Model Dinamika Fluks Nitrogen dan Kaitannya dengan Ekosistem Mangrove dalam Pengelolaan Perairan Pesisir Pulau Pulau Kecil

(1)

MODEL DINAMIKA FLUKS NITROGEN DAN KAITANNYA

DENGAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM

PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR PULAU-PULAU KECIL

(Kasus Pesisir Tanjungpinang Pulau Bintan Kepulauan Riau)

FEBRIANTI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Dinamika Fluks Nitrogen dan Kaitannya dengan Ekosistem Mangrove dalam Pengelolaan Perairan Pesisir Pulau-Pulau Kecil (Kasus Pesisir Tanjungpinang Pulau Bintan Kepulauan Riau) adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2014

Febrianti Lestari NIM C26208111


(4)

(5)

ABSTRACT

FEBRIANTI LESTARI. Dynamics Model of Nitrogen Flux the relation of Mangrove Ecosystems to Management in Coastal Waters Small Islands (Case Coastal Tanjungpinang of Bintan Island, Riau Archipelago). Under direction of ARIO DAMAR, KADARWAN SOEWARDI and LUKY ADRIANTO.

This study presents a framework for formulating the control of Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN) from anthropogenic sources of land within the framework of management of coastal waters of small islands with dynamic system approach is based on the characteristics of physical environmental factors and oceanographic waters. The study aims to developed a model of the design and management of DIN relation to mangrove ecosystems in an effort to control the enrichment of coastal waters of small islands. The total magnitude of anthropogenic sources of nitrogen in the Tanjungpinang mainland amounted to 1.073,98 tons/year, while the DIN waste load in river waters showed a value of 5.293 tons/year. Hydrodynamic models of coastal waters showed that the flow pattern in coastal waters at high tide occurs Tanjungpinang movement of currents derived from marine waters and coastal and estuarine waters to the river, the opposite occurs at low tide moving stream of water into the river through the estuary and coastal waters. DIN at the time of the full deployment in the waters of the Gulf of accumulation DIN, DIN strait while the surrounding waters spread evenly. DIN management model in coastal waters Tanjungpinang built to describe the behavior of real systems, which are arranged in six models, it is sub-models population, hotel and restaurant, industrial, farm and agriculture, coastal DIN, and mangroves. Policies that can be applied to reduce nitrogen waste load that does not exceed the capacity of coastal waters is a priority basis: 1) reducing the rate of population growth around the coastal areas Tanjungpinang, 2) increase participation and public perception of coastal water pollution control, 3) curb conversion mangrove land, 4) increasing the role of local government to build the Waste Water Treatment Plant, and 5) the government can increase the growth of the hotel to increase revenue allocated to build Waste Water Processing Installation (WWPI) of communal. DIN management in the coastal waters of small islands can be done with the optimistic strategy, however, needs to be supported by some form of policy (1) support the government to build a wastewater treatment facility resident or communal WWPI, (2) increased participation and public awareness of the marine environment, and (3) develop a strategic plan specific areas of environmental management in order to control water pollution of coastal waters of small islands.

Keywords : dissolved inorganic nitrogen, coastal waters of small island, mangrove ecosystems, the dynamics model.


(6)

(7)

RINGKASAN

FEBRIANTI LESTARI. Model Dinamika Fluks Nitrogen dan Kaitannya dengan Ekosistem Mangrove dalam Pengelolaan Perairan Pesisir Pulau-Pulau Kecil (Kasus Pesisir Tanjungpinang Pulau Bintan Kepulauan Riau). Di bawah bimbingan ARIO DAMAR, KADARWAN SOEWARDI dan LUKY ADRIANTO.

Nitrogen anorganik terlarut (Dissolved Inorganic Nitrogen /DIN) di perairan merupakan salah satu unsur nutrien, tetapi dalam jumlah besar berubah menjadi senyawa polutan yang berpotensi menimbulkan penyuburan di perairan dan dapat menimbulkan gangguan pada sistem perairan. Pengembangan kota dan peningkatan aktivitas masyarakat di lahan darat berdampak pada peningkatan total nitrogen dari sumber antropogenik yang masuk ke perairan pesisir. Adanya ekosistem mangrove yang terdapat di sekitar kawasan pesisir yang mampu menyerap DIN yang dibutuhkan sebagai proses pertumbuhannya, diharapkan peningkatan kandungan DIN di perairan pesisir dapat direduksi dan dikendalikan sehingga tidak menimbulkan gangguan bahkan kerusakan.

Penelitian ini menyajikan rumusan pengendalian DIN yang berasal dari sumber antropogenik lahan darat dalam kerangka pengelolaan perairan pesisir pulau-pulau kecil dengan pendekatan sistem dinamik berdasarkan karakteristik faktor-faktor lingkungan fisik dan oseanografi perairan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi sumber-sumber nitrogen dari kegiatan antropogenik di daratan yang berpotensi masuk ke perairan pesisir; (2) menentukan dinamika fluks DIN, beban limbah dan kapasitas asimilasi di perairan pesisir Tanjungpinang; (3) menentukan potensi penyerapan mangrove terhadap beban DIN di perairan pesisir; (4) merumuskan model dinamik fluks DIN dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir pulau-pulau kecil.

Penelitian dilaksanakan di kawasan perairan pesisir Kota Tanjungpinang pulau Bintan Kepulauan Riau. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode observasi, pengukuran langsung terhadap obyek penelitian (sampling di perairan), kuesioner. Estimasi total nitrogen dari sumber antropogenik daratan dianalisis dengan metode rapid assessment. Karakteristik DIN dan parameter fisik-kimia perairan dianalisis secara deskriptif dengan grafik, beban DIN di perairan sungai dianalisis dengan menentukan debit sungai dan konsentrasi senyawa DIN di perairan, sedangkan Kapasitas asimilasi di perairan pesisir dilakukan pendekatan nilai baku mutu dan dianalisis dengan regresi linear sederhana. Pola arus dan penyebaran DIN di perairan dianalisis dengan model hidrodinamik. Penyusunan strategi pengelolaan DIN dan kaitannya dengan ekosistem mangrove dirumuskan dengan model dinamik dan analaisis prospektif.

Hasil analisis menunjukkan bahwa total nitrogen dari sumber antropogenik di daratan Kota Tanjungpinang adalah sebesar 1.073,98 ton/tahun. Persentase terbesar bersumber dari aktivitas pemukiman penduduk (75,10%), selanjutnya berasal dari kegiatan hotel dan restoran (12,95%), industri pangan dan kegiatan peternakan memberikan kontribusi masing-masing sebesar 8,89% dan 3,04%. Sedangkan kontribusi terendah terdapat pada kegiatan pertanian (0,02%).


(8)

Carang sebesar 1.439 ton/tahun. Selanjutnya sungai Ladi, sungai Jang dan sungai Dompak memiliki beban limbah nitrogen inorganik masing-masing sebesar 903 ton/tahun, 574 ton/tahun dan 161 ton/tahun. sedangkan beban DIN terendah ditemukan di perairan sungai Ular hanya sebesar 130 ton/tahun. Sementara kapasitas asimilasi berdasarkan baku mutu di perairan pesisir Tanjungpinang adalah sebesar 538 ton/tahun.

Hasil model hidrodinamika perairan pesisir Tanjungpinang menunjukkan pola arus yang terdapat di perairan pesisir Tanjungpinang pada saat pasang arus bergerak dari perairan laut dan pesisir menuju perairan estuari masuk ke sungai, sebaliknya terjadi pada saat surut arus bergerak dari perairan sungai melalui estuari masuk ke perairan pesisir dan laut. Penyebaran DIN pada saat purnama terlihat bahwa DIN terkonsentrasi di sekitar perairan teluk Tanjungpinang, sedangkan perairan disekitar selat dompak DIN menyebar merata sehingga tidak terjadi akumulasi. Sementara penyebaran DIN pada saat perbani hanya tersebar disekitar mulut estuari.

Model pengelolaan DIN di perairan pesisir Tanjungpinang yang dibangun dapat menggambarkan perilaku sistem nyata, yang tersusun dalam enam sub-model, yaitu sub-model penduduk, hotel dan restoran, industri, peternakan dan pertanian, DIN pesisir, dan mangrove. Kebijakan yang dapat diterapkan untuk menekan beban limbah Nitrogen agar tidak melebihi daya tampung perairan pesisir berdasarkan prioritas adalah: 1) menekan laju pertumbuhan penduduk di sekitar kawasan pesisir Tanjungpinang, 2) meningkatkan partisipasi dan persepsi masyarakat tentang pengendalian pencemaran perairan pesisir, 3) menekan laju konversi lahan mangrove, 4) meningkatkan peran pemerintah daerah untuk membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah, dan 5) pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan hotel untuk peningkatan PAD yang dialokasikan untuk membangun IPAL komunal. Pengelolaan DIN di perairan pesisir Tanjungpinang dapat dilakukan dengan strategi optimistik, namun perlu didukung oleh beberapa kebijakan berupa (1) dukungan pemerintah untuk membangun fasilitas pengolahan limbah cair penduduk atau IPAL komunal, (2) peningkatan partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan (3) menyusun rencana strategis daerah khusus bidang pengelolaan lingkungan perairan dalam rangka pengendalian pencemaran di perairan pesisir Tanjungpinang.

Kata kunci : nitrogen anorganik terlarut, perairan pesisir pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove, model dinamik.


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

MODEL DINAMIKA FLUKS NITROGEN DAN KAITANNYA

DENGAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM

PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR PULAU-PULAU KECIL

(Kasus Pesisir Tanjungpinang Pulau Bintan Kepulauan Riau)

FEBRIANTI LESTARI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(12)

Penguji luar komisi pada

Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga, M.Sc 2. Dr.Ir. Tri Partono, M.Sc

Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc 2. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc


(13)

Judul Disertasi : Model Dinamika Fluks Nitrogen dan Kaitannya dengan Ekosistem Mangrove dalam Pengelolaan Perairan Pesisir Pulau-Pulau Kecil (Kasus Pesisir Tanjungpinang Pulau Bintan Kepulauan Riau)

Nama : Febrianti Lestari

NRP : C262080111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ario Damar, M.Si K e t u a

Prof. Dr.Ir. Kadarwan Soewardi, MS Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc

A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan disertasi dengan judul Model Dinamika Fluks Nitrogen dan Kaitannya dengan Ekosistem Mangrove dalam Pengelolaan Perairan Pesisir Pulau-Pulau Kecil (Kasus Pesisir Tanjungpinang Pulau Bintan Kepulauan Riau) berhasil diselesaikan.

