja. Responden yang dipilih adalah masyarakat yang sering berasosiasi dengan mangrove yang tinggal di pesisir pulau. Responden yang dipilih adalah responden yang berinteraksi langsung dengan ekosistem mangrove. Data yang diperoleh dari wawancara adalah : 1. Karakteristik individu masyarakat berupa identitas responden umur, pendapatan, lama tinggal, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan formal yang dimaksud adalah SD, SMP, SMA atau lainnya. 2. Pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan yang terutama dilakukan sehari-hari untuk pemenuhan kebutuhan hidup, sedangkan pendapatan, yaitu jumlah penghasilan per bulan yang diperoleh dari berbagai sumber mata pencaharian. 3. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap sumberdaya ekosistem mangrove yaitu mengenai pendapat atau pandangan responden tentang pemanfaatan ekosistem mangrove dan partisipasi dalam mengelola ekosistem mangrove. 4. Pemanfaatan yang biasanya dilakukan pada ekosistem mangrove baik itu berupa potensi biologi seperti pemanfaatan satwa dan fauna di ekosistem mangrove ataupun potensi fisik ekosistem mangrove dan nilai ekonominya. 5. Peranan pemerintah dalam pelestarian ekosistem mangrove melalui intensitas frekuensi kegiatan, berupa penyuluhan, pembangunan infrastruktur, penanaman mangrove, dan pengawasan. 6. Partisipasi masyarakat dalam upaya untuk pelestarian sumberdaya pesisir khususnya ekosistem mangrove merupakan bagian dari program pemerintah. Bentuk partisipasi masyarakat ini adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengikuti kegiatan mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, dan pelatihan, tahap pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi dan pengawasan, serta tingkat partisipasi masyarakat.