Penyusunan disertasi ini telah melibatkan banyak pihak terkait, dan tanpa bantuan mereka penyusunannya mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Komisi pembimbing yaitu Dr.Ir.Ario Damar, M.Si (Ketua), Prof.Dr.Ir. Kadarwan Soewardi, MS (Anggota), dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. (Anggota) atas segala bimbingan dan arahan;

2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB Bogor dan staf administrasinya;

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan;

4. Pimpinan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) beserta jajarannya di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan ijin belajar; 5. Ananda tercinta Muhammad Hafif Febriansyah atas kesabaran dalam

menunggu selama proses penyelesaian program doktor;

6. Papa dan Mama serta keluarga besar atas segala do'a dan dukungannya selama proses penyelesaian kuliah doktor;

7. Staf Dosen dan teman-teman kuliah Angkatan 13 dan 14 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor;

8. Mas Edi Akhyari, Bang Yales Veva Jaya, Bang Falmi Yandri, Diana Azizah, Kang Andi Zulfikar, Ridho Pratama, Yulian, Rika Anggarini dalam pengumpulan data di lapangan dan bantuan selama penyusunan disertasi; 9. Staf laboratorium dan teman-teman dosen Kelautan dan perikanan UMRAH;

Sebagai suatu hasil dari proses belajar, penulis menyadari karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam upaya pengelolaan perairan pesisir pulau-pulau kecil di Indonesia.

Bogor, Pebruari 2014


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangean Kabupaten Kuantan Singingi, Riau pada tanggal 22 Februari 1978, dan merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Ramlis Rahman dan Ibu Siti Sarida. Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Pekanbaru. Pendidikan S1 diselesaikan pada tahun 2002 di jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau, Pekanbaru. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2004. Selanjutnya, pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS Dikti dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji di Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Bidang yang ditekuni adalah ekologi perairan dan konservasi sumberdaya hayati perairan. Dua karya ilmiah yang terkait dengan disertasi ini telah dipublikasikan. Pertama, Dinamika fluks nitrogen anorganik terlarut di perairan pesisir Tanjungpinang dipublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi yaitu Jurnal Segara. Kedua, Diversity of Mangrove Species and Water Quality In The Coastal Zone of Dompak Island Tanjungpinang, Riau Arcipelago, Indonesia

sedang dalam proses publikasi pada Jurnal Internasional Elsiver, yaitu Aquatic Botany Journal.


(18)

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Penelitian ... 5

1.4 Kerangka Pendekatan Penelitian ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

1.7 Novelty Penelitian ... 10

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir Daerah Kepulauan ... 11

2.2 Senyawa-senyawa Nitrogen Anorganik di Perairan Pesisir ... 15

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nitrogen Anorganik perairan ... 25

2.4 Ekosistem Mangrove Sebagai Penyerap Nitrogen Anorganik ... 35

2.5 Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimailasi Perairan ... 39

2.6 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dalam Kontek Pengendalian Pencemaran Lingkungan Perairan Pesisir ... 44

2.7 Konsep Dasar dan Pendekatan Sistem Dinamik ... 49

2.8 Model dan Pemodelan Sistem ... 53

3 M ETODE PENELITIAN ... 57

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 57

3.2 Pendekatan dan Tahapan Penelitian ... 59

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 62

3.4 Metoda Pengumpulan Data ... 63

3.4.1 Identifikasi Sumber dan Pendugaan Kuantitatif Nitrogen dari Dartaan ... 63

3.4.2 Teknik Pengambilan Sample Air ... 65

3.4.3 Parameter Pengamatan ... 67

3.4.4 Pengamatan Parameter Oseanografi Perairan ... 67

3.4.5 Pengukuran Kerapatan dan Luas Mangrove ... 68


(19)

ii

3.4.7 Pengumpulan Data Validasi Model Dinamik ... 69

3.5 Analisis Data ... 70

3.5.1 Analisis Sumber dan Beban Nitrogen dari Dartaan ... 70

3.5.2 Analisis Beban Nitrogen Anorganik Terlarut di Perairan ... 70

3.5.3 Analisis Kapasitas Asimilasi Perairan ... 71

3.5.4 Analisis Kerapatan dan Luas Ekosistem Mangrove ... 74

3.5.5 Analisis Penyerapan Nitrogen oleh Ekosistem Mangrove ... 74

3.5.6 Analisis Model Hidrodinamika Perairan Pesisir ... 75

3.5.7 Analisis karakteristik Sosial Masyarakat ... 78

3.5.8 Analisis Pemodelan Sistem Dinamik ... 78

3.5.9 Analisis Pembangunan Skenario yang Mungkin Terjadi ... 89

4 KONDISI UMUM WILAYAH ... 91

4.1 Kondisi Geografis ... 91

4.2 Perubahan Tutupan Lahan Wilayah Tanjungpinang ... 96

4.3 Iklim dan Cuaca ... 97

4.4 Kondisi Sungai dan Estuari ... 101

4.5 Kondisi Oseanografi ... 104

4.4.1 Pasang Surut ... 104

4.4.2 Tipe Pasang Surut ... 105

4.4.3 Gelombang ... 106

4.4.4 Kecepatan Arus ... 107

4.4.5 Kedalaman Perairan ... 108

4.6 Kondisi Sosial Masyarakat ... 110

4.6.1 Jumlah dan Perkembangan Penduduk ... 110

4.6.2 Struktur Penduduk ... 112

4.6.3 Karakteristik Sosial Budaya ... 114

4.6.4 Kegiatan Ekonomi Wilayah ... 115

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 119

5.1 Identifikasi Sumber Nitrogen dari Daratan ... 119

5.2 Kondisi Nitrogen Anorganik di Perairan Tanjungpinang ... 124

5.2.1 Nitrat (NO3-N) di Perairan Sungai dan Pesisir ... 124

5.2.2 Nitrit (NO2) di Perairan Sungai dan Pesisir ... 128

5.2.3 Amonium (NH4+) di Perairan Sungai dan Pesisir ... 131

5.2.4 Nitrogen Anorganik Terlarut di Perairan Sungai dan Pesisir .. 133

5.3 Karakteristik Lingkungan Fisika-kimia Perairan ... 138

5.3.1 Suhu Perairan ... 138


(20)

5.3.3 Salinitas ... 142

5.3.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxigen) ... 144

5.3.5 Total Suspended Solid (TSS) ... 147

5.3.6 Total Organik Material (TOM) ... 149

5.4 Beban dan Kapasitas Asimilasi Perairan ... 151

5.4.1 Beban (Load) Nitrogen Inorganik di Perairan Sungai ... 151

5.4.2 Kapasitas Asimilasi Perairan Pesisir Tanjungpinang ... 155

5.5 Fluks Nitrogen Anorganik di Perairan ... 161

5.5.1 Fluks Nitrogen Anorganik di Perairan Sungai ... 161

5.5.2 Fluks Nitrogen Anorganik di Perairan Pesisir ... 163

5.6 Hubungan Fluks Nitrogen dengan Parameter Lingkungan Perairan . 165 5.6.1 Hubungan Fluks Nitrat dengan Parameter Lingkuran Perairan 165

5.6.2 Hubungan Fluks Nitrit dengan Parameter Lingkuran Perairan 166

5.6.3 Hubungan Fluks Amonium dengan Parameter Lingkungan Perairan ... 167

5.6.4 Hubungan Fluks DIN dengan Parameter Lingkungan Perairan 168

5.7 Model Pola Arus dan Sebaran Nitrogen Anorganik di Perairan Tanjungpinang ... 169

5.7.1 Model Pola Arus di Perairan Tanjungpinang ... 170

5.7.2 Model Sebaran Nitrogen Anorganik di Perairan Pesisir Tanjungpinang ... 174

5.7.3 Validasi Model Pola Arus dan Penyebaran Nitrogen ... 180

5.8 Sebaran dan Potensi Penyerapan DIN oleh Mangrove ... 181

5.8.1 Sebaran Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjungpinang ... 181

5.8.2 Potensi Luas Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjungpinang .. 191

5.8.3 Potensi Penyerapan Nitrogen Anorganik oleh Mangrove ... 193

5.9 Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Pesisir Tanjungpinang Terhadap Pengelolaan Lingkungan Perairan ... 197

5.9.1 Karakteritik Responden ... 197

5.9.2 Persepsi Masyarakat Tentang Pengendalian Pencemaran Perairan ... 201

5.9.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Perairan Pesisir Tanjungpinang ... 203

5.10 Model Pengelolaan Nitrogen Anorganik Terlarut dan Kaitannya dengan Ekosistem Mangrove ... 205

5.10.1 Konseptualisasi Model ... 206

5.10.2 Perumusan Sub-model Pengelolaan Nitrogen Anorganik Terlarut dan Ekosistem Mangrove ... 209


(21)

iv

5.10.3 Analisis Kecenderungan Sistem (Simulasi Model) ... 215

5.10.4 Validasi Model ... 217

5.10.5 Penyusunan Skenario Pengelolaan DIN dan Penyerapan Mangrove ... 220

5.10.1 Skenario Moderat ... 222

5.10.2 Skenario Pesimistik ... 224

5.10.3 Skenario Optimistik ... 225

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 227

7.1. Kesimpulan ... 227

7.2. Saran ... 228

DAFTAR PUSTAKA ... 229


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Bentuk-bentuk nitrogen dan konsentrasinya ... 17 2. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit ... 20 3. Perbedaan kadar unsur (Kranskopf, 1977 dalam Dahuri et al., 1996) .... 29 4. Persentase (%) ammonia bebas (NH3) terhadap ammonium total ... 32 5. Pengaruh nilai TSS terhadap kepentingan perikanan ... 34 6. Titik koordinat Lokasi pengamatan penelitian ... 57 7. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ... 63 8. Faktor konstanta beban limbah organik ... 64 9. Parameter Pengamatan yang diukur dan Metode Analisisnya ... 67 10. Analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan beban nitrogen dan

ekosistem mangrove di perairan pesisir tanjungpinang ... 80 11. Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor

dominan pada pengelolaan fluks nitrogen dan ekosistem mangrove ... 90 12. Skenario pengelolaan fluks nitrogen dan kaitannya dengan ekosistem

mangrove di perairan pesisir kota Tanjungpinang ... 90 13. Wilayah Administrasi Kota Tanjungpinang ... 92 14. Rekapitulasi Luas dan Perubahan Tutupan Lahan Kota Tanjungpinang

Tahun 1989 – 2009 ... 96 15. Suhu Udara di Kota Tanjungpinang ... 98 16. Tekanan Udara di Kota Tanjungpinang ... 98 17. Kelembaban Udara di Kota Tanjungpinang ... 99 18. Arah dan Kecepatan Angin Rata-rata Per Tahun di Tanjungpinang ... 100 19. Presentase Rata-rata Penyinaran Matahari dan Curah Hujan di wilayah

Kota Tanjungpinang ... 101 20. Sungai yang Bermuara di Kawasan perairan Pesisir Kota

Tanjungpinang ... 102 21. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Tanjungpinang Tahun 2004-2011 110 22. Struktur Penduduk Kota Tanjungpinang Menurut Kelompok Umur ... 112


(23)

vi

23. Persentase Penduduk 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2011 ... 114 24. Pendugaan Total Nitrogen yang Bersumber dari Daratan Kota

Tanjungpinang ... 119 25. Pendugaan beban Nitrogen antropogenik di Kota Tanjungpinang ... 122 26. Beban Nitrogen Anorganik Terlarut di Perairan Sungai ... 152 27. Kapasitas Asimilasi di Perairan Pesisir Tanjungpinang ... 156 28. Fluks Nitrogen di Perairan Sungai Tanjungpinang ... 161 29. Fluks Nitrogen Anorganik di Perairan Laut Tanjungpinang ... 163 30. Penyebaran Jenis Mangrove di Kawasan Pesisir Tanjungpinang ... 182 31. Kerapatan dan Luas ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kota

Tanjungpinang ... 183 32. Jumlah penyerapan mangrove terhadap Nitrogen inorganik terlarut di

Perairan Pesisir Tanjungpinang ... 193 33. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik

pengelolaan nitrogen inorganik di perairan pesisir ... 208 34. Simulasi jumlah limbah Nitrogen dari darat yang masuk ke perairan

pesisir pada tahun 2012-2031 ... 216 35. Populasi penduduk dan jumlah limbah Nitrogen dari darat yang

dihasilkan tahun 2012-2031 ... 218 36. Susunan Skenariao yang dibangun dalam model ... 222 37. Skenario dan kombinasi kondisi faktor-faktor ... 222


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian model dinamika fluks nitrogen dan

kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir

pulau-pulau kecil ... 8 2. Siklus Nitrogen di perairan estuaria ... 18 3. Contoh bentuk umum diagram alir model sistem dinamik ... 49 4. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem dinamik ... 52 5. Lokasi Penelitian Model Dinamika Fluks Nitrogen dan Kaitannya

dengan Ekosistem Mangrove di Perairan Pesisir Kota Tanjungpinang 59 6. Tahapan penelitian model dinamika fluks nitrogen dan kaitannya

dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir pulau-pulau kecil ... 61 7. Grafik Hubungan antara Beban Pencemaran dan Kualitas Air ... 72 8. Causal loop diagram sub model Penduduk (SM-PDK) ... 83 9. Causal loop diagram sub model Hotel dan Restoran (SM-HTR) ... 84 10. Causal loop diagram sub model Industri pangan (SM-IND) ... 84 11. Causal loop diagram sub model Peternakan dan Pertanian (SM-PTP) 85 12. Causal loop diagram sub model DIN Perairan (SM-DIN PS) ... 85 13. Causal loop diagram sub model Mangrove (SM-MGR) ... 86 14. Diagram masukan-keluaran (input-output diagram) sistem

pengelolaan beban limbah nitrogen dan ekosistem mangrove ... 87 15. Peta Wilayah Administrasi Kawasan Pesisir Kota Tanjungpinang .... 93 16. Peta penggunaan lahan wilayah Kota Tanjungpinang ... 94 17. Peta Sungai-sungai di Peraiaran Pesisir Kota Tanjungpinang ... 103 18. Tipe Pasang Surut Berdasarkan data hasil Pengukuran di Wilayah

Perairan Tanjungpinang ... 106 19. Kecepatan Arus di Perairan Estuari dan Pesisir Tanjungpinang ... 108 20. Topografi Dasar Perairan Pesisir Wilayah Tanjungpinang ... 109 21. Distribusi Sebaran Penduduk Kota Tanjungpinang ... 111 22. Perkembangan Penduduk Kota Tanjungpinang Tahun 2004 – 2011 .. 111


(25)

viii

23. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kota Tanjungpinang .... 113 24. Persentase beban limbah nitrogen dari berbagai sumber di darat ... 123 25. Sebaran kandungan nitrat pada perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 125 26. Hubungan konsentrasi nitrat di perairan sungai dan pesisir ... 128 27. Sebaran konsentrasi nitrit pada perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 129 28. Sebaran konsentrasi ammonium pada perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 131 29. Hubungan konsentrasi amonium di perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 133 30. Sebaran konsentrasi DIN pada perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 134 31. Proporsi kontribusi senyawa nitrat, nitrit dan amonium terhadap

nilai konsentrasi total DIN pada perairan sungai ... 136 32. Proporsi kontribusi senyawa nitrat, nitrit dan amonium terhadap

nilai konsentrasi total DIN pada perairan Pesisir dan laut ... 137 33. Hubungan konsentrasi DIN di perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 138 34. Nilai rata-rata suhu di perairan Sungai dan pesisir Tanjungpinang .... 139 35. Nilai rata-rata pH di perairan sungai dan pesisir Tanjungpinang ... 141 36. Rata-rata Salinitas di Perairan sungai dan pesisir Tanjungpinang ... 143 37. Nilai rata-rata DO di perairan pesisir dan estuari Tanjungpinang ... 145 38. Nilai rata-rata Padatan tersuspensi total (TSS) di perairan sungai dan

pesisir Tanjungpinang ... 148 49. Nilai rata-rata Total Organic Material di perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 150 40. Beban (Load) rata-rata Nitrogen Inorganik di Perairan Sungai

Tanjungpinang ... 151 41. Hubungan Konsentrasi Nitrat di Pesisir dengan Load Nitrat di

Estuari ... 157 42. Hubungan Konsentrasi Amonium di Pesisir dengan Load Amonium

di Estuari ... 159 43. Hubungan Konsentrasi DIN di Pesisir dengan Load DIN di Estuari .. 160


(26)

44. Fluks nitrogen anorganik pada masing-masing perairan sungai di

Tanjungpinang saat musim Barat ... 162 45. Fluks Nitrogen anorganik di perairan Pesisir Tanjungpinang ... 164 46. Pola Arus Perairan Tanjungpinang saat Pasang Tertinggi Perbani ... 171 47. Pola Arus Perairan Tanjungpinang saat Pasang Tertinggi Purnama ... 172 48. Pola Arus Perairan Tanjungpinang saat Surut Terendah Perbani ... 173 49. Pola Arus Perairan Tanjungpinang saat Surut Terendah Purnama ... 173 50. Sebaran Nitrat di perairan Tanjungpinang saat Perbani Pasang

Tertinggi dan surut terendah ... 175 51. Sebaran Nitrat di perairan Tanjungpinang saat Purnama Pasang

Tertinggi dan surut terendah ... 176 52. Sebaran Nitrit di perairan Tanjungpinang saat Perbani Pasang

Tertinggi dan surut terendah ... 177 53. Sebaran Nitrit di perairan Tanjungpinang saat Purnama Pasang

Tertinggi dan surut terendah ... 177 54. Sebaran Amonium di perairan Tanjungpinang saat Perbani,

Pasang Tertinggi dan surut terendah ... 178 55. Sebaran Amonium di perairan Tanjungpinang saat Purnama,

Pasang Tertinggi dan surut terendah ... 178 56. Sebaran DIN di perairan Tanjungpinang pada saat Perbani,

Pasang Tertinggi dan surut terendah ... 179

57. Sebaran DIN di perairan Tanjungpinang saat Purnama, Pasang Tertinggi dan surut terendah ... 179

58. Perbandingan elevasi pasut hasil model dan pasut pengamatan ... 180 59. Peta Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Sungai Ular ... 184 60. Peta Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Sungai Ladi ... 185 61. Peta Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Sungai Carang ... 187 62. Peta Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Tanjung Unggat ... 189 63. Peta Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Sungai Jang ... 190 64. Peta Sebaran Jenis Mangrove di Kawasan Sungai Dampak ... 191 65. Peta Luasan Mangrove di Wilayah pesisir Kota Tanjungpinang ... 192 66. Sebaran umur responden di lokasi penelitian ... 198 67. Sebaran tingkat pendidikan responden ... 199


(27)

x

68. Distribusi pekerjaan responden ... 200 69. Sebaran tingkat pendapatan responden ... 200 70. Persentase persepsi masyarakat tentang pencegahan dan

penaggulangan pencemaran perairan pesisir ... 202 71. Persentase partisipasi masyarakat tentang pengendalian pencemaran

perairan pesisir Tanjungpinang ... 203 72. Model konseptual dinamika sistem pengendalian beban nitrogen

inorganik terlarut dan penyerapan ekosistem mangrove di perairan pesisir Tanjungpinang ... 207 73. Diagram alir sub-model Penduduk ... 210 74. Diagram alir sub-model Hotel dan Restoran ... 211 75. Diagram alir sub-model Industri pangan ... 212 76. Diagram alir sub-model Peternakan dan Pertanian ... 213 77. Diagram alir Sub model nitrogen inorganik terlarut di perairan

pesisir ... 214 78. Diagram alir sub model ekosistem mangrove ... 215 79. Kecendrungan jumlah limbah N yang masuk ke perairan pesisir ... 216 80. Hubungan antara Jumlah Penduduk, Limbah Penduduk dan Beban

limbah Nitrogen dari darat ... 219 81. Grafik perbandingan jumlah penduduk hasil simulasi dengan

data Empirik ... 220 82. Prediksi beban limbah nitrogen di perairan pesisir pada skenario

moderat sampai tahun 2031 ... 223 83. Prediksi beban limbah nitrogen di perairan pesisir pada skenario

pesimistik sampai tahun 2031 ... 225 84. Prediksi beban limbah nitrogen di perairan pesisir pada skenario


(28)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data hasil pengukuran senyawa nitrogen inorganik terlarut di

perairan sungai dan pesiisr Tanjungpinang ... 241 2. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan sungai dan pesisir

Tanjungpinang ... 242 3. Beban Nitrogen Anorganik Terlarut pada Perairan Sungai di

Tanjungpinang ... 243 4. Nilai Fluks Nitrogen Anorganik di Perairan Sungai dan Pesisir ... 245 5. Korelasi Berganda senyawa DIN di perairan estuari dan perairan

pesisir dengan parameter lingkungan ... 247 6. Hasil simulasi model dinamik pengelolaan Nitrogen anorganik dan


(29)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aktivitas antropogenik berpengaruh terhadap peningkatan nitrogen di daratan permukaan bumi. Peningkatan nitrogen di lahan darat selanjutnya dapat mempengaruhi masukan nitrogen ke sistem perairan, yang akhirnya ke pesisir dan laut. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh Wade et al. (2005) bahwa aktivitas manusia telah memberikan dampak signifikan terhadap transport dan sumber nutrien dari lahan darat ke estuari dan perairan pesisir di sekitar Eropa. Hasil estimasi menunjukkan bahwa fluks nitrogen (N) ke laut utara Eropa mengalami peningkatan lebih dari sepuluh kali lipat pada 40 tahun terakhir.

Di daerah tropis termasuk Indonesia, peningkatan load nitrogen ke dalam sistem perairan pesisir dan laut yang berasal dari lahan darat (land-based) terus berlangsung, menurut Wilkinson (2012) untuk nitrogen yang berasal dari penguraian bahan organik yang dilepaskan dari sungai sebesar 65% masuk ke sekitar perairan pesisir. Semakin besar populasi penduduk, maka semakin banyak pula tekanan pada lingkungan pesisir. Kontribusi bahan pencemar organik yang mengandung senyawa nitrogen dalam limbah cair yang berasal dari aktivitas manusia telah mencapai 50% sampai 75% dari limbah cair total (Putnam et al.

2010). Pembuangan beban nitrogen ke lingkungan perairan pesisir menyebabkan terjadinya eutrofikasi, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan sistem perairan pesisir yang pada akhirnya berdampak buruk terhadap ekosistem perairan pesisir. Sebagaimana dijelaskan Purvaja et al. (2008) input nitrogen antropogenik sangat berpengaruh terhadap eutrofikasi lokal. Dampak negatif penurunan kualitas lingkungan perairan akibat eutrofikasi dapat menurunkan produktivitas hayati perairan, kerusakan ekosistem perairan dan penurunan nilai estetika (Duda 2006).

Senyawa nitrogen anorganik di perairan merupakan salah satu unsur nutrien sekaligus polutan yang berpotensi menimbulkan penyuburan pada perairan yang berdampak buruk terhadap sistem perairan (Druon et al. 2010). Senyawa ini dalam air laut terdapat dalam tiga bentuk utama yang berada dalam keseimbangan


(30)

yaitu nitrat, nitrit dan ammonium. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit dan ammonium merupakan senyawa toksik yang bersifat racun bagi organisme air, sehingga konsentrasi nitrit yang tinggi dapat menyebabkan perairan menjadi tercemar. Keberadaan nitrogen di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari limbah domestik, industri, bahan peledak, pirotehnik dan pemupukan (Islam, 2005).

Ekosistem mangrove yang merupakan salah satu ekosistem pesisir dalam proses pertumbuhannya membutuhkan senyawa nitrogen dalam bentuk nitrogen anorganik terlarut atau Dissolved Inorganik Nitrogen (DIN). Pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh air laut pada saat pasang dan air tawar dari sungai, serta endapan lumpur (silt) yang berasal dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Senyawa nitrat, nitrit dan ammonium yang terkandung dalam perairan laut akan mempengaruhi proses pertumbuhan mangrove yang terdapat di kawasan pesisir. Hal ini disebabkan senyawa nitrogen merupakan nutrien bagi tumbuhan mangrove, dikatakan bahwa ketersediaan nutrien, khususnya nitrogen dan posphor adalah faktor penting yang berperan untuk pertumbuhan mangrove (Lin 2004).

Wilayah Kota Tanjungpinang yang terletak di Pulau Bintan merupakan bagian dari salah satu kasus pengembangan kota di daratan pulau kecil. Pembangunan kota berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan sektor ekonomi daerah, dan selanjutnya berimplikasi terhadap peningkatan jumlah penduduk. Laju pertumbuhan penduduk Kota Tanjungpinang antara tahun 2008-2011 adalah sebesar 2,79% (Badan Pusat Statistik Tanjungpinang 2012) terutama diakibatkan oleh peningkatan migrasi penduduk dari daerah lain. Laju pertumbuhan penduduk ini juga diikuti oleh semakin meningkatnya berbagai aktivitas manusia di daratan Kota Tanjungpinang yang dapat mengakibatkan peningkatan buangan limbah ke lingkungan. Sebagaimana diketahui daratan pulau kecil sangat terbatas, menyebabkan sebagian besar buangan limbah akan masuk ke lingkungan perairan pesisir. Kondisi ini akan diperburuk dengan adanya faktor lingkungan perairan pesisir pulau kecil yang relatif bersifat perairan semi tertutup sehingga sangat rentan terhadap masukan limbah, disebabkan limbah akan


(31)

3

terakumulasi pada perairan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang nomor 27 tahun 2007, Kota Tanjungpinang termasuk wilayah pulau kecil yang memiliki karakteristik lingkungan perairan yang khas. Sebagaimana diketahui bahwa Pulau-pulau kecil sering diisukan sebagai suatu wilayah yang bersifat rentan dalam faktor lingkungan (Nam et al. 2010).

Dengan demikian, terkait dengan buangan limbah nitrogen ke perairan yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya akibat pengembangan kota pada wilayah pesisir Tanjungpinang, dan adanya peran ekosistem mangrove di kawasan pesisir yang mampu menyerap senyawa nitrogen anorganik terlarut (Dissolved Inorganik Nitrogen /DIN), maka dibutuhkan suatu kajian tentang dinamika fluks nitrogen anorganik terlarut di perairan pesisir dan kaitannya dengan keberadaan ekosistem mangrove di perairan pesisir pulau-pulau kecil.

1.2 Perumusan Masalah

Pelepasan nitrogen anorganik terlarut dalam sistem perairan estuari dan pesisir memiliki peran penting dalam pertumbuhan fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, serta semua komponen biologis lain dari siklus rantai makanan. Disisi lain, pengembangan kota dan pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi, menyebabkan buangan limbah penghasil senyawa nitrogen anorganik ke lingkungan perairan semakin meningkat tanpa kendali, sebagai akibat hasil produk samping dari berbagai aktivitas manusia di daratan terutama limbah domestik perkotaan berupa limbah cair (sewage disposal) dan sisa metobolisme mahluk hidup lainnya.

Buangan limbah yang berpotensi menghasilkan senyawa nitrogen dari aktivitas lahan darat masuk ke perairan pesisir melalui beberapa cara, diantaranya; ada yang masuk melalui sungai menuju ke perairan pesisir, dan sebagian beban limbah ada yang terbawa masuk oleh larian air hujan (run-off). Selanjutnya di perairan pesisir terjadi proses pencampuran yang dapat mempengaruhi proses pengenceran senyawa nitrogen yang masuk ke perairan. Proses pencampuran dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut air laut. Kondisi pasang surut dengan


(32)

adanya pola arus akan mempengaruhi proses pemindahan senyawa nitrogen ke luar perairan. Namun jika pola arus di suatu wilayah perairan membentuk sirkulasi yang cendrung tertutup maka pola penyebaran senyawa yang larut didalam perairan dalam hal ini nitrogen anorganik akan terkonsentrasi disekitar wilayah perairan tersebut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya akumulasi senyawa nitrogen anorganik terlarut pada suatu perairan.

Apabila buangan limbah nitrogen dari lahan darat terus terjadi peningkatan, maka akan terjadi akumulasi beban nitrogen anorganik di perairan. Selanjutnya penumpukan beban nitrogen anorganik semakin lama dapat melebihi daya tampung atau kapasitas asimilasi perairan yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan kualitas perairan, sehingga terjadi gangguan keseimbangan sistem perairan pesisir, seperti terjadinya eutrofikasi yang ditandai dengan munculnya blooming alga.

Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Feller et al (2003) bahwa pembuangan senyawa nitrogen antropogenik dalam jumlah volume yang cukup besar ke lingkungan perairan pesisir dapat menimbulkan pencemaran perairan yang berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir. Hal ini disebabkan karena pengkayaan nutrien berupa nitrogen di perairan pesisir dapat merubah keseimbangan kompetitif spesies perairan, mengganggu pemandangan dan berpotensi menimbulkan bloomming alga toksik (Wade et al., 2005).

Terganggunya keseimbangan sistem perairan akibat pencemaran, diduga dapat menyebabkan komponen biologis di dalamnya akan mengalami perubahan bahkan terganggu dan dapat mengancam fungsi ekologi ekosistem perairan pesisir lainnya. Masalah tersebut akan semakin kompleks bila ditemukan di perairan pesisir pulau kecil. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pulau kecil yang sangat rendah dalam menerima beban limbah. Dengan adanya ekosistem mangrove di kawasan estuari dan pesisir yang memiliki kemampuan menyerap nitrogen anorganik terlarut di perairan, maka diharapkan beban limbah nitrogen anorganik yang terdapat di perairan pesisir bisa diminimilisir konsentrasinya dengan mempertahankan keberadaan ekosistem mangrove di kawasan pesisir.


(33)

5

Berdasarkan uraian masalah yang ada, maka pertanyaan penelitian yang menjadi dasar penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Seberapa besar sumber-sumber nitrogen yang berasal dari daratan yang berpotensi masuk ke perairan pesisir Tanjungpinang?

2. Bagaimana dinamika fluks nitrogen anorganik terlarut, beban limbah dan kapasitas asimilasi di perairan pesisir Tanjungpinang?

3. Bagaimana potensi penyerapan mangrove terhadap beban limbah nitrogen anorganik terlarut di perairan pesisir Tanjungpinang?

4. Bagaimana merumuskan model pengelolaan dinamika fluks nitrogen anorganik terlarut dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir pulau-pulau kecil?

1.3 Batasan Penelitian

Ruang lingkup kajian nitrogen pada penelitian ini dibatasi pada senyawa nitrogen anorganik terlarut atau Dissolved Inorganik Nitrogen (DIN) di perairan sungai dan pesisir yaitu terdiri dari senyawa Nitrat (NO3-), Nitrit (NO2-) dan Ammonium (NH4+) yang mampu diserap oleh vegetasi mangrove dalam proses metabolisme pertumbuhannya. Sumber senyawa DIN yang menjadi fokus pada penelitian ini dibatasi pada sumber-sumber nitrogen yang dihasilkan dari aktivitas antropogenik yang berasal dari lahan darat. Pengamatan terhadap besaran beban (load) dan fluks DIN dilakukan pada saat surut di perairan sungai dan pesisir dengan melakukan pengukuran kandungan senyawa DIN dan kecepatan arus di perairan sungai dan pesisir.

1.4 Kerangka Pendekatan Penelitian

Senyawa nitrogen anorganik terlarut yang berasal dari daratan (land based) masuk ke perairan pesisir dengan media aliran sungai melalui perairan estuari yang terdapat di wilayah Tanjungpinang. Untuk mengetahui seberapa besar jumlah total nitrogen antropogenik dari daratan Tanjungpinang masuk ke lingkungan perairan pesisir, maka perlu diidentifikasi sumber-sumber yang berkontribusi terhadap pembuangan senyawa nitrogen anorganik tersebut.


(34)

Identifikasi sumber-sumber nitrogen dapat dilakukan secara langsung terhadap beban nitrogen pada lokasi pengamatan dengan pendekatan rapid assessment.

Dalam kerangka adanya aliran masuk total nitrogen dari lahan darat ke sistem perairan, maka perlu diketahui seberapa besar konsentrasi nitrogen di perairan yaitu dengan melakukan pengukuran terhadap senyawa nitrogen anorganik terlarut yakni terdiri dari senyawa Nitrat (NO3-N), Nitrit (NO2-N) dan Ammonium (NH4+-N). Pengukuran senyawa nitrogen anorganik di perairan dilakukan dengan pengambilan sample air yang kemudian dianalisis di laboratorium. Sebagai upaya untuk menghitung seberapa besar daya tampung perairan pesisir Tanjungpinang terhadap masukan senyawa nitrogen anorganik digunakan analisis kapasitas asimilasi. Pada penelitian ini nilai kapasitas asimilasi diasumsikan merupakan fungsi dari konsentrasi nitrogen anorganik di perairan pesisir dan beban limbah di perairan sungai. Selanjutnya nilai kapasitas asimilasi dianalisis dengan melihat seberapa besar peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya.

Di perairan pesisir senyawa nitrogen anorganik mengalami proses pencampuran yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dinamika oseanografi perairan pesisir yang terdiri dari beberapa faktor, yaitu: arus, pasang surut air laut dan bathimetri perairan. Kondisi pasang surut akan mempengaruhi proses pemindahan senyawa nitrogen ke luar perairan. Faktor oseanografi perairan pesisir sangat mempengaruhi pola penyebaran senyawa nitrogen anorganik terlarut di perairan, sehingga perlu diketahui proses-proses hidrologi perairan dengan menggunakan analisis model hidrodinamika perairan.

Adanya pengaruh pasang surut di perairan pesisir menyebabkan terjadinya penyebaran senyawa nitrogen anorganik terlarut sampai di ekosistem mangrove pada saat air pasang. Sebagaimana diketahui ekosistem mangrove mampu menyerap senyawa nitrogen anorganik dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian, untuk penghitungan potensi penyerapan nitrogen anorganik terlarut oleh ekosistem mangrove perlu diketahui potensi


(35)

7

luasan dan penyebaran ekosistem mangrove yang terdapat di sekitar kawasan estuari dan pesisir Tanjungpinang, serta koefisien penyerapan nitrogen anorganik terlarut pada masing-masing jenis mangrove dominan.

Dalam tataran pengelolaan nitrogen anorganik di perairan pesisir digunakan pendekatan analisis sistem dinamik, yang memandang objek sebagai suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait dan berinteraksi. Tahap pertama diawali dengan menganalisis kebutuhan seluruh

stakeholder yang terkait. Kemudian memformulasi permasalahan yang dihadapi oleh seluruh stakeholder. Hasil identifikasi faktor-faktor dalam sistem yang dikaji dan digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram

black box. Pemodelan terhadap sistem dilakukan untuk melihat perilaku sistem dimasa depan. Pemodelan merupakan bentuk penyederhanaan sistem pengelolaan fluks nitrogen anorganik terlarut di perairan yang begitu kompleks. Pemodelan dilakukan untuk melihat kecenderungan dari sistem yang ada untuk 20 tahun ke depan agar dapat dipertimbangkan dalam merumuskan strategi pengelolaan.

Faktor-faktor yang dominan berpengaruh dalam sistem pengelolaan fluks nitrogen anorganik di perairan pesisir dan kaitannya dengan ekosistem mangrove ditentukan dengan metode prospektif. Metode ini didasarkan pada pilihan pakar (expert choice) yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam dalam pengelolaan perairan pesisir. Pemilihan faktor-faktor dominan ditujukan untuk memfokuskan kajian pada faktor penting yang berpengaruh saja.

Penyusunan skenario untuk melihat fenomena yang akan terjadi di masa depan yang didasarkan pada hasil analisis prospektif dan pemodelan yang disimulasikan dengan program stella. Hasil proses ini berupa pilihan rekomendasi yang kemudian dijabarkan dengan analisis morfologi untuk mendapatkan strategi yang diterapkan saat ini dan di masa depan. Keseluruhan pendekatan yang dikembangkan dalam kerangka pemikiran penelitian dapat di lihat pada Gambar 1.


(36)

1.5 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan model pengelolaan fluks nitrogen anorganik terlarut dan ekosistem mangrove yang dapat Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian model dinamika fluks nitrogen dan kaitannya dengan ekosistem mangrove dalam pengelolaan perairan pesisir pulau-pulau kecil.

Model dinamika fluks nitrogen dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir pulau-pulau kecil

Pemodelan dinamika fluks nitrogen dan kaitannya dengan ekosistem Mangrove

di perairan pesisir pulau-pulau kecil

Kajian dinamika fluks nitrogen dan ekosistem mangrove di perairan

pesisir

Analisis sistem

Analisis prospektif

Skenario pengelolaan fluks nitrogen dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pulau-pulau kecil

Strategi pengelolaan fluks nitrogen dan kaitannya dengan ekositem mangrove di perairan pesisir

pulau-pulau kecil

Kerapatan dan luas ekosistem mangrove di

kawasan pesisir

Penyerapan DIN oleh ekosistem

mangrove Nitrogen anorganik (Dissolved Inorganik Nitrogen/

DIN) di perairan pesisir Kota Tanjungpinang

Konsentrasi DIN (nitrat, nitrit, ammonium) di

perairan Identifikasi sumber DIN dari lahan darat Parameter dinamika

Oseanografi (Meteorologi, arus, pasang surut, bathimetri)

Model hidrodinamika Fluks DIN di perairan pesisir

Sosial masyarakat Pendekatan Sistem Analisis kebutuhan Formulasi masalah Identifikasi sistem Analisis dinamis


(37)

9

diaplikasikan pada perairan pesisir pulau-pulau kecil. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi sumber-sumber nitrogen dari kegiatan antropogenik di daratan yang berpotensi masuk ke perairan pesisir Tanjungpinang.

2. Menentukan dinamika fluks nitrogen anorganik terlarut, beban limbah dan kapasitas asimilasi di perairan pesisir Tanjungpinang.

3. Menentukan potensi penyerapan mangrove terhadap beban limbah nitrogen anorganik terlarut di perairan pesisir Tanjungpinang.

4. Merumuskan model pengelolaan fluks nitrogen anorganik dan kaitannya dengan ekosistem mangrove di perairan pesisir pulau-pulau kecil.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat :

1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan dan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pengendalian pencemaran di perairan pesisir berdasarkan pertimbangan jumlah total nitrogen antropogenik yang masuk ke sistem perairan dan pengoptimalan peran ekosistem mangrove sebagai penyerap limbah nitrogen anorganik sebagai langkah penanggulangan pencemaran yang cukup tinggi di perairan pesisir pulau-pulau kecil, sehingga secara khusus dapat menjadi acuan dan pedoman bagi pemerintah Kota Tanjungpinang.

2. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini akan menambah khasanah keilmuan dan pengetahuan tentang ekologi perairan pesisir khususnya fluks nitrogen anorganik terlarut di perairan pesisir pulau-pulau kecil dan peran ekosistem mangrove yang dikembangkan dalam tataran sistem pengelolaan, sehingga akan memperkaya metodologi ilmu pengelolaan pesisir dan laut.

3. Bagi masyarakat setempat dan sekitarnya, penelitian ini bermanfaat untuk membantu memahami proses dinamika fluks nitrogen anorganik terlaut di perairan yang bersumber dari limbah daratan hasil buangan manusia yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap sistem perairan, sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam mencegah terjadinya pencemaran atau penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir.


(38)

1.7 Kebaruan (Novelty)

Kajian tentang nitrogen anorganik terlarut di perairan telah dilakukan oleh beberapa peneliti khususnya tentang pemodelan nitrogen anorganik di perairan pesisir. Penelitian Wade et al. (2005) tentang Modelling nitrogen fluxes from the land to the coastal zone in European systems: a perspective from the INCA project. Menggunakan pendekatan model nitrogen terpadu untuk catchments

Eropa dalam konteks ELOISE (European Land-Ocean Interaction Studies). Penelitian Lessin and Raudsepp (2007) tentang Modelling the spatial distribution of phytoplankton and inorganic nitrogen in Narva Bay, Southeastern Gulf of Finland, in the biologically active period. Penelitian ini menggunakan pendekatan model numerik untuk melihat distribusi spasial fitoplankton dan nitrogen anorganik pada suatu perairan Teluk. Mandal et al. (2005) meneliti tentang

Modelling of the contribution of dissolved inorganik nitrogen from litterfall of adjacent mangrove forest to Hooghly-Matla estuary, India. Penelitian Mandal et al. menggunakan pendekatan pengembangan model dinamik untuk melihat kontribusi nitrogen anorganik terlarut yang berasal dari serasah hutan mangrove yang masuk ke perairan estuari di India. Dengan demikian, beberapa penelitian terdahulu tersebut belum mencoba menyusun konsep pengelolaan nitrogen anorganik terlarut di perairan terkait dengan peran mangrove sebagai penyerap senyawa nitrogen anorganik untuk pertumbuhan.

Kebaruan (novelty) penelitian ini terletak pada pendekatan atau konsep pengembangan model dinamik dalam kerangka pengelolaan nitrogen anorganik terlarut di perairan dengan memperhitungkan peranan ekosistem mangrove sebagai penyerap nitrogen anorganik yang dirumuskan secara spesifik untuk perairan pesisir pulau-pulau kecil.


(39)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Definisi wilayah pesisir (coastal zone, coastal area) secara ringkas mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh aspek-aspek kelautan seperti pasang-surut (pasut) laut dan bagian perairan laut yang masih dipengaruhi aspek-aspek daratan seperti kekeruhan air dari darat. Definisi ini telah dimunculkan tahun 1976 oleh panitia perumus dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang pengembangan Lingkungan Hidup (Manik 2009) dan kemudian dikemukakan dalam definisi yang agak berbeda oleh bakosurtanal tahun 1988 dengan menambahkan unsur bentang alam. Meskipun batas fisik wilayah pesisir secara umum susah ditentukan, namun dalam konsep pengembangan wilayah dapat dikemukakan batas-batas secara mudah apabila memang dikehendaki atau dibutuhkan dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Menurut Dahuri et al. (2004) wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang dengan air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengeruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan.

Wilayah pesisir dan laut meliputi wilayah daratan dan lautan dengan karakteristik yang khas. Banyak pendapat yang berbeda dalam menetapkan batas wilayah pesisir dan laut. Pendapat yang ekstrim mengatakan, wilayah pesisir dan laut meliputi kawasan yang sangat luas, dimulai dari batas lautan terluar (zona ekonomi eksklusif, ZEE) sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim laut. Pendapat ekstrim lainnya mengatakan, wilayah pesisir dan laut hanyalah sebuah kawasan yang sangat sempit, dimulai dari pasang tertinggi sampai 200 meter ke


(40)

arah darat; sedangkan ke arah laut sampai dengan garis pantai pada saat surut terendah. Dalam konteks interaksi daratan-lautan, Joseph and Balchand (2000) mengatakan bahwa wilayah pesisir dan laut merupakan perluasan dataran pantai sampai bibir luar paparan benua (continental shelf), daerah yang selalu tergenang selama fluktuasi muka air laut terjadi.

Terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (crosshore). Bagi kepentingan pengelolaan batas-batas wilayah pesisir dan laut yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Namun penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain, hal ini dapat dimengerti sebab suatu negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (Bengen 2004).

Adapun daerah kepulauan merupakan suatu daerah yang terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil. Sebagaimana didefinisikan bahwa pulau-pulau kecil (PPK) adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007). Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS, 1982) pasal 121 mendefinisikan pulau sebagai daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang naik tertinggi. Dijelaskan bahwa sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai pulau, yakni (1) memiliki lahan daratan, (2) terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi, (3) dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar, (4) selalu berada di atas garis pasang tertinggi.

Alternatif batasan pulau kecil dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000


(41)

13

km2. Selanjutnya berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan batasan pulau kecil sebagai pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Namun batasan ini mengalami perubahan UNESCO (1990) yang memberikan batasan sebagai pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (Bengen dan Retraubun 2006). Ditinjau dari segi luasan, UNESCO (1994) menetapkan bahwa pulau-pulau yang luasnya kurang dari 200 km2 tergolong pulau kecil, sedangkan yang luasnya kurang dari 100 km2 tergolong pulau sangat kecil. Definisi lainnya menyebutkan, pulau kecil adalah ruang daratan yang berelevasi di atas muka air pasang dari perairan yang mengelilinginya dengan luas kurang dari 100 km2.

Umumnya pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki karakteristik biogeofisik yang tersendiri, yakni: (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island) dan bersifat insulair, (2) memiliki sumberdaya air terbatas, baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan air yang relatif kecil atau sangat terbatas sehingga sebagian aliran air permukaan dan sedimen akan diteruskan ke laut, (3) rentan terhadap pengaruh dari luar, baik yang bersifat alami (badai dan gelombang besar) maupun akibat kegiatan manusia (pencemaran, pengubahsuaian lahan), (4) memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi, (5) area perairan lebih luas dari pada daratan, serta relatif terisolir, (6) tidak memiliki hinterland yang jauh dari pantai.

Pulau-pulau kecil merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Dikatakan bahwa wilayah pesisir merupakan sistem yang kompleks, di dalamnya terjadi interaksi berbagai proses: alami (misalnya hidrologi dan geomorfologi), sosial, budaya, ekonomi, administrasi dan pemerintahan (French 2004). Dalam perspektif ekonomi-ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan sistem yang dicirikan oleh adanya inter relasi secara fisik, biokimia dan sosial-ekonomi (Turner et al. 2003). Kompleksitas sistem baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun biofisik inilah yang menandai keunikan wilayah pesisir dan laut (Dahuri 2004). Wilayah pesisir dan laut juga dikenal karena keunikan historis dan arkeologisnya (Meulen and Haes 1996).


(42)

Wilayah pesisir memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam dan rentan, karena posisinya yang berada di daerah perbatasan antara daratan dan lautan. Faktor-faktor biofisik yang menyusun keunikan wilayah ini ditunjukkan dengan sangat nyata, misalnya tingkat elevasi (rendah-sedang-tinggi), jenis air (asin-payau-tawar), tingkat pasang-surut dan jenis tanah (pasir-tanah liat). Dijumpai jenis-jenis tumbuhan asli (indigenous) pantai yang bersifat endemik dan rentan terhadap pengaruh lingkungan. Disebabkan hal tersebut, wilayah pesisir dinilai penting dimonitoring dan dikelola secara terintegrasi. Clark (1998) menilai perlindungan terhadap kekayaan sumberdaya wilayah pesisir pada sisi wetside

(lautan) perlu dilakukan melalui kontrol terhadap pemanfaatan sumberdaya yang berada pada sisi dryside (daratan).

Wilayah pesisir memiliki sumberdaya alam yang unik, dinamis, dan produktivitas yang tinggi, terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih, sumberdaya yang tidak dapat pulih, serta jasa-jasa lingkungan (Xue 2004). Menurut Dahuri et al. (2004) beberapa ekosistem utama yang terdapat di wilayah peisisr adalah estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir dan berlumpur), dan pulau kecil.

Menurut Schaffelke (2005) wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria, pantai berpasir, pantai berbatu) yang satu samalain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Petubahan atau kerusakan yang menimpa salah satu ekosistem akan berpengeruh terhadap ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia seperti aktivitas masyarakat urban, industri, maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland area) maupun laut lepas (oceans). Kondisi semacam ini mengindikasikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ekological linkages) yang dapat mempengeruhi suatu wilayah pesisir.

Disamping itu, wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, wilayah ini juga memiliki


(43)

15

aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti transportasi dan kepelabuhanan, industri dan permukiman. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, daya dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan terancam rusak (Dahuri et al. 2004).

Berbagai permasalahan yang muncul di kawasan pesisir pada umumnya banyak diakibatkan oleh faktor eksternal yang terjadi di luar kawasan pesisir itu sendiri (baik dari daratan maupun lautan), sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan di kedua kawasan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak terhadap kawasan pesisir (Laane 2012). Sebagai upaya mengatasi dampak yang ditimbulkan, misalnya akibat adanya bahan pencemar atau sedimen yang masuk ke pesisir atau adanya abrasi pantai, sangat diperlukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan kawasan, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir (Bengan 2004).

2.2 Senyawa-Senyawa Nitrogen Anorganik di Perairan Pesisir

Kegiatan manusia telah meningkatkan aliran nitrogen global. Laju aliran nitrogen terikat kedalam laut meningkat secara signifikan karena kegiatan buangan limbah dan pertanian. Di beberapa lokasi, aliran nitrogen antropogenik melampaui masukan alami dari sungai dan telah mengakibatkan eutrofikasi pada perairan estuari (Setiapermana 2006). Sebagai salah satu unsur pembatas pertumbuhan, nitrogen memainkan peran penting dalam mengkontrol produktivitas biologis.

Nitrogen adalah nutrien pembatas utama untuk produktivitas primer di perairan estuaria selain fospat dan silikat (Kennish 1994). Selain itu nitrogen juga penting bagi pertumbuhan organisme karena merupakan unsur utama pembentuk protein. Nitrogen anorganik di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 dan NH4+ serta sejumlah N yang berkaitan dalam bahan organik kompleks. Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara sekitar 80% dalam bentuk nitrogen


(44)

bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik (Kirchman 2000).

Menurut Chester (1990) keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+) dan molekul N2 yang larut dalam air. Adapun Jenis-jenis nitrogen yang tergolong senyawa inorganik terdiri dari nitrat (NO3-), nitrit (NO2-), dan ammonium (NH4+) seringkali dinamakan sebagai Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN).

Sedangkan Nitrogen organik adalah bentuk nitrogen yang terikat pada senyawa organik, biasanya berupa partikulat yang tidak larut dalam air. Nitrogen organik mencakup protein, polipeptida, asam amino, urea (H2NCONH2) dan senyawa lainnya. Senyawa nitrogen organik yang paling dominan adalah senyawa humik berbentuk protein, kemudian diikuti oleh nitrogen organik yang terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit berupa asam amino, asam nukleat, dan urea beserta polimernya yang akan mengendap dalam air. Kadar nitrogen organik di perairan biasanya sangat rendah sekitar 0,01 ppm. Sumber nitrogen organik di perairan berasal dari pembusukan makhluk hidup yang telah mati, karena protein dan polipeptida ditemukan pada semua organisme hidup. Sumber antropogenik nitrogen adalah limbah industri dan daerah pertanian (Effendi 2003).

Kennish (1994) menyatakan ada tiga bentuk nitrogen anorganik utama yang terlarut di estuaria yaitu ammonium (NH4+), nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-), meskipun demikian pada bahan organik yang terlarut dan yang berbentuk partikel juga terdapat sumber nitrogen yang penting dan berguna. Komposisi nitrogen tersebut menurut Avnimelech (2000)sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas di dalam air. Pada saat oksigen rendah nitrogen akan bergerak menuju ammonia, sedangkan pada saat oksigen tinggi nitrogen akan bergerak menuju nitrat. Kemudian Millero dan Sohn (1992) manambahkan bahwa distribusi nitrogen sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas serta kekeruhan. Siklus nitrogen di perairan dapat dijeaskan lebih lanjut pada Gambar 2 dan bentuk-bentuk nitrogen dan konsentrasinya di laut disajikan dalam Tabel 1.


(45)

17

Tabel 1. Bentuk-bentuk nitrogen dan konsentrasinya (modifikasi Kircman 2000) Bentuk Nitrogen Status Konsentrasi (µM)

Laut Pantai

Gas

N2 (Dinitrogen) Gas terlarut 900 – 1100 900 – 1100 N2O (Ninitrogen Oksida) Gas terlarut 0.0006 – 0.07 0 – 0.25 NO (Nitrogen Oksida) Gas terlarut

Anorganik

NO3- (Nitrat) Ion terlarut < 0.03 – > 40 < 0.1 – 200 NO2- (Nitrit) Ion terlarut < 0.03 – 0.1 < 0.03 – 10 NH4+(Ammonium) Ion terlarut < 0.03 – 1 < 0.03 – > 100 NH2CO2 (Urea) Ion terlarut < 0.1 – 0.5 0 – > 2

Organik

Pada perairan, keberadaan senyawa nitrogen biasanya diukur melalui parameter Total Nitrogen (TN), NH3-N, NO2-N dan NO3-N. Menurut MacKereth et al. (1989) dalam Effendi (2003) total nitrogen adalah penjumlahan dari senyawa nitrogen anorganik berupa (NO3-N), (NO2-N), (NH4-N) yang bersifat terlarut dan senyawa nitrogen organik yang terlarut maupun berupa partikulat yang tidak larut dalam air.

Terdapat lima fase dalam siklus nitrogen yaitu amonifikasi, nitrifikasi, asimilasi nitrogen, denitrifikasi dan fiksasi nitrogen. Amonifikasi adalah proses pembentukan ammonia dari materi organik. Ammonia juga dapat mengalami deaminasi menjadi asam amino (NH2) dan dapat diasimilasi secara langsung oleh diatom, alga seluler dan tanaman tingkat tinggi. Nitrifikasi merupakan reaksi oksidasi yaitu proses pembentukan nitrat yang berasal dari ammonia kemudian menjadi nitrit dan hasil akhirnya berupa nitrat. Proses ini dapat berlangsung secara

photochemical, bacteriogical maupun chemical (NH3 NO2 NO3). Asimilasi nitrogen ini merupakan fungsi utama bagi fitoplankton, alga bentik dan bakteri sebagai proses pemanfaatan nitrogen untuk pembentukan asam amino dalam protoplasma. Denitrifikasi merupakan reaksi reduksi terhadap nitrat, yaitu proses perubahan nitrat menjadi nitrit dan dari nitrit menjadi ammonia (NO3 NO2 N2). Fiksasi nitrogen yaitu proses fiksasi nitrogen bebas, ini hanya dapat terjadi pada daerah pantai, simbiosis alga dan percampuran nitrogen dari lingkungan/atmosfer.


(46)

Gambar 2. Siklus nitrogen di perairan estuaria (Kennish 1994)

Proses transformasi nitrogen melibatkan komponen biologi, seperti: fiksasi gas nitrogen, amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Sedangkan transformasi nitrogen yang tidak melibatkan faktor biologi adalah volatilisasi, penyerapan dan pengendapan (sedimentasi). Ammonia, nitrit dan nitrat menggambarkan jumlah

bioavailable nitrogen, yakni nutrien N (nitrogen) terlarut yang ada, yang dapat langsung digunakan oleh oranisme (fitoplankton dan tumbuhan air) untuk tumbuh dan berkembang. Effendi (2003) menyatakan bahwa bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi dengan melibatkan mikrobiologi maupun tidak sebagai bagian dari siklus nitrogen. Transformasi nitrogen secara mikrobiologi mencakup hal-hal sebagai berikut:


(47)

19

1. Asimilasi nitrogen organik (nitrat dan ammonium) oleh tumbuhan dan mikroorganisme (bakteri autotrof) untuk membentuk nitrogen organik misalnya asam amino dan protein.

2. Fiksasi gas nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen organik oleh mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis alga Cyanophyta (alga biru) dan bakteri.

N2 + 3H2 2NH3 (ammonia); atau NH4+ (ion ammonium) ...(1) Ion ammonium yang tidak berbahaya adalah bentuk nitrogen hasil hidrolisis ammonia yang berlangsung dalam kesetimbangan seperti reaksi berikut:

H2O + 2NH3 NH4OH NH4+ + OH - ... (2) Kondisi pada pH tinggi (suasana basa) akan menyebabkan ion ammonium menjadi ammonium hidroksida yang berdisosiasi dan bersifat racun (Goldman dan Home, 1989).

3. Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan berkurang secara nyata pada pH < 7.

NH4+ + 3/2 O2 2H+ + NO2- + H2O ... (3) NO2- + ½ O2 2NO3- ... (4) Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat langsung digunakan dalam proses biologis (Hendersen-Seller 1987). 4. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses

dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur yang membutuhkan oksigen untuk mengubah senyawa organik menjadi karbondioksida. Selain itu, autolisasi atau pecahnya sel dan ekskresi ammonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok ammonia.

5. Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2-), dinitrogen oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat


(48)

rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata perairan pada umumnya. Kondisi anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg/l/hari (Jorgensen and Bendoricchio 2001).

Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali (blooming). Reaksi kualitas air lebih sensitif terhadap effek masukan Nitrogen dan Phosphor dari pada COD (Lee et al.

2008). Konsentrasi nitrogen organik di perairan berkisar 0,1 sampai 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen bisa mencapai 100 mg/l (Dojlido dan Best 1992). Sedangkan konsentrasi nitrit yang tinggi dapat menyebabkan perairan menjadi tercemar. Pencemaran perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nitritnya seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit Kadar Nitrit (mg/l) Status Kualitas Air

< 0,003 0,003 – 0,014 0,014 – 0,10

Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan Tercemar sedang

Tercemar berat

Sumber: Schmit (1978) dalam Wardoyo (1989)

2.2.1 Nitrat (NO3)

Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami dan merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan alga. Nitrat sangat mudah larut di dalam air dan stabil. Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Unsur nitrogen yang terdapat dalam senyawa nitrat merupakan zat-zat hara anorganik utama yang diperlukan oleh pertumbuhan fitoplankton. Disamping itu, Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisma air. Keberadaan nitrat diperairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri,


(49)

21

bahan peledak, pirotehnik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk nitrat-nitrogen (Alaerts 1994).

Senyawa Nitrat juga termasuk jenis nitrogen yang paling dinamis dan menjadi bentuk paling dominan pada daerah limpasan, masukan sungai, keluarnya air tanah dan deposisi atmosfir ke laut (Kirchman 2000). Nitrat adalah nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman algae, memiliki karakteristik senyawa yang sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003).

Sumber utama nitrat berasal dari erosi tanah, limpasan dari daratan termasuk pupuk di tanah dan dari buangan limbah (Chester 1990). Selain itu Milero dan Sohn (1992) menambahkan bahwa nitrat berasal dari permukaan air selama produktivitas primer, ketika tumbuhan mati, terdekomposisi kemudian nitrat teregenerasi ke kolom air.

Konsentrasi nitrat di suatu perairan diatur dalam proses nitrifikasi. Proses nitrifikasi merupakan proses oksidasi senyawa ammonia dalam kondisi aerob, oleh bakteri autrotof yang melalui proses mikrobiologi menjadi nitrat melalui senyawa tengah nitrit. Proses nitrifikasi terdiri dari dua tahap, yaitu: 1) merubah ammonia (NH3) menjadi nitrit (NO2) dan 2) merubah nitrit (NO2) menjadi nitrat (NO3). Jenis bakteri yang berperan dalam tahap pertama adalah bakteri Nitrosomonas, sedangkan pada tahap kedua adalah bakteri Nitrobacter. Achmad (2004) merumuskan kedua proses nitrifikasi tersebut sebagai berikut:

2 + 3 2 + 2 + 2 ... (5) 2 + 2 ... (6) Achmad (2004) mengemukakan bahwa pada saat konsentrasi oksigen berkurang di dalam kolom air, maka proses denitrifikasi mengambil ahli proses mikrobiologi dimana ion nitrat dan nitrit diubah menjadi molekul nitrogen (N2). Produk akhir proses denitrifikasi adalah gas nitrogen yang relatif tidak dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar organisme nabati secara langsung. Bakteri yang


(50)

mampu melakukan proses denitrifikasi antara lain: Pseudomonas, Achromobacter

dan Bacillus.

Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) distribusi horisontal kadar nitrat semakin tinggi menuju arah pantai, dan kadar tinggi biasa ditemukan di perairan muara. Peningkatan kadar nitrat di laut disebabkan oleh masuknya limbah domestik atau pertanian (pemupukan) yang umumnya mengandung banyak nitrat. Menurut Millero and Sohn (1992) distribusi vertikal kadar nitrat di laut menunjukkan bahwa kadar nitrat semakin tinggi bila kedalaman laut bertambah, sedangkan kadar nitrit di perairan estuaria tergantung dari beberapa faktor seperti pasang surut, turbulensi dan kedalaman (Mann and Lazier 1991).

Nitrat bukan merupakan racun bagi organisme akuatik, konsentrasinya di suatu perairan diatur dalam proses nitrifikasi, yang merupakan proses oksidasi senyawa ammonia dalam kondisi aerob oleh bakteri autotrof menjadi nitrat melalui senyawa tengah nitrit (Avnimelech, 2000). Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat dapat digunakan untuk mengklasifikasikan perairan. Perairan oligotrofik mempunyai kadar nitrat 0 – 1 mg/l, perairan mesotrofik mempunyai kadar nitrat 1 – mg/l, dan perairan eutrofik

mempunyai kadar nitrat 5 – 50 mg/l (Wetzel 2001). Oksidasi nitrit menjadi nitrat (nitrifikasi) berlangsung pada kondisi aerob oleh bakteri Nitrobacter sp seperti pada persamaan:

2 + 2 + 2 + 2 ... (7) Nitrat dan ammonia merupakan bentuk senyawa nitrogen yang selalu dikaitkan dengan kegiatan budidaya dengan teknik keramba jaring apung. Senyawa nitrit dan nitrat banyak terkandung dalam pakan, sedangkan senyawa ammonia banyak terdapat melalui hasil ekskresi biota.


(51)

23

2.2.2 Nitrit (NO2)

Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena bersifat tidak stabil (Effendi 2003). Nitrit biasa ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat, karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan dari amonia menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologi perombakan bahan organik dengan kandungan oksigen terlarut sangat rendah (Effendi 2003). Pada oksidasi amonia menjadi nitrit (nitrifikasi) berlangsung pada kondisi aerob oleh bakteri Nitrosomonas sp seperti pada persamaan:

2 + 3 2 + 2 + 2 ... (8) Senyawa nitrit (NO2) yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat (NO3) atau oksidasi ammonia (NH3) oleh mikroorganisme. Selain itu, senyawa nitrit juga berasal dari hasil ekskresi fitoplankton, terutama pada saat timbulnya ledakan populasi fitoplankton. Distribusi vertikal kadar nitrit semakin tinggi sejalan dengan pertambahan kedalaman laut dan semakin rendahnya kadar oksigen. Distribusi horisontal kadar nitrit semakin menuju ke arah perairan pantai dan muara sungai kadarnya semakin tinggi. Meningkatnya kadar nitrit di laut berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah terurai (baik yang mengandung unsur nitrogen maupun tidak). Dengan demikian senyawa nitrit merupakan salah satu indikator pencemaran (Hutagalung dan Rozak 1997).

2.2.3 Ammonium (NH4+)

Senyawa ammonium (NH4+) terbentuk dari ammonia yang telah terionisasi. Ammonium (NH4+) dan nitrat merupakan sumber nutrien utama bagi organisme perairan dan bakteri (Conell and Miller 1995). Bentuk ammonium lebih disukai oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis dibandingkan dengan nitrat (Millero and Sohn 1992; Kirchman 2000).


(52)

Sedangkan senyawa ammonium yang terdapat di dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat (NO3) dan nitrit (NO2) oleh mikroorganisme. Selain itu senyawa ammonium juga berasal dari hasil eksresi fitoplankton terutama pada saat timbulnya ledakkan populasi fitoplankton dan hasil degradasi zat organik seperti protein (Kirchman 2000).

Kadar ammonium dalam air laut sangat bervariasi dan dapat berubah dengan cepat (Koreleff 1976 dalam Hutagalung dan Rozak 1997). Distribusi vertikal kadar ammonium semakin tinggi dengan pertambahan kedalaman laut dan sejalan dengan semakin rendahnya oksigen, sedangkan distribusi kadar ammonium semakin tinggi menuju ke arah pantai dan muara sungai. Meningkatnya kadar ammonium di laut berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah terurai (baik mengandung unsur nitrogen maupun tidak).

Penguraian bahan organik yang mengandung unsur nitrogen akan mengasilkan senyawa nitrat, nitrit dan seterusnya menjadi ammonium (Hutagalung dan Rozak 1997). Kadar ammonium pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l. Kadar ammonium yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan (run-off) pupuk pada perairan (Effendi 2003).

Odum (1993) mengatakan sumber amonium di perairan berasal dari dekomposisi bahan organik dan ekskresi organisme. Dalam keadaan anaerobik, nitrat diubah oleh bakteri menjadi nitrit dan kemudian menjadi amonia yang dapat bersenyawa dengan air membentuk amonium. Proses perombakan dari nitrat menjadi amonia tersebut biasa disebut proses denitrifikasi. Amonia dalam bentuk tak terionisasi lebih beracun dari pada amonium. Amonia di perairan alami pada suhu dan tekanan normal berada dalam bentuk gas membentuk keseimbangan menjadi amonium. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:

+ ⇆ + ... (9) Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total ( dan ). Menurut Boyd (1990) kandungan amonia bebas meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu perairan. Senyawa nitrogen tersebut dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Pada saat oksigen rendah, nitrogen bergerak menuju


(1)

A3. Amonium_Estuari dengan parameter Lingkungan

Regression Summary for Dependent Variable: Amonium di Estuari

(Amonium_Estuari)

R= .99843384 R²= .99687014 Adjusted R²= .98435068

F(4,1)=79.626 p<.08383 Std.Error of estimate: .50999

Beta in Partial Semipart Tolerance R-square

t(1)

p-level

pH

-0.11099 -0.862024 -0.095145 0.734870 0.265130 -1.70069 0.338393

DO

-0.39267 -0.931340 -0.143084 0.132776 0.867224 -2.55757 0.237281

Suhu

-1.07625 -0.981892 -0.289969 0.072590 0.927410 -5.18308 0.121336

Salinitas

-1.13709 -0.972826 -0.235060 0.042734 0.957266 -4.20161 0.148751

A4. DIN_Estuari dengan parameter Lingkungan

Regression Summary for Dependent Variable: DIN di Estuari (DIN_Estuari)

R= .98951008 R²= .97913019 Adjusted R²= .89565096

F(4,1)=11.729 p<.21519 Std.Error of estimate: 1.9999

Beta in Partial Semipart Tolerance R-square

t(1)

p-level

pH

-0.35340 -0.902627 -0.302951 0.734870 0.265130 -2.09707 0.283271

DO

0.38959 0.700899 0.141960 0.132776 0.867224 0.98267 0.505565

Suhu

-1.87217 -0.961349 -0.504411 0.072590 0.927410 -3.49161 0.177575

Salinitas

-2.38960 -0.959798 -0.493980 0.042734 0.957266 -3.41940 0.181128


(2)

B. Korelasi Berganda senyawa DIN di pesisir dengan parameter lingkungan

B1. Nitrat_Pesisir dengan Parameter Lingkungan

Regression Summary for Dependent Variable: Nitrat di Pesisir

(Amonium_Pesisir)

R= .93040109 R²= .86564620 Adjusted R²= .68650779

F(4,3)=4.8323 p<.11319 Std.Error of estimate: .99249

Beta in

Partial Semipart Tolerance R-square

t(3)

p-level

pH

-0.664244 -0.847104 -0.584276 0.773715 0.226285 -2.76092 0.070098

DO

-0.384355 -0.585177 -0.264510 0.473607 0.526393 -1.24991 0.299959

Suhu

-0.196659 -0.385214 -0.153005 0.605324 0.394676 -0.72301 0.521946

Salinitas

-0.350703 -0.611270 -0.283107 0.651663 0.348337 -1.33778 0.273338

B2. Nitrit_Pesisir dengan Parameter Lingkungan

Regression Summary for Dependent Variable: Nitrit di Pesisir (Spreadsheet1)

R= .97208120 R²= .94494187 Adjusted R²= .87153103

F(4,3)=12.872 p<.03123 Std.Error of estimate: .42452

Beta in

Partial Semipart Tolerance R-square

t(3)

p-level

pH

-0.231375 -0.655226 -0.203520 0.773715 0.226285 -1.50230 0.230033

DO

-0.913072 -0.936815 -0.628368 0.473607 0.526393 -4.63836 0.018884

Suhu

-0.154431 -0.455777 -0.120151 0.605324 0.394676 -0.88691 0.440456

Salinitas

-0.242841 -0.641144 -0.196035 0.651663 0.348337 -1.44705 0.243686


(3)

B3. Amonium_Pesisir dengan parameter Lingkungan

Regression Summary for Dependent Variable: Amonium di Pesisir

(Amonium_Pesisir)

R= .89588151 R²= .80260368 Adjusted R²= .53940858

F(4,3)=3.0495 p<.19329 Std.Error of estimate: 1.9567

Beta in Partial Semipart Tolerance R-square t(3) p-level

pH 0.057681 0.113459 0.050737 0.773715 0.226285 0.19779 0.855850 DO -0.702922 -0.736501 -0.483745 0.473607 0.526393 -1.88585 0.155792

Suhu -0.248127 -0.398515 -0.193050 0.605324 0.394676 -0.75259 0.506365

Salinitas -0.476774 -0.654761 -0.384879 0.651663 0.348337 -1.50043 0.230481

4. DIN_Pesisir dengan parameter Lingkungan

Regression Summary for Dependent Variable: DIN di Pesisir (DIN_Pesisir)

R= .93886148 R²= .88146088 Adjusted R²= .72340872

F(4,3)=5.5770 p<.09477 Std.Error of estimate: 2.7519

Beta in Partial Semipart Tolerance R-square t(3) p-level

pH -0.245611 -0.531515 -0.216042 0.773715 0.226285 -1.08685 0.356627 DO -0.724186 -0.822760 -0.498378 0.473607 0.526393 -2.50720 0.087152

Suhu -0.238293 -0.474117 -0.185398 0.605324 0.394676 -0.93269 0.419783


(4)

Lampiran 6. Hasil simulasi model dinamik pengelolaan nitrogen anorganik dan penyerapan ekosistem mangrove

6. 1. Hasil simulasi model pada skenario Moderat


(5)

(6)